Chapter 54 - Pertarungan Terakhir
[PERCOBAAN PERTAMA PENGULANGAN WAKTU]
30 Desember 1504.
Pukul 23.00
Mira menurunkan titah. Aliansi dan serikat Hunter bergerak bersama dengan kekuatan penuh untuk menghadapi iblis di tengah kota, sementara dirinya menuju ke arah istana. Mira menurunkan sampannya, menghadang seekor kuda yang ditunggangi Antonio dan Muezza. Mereka berdua tampak kebingungan dan bertanya-tanya, apakah ada perubahan rencana dan sebagainya. Mira, yang terengah-engah, berjalan menghampiri Antonio dan membelai dagu dengan jenggot tipis itu.
"Aku tidak bisa memercayainya. Kau hidup kembali."
Antonio menaikkan sebelah alisnya. "Apa maksudmu?"
Mira menampar pipinya sendiri berkali-kali untuk kembali fokus pada rencananya. "Tolong percayalah padaku. Ini terdengar sangat tidak masuk akal, tapi aku bisa mengulang waktu. Kalian berdua beserta Ludwig dan Julietta mati di masa depan. Dan sekarang aku ingin mencegah itu."
Muezza tersentak dan berdiri di samping kaki Mira. "Kami berdua mati?"
"Benar. Amadeus-lah yang membunuh kalian. Aku sudah menulis rentetan waktu dan peristiwa yang terjadi hingga pukul di mana kalian mati. Kepala kalian berempat dibawa oleh Amadeus ke gedung utama pengungsian pada pukul 01.15. Maka dari itu, aku perlu mengubah segala peristiwa yang terjadi sebelum itu."
"Aku tidak mengerti apa yang kaubicarakan, Mira." Antonio masih mengernyitkan dahinya.
"Kumohon, percayalah padaku. Kekuatan pengulangan waktu yang aku dapat dari orang asing ini adalah satu-satunya cara bagi kita untuk memenangkan perang."
"'Menang'?" Muezza penasaran. "Apakah di masa depan ada kemungkinan kita akan kalah?"
Mira menjawab sambil menatap istana di kejauhan, "Tidak hanya menyelamatkan kalian, aku juga harus pergi ke istana dan mencegah Kahlil dan Gibran bersentuhan. Jika aku tidak bisa melakukan itu maka kita akan kalah."
"Jika tanpa kekuatan pengulangan waktu itu, apakah kau dapat melakukannya?" tanya Antonio.
Mira menggelengkan kepala. "Tidak ada kesempatan bagi kita untuk menang. Kita kalah. Kita hancur. Kekuatan ini adalah sebuah anugerah."
Setelahnya, mereka bertiga naik ke atas kuda, bergerak menuju medan pertempuran. Mira melihat langit, masih gelap, butiran-butiran salju masih turun dengan pelan. Bulan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan segera menyala berwarna merah. Kondisinya menjadi sedikit rumit karena beberapa akademisi dari istana sudah terlebih dahulu diungsikan ke gedung utama pengungsian. Mira tidak dapat memastikan apakah bulan merah yang ia lihat lewat mata Gibran adalah sisi gelap bulan yang akan tampak dalam beberapa jam lagi. Beberapa menit lagi tengah malam. Selama Mira dapat membawa Antonio dan Muezza ke tempat yang ramai orang, mereka akan selamat, begitu pikirnya.
Ketika langkah kuda mereka semakin melemah, langit runtuh dan menabrak mereka bertiga. Mereka terbenam ke tanah, melewati berbagai ruangan yang berputar dengan cepat, dengan kaca jendela yang terbuka seperti pintu. Mereka jatuh, tetapi ke depan. Ke depan dengan cepat sekali, seperti didorong oleh kereta kuda. Sampai akhirnya napas mereka habis, jiwa mereka kembali ke dalam tubuh masing-masing, bangun di atas tanah gersang dengan langit cokelat yang kosong. Burung-burung hitam terbang dengan hening, hanya ada bulan dan beberapa pohon gundul di sana.
Antonio membantu Mira berdiri dan menatap ke depan.
Di kejauhan, Amadeus sedang menjambak rambut Julietta. Wanita itu tampak kesulitan melepaskannya; matanya bengkak oleh air mata. Di sisi lain, Ludwig terkapar. Darah mengalir dari lehernya yang digorok oleh pedang. Wajahnya pucat, sinar matanya mati.
"Tolong aku ...," pinta Julietta.
Ini adalah semesta lain! batin Mira. Mereka berempat pasti terbunuh di sini. Pukul berapa sekarang? Mungkin tengah malam? Aku tidak tahu. Ini adalah tempat yang mengerikan.
Amadeus semakin kuat menjambak rambut wanita itu; ia menggenggam relik kubus suci di tangan kirinya. "Ayah dan anak ini berlari kepadaku secara langsung untuk menghapus ingatanku. Betapa bodohnya mereka, tidak tahu kalau mereka sedang berhadapan dengan iblis tingkat atas Bintang Pertama. Wanita ini terus saja memanggil namamu, Antonio. Kenapa kira-kira?"
Mira mendengar ucapan Amadeus di dalam hening. Ia menoleh kepada Antonio dan Muezza. Di tengah-tengah jarum detik yang sedang berusaha menambahkan dirinya, Mira merasa waktu melambat. Ia menggenggam mata Gibran kuat-kuat, mengarahkannya pada Antonio dan Muezza. Mira melihat, mereka berdua akan memasang kuda-kuda dan Amadeus menjadi marah. Dengan cepat, Mira berlari ke hadapan mereka berdua untuk mencegahnya.
"Jangan pasang kuda-kuda menyerang," ujarnya. "Aku melihat citra masa depan dari kekuatan ini."
Antonio berkata, "Aku tidak mengerti bagaimana caramu melakukannya."
"Mata ini, Eclipse, memberiku kemampuan untuk mengulang waktu sekaligus melihat masa depan."
Amadeus baru menyadari kehadiran Mira. "Apa yang kaulakukan di sini, Putri?" Wajahnya tampak mengerut, seakan seluruh kepingan di dalam kepalanya bertabrakan satu sama lain, membentuk kontradiksi yang absolut. "Benang takdir membawa Antonio, Muezza, Ludwig, dan Julietta kemari. Tapi kenapa kau juga datang?"
Batin Mira berkecamuk. Amadeus pasti membaca masa depan dengan kekuatan matanya, Indigo Night. Antonio pernah bercerita padaku tentang kekuatan itu. Mata itu adalah milik kakaknya, Wolfgang Randolf. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Ludwig sudah mati, mungkin sebelum pukul 23. Julietta tampak lusuh dan berantakan. Mereka mungkin sudah bertarung dengan Amadeus di tempat ini sejak lebih dari satu jam yang lalu. Kalau begini kondisinya, mustahil bagiku menyelamatkan Antonio dan Muezza.
Semua orang di tanah gersang itu diam. Amadeus tidak menyukainya. Ia segera mengambil belati dari sakunya, kemudian menggorok leher Julietta. Kini ia menghunus pedangnya, melesat ke arah Antonio, Mira, dan Muezza. Pedangnya berayun, menebas tubuh Muezza, lalu dengan cepat menusuk dada Antonio.
Mira yang melompat ke belakang hanya terbelalak. Ia diam dan bergidik, darah menciprat wajahnya, tetapi terus mengarahkan mata Gibran pada peristiwa itu. Di sana, ia bisa melihat Antonio dan Amadeus terseret ke dalam sebuah tempat di mana seluruh alam semesta bertemu. Pada awalnya, Mira tidak dapat mencernanya. Beberapa saat kemudian, ia akhirnya paham, peristiwa itulah yang terjadi pada garis waktu yang asli sebelum ia melakukan pengulangan waktu.
Peristiwa munculnya Amadeus di lautan orang depan gedung utama pengungsian sudah Mira ketahui asal-usulnya, dan semua itu terjadi dalam rentang waktu satu jam dua puluh lima menit:
1. Antonio dan Muezza terseret masuk ke dalam semesta di mana Amadeus, Ludwig, dan Julietta berada (23.50).
2. Ludwig sudah mati, tidak bisa diselamatkan (kurang-lebih sudah bertarung melawan Amadeus sebelum pukul 23.00).
3. Antonio terpisah dari Muezza dan Julietta; Amadeus ikut bersama Antonio (00.00).
4. Antonio bertarung melawan Amadeus di puluhan semesta yang berbeda, Antonio mati (00.00 – 01.00)
5. Julietta belum mati, hanya terluka parah karena dilempar ke pohon; Muezza mencoba menyembuhkan lukanya (00.00 – 01.00).
7. Amadeus kembali ke semesta tempat Muezza dan Julietta berada lalu membunuh mereka (01.00 – 01.15)
8. Amadeus memenggal kepala Antonio, Muezza, Ludwig, dan Julietta, kemudian membawanya ke gedung utama pengungsian (01.15).
Catatan Penulis: tulisan yang ditebali memiliki arti bahwa peristiwa tersebut tidak dapat diubah.
Mira mengatupkan bibirnya dan menelan ludah. Ia menatap Amadeus dengan serius, membiarkan kepalanya fokus mentransfer energi ke mata Gibran. Ketika mata Gibran menyala perak dan segala peristiwa di sekitarnya mundur ke belakang, Mira tahu bahwa ia harus memenuhi tujuan barunya: mencegah Antonio dan Muezza terseret masuk ke semesta lain.
***
[PERCOBAAN KEDUA PENGULANGAN WAKTU]
30 Desember 1504.
Pukul 23.00
Mira dengan cepat keluar dari barisan. Ia merampas dayung Vin dan terbang menjauh tanpa memedulikan apa-apa. Asap membubung menghalangi pandangannya, bersama dengan tembakan anak panah dari para iblis tengkorak yang berkeliaran di jalan.
Tidak ada waktu untuk itu, batin Mira. Ia kemudian memanggil Nine Nine Nine Temples, memintanya untuk membuat sebuah meriam dengan daya ledak besar. Dibuatnya meriam itu dan ditaruhnya moncongnya membelakangi Mira. Ketika Mira berteriak, "Tembak!" maka meriam itu ditembakkan oleh Nine Nine Nine Temples. Sampan yang ditumpanginya melesat dua kali lebih cepat karena dorongan meriam. Mira menembus dinginnya udara malam itu, melewati bangunan dan gang kota, sampai akhirnya bertemu kembali dengan Antonio dan Muezza.
Tanpa basa-basi, Mira menjelaskan segala sesuatunya sama seperti sebelumnya. Ia terus berbicara ketika Antonio dan Muezza berusaha memotong, menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana cara mengatasi situasi ini. Pada akhirnya, Antonio dan Muezza terpaksa percaya karena mereka melihat ketidakmasukakalan berupa mata yang digenggam oleh Mira ketika gadis itu membual tentang pengulangan waktu.
Tiga puluh menit telah berlalu. Antonio, Mira, dan Muezza melayang dengan sampan kecil menuju bagian barat kota. Memasuki kawasan pasar rakyat, Mira dapat melihat segerombolan iblis hibrida berkepala kambing menjinjing kepala-kepala manusia yang mereka bunuh tidak jauh dari sana. Api unggun dinyalakan dengan tangan dan kaki manusia sebagai kayu bakarnya. Masih ada beberapa orang yang terjebak di kawasan barat, dan hati Mira terjeblos ke dalam dilema. Mengingat bahwa ia tak punya banyak waktu, dayungnya ia dorong semakin ke depan, bersamaan dengan meriam yang kembali ditembakkan. Sampan itu melesat lebih kencang sekali lagi. Mira meminta obor kepada Nine Nine Nine Temples; mereka bertiga masuk ke dalam saluran air bawah tanah.
"Lembap," keluh Muezza yang tenggelam di dalam genangan air sambil membakar lumut-lumut yang ada di dinding tempat itu dengan tongkatnya.
Sementara Antonio mengikuti Mira dari belakang dengan kebingungan, menuntut penjelasan. "Kenapa kau membawa kami ke sini?"
"Diam. Ikuti saja aku. Kita harus melangkah sejauh mungkin dari Jalan Abelard."
Derap langkah kaki iblis terdengar dari atas. Tempat itu bergetar, kerikil berjatuhan dengan pelan. Mira menyalakan obor yang digantung di dinding tempat itu. Agak lama karena lembap, tetapi akhirnya berhasil. Mereka kembali melanjutkan perjalanan melewati lorong yang berkelok-kelok dengan beberapa pintu besi yang koyak.
"Apakah ada alasan kenapa kami tidak boleh pergi ke Jalan Abelard?" tanya Antonio.
Mira berusaha menjawab, tetapi gemuruh di luar menutupi suaranya. Ketika suasananya menjadi sedikit kondusif, barulah ia berkata, "Sudah kubilang tadi, kalian berdua diseret oleh Amadeus masuk ke dalam arenanya. Di sana kalian akan dibunuh. Maka dari itu, kita harus lari sejauh yang kita bisa dari jalan itu."
"Dan kau yakin dengan mengubah masa kini kau dapat mengubah masa depan?"
"Tentu saja. Seratus persen. Kalian berdua berada di dalam lorong saluran air ini saja adalah bukti bahwa masa depan sudah berubah. Tapi di sisi lain, aku membiarkan Ludwig mati, dan mungkin Julietta juga. Aku masih harus mengulang waktu lagi sampai menemukan pola yang sempurna."
Para iblis di atas terdengar sedang melantunkan pujian menggunakan bahasa kuno. Antonio, Mira, dan Muezza yang menyadari itu lantas melambatkan langkah mereka di dalam air agar tidak mengusik telinga para iblis dan membongkar pelarian bawah tanah mereka. Sesaat setelah pujian-pujian itu selesai berkumandang, sebuah suara datang dari langit. Awalnya, suara itu terdengar seperti bunyi angin berembus, lama-kelamaan berubah menjadi bunyi angin dibelah, siut, yang melebur menjadi letusan gunung berapi.
Antonio, Mira, dan Muezza panik. Tidak sempat mengambil posisi, dentuman superkeras terjadi. Tanah bergetar hebat, mereka bertiga terlempar dan menabrak tangit-langit, tersungkur di dalam genangan air. Antonio terbangun dengan terbatuk-batuk, sementara Mira berdiri sempoyongan, mengusap wajahnya dan muntah di ujung lorong.
"Kau tidak apa-apa, Mira?"
"Airnya masuk ke dalam mulut dan lubang hidung—HOEK!"
Muezza yang basah kuyup bergumam dengan geram, "Manusia lemah sekali, meow."
"Apa-apaan itu tadi? Seperti ada meteor yang jatuh membentur tanah."
Antonio yang masih merangkul Mira mengangkat pandangannya ke celah dari penutup lubang saluran air itu. Cahaya bulan menembus dari sana, dan tidak terdengar apa-apa lagi kecuali suara asap yang mengepul ke atas langit.
"Apakah ada sesuatu yang terjadi?" tanya Antonio. "Atau itu tadi cuma perasaan kita saja?"
Tiba-tiba penutup saluran air itu diangkat. Cahaya bulan menyeruak masuk. Antonio mendelik heran, Mira mengangkat kepalanya bersiap, sementara Muezza menodongkan tongkatnya pada lubang itu. Muncullah sebuah kepala dari atas lubang, masuk dan menatap mereka bertiga dengan mata melotot—tidak berkedip sekalipun.
"Amadeus?" tanya sosok itu dengan nada penasaran dan wajah polos. "Kalian tadi bilang Amadeus?"
Antonio terpaku sebab yang ia lihat di lubang itu adalah putrinya sendiri. "Cleopatra?"
Cleopatra masuk ke dalam saluran air itu, mendarat di atas genangan air yang berkecipak ke mana-mana. "Aku bukan Cleopatra. Pangil aku sang Kesatria Wanita Legendaris, Lady Camelia."
Sontak Antonio, Mira, dan Muezza terdiam. Mira berjalan mundur, berpegangan pada punggung Antonio; Muezza berjalan jinjit melewati Cleopatra, menghampiri Antonio dan berlindung di balik kakinya. Mereka bertiga panik, bingung, dan takut melihat Cleopatra yang ada di depan mereka adalah wadah dari jiwa pendekar pedang manusia terkuat sepanjang masa, Lady Camelia.
Antonio menelan ludah, melindungi Mira dan Muezza. Ia berjalan mundur, menanggapi Cleopatra yang terus melangkah kepadanya sambil menyodorkan pertanyaan yang sama: "Kalian tadi bilang Amadeus?"
"Ada urusan apa kau dengan Amadeus, Lady Camelia?" Antonio memberanikan diri bertanya.
"Dia adalah pemimpin dari kebangkitan Regulus. Aku harus membunuhnya."
"Bagaimana caranya?"
"Caranya? Um .... Caranya ... tentu saja dengan memenggal kepalanya!"
Mendengar nada bicara Cleopatra, Antonio berkata di dalam hatinya, Tidak salah lagi. Lady Camelia benar-benar berada di tubuhnya. Di dalam kisahnya, gadis itu adalah gadis yang polos dan naif, tetapi kekuatannya begitu luar biasa. Aku tidak menyangka. Ternyata penyakit yang selama ini diderita oleh Cleopatra adalah kutukan berupa jiwa Lady Camelia yang masuk ke dalam tubuhnya.
"Oh, tangan itu!" Cleopatra memecah keheningan, menunjuk tangan Antonio. "Golden Touch, Vitae terkuat yang pernah kami berempat ciptakan! Dari mana kau mendapatkan itu?"
Antonio menarik tangannya, menghunus pedangnya. Mira dan Muezza menahannya agar tidak terbawa emosi. Ketika Cleopatra maju dan mulai mengayunkan pedangnya, Antonio spontan menangkis. Kaki mereka bergerak dengan serasi; pedang mereka berjumpa. Antonio berpikir pertarungan akan berlanjut, tetapi tiba-tiba saja tangan kanannya terpotong. Sekelebat mata. Tidak. Itu lebih cepat dari sekelebat mata.
Cleopatra menurunkan tubuhnya, meliuk melalui kaki Antonio, keluar dari balik Mira dan Muezza, lalu memenggal tangan emas itu. Ia menggenggam tangan emas itu, bersamaan dengan kedua tangannya yang berubah menjadi emas. Setelahnya, ia menusukkan jari-jemari itu ke dalam dadanya. Percikan emas menyebar ke mana-mana. Cahaya terang menyeruak. Antonio terjatuh sambil mengerang kesakitan; Mira dan Muezza tidak tahu apa yang harus mereka perbuat.
Saat cahaya emas itu mereda, Cleopatra tersenyum. "Terima kasih, Ayah." Ia menghilang lewat portal berwarna emas, berbeda dengan kepunyaan Amadeus.
"Sial!" rintih Antonio. "Gerbang antarsemesta pasti ada di dalam jiwa Cleopatra! Itu berfungsi seperti gerbang di hutan timur Wenfri ...."
Antonio yang tadi berdiri tegap kini tergeletak dengan tidak berdaya. Muezza lantas menempelkan kristal hijau di ujung tongkatnya pada tangan kanan Antonio.
Semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Mira yang tidak bisa berbuat apa-apa hanya terdiam menatap langit-langit yang penuh dengan lumut dan jamur. Ia menaiki lubang saluran air itu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di atas sana. Ketika kepalanya menoleh, didapatinya pemandangan yang mengerikan.
"Katastrofe," ucapnya, melihat sebuah retakan besar seperti jurang terbentuk di kawasan pasar rakyat. "Ini adalah kekuatan Lady Camelia."
Dengan demikian, skenario baru terbentuk di dalam kepala Mira:
1. Antonio, Mira, dan Muezza tidak terseret masuk ke dalam semesta di mana Amadeus, Ludwig, dan Julietta berada (23.50).
2. Di semesta lain, Ludwig sudah mati dan tidak bisa diselamatkan, kemungkinan besar Julietta juga (kurang-lebih sudah bertarung melawan Amadeus sebelum pukul 23.00).
3. Cleopatra (Lady Camelia) berada di kota bagian barat, membasmi para iblis dan mencari Amadeus (sebelum pukul 00.00)
3. Antonio, Mira, dan Muezza berada di saluran air bawah tanah, bertemu dengan Cleopatra (00.00).
4. Tangan Antonio dipotong oleh Cleopatra, dan Cleopatra pergi ke semesta lain dengan portal yang dibuka menggunakan Golden Touch (00.15).
Catatan Penulis: tulisan yang ditebali memiliki arti bahwa peristiwa tersebut tidak dapat diubah.
Sebelum memfokuskan energinya pada mata Gibran untuk kembali mengulang waktu, Mira sempat berpikir tentang tujuan barunya: bekerja sama dengan Cleopatra untuk membunuh Amadeus di semesta tempat Ludwig dan Julietta berada.
***
[PERCOBAAN KETIGA PENGULANGAN WAKTU]
30 Desember 1504.
Pukul 23.00
Dengan pikiran dan ingatan yang sama tentang masa depan, Mira bereaksi tanpa basa-basi. Akan tetapi, untuk dapat menyukseskan rencananya kali ini ia membutuhkan satu orang.
"Ikutlah denganku, Vin. Aku akan menceritakan semuanya di jalan."
Vin membuat satu sampan untuk Mira dan terbang bersamanya menuju radius dua kilometer istana. Ketika di kejauhan terlihat Antonio dan Muezza sedang menunggangi kudanya, Vin segera bermanuver melalui samping hingga hampir menyentuh tanah, dan menjegal kuda itu. Antonio dan Muezza terjatuh. Vin mengangkut Muezza; Mira mengangkut Antonio. Dengan cepat mereka berempat sudah berada di atas sampan, terbang menuju bagian barat kota.
"Kalian berdua gila!" bentak Antonio. Kaki kirinya terluka. Dadanya kembang kempis karena ia masih syok dengan kejadian barusan.
Mira sedikit melirik pria itu, sementara tangannya fokus pada dayungnya. "Tolong percayalah padaku. Aku bisa mengulang waktu. Aku sudah melihat masa depan dan sekarang aku sedang berusaha untuk mengubahnya. Makanya semuanya tampak terburu-buru."
"Apa maksudmu?" Antonio menaikkan sebelah alisnya.
"Sudah. Jangan banyak bertanya. Percayalah saja kepadaku."
Tiga puluh menit hampir berlalu. Antonio, Mira, Vin, dan Muezza memasuki kawasan pasar rakyat. Dari atas tampak segerombolan iblis hibrida berkepala kambing menjinjing kepala-kepala manusia yang mereka bunuh tidak jauh dari sana. Api unggun dinyalakan dengan tangan dan kaki manusia sebagai kayu bakarnya. Masih ada beberapa orang yang terjebak di kawasan barat, dan belajar dari pengulangan sebelumnya, Mira dan yang lainnya harus tetap berada di atas tanah untuk dapat bertemu dengan Cleopatra lebih cepat.
Sampan Mira mendarat. Ia dan Antonio menghunus pedang, bertarung bersama untuk menebas kepala-kepala iblis itu. Nine Nine Nine Temples membuat meriam dan menembakkannya. Vin masih terbang di atas, bersama Muezza yang menembakkan proyektil sihir dari tongkatnya.
Pertarungan itu selesai lebih cepat daripada yang Mira perkirakan. Antonio mengamuk mengeluarkan kekuatan penuhnya, menari di sana berlumuran darah. Pria itu terus-menerus menggunakan kekuatan teleportasi dan cambuk emasnya untuk dapat membasmi iblis-iblis itu dengan cepat. Mira tidak dapat memercayainya. Antonio menuruti ucapannya meski berdasar pada asumsi belaka. Melihat itu, ia pun tidak tinggal diam dan ikut dalam tarian pedang Antonio—berguling, melompat, mengayun, dan menebas. Darah menyembur ke mana-mana, mematikan api unggun di tengah-tengah mereka.
Cleopatra turun setelah melayang cukup lama di langit, melihat Amaryllis yang tengah membersihkan iblis di bagian barat kota yang seharusnya menjadi tugasnya. Ia memiringkan kepalanya karena bingung, dan karena itulah ia hanya diam dan melihat. Setelah membiarkan mereka semua menyelesaikan tugasnya, Cleopatra masuk dan bertanya dengan polos, "Apa yang kalian lakukan?"
Antonio tersentak, melompat karena terkejut.
Mira dengan cepat menggenggam kedua pundak Cleopatra, berkata kepadanya, "Bekerja samalah dengan kami. Kami juga ingin membunuh Amadeus."
Cleopatra terdiam.
"Tolong bantu kami, Lady Camelia." Mira mengoreksi ucapannya sambil membungkuk di hadapan gadis itu.
Antonio yang syok bertanya dengan terbata-bata, "La-Lady Camelia?"
"Benar sekali. Aku adalah Lady Camelia yang Agung, salah satu kesatria wanita legendaris dari The Four Ladies. Jiwaku sedang berada di dalam tubuh gadis ini, dan tujuanku sekarang adalah mencari Amadeus dan membunuhnya. Kalau aku boleh bertanya, kenapa kau meminta tolong bantuanku, Nona?"
"Yang Mulia Lady Camelia, aku bisa mengulang waktu. Dan dari apa yang aku lihat, rupanya semuanya mengarah pada satu titik yang sama, yaitu Amadeus. Dengan bantuan Vitae milik pria ini, kita bisa melintasi ruang dan waktu, lalu melawan Amadeus bersama-sama."
"Oh, tangan itu!" Cleopatra menunjuk tangan Antonio. "Golden Touch, Vitae terkuat yang pernah kami berempat ciptakan! Dari mana kau mendapatkan itu?"
Antonio masih terdiam, sementara Mira yang berada di sampingnya tampak mendelik sambil memaksa Antonio untuk menjawab demi mengubah masa depan.
"Aku mendapatkannya dari rumah Dionysus di sebuah pulau di tengah danau, Yang Mulia ...."
Mata Cleopatra berbinar-binar. "Dionysus? Wah, tidak dapat dipercaya! Siapa dia?"
"Kita tidak punya banyak waktu lagi, Yang Mulia," potong Mira dengan tegas. "Antonio akan menusukkan tangannya ke dalam dadamu untuk membuka portal emas."
"Baiklah, lakukan saja!"
Cleopatra menyibak jubahnya, Antonio berdiri dan mempersiapkan tangannya tepat di depan dada putrinya itu. Mira meletakkan telapak tangannya pada pundak Cleopatra dan diikuti oleh Vin dan Muezza yang baru saja mendarat di tanah.
Antonio mendorong jari-jemarinya perlahan-lahan menusuk dada putrinya. Tentu saja yang keluar dari sana adalah darah. Cleopatra berteriak dengan sangat keras, dan itu menggema ke seluruh gang di bagian barat kota. Mata gadis itu berubah emas, begitu pula dengan sigil pedang di pelipis kirinya. Suara pemantikan dapat terdengar. Rupanya itu adalah percikan emas. Cahaya terang menyeruak, disusul udara yang pecah dan retak, diakhiri dengan munculnya sebuah portal emas.
Antonio hampir menangis ketika melihat putrinya berteriak kesakitan, tetapi ia menahan itu demi kepentingan bersama. Di saat mereka berlima sudah terhubung antara satu dengan yang lain, portal emas itu tertutup, membawa mereka kepada Amadeus.
Mereka ditabrak langit sampai terbenam ke tanah, lanjut melewati bebatuan yang kemudian membawa mereka melintasi pilar-pilar pada gedung-gedung di pinggir jalan. Kaca-kaca terbuka seperti pintu, memperbolehkan mereka masuk lewat jendela pada ruangan-ruangan gelap yang berputar tanpa arah. Mereka jatuh, tetapi ke depan. Ke depan dengan cepat sekali, seperti didorong oleh kereta kuda melewati ruang-ruang sepi, ramai, sedih, dan senang. Pada akhirnya ketika mereka menabrak rak buku, halaman-halaman kusam membawa mereka pada lautan tinta yang menenggelamkan mereka dan mencabut alur napas mereka. Ikan-ikan mencabik pakaian mereka dan menarik mereka melewati gua-gua, lembah-lembah, jurang-jurang, dan pegunungan. Napas mereka habis, dan lautan tinta ditorehkan pada sebuah tanah gersang dengan langit cokelat yang kosong. Burung-burung hitam terbang dengan hening, hanya ada bulan dan beberapa pohon gundul di sana.
Di kejauhan, Amadeus sedang menjambak rambut Julietta. Wanita itu tampak kesulitan melepaskannya; matanya bengkak oleh air mata. Di sisi lain, Ludwig terkapar. Darah mengalir dari lehernya yang digorok oleh pedang. Wajahnya pucat, sinar matanya mati.
"Tolong aku ...," pinta Julietta.
Amadeus semakin kuat menjambak rambut wanita itu; ia menggenggam relik kubus suci di tangan kirinya. "Kenapa kalian semua ada di sini?!" teriaknya geram.
Amadeus tidak berkata soal Ludwig dan Julietta yang tiba-tiba berlari kepadanya untuk menghapus ingatannya; Antonio dan Muezza tidak memasang kuda-kuda menyerang. Menyadari kondisi itu, Mira membatin, Inilah masa depan yang paling sempurna!
"Apa yang kaulakukan di sini, Putri?" Amadeus menatap Mira dengan kesal. Wajahnya tampak mengerut, seakan seluruh kepingan di dalam kepalanya bertabrakan satu sama lain, membentuk kontradiksi yang absolut. "Benang takdir membawa Antonio, Muezza, Ludwig, dan Julietta kemari. Tapi kenapa kau dan Lady Camelia juga datang?!" Suaranya berubah serak, seperti gentar—ketakutan.
"Mungkin benang takdirmu salah masuk lubang, Amadeus."
Mira memanggil Nine Nine Nine Temples, memerintahkannya untuk membuat puluhan meriam dan memasangnya mengerubungi Amadeus. Lady Camelia mengambil alih tubuh Cleopatra secara penuh; sayap putih mencuat keluar dari punggung gadis itu, membuatnya terbang tinggi sambil mengangkat pedangnya. Antonio menggigit tutup botol racun iblis tingkat atasnya, mengoleskannya secara menyeluruh ke pedangnya. Vin mengentakkan dayungnya, membuat sebuah sampan. Muezza naik ke sampan itu, memfokuskan energinya pada kristal di ujung tongkat sihirnya.
Mira menutup helm zirahnya dan berteriak, "SERANG!!!" sambil memimpin.
Bom ikat dilempar, meledak di kaki Amadeus. Pria itu lantas melepaskan rambut Julietta dan membantingnya ke sebuah pohon sampai ambruk.
Amadeus menghunus pedangnya dengan gesit, menahan serangan Antonio. Satu lawan satu. Antonio menarik belati dari balik saku punggungnya, mengasah pedangnya—terlumas racun—dan menusukannya pada leher Amadeus. Amadeus menjerit, kepalanya semakin miring dan tubuhnya ambruk. Mira berlari dari kiri, melompat, menghunjamkan pedangnya tepat ke dada Amadeus.
Amadeus menggenggam kalungnya, berteleportasi. Ia muncul dari langit, menghunjamkan pedangnya. Antonio dan Mira berbalik dengan cepat, mengayun-menahan dengan arah yang berbeda. Antonio ke kanan, Mira ke kiri. Benturan keras terjadi, dan itu membuat Amadeus kembali membuka portalnya untuk kabur.
Vin terbang di atas langit bersama Muezza, memantau pertarungan. Dari atas mereka berteriak, "Hati-hati! Amadeus menghilang!" Dan pada saat yang bersamaan Amadeus muncul di atas sampan mereka.
Vin menunduk, Muezza menembakkan proyektil sihirnya. Serangan itu mengenai dada Amadeus, tetapi belum cukup. Amadeus maju, mengayunkan pedangnya pada Muezza. Vin bergegas mengangkat dayungnya, menahan pedang Amadeus.
"Kau terlihat keren untuk ukuran seekor iblis," celetuk Vin dengan wajah ketakutan.
"Dan kau terlihat keren untuk ukuran seorang mayat," balas Amadeus. Ia melepaskan pedangnya dan mengayunkannya.
Vin bergerak dengan cepat menanggapi serangan itu. Ia belajar banyak dari Antonio soal pertarungan jarak dekat satu lawan satu dan bagaimana caranya melawan musuh yang memiliki senjata yang berbeda darinya. Dengan dayungnya, Vin tidak hanya mengayun, tetapi juga memutar otak. Ia gunakan ujung dayungnya yang sengaja ia buat runcing itu untuk menggores wajah Amadeus, dan ketika Amadeus merasakan nyeri, ia akan menggunakan bagian bawahnya yang lebar untuk menghantam kemaluannya.
Amadeus meringis, tetapi hanya untuk membuat Vin puas. "Aku tidak punya kemaluan seperti kalian, manusia." Ketika ia melempar pedangnya dan menggunakan cakar untuk melawan, proyektil-proyektil sihir kembali datang menghujani dadanya.
Amadeus menggelepar seperti ikan yang kehabisan air. Ia cepat-cepat berdiri, tetapi dayung Vin sudah berada di lehernya. Muak dipermainkan, Amadeus menusuk dada kiri Vin dengan cakar panjangnya. Muntahan darah dapat terdengar, begitu pula teriakan histeris Muezza.
Antonio dan Mira yang melihat dari bawah tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka terus saja menyulut meriam-meriam itu dan menembakkannya ke atas. Ketika bola-bola meriam itu mengenai sampan sampai hancur, Amadeus jatuh ke tanah. Pria itu mengangkat tubuh Vin yang sudah tidak bernyawa dengan tangan kanannya, sementara Muezza yang terluka parah dengan tangan kirinya. Ia melemparkan keduanya secara bersamaan seperti batu yang kemudian menggelinding di atas tanah.
"Fokus, Antonio!" Mira menguatkan dirinya, tetap menggenggam pedang, lalu maju menghampiri Amadeus.
Antonio, di sisi lain, termenung. Seluruh organ tubuhnya terasa jatuh ketika melihat dada Vin yang berlubang. Tubuh sahabatnya itu sudah tidak bergerak ketika ia berlari ke sana dan mengguncangkannya dengan hebat. Kedua mata Vin masih terbuka, dari mulutnya mengalir darah.
"Vin, bangun! Kami butuh sampanmu!" Antonio masih mengguncangkan tubuh Vin, dan Vin tidak meresponsnya sama sekali.
Antonio menelentangkan tubuh Vin. Ia memompa dada sahabatnya itu sekuat tenaga, terus berteriak kepadanya untuk membangungkannya. Ketika itu tidak berhasil, ia memberikan napas buatan lewat mulut Vin. Darah dari mulut Vin berkelindan dengan mulut Antonio. Masih tidak ada hasil, tetapi Antonio belum menyerah. Ia kembali memompa dada Vin, lalu memberinya napas buatan. Itu dilakukannya berkali-kali sampai ia melihat Mira terlempar dari kejauhan, tersungkur di dekatnya dengan tubuh berdarah-darah.
"Sadar, Antonio!" teriak Mira dengan tangis. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berdiri. "Vin sudah mati!"
Mira berdiri, menerima hantaman pedang Amadeus. Sang iblis tingkat atas Bintang Pertama itu berdiri tanpa gemetar sedikit pun. Rasa takut yang tadi menyeruak di dalam dirinya kini menghilang. Ia sadar, dirinya jauh lebih kuat dibandingkan manusia.
"Sayangnya sahabatmu itu tidak sempat mengimani Regulus sebagai tuan dan penyelamat di akhir hidupnya."
Ucapan Amadeus membuat Antonio marah. Antonio mengangkat pedangnya, mengayunkannya dengan kekuatan penuh untuk menebas kepala Amadeus. Kepala Amadeus terbang, mendarat dan berguling di tanah. Akan tetapi, pria itu belum mati. Ia masih membual, "Sembahlah Regulus!"
Seketika itu juga tanah bergetar. Sebuah suara datang dari langit. Awalnya, suara itu terdengar seperti bunyi angin berembus, lama-kelamaan berubah menjadi bunyi angin dibelah, siut, yang melebur menjadi letusan gunung berapi. Camelia menebaskan pedangnya. Serangannya datang dalam bentuk energi masif yang membelah tanah, gunung, dan juga lautan. Pada momen itu, kepala Amadeus yang sudah terpenggal terbelah menjadi dua. Antonio dan Mira terpental jauh, begitu pula Vin, Muezza, dan Julietta.
Camelia mendarat di tanah. Ia berlari menghampiri Amadeus yang sedang berusaha meregenerasi tubuhnya. Belum sedetik Amadeus menyempurnakan kepalanya, Camelia kembali mengayunkan pedangnya untuk memotong bebatuan; kedua mata Amadeus hancur. Camelia kini mengayun ke atas; awan terbelah; tengkorak Amadeus tercerai-berai.
Di tengah pertarungan yang berat sebelah itu, Antonio terbangun dan menyadari kunci yang akan menjadi penentu pertarungan mereka. Berapa kali pun mereka memenggal kepala Amadeus, Amadeus tidak akan mati. Satu-satunya cara untuk membuatnya mati adalah menghapus ingatannya dengan relik kubus suci. Maka dari itu, Antonio bangkit. Ia menggenggam pedangnya; napasnya tersendat-sendat.
Mira juga bangkit, berdiri di samping Antonio. "Aku akan membantu Lady Camelia. Kau pergi ambil kubusnya."
Antonio mengangguk. Mereka berdua berpisah jalan.
Mira melompat dan menghunjamkan pedangnya. Amadeus menahan dengan tulang-tulangnya. Camelia sedikit mengendurkan serangan, membiarkan tubuh Amadeus beregenerasi agar ia bisa mendengar celoteh dari makhluk rendahan itu. Ketika mulut Amadeus kembali terbentuk, Camelia mengayunkan pedangnya dan itu menebas pohon-pohon gundul yang ada di sana. Langit dan tanah bergetar semakin intens; Mira terombang-ambing. Dengan bantuan Nine Nine Nine Temples, ia menciptakan tombak-tombak untuk membantunya berjalan ke arah Amadeus dan menebas kepalanya.
Antonio berhasil meraih relik kubus suci. Ia mendongak, menatap Mira dan Camelia yang masih bertarung dengan Amadeus. Akan berbahaya baginya untuk menghapus ingatan Amadeus di tengah-tengah pertarungan itu. Maka dari itu, Antonio menghampiri Julietta dan meminta bantuannya.
"Kendalikan jiwa mereka dengan Stairway to Heaven milikmu. Bawa mereka menjauh dari Amadeus."
"Kau gila, Antonio?" Julietta masih berusaha menutup lukanya.
"Aku minta tolong. Ini adalah kesempatan terakhir kita. Jika aku berhasil mendorong kubus ini ke dalam kepala Amadeus, kita akan menang."
Julietta terdiam sejenak sambil berpikir menatap pertarungan itu. Akhirnya, ia mengiyakan ucapan Antonio dan mulai menautkan kedua tangannya seperti orang berdoa. Tidak lama kemudian, Mira dan Camelia menarik pedang mereka dan lari menjauh dari Amadeus.
Arena pertarungan sudah kosong, menyisakan Antonio dan Amadeus saja. Keduanya saling berlari menuju satu sama lain untuk serangan terakhir. Ketika Amadeus mengayunkan pedangnya sambil menggenggam kalungnya, Antonio menusukkan pedangnya ke dada Amadeus dan menarik kalung itu sampai terlepas dari lehernya. Kemudian, Antonio bergerak dengan cepat untuk meletakkan Moonlight Sonata di pelipis Amadeus. Antonio mendorongnya masuk, menggesernya seperti sedang menggeser pintu dan mengeluarkannya dari kepala Amadeus. Proses itu terjadi cepat sekali, tidak sampai lima detik.
Amadeus tersungkur. Antonio menjadi orang terakhir yang berdiri di arena pertarungan. Langit cokelat semesta itu berubah biru, dan bulan yang tadi menyala kini tertidur digantikan matahari.
Antonio bertanya kepada dirinya sendiri, "Apakah kita sudah menang?"
Amadeus menjawab dengan suara yang lemah, "Suatu hari nanti, Golden Touch akan menyempurnakan Requiem milikku ...."
Tebasan datang dari kejauhan. Itu adalah Camelia. Kepala Amadeus terpisah dari badannya—darah menciprat pakaian Antonio—dan kali ini ia tidak berbicara lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top