Chapter 49 - Insiden Black Parade

Hasil Kesepakatan Perundingan Empat Kerajaan:

1. Kerajaan Envera, Kutsakha, dan Vontera sepakat membentuk Aliansi Gaea untuk menghadapi perang dan munculnya sisi gelap bulan.

2. Kerajaan Cottonfall dan Kutsakha diwajibkan membayar denda masing-masing sebesar empat miliar Von kepada Persatuan Benua Merlin (Envera dan Vontera).

3. Kerajaan Cottonfall dan Kutsakha diwajibkan membuat permohonan maaf secara terbuka setelah perang usai kepada Persatuan Benua Merlin (Envera dan Vontera) atas pembantaian yang telah dilakukan.

4. Kerajaan Cottonfall dan Kutsakha diwajibkan berperan dalam pembangunan kembali Kota Nokova dan Lonesome setelah perang usai.

5. Kerajaan Envera dan Vontera akan melupakan segala dosa yang dilakukan oleh bangsa elf dan orc untuk sementara, dan fokus pada perang yang sudah ada di depan mata.

Demikian hasil kesepakatan ini disebutkan.

***

20 Desember 1504.

Dua hari setelah perundingan itu, hasil kesepakatannya diumumkan kepada khalayak ramai, ditulis di atas perkamen dan ditempel pada papan-papan pengumuman yang tidak hanya tersebar di seluruh penjuru Edinvers, tetapi juga kota dan desa terdekat. Rakyat Envera menyambut kabar tersebut dengan riang gembira. Mereka melakukan pesta di jalan-jalan, menggaungkan nyanyian kemenangan sambil mengangkat pedang dan botol bir mereka. Sapi dan kambing desa diarak sambil dimahkotai jerami, mereka mengalun di sepanjang perjalanan untuk memuji sang putri kerajaan.

Akibat perundingan itu, konflik antarras yang terjadi di Edinvers menjadi sedikit mereda. Manusia dan dwarf kini menjaga jarak dengan para elf dan orc yang tinggal di kota. Walaupun begitu, masih saja ada oknum yang mengacaukan segalanya dan tidak mengindahkan poin di dalam perjanjian itu. Beberapa elf dan orc yang tidak bersalah masih disiksa dan dibunuh.

***

21 Desember 1504.

Kota dirapikan dan ditertibkan. Penduduk mulai dievakuasi.

Mira menyadari bahwa perang yang akan segera terjadi akan membawa dampak yang sangat besar bagi kota. Para pengajar dari jurusan Pedang dan Perang Universitas Edinvers memperkirakan setidaknya separuh penduduk kota akan terbunuh pada skala perang yang kecil, dan tiga perempat penduduk akan terbunuh pada skala perang yang besar. Tercatat ada lebih dari empat juta orang yang sedang berada di Edinvers saat ini. Itulah kenapa konflik antarras menjadi tidak terbendung, dan terdapat banyak sekali gelandangan serta sampah di kota. Perusakan dan penjarahan terjadi, dan itu menjadi semakin parah seiring berjalannya waktu. Satu-satunya cara untuk meredam itu adalah dengan mengurangi jumlah orang yang ada di kota.

Tiga puluh persen penduduk akan dipindahkan ke pusat kota (meliputi wilayah istana kerajaan dan air mancur pusat kota, sampai radius dua kilometer dari istana) dan dilindungi di sana bersama Pasukan Bulan Penuh Kerajaan Envera dan pasukan lain dari Aliansi Gaea, sementara tujuh puluh persen sisanya akan dipindahkan ke luar kota, ke tempat terdekat, seperti Kota Mestopora, Desa Grander, Desa Villa, Desa Kaprich, Benteng Denberg, dan terowongan bawah tanah kuno bernama The Hole of Aidenburg yang dibangun lebih dari seribu tahun lalu untuk keperluan pengungsian dan pelarian budak. Semua itu tentunya akan dibarengi oleh penjagaan ketat dari Pasukan Bulan Penuh yang bergerak di bawah perintah Jenderal Fairnburne.

***

22 Desember 1504.

Serikat Hunter Amaryllis menerima surat panggilan resmi dari istana yang berisi ajakan untuk bekerja sama dan melakukan penyatuan dengan aliansi. Osamu yang menerima surat itu. Ia membawanya ke markas dan berunding dengan para anggotanya yang kebetulan ada di sana.

Diskusi mereka tidak berlangsung lama karena kekurangan topik dan tujuan, serta kekurangan otak cemerlang. Akhirnya, mereka yang berada di markas menunggu sampai malam hari ketika Antonio, Vin, Ludwig, dan Julietta pulang berburu iblis serta koin suci karena raihan poin mereka di turnamen benar-benar seret sejak fase keempat dimulai.

"Kau akhirnya datang juga." Osamu bangun dari meja dengan loyo, menghampiri Antonio yang berdarah-darah jubahnya sambil membawa karung penuh kepala iblis.

"Ada apa?"

"Serikat Hunter kita diundang oleh Putri untuk bergabung ke dalam aliansinya!"

"Itu bagus, bukan? Apa kau sudah membalas suratnya?"

"Belum," Osamu duduk kembali, "aku menunggu komentarmu untuk ini."

"Kenapa kau menungguku? Kau tidak—"

Julietta tiba-tiba memotong pembicaraan mereka berdua, "Jangan lupa pembagian kepala iblis yang tadi, Antonio. Aku mau mandi dulu. Badanku lengket sekali. Ayah, kau tidak mandi?"

Ludwig hanya diam sambil menoleh ke sana kemari.

"Ada apa?"

"Di mana kucing hitam gendut itu?" tanya Ludwig dengan lugu.

"Oh, Muezza sedang terbang di langit, melihat kondisi kota bersama gagak-gagak milik Osamu. Dia sekarang jadi mata elang serikat kita," ujar Antonio sambil kembali menatap Osamu. "Baiklah, lanjut. Kau tidak perlu menunggu komentarku, Osamu. Terima saja."

"Kita terima ... begitu saja?"

"Mau bagaimana lagi? Kapan kiranya Mira bisa bertemu dengan kita?"

Osamu menatap surat itu sekali lagi, mencari tanggal di dalamnya. "Di sini tertulis 24 Desember. Perjamuan malam Natal di istana."

***

23 Desember 1504.

Evakuasi penduduk telah sukses dilakukan. Jutaan orang berbondong-bondong pergi dari Edinvers dan mengungsi di tempat-tempat yang sudah disiapkan oleh Mira. Kini sebagian besar bangunan di Edinvers kosong melompong. Barang-barang para penghuninya juga diungsikan untuk menghindari kerugian yang berlebih. Pihak kerajaan mulai menurunkan utusannya untuk membersihkan sampah dan segala kekacauan yang masih tertinggal di kota setelah kota menjadi kosong.

Jenderal Fairnburne adalah orang yang menduduki peringkat teratas, hanya satu tingkat di bawah Putri Mira, Raja Edgar, dan Ratu Qana. Ia bertindak sebagai Sekretariat Jenderal Aliansi Gaea yang bertugas mengoordinasi segala macam kegiatan, penyusunan rencana, peraturan, pengelolaan barang, dana, dan fungsi-fungsi penting lainnya. Ia mengumpulkan puluhan ribu prajurit dari seluruh kota yang ada di Kerajaan Envera dan menyatukan mereka di bawah payung yang sama, bersama Pasukan Gerhana Kerajaan Kutsakha dan Pasukan Bumi Biru Kerajaan Vontera.

Menara-menara kayu untuk pengintaian mulai dibangun di sudut-sudut kota, para prajurit mulai ditempatkan di berbagai pos di atas tembok yang mengelilingi kota, dan patroli prajurit menjadi semakin sering untuk mengawasi kondisi Edinvers dan sekitarnya. Kiriman senjata, baju prajurit, perlengkapan perang, beserta makanan dan minuman mulai datang dari Genburry. Hal ini juga dibarengi dengan para pengajar, sarjana, dan mahasiswa dari jurusan Astronomi Universitas Amonte yang berbondong-bondong datang ke Edinvers dan berdiam diri di istana kerajaan untuk membantu para akademisi dari Universitas Edinvers melihat kondisi langit, dan memperkirakan kapan sisi gelap bulan akan muncul.

***

24 Desember 1504.

Malam sebelum hari kelahiran Yesus Kristus telah tiba. Perwakilan Serikat Hunter Amaryllis—Antonio, Osamu, Vin, Muezza, Ludwig, Julietta, Milos, Magnus, dan Reina—tiba di istana kerajaan. Mereka disambut oleh para pelayan dan dituntun menuju aula perjamuan, menikmati santapan makan malam bersama Mira.

Di ujung meja Mira sudah menunggu. Gadis itu lantas berdiri ketika mengetahui para perwakilan dari serikat Hunter paling gila di dunia itu memasuki aula perjamuan. "Selamat datang dan selamat Natal untuk kita semua!" ujarnya dengan nada tinggi disertai senyuman. "Silakan duduk. Aku senang sekali bisa mengundang kalian dan berbicara tentang perang yang akan datang."

Mereka bersembilan segera mengambil kursi masing-masing, bersama dengan beberapa menteri kerajaan, juga jenderal dari Kutsakha dan Vontera.

Vin yang merasa aneh memasang tatapan secara sembunyi-sembunyi kepada Mira, lalu berbisik pada Antonio, "Mira sedikit berbeda, 'kan?"

Antonio terdiam menatap Mira. "Berbeda apanya?"

"Dia jadi terlihat sangat berwibawa."

"Aku tidak merasa demikian. Sejak dulu dia memang begitu."

"Eh, yang benar?"

Antonio terdiam, tersenyum menatap gadis itu. Panjang umur sang putri.

***

28 Desember 1504.

Persiapan sudah hampir seratus persen. Seluruh prajurit berjaga tanpa henti setiap hari di menara-menara dan pos-pos yang sudah didirikan. Tembok-tembok kayu dan ketapel raksasa didirikan di tengah kota untuk melindungi pusat kota yang diisi oleh tiga puluh persen penduduk Edinvers. Para anggota Serikat Hunter Amaryllis yang semuanya berjumlah 134 orang tidak diungsikan karena markas mereka berada di tengah kota, sehingga mereka dapat bergerak dan mengatur strategi serta pasukan dengan leluasa di sana. Para akademisi dari jurusan Astronomi masih menelaah kegundahan langit, masih belum bisa memperkirakan kapan bulan akan menunjukkan sisi gelapnya secara penuh. Yang pasti, bulan kini sudah berada pada 170 derajat.

Cleopatra terbangun dari tidurnya, mendengar kebisingan dari jalan. Ia membuka tirai kamarnya dan melihat ke tengah jalan. Di sana orang-orang sedang menari dan bernyanyi, bersama api unggun, daging, dan anggur.

Kenapa mereka bisa bersikap setenang itu? batinnya.

Gadis itu duduk di ranjangnya dan terdiam untuk beberapa saat, menatap langit-langit yang reyot dan penuh sarang laba-laba. Karena merasa bosan, ia memakai jubahnya dan memutuskan untuk pergi ke luar untuk menikmati kegembiraan itu bersama penduduk kota dan para pengungsi. Baru melangkahkan kaki beberapa meter dari depan pintu penginapannya, kepala Cleopatra langsung disengat nyeri. Ia menyadari itu. Rasa sakit itu datang dari cahaya bulan. Bulan menyinari jalanan yang penuh dengan salju itu dengan terang.

Cleopatra! Cleopatra! Apa yang terjadi? Bisikan Amadeus datang.

Cleopatra sempoyongan sambil memegangi kepalanya. Ia berkata, "Tuan Amadeus, ini buruk. Kutukan itu ...."

Cleopatra! Tenangkan dirimu! Kau akan baik-baik saja! Jangan biarkan kutukan itu menguasai tubuhmu!

Cleopatra terduduk di atas gundukan salju di tepi tiang, menatap tanah, masih memegangi kepalanya. Perlahan-lahan pelipis kirinya terbakar dan muncul sebuah sigil di sana. Itu tampak seperti tato, berwarna hitam, dengan gambar pedang. Sigil itu berdarah. Tubuh Cleopatra melemah dan wajahnya memucat pasi; ia mulai terbatuk-batuk dengan parah—sama seperti ketika penyakit misterius itu hinggap di tubuhnya saat ia masih bayi. Amadeus masih berteriak lewat bisikan gaib itu.

Cleopatra? Kau masih ada di sana?

Cleopatra yang tertunduk lesu terdiam barang sebentar, kemudian berujar dengan suara berat dan serak—seperti suara yang datang dari masa lampau, "Jauh sebelum gadis ini keluar dari rahim ibunya, aku sudah mengincarnya. Satu gerbang antarsemesta bersarang di dalam jiwa gadis ini. Terima kasih kepada sisi gelap bulan, aku bisa masuk ke dalam tubuh gadis ini sepenuhnya. Aku merindukannya, sejak dia masih bayi. Oh, betapa rindunya aku akan tubuh seorang gadis muda. Tubuhku, yang dahulu mati karena kecerobohanku, tak pernah aku jumpai lagi. Sekarang kau tidak bisa lari, Amadeus. Aku akan mencarimu. Panggil aku sang Kesatria Wanita Legendaris, Lady Camelia, pendekar pedang manusia terkuat sepanjang masa."

***

30 Desember 1504

Pukul 18.30

Raja William dan Ratu Grace kembali ke mansion Mira setelah menikmati puncak Bukit Dunhill seharian. Sesuai perkataan mereka, mereka mengasingkan diri ke tempat itu untuk menghindari segala kekacauan yang ada di kota dan menyerahkan semuanya kepada Mira dengan kepercayaan di dalam kepala mereka bahwa sisi gelap bulan akan terjadi pada tanggal 9 Januari 1505. Setelah mengikat kuda mereka di kandang, mereka berdua segera masuk ke mansion sambil berpegang tangan dan berdansa. Lilin dinyalakan, memberikan sedikit pencahayaan pada bangunan yang kosong itu, menambah unsur romantisme di dalamnya. Dansa mereka berhenti ketika Grace jatuh di dalam pelukan William. Kedua mata mereka saling bertaut.

Grace tertawa malu. "Jangan menatapku begitu."

"Jangan mengaturku," ucap William dengan suara rendah. "Aku adalah raja."

"Kalau begitu jadikan aku ratumu."

"Hmm, bagaimana caranya?"

"Bawa aku ke ranjang," Grace mengusap dada William dengan lembut, "dan berikan mahkotamu kepadaku."

Setelah guyonan singkat itu, William menggendong Grace naik ke atas tangga. Mereka berdua menikmati gelap dan sunyinya mansion itu dengan syahdu sampai tiba-tiba sebuah gelegar petir menerangi seisi ruangan. William terkejut, begitu pula dengan Grace.

"Sayang, yang barusan tadi petir?"

William menoleh ke jendela dengan terkejut. "Tidak mungkin."

Grace turun dari tangan William dan berlari menuju jendela. Dilihatnya langit gelap sedang menurunkan butiran-butiran salju. Sangat mustahil petir dan hujan terjadi. "Yang barusan itu cuma halusinasi, 'kan?" tanyanya dengan panik. "Iya, 'kan?"

William mematung kebingungan. Ia hanya bisa mengangguk sambil berkata, "I-iya. Itu pasti halusinasi kita saja. Mungkin kita kelelahan. Sepertinya sudah saatnya pergi ke ranjang."

Pintu kamar ditutup, dikunci, begitu pula dengan jendela yang ditutup dengan tirai. Itu adalah sebuah pilihan aneh, mengingat tidak ada seorang pun yang berada di mansion itu kecuali mereka. Tidak akan ada orang yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan memergoki mereka bercinta.

William melepas pakaiannya dan mulai meraba tubuh Grace dengan perlahan. Sang ratu tersenyum senang dan mendekap sang raja dalam-dalam dalam dadanya. Pada momen itu, gelegar petir tiba-tiba datang. Itu bukan halusinasi. William dan Grace terperanjat, menoleh ke jendela yang tertutup tirai. Mereka terdiam, takut. Gelegar petir datang kembali, menerangi kamar yang gelap itu. William bisa melihat dengan jelas lukisan yang terpampang di samping jendela karena cahayanya. Lukisan dirinya, mendiang istrinya, dan Mira. Dari sana muncul sebuah portal berwarna ungu; seorang pria keluar sambil menggenggam kalungnya yang menyala dengan warna sama.

Pria itu menghunus pedangnya, naik ke atas tubuh William dan Grace, menyentuhkan ujung pedangnya pada punggung William.

"Si-siapa kau?!" teriak William ketakutan, tidak berani menoleh.

Pria itu menatap tajam sambil perlahan-lahan mendorong pedangnya. "Iblis tingkat atas, Bintang Pertama, Aldebaran. Kau bisa memanggilku Wolfgang Amadeus."

"Wolf-gang Amade-us?" Ucapan William terputus-putus. "Kau adalah Hunter terbaik di The Hunt for the Holy Coins, bukan? Apa yang kauinginkan dariku?!"

"Temanku, Bintang Keempat, Capella, berkata kepadaku kalau kau adalah orang yang memiliki kontrak dengannya untuk mendapatkan keabadian. Dan katanya, kau hanya perlu memberikan satu pengorbanan lagi untuk mencapai itu. Benar begitu?"

Tubuh William bergetar hebat, keringat bercucuran membasahi tubuh istrinya yang berada di bawahnya, sama takutnya. "Kenapa kau datang kemari?"

"Untuk membunuhmu."

"Kenapa?"

"Aku tidak akan membiarkan Capella memberikan kekuatan itu pada raja rakus sepertimu. Dengan begitu, Capella akan meledak dan menginfeksi seluruh Edinvers."

"Aku tidak mengerti maksudmu."

Terdengar sayup-sayup suara Grace yang berusaha menahan tangisnya, juga desahan kecil dari mulut William yang menunjukkan keresahan. Suasananya jadi hening.

"Bersetubuhlah di neraka!" Amadeus mendorong pedangnya menembus William dan Grace, sampai menyentuh ranjang mereka. Sang raja dan ratu memekik dari dasar kerongkongan mereka, meminta pertolongan dan ampunan atas rasa sakit yang mereka terima. Amadeus memutar-mutar pedangnya, membuat teriakan mereka semakin menggila.

Gelegar petir datang sekali lagi. Langit yang menurunkan hujan salju digantikan oleh hujan air yang menghantam mansion itu dengan deras sekali. Ketika dua sejoli itu sudah tidak bersuara, Amadeus menarik pedangnya dan mengibaskannya untuk membersihkan darah yang menempel. Ia menatap jendela dengan mata birunya yang menyala, mendengar gemuruh hujan yang kelewat keras.

***

Di dalam ruang bawah tanah istana yang gelap dan lembap itu, kobaran api keluar dari kepala kambing Capella. Ruangan itu berubah menjadi putih—murni—tidak ada warna lain di dalamnya. Pada momen itu Capella sadar, pengorbanan terakhir telah diberikan atas nama William Triton Alexander.

Dengan kesal ia berkata, "Amadeus sialan." dan meledakkan tubuhnya. Asap hitam memenuhi ruangan itu, menyebar seperti sapuan ombak—kencang, besar, tinggi, dan tidak dapat dihentikan— dan merembet melewati celah-celah dinding menuju ke luar. Asap hitam itu berteriak dan bernyanyi dengan histeris, disertai alunan musik yang memekakkan telinga, mencari korban untuk diarak bersama di tengah jalan.

Selamat datang di Black Parade!

***

30 Desember 1504.

Pukul 19.00

Amadeus muncul dari portalnya yang ia buka di atas bukit. Di sana pasukannya sudah menunggu. Ada Peter, Alpha Centauri bersama kavalerinya di atas langit, Antares yang menggosok-gosok kaki dan menyiapkan tanduknya, Hao yang bersiap dengan iblis-iblis serigalanya, dan Beta Ceti yang bersiap dengan iblis-iblis tengkoraknya.

"Ada berita buruk."

"Apa itu, Tuan?" tanya Peter.

"Jiwa Lady Camelia di dalam tubuh Cleopatra sudah bangkit. Aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi, tapi sepertinya ini adalah ulah sisi gelap bulan. Sayang sekali. Aku pikir dia akan menjadi rekan kita dalam perang ini."

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Hao masuk ke dalam percakapan.

"Tentu saja kita harus melawan. Kita adalah iblis, tidak perlu takut. Semuanya sudah siap, bukan?" tanya Amadeus dengan santai sembari merapikan jas, topi, dan monocle-nya.

"Jangan bilang kau beli jas baru lagi," celetuk Peter.

"Setelah membunuh William dan istrinya tadi, aku pergi ke semesta lain untuk mencari pakaian. Ini kelihatan bagus untukku. Pakaian abad 20 memang tidak ada duanya."

"Jangan menghabiskan waktu lagi, Aldebaran." Beta Ceti yang tidak sabaran langsung melabrak Amadeus. "Beri kami perintah."

Amadeus maju ke tepi bukit, melihat Kota Edinvers yang menyala dari kejauhan. Ia berkata, "Sisi gelap bulan akan muncul dini hari nanti, 31 Desember. Pada saat itu, kita akan menyambut kebangkitan raja kita. Tujuan utama kita adalah menyerang dan meluluhlantakkan Edinvers. Buat jiwa orang-orang itu menyembah Regulus di akhir hayat mereka."

"Capella sudah meledak?" Beta Ceti memotong.

Amadeus mengangguk. "Dia sudah mati. Black Parade akan segera melumpuhkan Edinvers, dan kita akan dengan mudah membelokkan mereka semua. Ingat, teman-temanku, tujuan utama kita adalah mendapatkan jemaat sebanyak-banyaknya. Jangan biarkan raja kita kesepian ketika turun dari bulan nanti."

Mereka semua mengangguk mafhum. Amadeus melanjutkan pidatonya.

"Konjungsi antarsemesta sudah terjadi. Alam semesta yang berbeda sedang bertubrukan di saat yang bersamaan karena Vitae milikku. Itulah alasan kenapa ada banyak orang hilang dan muncul secara tiba-tiba, banyak benda-benda aneh muncul di semesta ini, banyak bangunan berpindah tempat, banyak mimpi-mimpi nyata datang menghantui, dan banyak bisikan-bisikan gaib datang menggurui. Persiapkan diri kalian dengan tubrukan itu. Aku yakin, hal yang lebih gila akan terjadi malam nanti." Amadeus mendongakkan kepalanya menatap langit. Dari sana ia bisa melihat langit retak, mengeluarkan beberapa naga yang ditunggangi oleh manusia. "Sudah dimulai."

Setelah itu terjadi, angin tiba-tiba berembus dengan kencang. Salju menghilang, digantikan terik yang muncul dari lubang kecil pada langit. Turun dari sana pesawat aerobatik yang berbaris di langit meninggalkan jejak dengan asap mereka, disusul kapal terbang yang di atasnya menari para bajak langit. Muncul pula kereta dengan gerbong-gerbong berbentuk lonjong yang melesat di langit dan menabrakkan diri dengan keras ke tanah. Suara-suara bising saling berbenturan, menciptakan vibrasi yang kuat. Musik menggema di langit, bersama teriakan ketakutan. Langit mati-menyala—malam-siang—seperti saklar lampu yang sengaja dimainkan anak-anak.

Amadeus mencoba untuk tetap tenang dan memerintahkan pasukannya untuk tenang pula. "Alam semesta-alam semesta itu hanya menabrak alam semesta kita. Tidak ada yang perlu ditakutkan."

Peter mengedarkan pandangan ke sana kemari, mendapati orang-orang dengan pakaian yang sama seperti Amadeus bergerak menghampiri mereka dengan pistol dan shotgun. "Sepertinya orang-orang ini berasal dari zaman yang sama di mana kau membeli jasmu."

Amadeus mengangkat pedangnya ke depan, berdiri di tengah-tengah konjungsi antarsemesta. "Semua orang merasa takut, hanya mereka yang mati yang tidak merasakannya. Kita hanya perlu membuai orang-orang di kota untuk menyembah iblis dan membawa mereka pada jalan yang benar. Kita bunuh mereka yang melawan, jangan sisakan satu pun. Untuk Antonio dan Cleopatra, jangan usik mereka. Ayah dan anak itu adalah urusanku. Sekarang, mari kita mulai pertunjukannya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top