Chapter 5 - Anggota Ketiga
Menuruti ucapan resepsionis markas Old School, Antonio dan Vin berjalan menaiki kuda menuju pusat kota, tempat di mana air mancur dan stan pendaftaran berada. Di sepanjang perjalanan, mereka melihat begitu banyak orang telah bersiap dengan zirah dan senjata terbaik mereka; mereka berkumpul dalam kubu-kubu; mereka membentuk lingkaran untuk mendiskusikan strategi, seakan-akan besok terjadi perang.
"Antonio, apakah kita seterlambat itu masuk ke kota ini? Sepertinya semua orang sudah siap."
"Pendaftarannya baru akan ditutup tiga hari lagi. Tidak mungkin kita terlambat."
"Iya, itu .... Tapi kita tidak tahu apakah kuotanya masih tersisa, bukan?"
"Kita hanya perlu melangkah maju, Vin. Seorang pendekar pedang yang 'menjual' dirinya untuk tim-tim yang kekurangan anggota itu adalah bukti bahwa kuota pendaftarannya masih tersisa."
"Hei, dari tadi kau terlihat dingin sekali. Apa yang salah denganmu?"
Antonio melirik tajam. "Aku tidak pernah paham kenapa anak muda begitu banyak bicara. Bukan anak muda, kau lebih tepatnya."
"Tenanglah, aku hanya bercanda. Aku ragu, kau terlihat berbeda dibandingkan biasanya." Terus berjalan, tidak berselang lama setelah percakapan ringan itu, Vin melihat air mancur di kejauhan. Ia menunjuknya sambil berkata kepada Antonio dengan keras, "Wah, ramai sekali, ya! Sepertinya itu tempat yang kita tuju."
Mereka berdua akhirnya sampai di bundaran air mancur pusat kota setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan. Persiapan dari orang-orang tersebut yang sudah tergolong sangat siap menjadi serangan mental tersendiri baik itu untuk Antonio maupun Vin. Mereka berdua sama sekali belum melangkah ke mana-mana, masih nol, dan angka satu akan dimulai pada angka tiga, lebih tepatnya ketika mereka berhasil mendapatkan anggota ketiga untuk tim mereka.
"SEORANG GADIS?!" Vin dengan wajah acak-acakan berteriak sekencang-kencangnya melihat apa yang ada di hadapannya. Jelas saja ia kecewa, sebab setelah melalui perjuangan untuk masuk dari gerbang Edinvers, mencari markas guild untuk menjual hasil buruan, hingga sampai dan memarkirkan kuda di bundaran air mancur, ekspektasinya tidak terpenuhi.
Di dekat air mancur terdapat lingkaran tersendiri, disusun oleh puluhan orang yang mengelilingi sesosok gadis berparas cantik. Orang-orang itu bukanlah prajurit, hanya orang-orang biasa yang sedang menjaga gadis tersebut. Dia adalah seorang gadis berambut cokelat yang mengenakan penutup kepala. Alisnya tebal dan matanya lebar menembakkan sorot yang tajam. Ia berdiri di sana dengan tegap sambil tangannya menggenggam pedang, terlihat sangat percaya diri.
Vin geleng-geleng kepala. Tidak ada yang bisa diharapkan dari seorang pendekar pedang berkelamin perempuan, pikirnya. Apalagi gadis tersebut tampak terlalu cantik untuk seorang pendekar pedang. Pendekar pedang yang ada di dalam benak Vin adalah seorang pria berwajah garang dengan rambut gondrong, tubuh berotot, dan bersuara berat. Kurang-lebih begitulah Vin mendeskripsikan Antonio. Sementara gadis itu lebih cocok membaca buku di perpustakaan atau memasak di dapur.
Namun, Antonio memandang gadis tersebut dengan tatapan yang berbeda dari Vin. Ia melihat sesuatu padanya. Gadis itu tampak sudah berdiri di sana sejak lama. Orang-orang yang mengelilinginya seakan-akan berkata lewat tatapan mereka, "Siapa lagi yang ingin menantang wanita kami?" Terasa tidak masuk akal ada gadis secantik itu, yang terlihat seperti seorang pendekar pedang yang begitu kuat sekaligus tangguh.
Untuk menjawab keraguannya, Antonio melangkah, lagi-lagi meninggalkan Vin di belakang. Ia mendekati gerombolan tersebut dan segera bertanya kepada salah satu orang di sana, "Siapa gadis ini?"
Tidak memberikan kesempatan untuk orang yang diberi pertanyaan menjawab, seorang pria paruh baya berkumis panjang beringsut ke hadapan Antonio dan menyambar pertanyaannya, "Selamat datang, pengembara. Apakah kau ingin melawan nona kami?"
"Oh, aku pikir gadis ini 'menjual' dirinya kepada tim yang kekurangan anggota untuk mendaftar," ungkap Antonio. "Jadi, aku harus melawan gadis ini terlebih dahulu?"
"Benar sekali," sahut pria berkumis panjang. "Nona cantik yang ada di tengah-tengah kami ini sedang menunggu seorang pendekar pedang yang mampu mengalahkannya dalam sebuah duel. Barangsiapa yang menang dalam duel tersebut, maka ia akan mendapatkan nona kami sebagai anggota tambahan dalam timnya."
"Kedengarannya menarik." Antonio mengelus dagunya, dan pada saat yang bersamaan Vin menepuk pundaknya untuk mengintervensi.
"Betul, itu terdengar menarik. Tapi bolehkah aku bertanya, sudah ada berapa pendekar pedang yang kalah melawan gadis ini?" tanya Vin nyalak kepada pria berkumis panjang itu. "Karena sepertinya gadis ini tidak kunjung 'laku'. Aku bertanya-tanya apakah itu karena tidak ada yang ingin melawannya karena dia terlalu lemah atau karena dia terlalu kuat sehingga tidak ada orang yang berhasil mengalahkannya? Pendekar pedang andalanku ini menjadi sedikit ragu untuk berduel dengannya." Vin sekali lagi menepuk pundak Antonio.
"Kurang-lebih kami sudah berdiri di dekat air mancur ini selama 12 hari, dan sampai saat ini ada 27 orang yang berhasil dikalahkan oleh nona kami," jawab pria berkumis panjang dengan santai.
Tanpa sedikit pun keraguan Antonio berkata, "Maka aku akan berpartisipasi. Aku akan bertarung melawan nonamu dan membawanya sebagai anggota ketiga dari tim kami."
"Nama Anda?"
Antonio terdiam sejenak.
"Antonio Midas da Silva."
"Kalau begitu," pria berkumis panjang berteriak, "saya akan menjadi wasit dari duel antara Tuan Antonio Midas da Silva dan Nona Esmeiralda Wilora!"
Antonio menghunus pedangnya dan melangkah maju, sementara Vin tersenyum simpul menatap sahabatnya itu sebab ia bisa mendapatkan bahan untuk tulisan dan nyanyian terbarunya nanti. "Semangat, pak tua!"
Sekarang Antonio menghadap gadis bernama Esmeiralda itu. Setelah bertatapan secara langsung, perasaannya semakin kuat mengatakan bahwa gadis ini bukanlah pendekar pedang biasa. Luka di pipinya menandakan pengalamannya di medan pertempuran dan cat di dahinya merupakan simbol dari salah satu padepokan pedang terkemuka di kerajaan yang Antonio lupa namanya. Pedang yang digenggam gadis itu juga tidak terlihat murahan. Bilahnya kuat dan mengilap, gagangnya cantik dan tegas, itu semua terbuat dari bahan yang mahal. Dan satu hal yang membuat pikiran Antonio ribut: nama gadis itu terlalu agung.
"Senang bertemu dengan Anda, Tuan Midas," ujar Esmeiralda sambil menyodorkan telapak tangannya. Ucapannya ramah dan sopan. Ada keindahan tersendiri yang dipancarkan olehnya ketika lidahnya bergerak.
Antonio spontan menyalami. "Ya."
"Kau tampak besar dan kuat." Esmeiralda sekali lagi berujar, kali ini memberikan pujian. "Pertarungan ini mungkin akan sedikit sulit."
Antonio lagi-lagi menjawab, "Ya."
"Apakah kau sudah siap?"
Untuk terakhir kalinya Antonio menjawab, "Ya."
Orang-orang yang bergerak memenuhi jalanan kota menepi untuk melihat duel tersebut. Mereka semua berkumpul dalam lingkaran yang lebih besar. Setelah cukup lama menunggu akhirnya penantang Nona Esmeiralda datang kembali, dan kali ini dia terlihat jauh lebih kuat daripada penantang-penantang sebelumnya.
Jauh di lubuk hatinya, Antonio merasa tenang karena dirinya tahu bahwa ia pasti akan menang. Tidak mungkin ia kalah melawan manusia di belahan bumi mana pun. Ia sudah berlatih selama puluhan tahun menggunakan pedang, tidak hanya digunakan untuk membunuh iblis, tetapi juga hewan dan bahkan manusia. Bagi Antonio, pertarungan ini adalah sebuah rezeki nomplok karena Esmeiralda sudah pasti akan masuk ke dalam timnya sebagai anggota ketiga. Tidak ada keraguan untuk itu.
Akan tetapi, apa yang ingin dicari oleh Antonio lebih dari hanya sekadar anggota ketiga. Ia ingin mencari pendekar pedang yang unggul, baik secara kemampuan fisik maupun mental. Itulah mengapa ia menatap gadis itu dalam-dalam dan memperhatikan gerak-geriknya, tutur katanya, dan bagaimana dia mengayunkan pedangnya nanti.
Hanya Antonio seorang yang tahu apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Ia tidak ikut turnamen ini hanya untuk mencari uang, tidak pula sebagai tim penyemangat yang akan gugur di tahap pertama. Antonio benar-benar serius. Ia ingin membentuk tim yang kuat agar bisa berbicara banyak dalam turnamen ini dengan membunuh banyak iblis, mengumpulkan banyak koin suci, dan membuatnya memenangkan hadiah utama sehingga ia dapat mencari istri dan putrinya, kemudian menebus dosanya—entah bagaimana caranya.
Pria berkumis panjang yang berdiri di tengah-tengah lingkaran mengangkat tangan dan kemudian menurunkannya dengan cepat sembari berteriak, "MULAI!"
Antonio tahu bahwa kekuatannya tidak tertandingi, tetapi ia menyajikan ekspresi yang begitu serius untuk memberikan kesan keseimbangan pada lawannya. Esmeiralda juga berusaha memasang air muka yang sama, tetapi karena tubuhnya jauh lebih kecil dibandingkan Antonio dan parasnya terlampau indah, tidak dapat timbul efek menakutkan dari wajahnya.
Belum ada serangan, keduanya masih menyisir tepi lingkaran dan memperhatikan lawannya. Suara penonton mengeras. Vin, yang selalu bersikap blak-blakan, bertepuk tangan dan menjerit histeris untuk memohon Antonio dan Esmeiralda agar saling membenturkan pedang mereka.
Saat itu juga, Antonio sudah menang. Ia bisa melihat jauh ke dalam mata Esmeiralda, gadis itu tidak fokus. Teriakan dari Vin dan para penonton membuat netranya bergerak ke kanan dan kiri, meski tangannya masih menggenggam pedang dan gerakan kakinya masih presisi. Itu telah menjadi dua dimensi yang berbeda ketika kepala mencoba untuk menggerakkan tubuh sebagaimana yang telah diperintahkan sejak awal, tetapi kepala juga berusaha menggerakkan pandangan untuk menjawab suara-suara yang masuk lewat lubang telinga.
Mengetahui celah tersebut, Antonio berlari dan mengayunkan pukulan dengan sangat cepat. Itu pukulan berat, dengan tumpuan kedua kaki dan ayunannya bergerak dari kiri atas tepat di samping kepala hingga ke kanan bawah. Pedang Esmeiralda tidak berhasil menangkis serangan itu, dapat dilihat kuda-kudanya patah, kakinya goyah.
Antonio menarik serangan, siap melepaskan kelanjutannya. Akan tetapi, Esmeiralda bergerak dengan cukup sigap di sana. Ia menarik kaki kirinya ke belakang agar tumpuannya lebih seimbang dengan alas segitiga, menguatkan genggaman pedangnya, dan memiringkannya untuk menghalau serangan lanjutan dari Antonio.
Antonio mendorong kaki kanannya ke depan, mengambil ancang-ancang untuk pukulan berat membelah dari atas, dan pada saat itu juga Esmeiralda menidurkan pedangnya dengan ujung bilah serta gagang di masing-masing telapaknya.
Momen ketika Antonio mengayunkan pukulan berat membelah dari atas, Esmeiralda hanya perlu memperkuat tumpuan kakinya. Pedang mereka berbenturan, membentuk salib.
Teriakan penonton mengeras, diperparah oleh siulan Vin yang bukan main melengkingnya. Meski terdapat beberapa kekurangan, Antonio terkejut bahwa kemampuan berpedang gadis itu jauh di luar ekspektasinya. Dia bisa mengimbangi Antonio dalam keadaan sedikit panik dan tidak fokus. Bukan sesuatu yang buruk, mengingat Antonio tidak menggunakan seperempat dari kekuatan penuhnya, karena kalau ia menggunakan lebih dari itu, air mancur di pusat kota tidak lagi memancurkan air tetapi darah.
"K-kau sangat ... kuat," ucap Esmeiralda terbata-bata, kesulitan menahan dorongan pedang Antonio.
Antonio menatap dan menjawab datar, "Kau adalah lawan sepadan untuk kekuatanku yang sekarang, tapi main-mainnya selesai di sini."
Antonio mundur. Hanya dengan tangan kanannya ia menggenggam pedang, menyembunyikannya di balik paha kanan sebelum mengayunkannya bak gerakan ular ke depan, sedikit ke atas. Tangannya bergerak cepat, menyikukan pedangnya, dan tiba-tiba saja kakinya bergerak merdu. Ia menari.
Esmeiralda kalang kabut ketika Antonio datang menghampirinya dengan kecepatan tinggi sambil berputar seperti gasing, melayangkan tebasan-tebasan kuat kepadanya. Ia terus berusaha memotong serangan itu. Berhasil, sesekali. Karena tumpuan dan genggamannya tidak terlalu kuat, Esmeiralda mulai oleng. Bunyi pedang mereka terdengar renyah, mengenyangkan para penonton yang mengelilingi.
Ayunan tersebut tidak berhenti. Antonio terus berputar—kanan, kanan, kanan, sebelum akhirnya kiri—menyesuaikan arah serangannya dengan tatapan elangnya yang teliti membaca situasi dan kondisi dari lawannya, Esmeiralda, di tengah putarannya yang tandas. Gadis itu sudah tidak kuat lagi menahan serangan Antonio hingga akhirnya pedangnya tergelincir dari genggamannya dan tubuhnya benar-benar kehilangan keseimbangan.
Esmeiralda terjatuh, ujung bilah pedang menempel di lehernya. Napas gadis itu tampak memburu ditandai dengan dadanya yang kembang kempis tidak keruan, sedangkan Antonio tampak tenang tanpa setetes pun keringat.
"Aku melihat potensi di dalam dirimu," puji Antonio. "Karena aku memenangkan duel ini, kau harus menjadi anggota ketiga dari timku." Ia melepaskan pedangnya, menawarkan jabat tangan untuk membantu gadis itu berdiri.
Esmeiralda sempat bergidik ngeri ketika menatap pedang Antonio di lehernya, tetapi ia tersenyum lebar setelahnya. "Akhirnya datang seseorang yang dapat mengalahkanku." Ia menerima jabat tangan itu.
Semua penonton bertepuk tangan, kecuali Vin karena pikirannya sudah berkelana ke mana-mana untuk merencanakan karya terbaru miliknya. Untuk mengakhiri pertarungan dan mematenkan "barang jualan" yang kini telah berpindah tangan, pria berkumis panjang yang berlaku sebagai wasit pergi ke tengah-tengah arena yang dikerubungi oleh banyak orang dan mendeklarasikan hasilnya kuat-kuat, "Pertarungan ini dimenangkan oleh Tuan Antonio Midas da Silva! Dengan begitu, dia berhak membawa Putri Esmeiralda sebagai anggota ketiga dari timmu!"
Semua orang di sekitar air mancur yang melihat pertarungan tadi bertepuk tangan semakin keras, diiringi sorak-sorai bergembira. Akan tetapi, terdapat dua pria di sana yang seakan-akan tidak larut dalam suasana. Mereka memampangkan raut wajah kaget sekaligus heran, sekaligus bingung, sekaligus terpesona, sekaligus malu. Sangat kontras dengan yang lain.
"Putri Esmeiralda, katamu?" Antonio tampak seperti orang linglung, mencoba memastikan kepada pria berkumis panjang.
Esmeiralda geleng-geleng kepala sambil menepuk dahinya. "Sudah kubilang padamu untuk tidak membongkar identitasku pada orang asing. Huh, apa boleh buat."
Setelah itu, Esmeiralda menarik sedikit bagian samping celananya, menyilangkan kaki kanannya ke belakang, membungkukkan badannya sambil memejamkan mata dan melukiskan senyum.
"Namaku adalah Esmeiralda Wilora, putri mahkota tunggal Kerajaan Envera."
Kata-kata tidak bisa menggambarkan betapa malunya Antonio dan Vin. Mereka berdua benar-benar bodoh. Hidup di desa yang jauh dari ibu kota membuat mereka tidak mengetahui seluk-beluk keluarga kerajaan, bahkan nama dari putri sang raja yang nantinya akan menjadi pemimpin kerajaan yang menanggung tanah mereka. Lebih parahnya lagi, Putri bukanlah anak-anak yang mungkin akan terlewat informasinya karena Antonio dan Vin tinggal di desa selama bertahun-tahun dan jarang ke kota, tetapi Putri adalah seorang gadis yang telah tumbuh menjadi seorang dewasa. Dengan cepat mereka berdua berlutut di hadapan sang putri dan mengajukan permohonan maaf yang tidak terhitung jumlahnya.
Putri Esmeiralda hanya bisa tersenyum melihat itu, ia tidak merasa aneh sama sekali. Ia justru memerintahkan Antonio dan Vin untuk berdiri, dan menganggap dirinya seperti layaknya rakyat biasa. Sekarang, Putri Esmeiralda tidak ingin dianggap sebagai tuan putri, tetapi sebagai anggota dari tim yang nantinya akan dipimpin oleh Antonio.
"Maafkan kelancangan saya, Putri Esmeiralda." Meski sudah berdiri, Antonio masih menundukkan kepalanya untuk menunjukkan rasa bersalah kepada sang putri.
"Saya juga minta maaf, Tuan Putri. Saya benar-benar tidak mengetahui bahwa Anda adalah Anda." Vin juga ikut-ikutan.
Sekali lagi, Putri Esmeiralda menenangkan mereka dengan senyuman. "Tidak usah canggung begitu. Oh iya, kalian tidak perlu memanggilku 'Putri Esmeiralda'. Panggil saja Mira."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top