Chapter 6 - Amaryllis

Setelah duel tersebut Antonio, Vin, dan Mira sepakat untuk membentuk sebuah tim dan mendaftarkan diri dalam turnamen. Mereka nyaris tidak kebagian kuota pendaftaran karena jumlah maksimal pendaftar yang diterima adalah 1000 orang. Antonio mendapatkan nomor peserta 0973, Vin 0974, dan Mira 0975. Masing-masing dari mereka mendapatkan kartu tanda peserta yang berisi identitas lengkap dan juga lukisan kecil dari wajah mereka.

Mengetahui bahwa putri dari Raja William juga ikut dalam The Hunt for the Holy Coins, seluruh orang di dekat air mancur kaget bukan kepalang. Mereka cepat-cepat mengerubungi Putri dan dua orang pria yang menjadi rekan setimnya.

Awalnya itu semua berlangsung dengan baik, tetapi Mira mulai merasa risih ketika orang-orang yang mengelilinginya terus menanyai hal-hal yang tidak perlu serta benar-benar tidak memberinya jalan. Ia kemudian berteriak, "Semuanya minggir! Tolong berikan aku dan dua pria ini jalan. Kami baru saja mendaftarkan tim kami dalam turnamen, dan sekarang kami harus pergi. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan dari keikutsertaanku dalam turnamen yang diciptakan oleh ayahku sendiri. Kalian semua patutnya mengurus diri dan tim kalian sendiri. Sampai jumpa di medan pertempuran. Terima kasih."

Setelah ucapan tersebut, sekeliling air mancur menjadi hening. Semua orang tiba-tiba memberikan jalan bagi Antonio, Vin, dan Mira. Pada wajah mereka terpampang penyesalan dan rasa takut karena telah membuat Putri marah.

Vin yang naik ke atas kudanya mulai menunjukkan hormat pada Mira di sela-sela lirikan matanya, mengingat Mira memiliki didikan istana, ia bisa melakukan apa pun tanpa perlu takut selama itu tidak melebihi kuasa ayahnya. Sementara Antonio hanya diam, ia masih memperhatikan gadis itu dalam-dalam. Kini Putri telah menjadi "bawahan" darinya, dan Antonio mengerti bahwa ada tanggung jawab besar akan hal itu. Ia naik ke atas kudanya, dan menggenggam pergelangan tangan Mira untuk membantunya naik.

"Apakah kau siap, Putri?"—Antonio bertanya dengan pelan, ia cepat-cepat merevisinya—"Maksudku ... Mira?"

"Bergeraklah. Ke mansion tempatku tinggal, kaki Bukit Dunhill."

Dengan segera dua kuda itu membelah lautan manusia di sekitaran air mancur dan membawa mereka pergi dari kota.

***

"Kau tinggal di sini sendirian?" tanya Antonio, sambil meneguk anggur dari cawan emas di genggamannya. Ia duduk bersama Mira di balkon sambil menikmati perjamuan kecil di hadapan Bukit Dunhill.

"Tidak sepenuhnya sendirian," jawab Mira. "Ada Bibi Yerna dan Tuan Albert, mereka berdua adalah pelayanku."

Antonio meletakkan kedua tangannya di atas meja, menatap Mira. "Tidak ada penjagaan sama sekali?"

"Tidak ada. Aku tidak membutuhkan mereka. Aku bisa melindungi diriku sendiri. Sejauh ini tidak ada yang pernah menyerang mansion ini, baik itu iblis maupun orang-orang jahat."

"Kenapa kau memilih untuk tinggal di mansion ini? Yang aku tahu, anak seorang raja tidak diperkenankan meninggalkan istana. Mereka akan terus berada di istana untuk mengemban tata krama dan menuntut ilmu. Atau sebenarnya aku yang tidak tahu tentang keluarga kerajaan?"

Mira berdiri dari kursinya, berjalan dan menyandarkan tubuhnya pada pagar balkon sembari menatap kejauhan. "Ibuku meninggal sembilan tahun yang lalu, kemudian istri baru Ayah tidak memiliki hubungan yang baik denganku. Aku selalu merasa bosan di istana.

"Di sana segala sesuatunya harus sesuai dengan aturan. Aku harus berpakaian yang indah, bertutur kata yang indah, dan berperilaku yang indah. Setiap hari aku harus merawat rambutku, dan itu membuatku gerah. Aku tidak bisa menjadi diriku yang seutuhnya jika terus dikekang seperti itu. Aku selalu ingin menjadi seorang Hunter, tetapi Ayah tidak pernah berhenti mengajariku tentang politik. Aku selalu melawan sebab aku ingin dipuja karena kebolehanku, bukan karena jabatanku.

"Aku tahu bahwa suatu hari nanti aku akan menjadi seorang ratu. Bagiku, menjadi seorang ratu saja tidak cukup. Menjadi ratu tidak hanya mengambil mahkota dari pendahuluku, tetapi membawa orang-orangku menuju keadilan. Keadilan yang kumaksud adalah memberikan apa yang orang-orangku butuhkan dan melindungi orang-orangku dari bahaya terbesar, para iblis. Itulah kenapa aku dekat sekali dengan orang-orangku. Aku mencintai mereka dan mereka mencintaiku. Mereka tidak memanggilku Putri, melainkan Nona, Nona Mira. Dan itu membuatku senang."

"Putri—Maksudku ... Mira," Lidah Antonio kembali berkelit, "kau luar biasa."

Mira menatap Antonio dengan ekspresi bingung. "Maksudmu?"

"Aku bisa merasakan cinta dari orang-orangmu kepadamu. Dan mengetahui bahwa dirimu adalah seorang 'pemberontak', tetapi tetap bisa menempatkan diri sebagai seorang putri yang anggun dan berwibawa, itu benar-benar luar biasa. Kau pasti akan menjadi seorang ratu yang hebat suatu hari nanti."

Mira tertawa kecil. "Terima kasih. Orang lain yang pernah mengungkapkan kata-kata setulus itu padaku hanyalah kedua orang tuaku."

"Itu terdengar seperti penghinaan karena aku memang sudah agak tua, tapi tidak masalah karena datangnya dari Tuan Putri."

"Haha, kau menangkap ucapanku! Kau punya selera humor yang lumayan, ya, Midas!"

Antonio memasang wajah datar seraya menunduk menatap lantai, "Selera humor ... orang tua, lebih tepatnya." Ia meneguk anggurnya sekali lagi sebelum kembali berbicara, "Omong-omong, apakah ada alasan lain kenapa kau tinggal di mansion ini?"

"Sebetulnya tanah di kaki bukit ini adalah milikku. Begitu pula dengan mansion ini. Ibu mewariskannya padaku. Dan ... ya, seperti itu ceritanya. Ini adalah tanahku, dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak tinggal di sini."

"Hebat sekali."

"Terima kasih," balas Mira. Ia lanjut menatap kejauhan, dan di saat yang bersamaan angin bertiup dengan kencang. Rambutnya yang tergerai diterpa embusan itu, berkibar dengan cantik di belakang kepalanya. Diam dalam senyuman, Mira menyisir rambutnya perlahan-lahan. "Ibuku selalu memanggilku dengan sebutan Putri Amarilis. Itu sebab warna rambutku yang merah, sama seperti bunga Amarilis. Yah, walaupun pada akhirnya ketika aku beranjak dewasa warnanya sedikit terbakar menjadi cokelat. Semenjak kepergiannya, tidak ada yang memanggilku lagi dengan sebutan itu. Aku sangat merindukannya."

"Itulah alasan kenapa kau memberi nama tim kita 'Amaryllis'?"

Mira mengangguk. "Agar semangat dan kasih sayang ibuku, Ratu Wilora, tetap tumbuh di dalam diri kita."

"Nama belakangmu. Kau tidak menggunakan nama ayahmu, Alexander?"

"Untuk keperluan resmi aku akan menggunakan nama ayahku, menjadi Esmeiralda Alexandra. Tapi di luar itu, aku lebih senang jika orang-orang mengenalku dengan nama Esmeiralda Wilora."

"Kau benar-benar berani dalam mengambil keputusan, Putri—Maksudku ... Mira."

Mira menelengkan kepalanya, sedikit bingung dengan ucapan Antonio. "I-iya, mungkin? 'Berani'-ku lebih ke arah berontak. Aku tidak terlalu ingin membesarkan namaku sebagai seorang putri dengan menggunakan nama belakang ayahku. Aku hanya ingin hidup apa adanya."

"Kau tinggal di mansion ini, jadi aku rasa kalimat 'hidup apa adanya' kurang tepat."

"Bukan. Maksudku, aku tidak ingin membanggakan diri bahwa aku adalah seorang putri mahkota. Aku berbaur dengan orang-orangku. Aku tidak ingin dilihat sebagai seorang yang agung dengan darah suci, tetapi aku ingin dilihat sebagai seorang tokoh yang peduli dan cinta."

"Aku kagum padamu. Sangat terlihat bahwa kau adalah putri dari ... Ratu Wilora."

"Terima kasih. Itu sangat berarti buatku. Lalu, bagaimana dengan dirimu sendiri, Midas? Bagaimana dengan kehidupanmu?"

"Aku? Kau ingin tahu kehidupanku?" Antonio menaikkan alisnya sambil menunjuk wajahnya sendiri. "Mungkin kau akan lebih nyaman memanggilku Antonio. Midas adalah nama samaranku untuk menyembunyikan masa laluku. Walaupun begitu, pada akhirnya semua orang tetap memanggilku dengan nama asliku juga, Antonio."

"Kalau begitu biarkan aku menjadi orang pertama yang memanggilmu Midas!"

"Hmm, baiklah." Antonio sedikit ragu. "Memangnya apa yang ingin kau tahu dari diriku, Putri—Maksudku ... Mira?"

Mira tampak sangat bersemangat. Ia duduk kembali di kurisnya, lalu meneguk anggur yang ada di cawannya sebelum akhirnya berbicara, "Kau terlihat tua—Maaf, maksudku, kau terlihat jauh lebih tua dariku. Mungkin kau bisa bercerita tentang ... keluargamu?"

Selepas menerima pertanyaan itu, Antonio bergeming. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Matanya menatap ke lantai dan tangannya mengepal. Ingatannya masih menempel kuat: bagaimana ia mendengar tangis kesakitan putrinya, bagaimana ia mendengar rintihan dan permohonan ampun dari orang-orang yang ia bunuh, sampai bagaimana ia tenggelam dalam pikirannya sendiri di tengah hujan dan langit gelap.

"Aku dipisahkan dengan istri dan putriku 17 tahun lalu akibat konflik di Kerajaan Vontera. Sejak saat itu, aku merasa bersalah kepada mereka. Itulah kenapa aku berusaha menjadi seorang Hunter, untuk mengabdikan diriku sebagai salah satu bentuk penebusan dosaku. Sekarang, ketika mengikuti turnamen ini, tujuan utamaku adalah untuk mencari istri dan putriku, kemudian meminta maaf kepada mereka."

Mira tampak syok mendengar kisah itu. Ia menundukkan kepalanya. "Aku sangat prihatin dengan kisahmu."

"Ketika aku melihatmu," Antonio berkata, "aku jadi teringat pada putriku."

Mira menoleh dan menatap Antonio dengan penuh kepolosan. "Kenapa begitu?"

"Tahun ini dia berusia 19 tahun, sama sepertimu. Aku selalu membayangkan bagaimana wajahnya dan bagaimana keadaannya sekarang."

"Tuan Midas," Mira menepuk pundak Antonio dengan lembut, "aku berharap istri dan putrimu masih hidup di luar sana. Dengan turnamen ini, aku akan berusaha membantumu mencari mereka."

Tatapan Mira dibalas oleh Antonio dengan teduh. Ia memalingkannya dan dengan segera mulutnya mencecap genangan terakhir dari anggurnya. "Aku juga berharap demikian. Mohon kerja samanya untuk turnamen ini."

Keduanya saling bertukar senyum.

Perjamuan itu selesai. Mira berpamitan kepada Antonio untuk pergi berlatih dengan guru pedangnya. Kini hanya tersisa Antonio di atas balkon—seorang pria yang kesepian—bersama dengan dua cawan emas yang kosong.

Di tengah keheningan itu Antonio menolehkan kepalanya ke kanan, pada dua cawan yang terdiam di atas meja, menatap mereka dalam-dalam dan penuh penghayatan. Setelahnya, ia berusaha mengangkat dua cawan itu dengan satu tangan, tetapi tidak berjalan semulus yang ia kira. Salah satu dari cawan itu tergelincir dan menimbulkan suara yang cukup nyaring ketika menghantam lantai. Ia mengangkat cawan yang jatuh itu dan meletakkannya kembali seperti semula, sejajar dengan cawan yang satunya.

Apakah mungkin, batinnya. Apakah mungkin bagiku menjadi seorang 'ayah' yang bertanggung jawab atas mereka berdua, Vin dan Mira?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top