Chapter 52 - Requiem in D Minor, K. 626

Sunyi.

Langit di tempat itu memiliki warna yang tidak pernah ada sebelumnya. Suasananya mencekam, tetapi megah. Antonio dan Amadeus bergerak seperti butiran debu di rumah para raksasa itu. Bahkan butiran-butiran debu yang pecah sekalipun dapat membentuk planet-planet dan bulan-bulan yang mengelilingi bintang. Monster raksasa dengan banyak tentakel mondar-mandir seperti ikan merapikan seluruh alam semesta yang melebar dan berputar di sana.

Di dalam kesunyian, pada langkah kaki di batu-batu melayang, Antonio bertanya, "Kau pernah kemari?"

Amadeus menggeleng. "Jika aku pernah kemari, aku tidak mungkin terlihat kebingungan seperti ini."

"Sebenarnya tempat apa ini? Luas sekali. Aku tidak bisa melihat ujungnya."

"Sepertinya ini adalah tempat di mana seluruh alam semesta bertemu. Lorong multisemesta."

Tidak sebagai musuh, dua pria itu berjalan bersama di dalam kedamaian. Mereka melihat bola-bola penuh dengan galaksi beterbangan ke sana kemari, diselimuti oleh apa yang mereka asumsikan sebagai asap—warnanya cerah, geraknya cepat sebagaimana asap tertiup angin. Asap tersebut mengikat setiap bola semesta yang ada, menarik mereka dan menabrakkan mereka. Pada sebuah lingkaran berukuran besar yang terletak di tengah-tengah tempat itu, Antonio dan Amadeus dapat melihat monster raksasa tadi masuk, bola-bola semesta digiring ke sana bagai sel sperma yang berusaha menembus sel telur.

Lingkaran tersebut pecah. Lorong itu menyala terang seluruhnya. Pada momen itu, Antonio dan Amadeus menatap langit dengan panik. Semua warna menghilang. Dentuman keras terjadi, menyebar ke segala penjuru seperti ledakan bom.

"Alam semesta baru sedang terbentuk," ucap Amadeus.

Langit yang putih berubah hitam. Monster tentakel kembali mengatur bola-bola semesta.

"Jadi ini benar-benar lorong multisemesta," ujar Antonio. "Tempat di mana semua alam semesta yang ada bertubrukan."

"Apakah kau melihatnya?" Amadeus menunjuk kejauhan, pada sebuah ranjang yang melayang.

"Aku melihatnya."

"Orang itu sedang bermimpi. Tidur adalah salah satu cara paling mudah untuk menabrakkan partikel jiwamu dengan dinding alam semesta. Kau merasa berada di alam fantasi ketika mimpimu terjadi, tetapi sesungguhnya itu adalah fenomena yang dialami dirimu di alam semesta yang lain. Setiap titik terkecil di alam semesta memiliki energinya masing-masing, dan itu bergerak dalam bentuk partikel yang tak tampak. Ketika partikel tersebut bertabrakan, akan muncul sebuah adegan di dalam pikiran manusia.

"Aku sudah merumuskan teori tentang multisemesta sejak lama sekali. Menurutku, alam semesta itu bertumpuk seperti halaman-halaman buku. Mereka akan saling menabrak satu sama lain di alam mimpi dan alam ketidaksadaran. Tapi sekarang, ketika aku melihat sendiri bentuk asli dari lorong multisemesta, dapat kukatakan bahwa alam semesta memang sudah bertabrakan sejak dulu, di alam dan kondisi mana pun. Vitae-ku tidak mampu menahannya lagi. Oleh karena itu, konjungsi antarsemesta terjadi. Benda-benda mulai muncul di semesta asal kita, pun dengan bangunan-bangunan yang berpindah tempat, bersama mimpi-mimpi aneh yang semakin intens menghantui."

Antonio tidak menghiraukan kata-kata Amadeus dan melihat dirinya sendiri di dalam mimpi itu. Ada sebuah kepingan mimpi di mana ia tampak duduk membelakangi meja makan; tangannya sibuk mengerjakan sesuatu. Karena penasaran, Antonio pun menghampirinya. Kakinya melangkah pada batu-batu melayang, melewati kepingan mimpi itu—menabrak—dan bersatu dengannya.

Antonio sedang mengepang rambut putrinya.

Antonio yang melihat itu menghampiri dirinya yang hidup pada tahun 2015 dengan tidak percaya, dan berkata kepadanya, "Apa yang kaulakukan? Bukan begitu cara mengepang rambut!" Antonio melepaskan tangan Antonio dari Cleopatra. Kemudian Antonio duduk, mengepang rambut gadis cilik itu. Ajaibnya, rambut gadis itu tidak berubah menjadi emas.

"Ayah, siapa dia?" tanya Cleopatra dengan polosnya.

Antonio menggigit bibir bawahnya sambil mengepang rambut putrinya dengan serius, sementara Antonio yang satunya lagi hanya bengong dengan kedua mata terbuka lebar.

Beberapa saat kemudian, turun dari lantai atas seorang wanita yang baju tidurnya tampak berantakan. Ia berteriak meminta penjelasan, "Kau tidak membangunkanku?"

Suara itu menusuk—merobek—gendang telinga Antonio, dalam sekali, hingga ia bisa merasakan nyeri menyeruak di dadanya. Jemarinya berhenti mengepang; air mata menetes perlahan. Ia menoleh tipis, dengan bibir gemetar dan suara parau. "Aline ...."

Aline yang masih berada di tangga mengusap kedua matanya. Ia mendelik menatap ruang makan. Karena masih belum dapat mencerna kondisi itu, ia turun dan mengusap kedua matanya sekali lagi. "SiapA kAu?!" teriaknya fals. Ia menatap suaminya, "Sayang, siapa pria yang mirip denganmu ini?!"

Antonio menjawab dengan tergagap-gagap, "A-aku tidak tahu. Si-siapa kau?!" tanyanya mengulangi kalimat istrinya.

Antonio mundur tanpa berkata-kata. Ia menabrak cermin hingga terjatuh dan pecah. Cleopatra yang melihat itu berteriak ketakutan. Gadis itu melepaskan tangan Antonio dengan paksa dari rambutnya dan berlindung di balik kaki Antonio yang lain. Dari raut wajahnya, dapat terdengar seruan "pergi".

"Keluarlah dari sana, Antonio!" teriak Amadeus dari luar kepingan mimpi itu. "Kau hanya akan mengacaukan alam semesta yang mereka tinggali."

"Maafkan aku." Terlihat panik dengan tatapan ketiga anggota Keluarga da Silva yang mengarah kepadanya, Antonio tidak bisa berkata banyak dan berlari keluar dari kepingan mimpi itu.

Antonio menoleh ke belakang, menatap Antonio, Aline, dan Cleopatra yang tampak kebingungan dengan kejadian barusan. Cleopatra menangis di pelukan ayahnya, sementara ibunya mengambil sapu untuk membersihkan pecahan cermin di lantai. Antonio mendongakkan kepalanya, menatap Amadeus.

"Partikel Golden Touch milikmulah yang membuatmu bisa melintasi kepingan mimpi itu."

"Aku tahu," Antonio terengah-engah, "aku tahu. Instingku menyuruhku untuk melangkah ke sana."

"Dan instingmu juga yang mengacaukan pagi hari keluarga kecil yang bahagia itu."

"Tapi itu adalah keluargaku!" Nada bicara Antonio meninggi, ia seperti tidak terima.

"Itu bukan keluargamu."

Ucapan Amadeus yang singkat dan padat membungkam mulut Antonio.

"Itu adalah keluargamu di semesta lain. Keluarga Antonio di semesta lain. Bukan dirimu, karena dirimu hanya ada di semesta kita. Setiap alam semesta eksis dengan kemungkinannya masing-masing dari skala yang paling besar sampai yang paling kecil. Dan dengan jumlah kemungkinan yang tidak terbatas itu, setiap mimpi, setiap kemustahilan, setiap harapan, dan setiap kekacauan ada pada kurun waktu yang berbeda-beda, tetapi terjadi pada waktu yang bersamaan. Tidak ada yang namanya masa depan atau masa lalu. Semua itu dikaburkan oleh manipulasi waktu yang diciptakan dari perjumpaan alam semesta pada lorong multisemesta.

"Multisemesta eksis bukan melalui alam fisik, melainkan alam astral. Itulah kenapa kita memiliki firasat, ide, bisikan, mimpi, kecemasan, pertanyaan, dan hal-hal lain yang sering hadir secara tiba-tiba ke dalam diri kita. Setiap hal di alam semesta terhubung satu sama lain, bahkan dengan alam semesta lain lewat dinding semesta tak kasatmata yang saling menabrakkan diri. Semua hal yang dapat kita pikirkan di dunia ini adalah nyata. Dunia nyata, dunia fiksi—semuanya nyata dan terhubung. Hanya saja, itu dipisahkan oleh alam semesta yang berbeda. Dan di setiap alam semesta yang berbeda itu, setiap titik di dalamnya adalah karakter utama bagi diri mereka sendiri, dengan tugas mereka sendiri, dan garis mereka sendiri."

Cahaya pada mata Antonio pudar; bibirnya terkatup. Ia menoleh pada kepingan mimpi itu sekali lagi, mengindra sebuah ruang makan di mana ada dirinya, istrinya, dan putrinya. "Adakah cara bagiku pergi ke semesta lain dan membayar semua dosaku?"

"Tidak ada. Kau bisa pergi ke semesta lain, tapi tidak dengan menebus dosamu. Kau hidup di semesta kita, dan hanya di semesta kitalah kau berpulang."

Antonio mengusap matanya yang berkaca-kaca—masih lekat pandangannya pada ruang makan itu. Tangannya perlahan-lahan menyentuh gagang pedangnya, menghunusnya dan menodongkannya kepada Amadeus. "Maka katakan padaku, bagaimana caraku menebus semua dosaku."

"Tidak ada."

"Apa maksudmu tidak ada?"

"Kau telah dikutuk oleh sentuhan emas sejak kau lahir, Antonio. Semua yang disentuh olehmu akan menjadi emas, akan mati. Hidupmu tidak akan pernah mencapai puncaknya karena sepatutnya kau tahu dari awal bahwa tidak semua yang berkilauan adalah emas. Kau adalah seorang pria yang ditakdirkan untuk gagal."

"Diam!" Antonio mengayunkan pedangnya, menebas dada Amadeus.

Amadeus menghunus pedangnya, menyerang. Benturan terjadi. Kaki mereka saling menyilang ketika pedang mereka bertemu. Antonio menghantam dada Amadeus dengan tinjunya, melempar pria itu sampai menabrak bebatuan dan hanyut di dalam rotasi alam semesta. Amadeus menghilang, Antonio mencarinya. Antonio berteleportasi dengan tangannya, menembus dinding bola semesta itu. Ia jatuh di atas pohon jamur raksasa ketika pedang Amadeus menusuk dari atas dengan kecepatan tinggi. Orang-orang yang berada di bawah pohon jamur itu melihat ke atas dengan kebingungan. Mereka berjalan mendekat, mulai memotret dengan kamera mereka. "Ada portal yang terbuka di atas langit!"

Sepersekian detik. Itu waktu yang dibutuhkan Antonio untuk menghindar. Ia mengandalkan insting bertarungnya, sekali lagi. Memutar kuda-kuda, Amadeus mendarat di atas pohon. Pedang Antonio berayun dan Amadeus menunduk. Amadeus menggenggam kalungnya tatkala tangannya berusaha meraih kaki Antonio, berniat membawanya pergi ke semesta lain. Antonio dengan cepat melompat, mengunci leher Amadeus dengan kedua kakinya dan menarik kalung Amadeus.

"Jangan lari."

Amadeus yang kehabisan napas lantas mencakar paha Antonio. Antonio berteriak, melepaskan kakinya dari leher Amadeus. Amadeus mengeluarkan taringnya, menggigit kaki Antonio; menggenggam tangan Antonio, dan portal kembali terbuka.

Antonio dan Amadeus terjun dari langit, jatuh di atas kapal terbang yang sedang berlabuh di dermaga pelabuhan langit pertama. Air terjun menghantam tubuh mereka, hasil dari olengnya kapal yang mereka tumpangi. Mereka berdua jatuh—basah kuyup—dan tergelincir ke dalam sebuah selokan yang membawa mereka ke laut.

Amadeus yang mengetahui bahwa ia sedang berada pada posisi yang tidak menguntungkan kemudian mematahkan tangannya dan melemparnya ke arah Antonio. Tangannya menggenggam leher Antonio sampai pria itu terjatuh. Antonio terbawa ke selokan sebelah kiri dan Amadeus terbawa ke selokan sebelah kanan; mereka berdua terpisah.

Ketika Antonio meremukkan tangan Amadeus yang menggenggam lehernya, Amadeus melesat dengan sayap hitamnya ke langit biru dan menukik menujunya. Ia menusukkan pedangnya seperti sebuah tombak. Meleset. Antonio menghindar pada detik-detik terakhir, menekukkan kesepuluh jarinya dan mendorongnya pada Amadeus.

Amadeus mengguncangkan kalungnya; portal kembali terbuka.

Di sebuah kota yang melayang di atas langit, orang-orang terbang dengan kaki mereka lewat naga-naga panjang yang membentang di seluruh penjuru kota. Gravitasi di kota itu berantakan, tergantung di mana kaki mereka menapak. Tidak ada atas, bawah, kanan, kiri, vertikal, horizontal, atau apa pun tentang itu. Sebab di tengah perjalanan, orang-orang akan saling mengatasi, membawahi, menganani, mengirii, memvertikali, dan menghorizontali satu sama lain tergantung bagaimana cara mereka memandang itu. Antonio jatuh pada sebuah api unggun di mana ada banyak sekali berandalan yang mengelilinginya.

Pelatuk-pelatuk ditarik; peluru-peluru melesat. Antonio menghindar; beberapa dari peluru itu ia tangkis menggunakan pedangnya. Ia mengeluarkan cambuk emasnya untuk mengikat orang-orang itu, yang kemudian memberinya ruang gerak untuk dapat menari dengan pedangnya—menebas mereka semua. "Maaf," kata Antonio sambil menyeka keringatnya. "Aku berharap, membunuh orang lain di semesta ini adalah perbuatan legal."

Sementara itu, Amadeus jatuh di atas naga yang sedang bergerak. Seorang remaja bertopeng yang terbang bersama anjingnya tiba-tiba datang menawarkan bantuan.

"Koyoesv theas ttaan?"

Amadeus mengernyitkan dahi, berkata, "Hah?" Akhirnya, ia berdiri dengan usahanya sendiri, membiarkan remaja dan anjingnya itu menunggunya. "Kenapa kalian masih ada di sini?"

Remaja dan anjingnya itu saling bertatapan, kemudian kembali menatap Amadeus. "Zhean de vriendeffrei ka?"

Amadeus terdiam, tidak memedulikan remaja itu. Ia justru terpana pada kondisi sekelilingnya. bangunan-bangunan modern berdiri melawan hukum fisika, pada kotak-kotak kekuatan yang memiliki gravitasinya masing-masing. Naga-naga yang hilir mudik di tempat itulah yang menjadi alat transportasi utama dari orang-orang yang tinggal di sana. Pada saat memperhatikan semua itu, Amadeus bertanya kepada dirinya sendiri, Apa yang terjadi kalau aku jatuh? Ke mana aku akan pergi?

Seketika itu juga pedang Antonio menembus dada Amadeus. Itu dilempar seperti sebuah bola meriam yang ditembakkan kepada tembok istana. Antonio berayun dengan cambuk emasnya pada tubuh naga itu. Amadeus geram, ia menggertakkan giginya, mengeluarkan pedang Antonio dari dadanya dan mengembalikannya kepada sang empunya. Pedang dilempar, Antonio menangkapnya tanpa kesulitan. Pada jarak dekat, pedang mereka bertemu kembali. Maju-mundur, mereka berdua bergerak dengan presisi. Ayunan pedang memenuhi ruang gerak mereka, tetapi mereka dapat saling menghindar. Keduanya mendorong pedang dengan keras sampai terdengar bunyi nyaring yang tak henti-henti mengalun bersama napas para naga yang melintas.

"Jangan bertarung di sini, Antonio," bisik Amadeus.

"Kau benar."

Antonio dan Amadeus tenggelam ke dasar laut. Cahaya matahari tiba-tiba menusuk tempat mereka berada, yang ternyata merupakan makam bagi para pahlawan kerajaan laut. Mereka mencoba melanjutkan pertarungan, tetapi napas mereka tidak terkejar. Hampir mati karena kehabisan napas, Amadeus mengguncangkan kalungnya dan Antonio menekukkan jarinya.

Mereka berdua jatuh di tengah-tengah medan perang. Gajah dan buaya raksasa mengentakkan kaki mereka untuk meremukkan prajurit manusia yang berusaha menghampiri mereka. Udaranya panas sekali di tempat itu. Matahari membara dari barat dan timur, ditambah lagi medan perang itu terletak di padang pasir. Antonio dan Amadeus kembali melintasi semesta.

Setelah 24 kali membuka portal, akhirnya mereka berdua menemukan tempat yang lenggang. Sebuah padang rumput, bermandikan cahaya matahari sore. Udara di sana normal, pun dengan awannya. Rumputnya berwarna hijau, pohonnya juga. Di situ mereka berdua tahu, semesta itu tidak jauh berbeda dengan semesta mereka berasal.

Pedang mereka kembali bertemu, tetapi kini keduanya sudah kehabisan tenaga. Rumput-rumput di sekitar mereka terpotong, membiarkan mereka menari lebih leluasa. Bulir keringat mereka jatuh, membasahi tanah yang lama tak disentuh hujan. Ketika kuda-kuda keduanya melemah, ayunan pedang pun menjadi ambyar.

Antonio menarik jubahnya untuk melemparkan bom ikat kepada Amadeus. Bom itu meledak, menghancurkan tangan kanan Amadeus yang belum teregenerasi dengan sempurna. Bom ikat yang lain ia apit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, didorong ke dalam mulut Amadeus. Amadeus tidak bereaksi dengan cepat, ia kelimpungan. Belum usai memfokuskan diri pada tangan kanannya, mulutnya meledak. Rahang bawahnya jatuh dan lidahnya yang panjang terjuntai dengan lemah.

"Inikah kekuatan Aldebaran?" tanya Antonio sambil menyilangkan pedangnya.

Amadeus berusaha berbicara, tetapi ia masih menunggu rahangnya beregenerasi. Melihat momen itu, Antonio maju dan memotong tangan kiri Amadeus, dilanjut kedua kakinya. Kini Amadeus terkapar di tanah, mengotori padang rumput yang hijau itu dengan merah darahnya. Pedang berada tepat di atas dada Amadeus—di atas kalungnya.

Antonio dengan cepat menusukkan pedangnya ke dada Amadeus, tetapi ia seketika berhenti. Sepasang tangan menariknya dari belakang, menjatuhkannya. Suara senapan yang dikokang dapat terdengar, dan setelah itu suara tembakan menggema ke seluruh padang rumput. Teriakan Antonio-lah yang menyusul kejadian itu, bersama burung-burung yang terbang ketakutan.

Pandangan Antonio yang buram mencoba mengindra sosok itu. Kepalanya berputar, telinganya berdenging, dan dadanya terlampau sakit karena ditembak. Tidak berselang lama setelah segala kekalutan itu terjadi, Antonio akhirnya dapat melihat siapa sosok yang tiba-tiba datang dan menghalanginya membunuh Amadeus. Itu adalah Amadeus sendiri.

Saat rahang bawah Amadeus teregenerasi sepenuhnya, ia pun berbicara, "Kau terlalu sesumbar." Ia berdiri dengan susah payah, menerima senapan dari Amadeus yang lain. "Ada kemungkinan tidak terbatas ketika kita berbicara soal multisemesta. Bahkan hal-hal terkecil dan teraneh, seperti ada aku di semesta lain yang bekerja sebagai penggembala yang suka berpatroli ketika sore hari di padang rumput sambil membawa senapan."

Antonio bergeming, bergelut dengan dirinya sendiri. Darah tak henti-hentinya keluar dari dadanya.

"Kau mencari masalah dengan orang yang salah. Aku, Wolfgang Amadeus, adalah penguasa multisemesta. Kekuatan Golden Touch-mu yang belum sempurna itu tidak dapat menandingiku."

Amadeus menembak Antonio pada bagian perut. Pria itu mengerang hebat.

Sementara Amadeus sang penggembala bertanya dengan nada rendah, "Apakah aku melakukan hal yang benar?"

"Terima kasih sudah membantuku, tapi aku tak membutuhkanmu." Amadeus menembak kepala Amadeus sang penggembala. Pria bertopi jerami itu tersungkur dengan lubang di kepalanya. Tangan Amadeus yang sudah beregenerasi menggenggam pedang, memotong kedua tangan emas Antonio. "Aku sebenarnya tidak ingin membunuhmu," ujarnya, sambil mendengar rintihan Antonio. "Tapi kau begitu bebal. Kau begitu bodoh. Aku tidak menyukainya. Aku tidak suka caramu bicara. Aku tidak suka caramu bertarung. Aku tidak suka caramu berlari dari setiap percakapan kita. Aku adalah seorang pria yang baik hati. Lihatlah bagaimana aku mengangkat putrimu sebagai anakku ketika kau kabur darinya setelah membunuh semua anggota keluargaku. Aku merawat gadis itu dengan sepenuh hati sampai dia tumbuh dewasa. Aku memberinya kasih sayang yang tak dia dapatkan dari seorang ayah. Aku lebih mulia daripada manusia seperti dirimu, Antonio. Aku pikir, kau dilahirkan untuk menyempurnakanku sebagaimana Salieri diutus Tuhan untuk menyempurnakan Mozart. Dan sekarang, ketika tawaranku kau tolak mentah-mentah dengan perlawanan yang kuat, mungkin aku bukan lagi seorang pria yang baik hati. Vitae sekuat Golden Touch tidak pantas berada di dalam genggamanmu!"

Antonio terbaring tidak berdaya di sana, di bawah langit jingga di tengah rumput yang bergoyang, dengan luka tembak di dada dan perutnya, beserta kedua tangannya yang telah dipotong. Amadeus menarik pelatuknya, suara tembakan yang begitu keras dapat terdengar. Energi yang berputar di sekitar tiga pria itu adalah energi negatif yang meluap-luap, menimbulkan suhu yang panas. Akan tetapi, angin sore di padang rumput itu dengan cepat mengenyahkan semuanya.

Amadeus menyipitkan mata, memandang matahari yang tenggelam di antara dua gunung, seraya bergumam, "Misa Rekuiem menggema di telingaku .... Mereka bernyanyi untukmu, Antonio .... Sejuk sekali ...."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top