Chapter 44 - Hitung Mundur Hari Akhir

15 Desember 1504.

Tiga hari sebelum perundingan empat kerajaan.

Setelah menghabiskan sepanjang hari mengurus segala persiapan serta strategi untuk perundingan bersama dengan Jenderal Fairnburne, Mira menyempatkan diri untuk pergi sebuah kedai minuman di pinggir kota. Ia turun dari kereta kudanya, hanya mengenakan pakaian sederhana yang ditutup jubah, berjalan melewati gang kecil yang kumuh untuk menuju tempat itu.

Sesampainya di sana Mira terkejut. Orang-orang duduk dengan berantakan di atas kursi, meja, dan barel, tertawa sambil menyantap daging dan mengangkat gelas anggur mereka. Lampu lilin gantung menjadi penerang semua peristiwa itu. Di dalam pikirannya yang lelah, Mira menolak untuk percaya bahwa persatuan ada di dalam kedai itu. Manusia, elf, orc, dan dwarf—semuanya ada di sana, dan tidak ada satu pun dari mereka yang mengusik keberadaan satu sama lain.

Di tengah keramaian itu, ada satu hal yang kurang: musik. Pada momen ketika semua orang bersorak menyambut seseorang yang datang dengan tergesa-gesa dari pintu belakang kedai, Mira hanya bisa tersenyum kemudian mengambil tempat duduk. Berdiri di tengah-tengah ruangan seorang penyair berpakaian warna-warni dengan baret di kepalanya dan sebuah pena bulu bertengger di belakang daun telinganya, bersama dengan band-nya.

"Maaf, semuanya!" teriak sang penyair sambil menyetel mandolinnya. "Setelah ini kami akan memainkan enam lagu. Sekali lagi maaf. Kami terjebak macet di pusat kota karena banyak demonstrasi. Sekarang, mari kita nikmati makanan dan minumannya sambil bernyanyi!"

Musik dilantunkan, dan semua orang yang berada di dalam kedai itu ikut berdendang, bertepuk tangan, dan mengentakkan kaki meski mereka tidak tahu apa yang sebenarnya dinyanyikan oleh sang penyair.


Anak-anak, orang dewasa, dan orang-orang tua, kemarilah!

Dengarlah pertunjukan istimewa dari seorang penyair durjana tentang seorang layu dengan penyesalannya dan seorang abadi dengan tulisannya.

Peringatan, jangan lupa lempar koin agar band kami tidak bangkrut, ya!

Kami siap datang ke mana saja untuk menghibur kalian kecuali kalau kiamat datang!


Aku adalah seorang penyair yang sedang terbang di langit biru.

Kemudian datang seorang pria dengan kegelapan menghampiri.

"Awas jatuh!" teriak pria itu. Maka terjatuhlah aku.

Dia sedang memeluk kebebasan, sebab "Aku bebas!" kataku.


Aku mengajaknya terbang bersamaku di langit biru.

Berpegang kepada hati yang rapuh, segala resah yang tidak ditangkup, dan jiwa yang merana, kami berdua terbang bersama-sama tanpa kegelapan di atas kepala.

Dari setiap langkah dan kisah yang diukir, ada benang takdir yang sedang merajut diri mereka sendiri.

Kemudian membentuk sebuah mahakarya: kisah seorang layu dengan penyesalannya dan seorang abadi dengan tulisannya!

Na-na-na-na-na ....


Hei!

Ketika para iblis datang, hei! Pria itu bersuara lantang dengan kedua tangannya.

Pedang berayun ke sana kemari, menebas iblis tanpa henti.

Darah yang mengalir-membanjiri, membusuk-mengeras, dibalas koin dan pujian tiada batas.

Sungguh, dialah penyelamat yang kami damba-dambakan, insan terkuat yang pernah kami temukan.

Na-na-na-na-na ....


Sayang ....

Sayang sekali ....

Seperti namanya, pria itu hanya bunga yang layu, yang tak bisa tumbuh dan menyebarkan semerbak gunawan karena penyesalannya.

Maka sang abadi berbicara kepadanya dengan empat mata.

"Bajingan!" kataku. "Menangislah, wahai bajingan!"

"Biarkan air mata membanjiri dadamu dan menumbuhkan bunga kehidupan di hatimu."

Na-na-na-na-na ....


Seorang layu dengan penyesalannya dan seorang abadi dengan tulisannya berkelana mencari cinta dari para penduduk bumi untuk kemaslahatan jiwa mereka yang tidak pernah disambut keheningan.

Tangan mereka berdua berpegang erat dan tidak ingin melepaskan satu sama lain.

Dua hati yang sama-sama rapuh disatukan oleh benang takdir.

Dan kami berdua adalah para bajingan yang akan mengubah dunia!

Na-na-na-na-na ....


Maka kini, sahabatku, ketika emas dan rindu memenuhi dirimu, jangan biarkan dirimu jatuh pada ketamakan.

Manusia, manusia yang rapuh, hanyalah titik debu di kertas alam semesta.

Itulah, semuanya, kisah dari seorang layu dengan penyesalannya dan seorang abadi dengan tulisannya.

Terima kasih!


Semua orang bersorak dan bertepuk tangan dengan keras. Sang penyair membungkukkan badannya sambil meletakkan telapak tangan di dadanya dengan elegan, menerima lemparan bunga dan koin (dan entah kenapa ada pakaian dalam juga) dari para penonton. Mira, yang duduk di pojok ruangan berdiri dengan senyuman lebar sambil bertepuk tangan, jinjit untuk dapat melihat ke depan. Sang penyair duduk sebentar untuk meminum bir, lalu lanjut pada lagu kedua.


Anak-anak, orang dewasa, dan orang-orang tua, kemarilah!

Dengarlah pertunjukan istimewa dari seorang penyair durjana tentang seorang layu dengan penyesalannya dan seorang abadi dengan tulisannya, juga seorang pendekar pedang perempuan dengan rambut merahnya.


Ketika seorang layu dengan penyesalannya dan seorang abadi dengan tulisannya berkelana,

mereka bertemu dengan seorang pendekar pedang yang luar biasa.


Pendekar pedang perempuan dengan rambut merahnya,

dengan wajah cantiknya,

dengan kewibawaannya,

dengan ketegasannya,

dengan indahnya mengayunkan pedang hebatnya.


Dialah sang Putri Amarilis yang menjadi primadona orang-orang.

Seorang putri yang mandiri, yang mencintai orang-orangnya, dan dicintai orang-orangnya.

Seorang putri yang berani, seorang putri yang tahu, tahu kepada orang-orangnya.

Tahu bahwa orang-orangnya membutuhkan dia, dan tahu bahwa suatu hari dia akan menjadi ratu yang hebat.


Kini kerajaan sang putri tengah menangis.

Darah menghujani setiap sudut kota, dan bulan hanya tertawa menyaksikannya.

Wahai Putri Amarilis! Jangan sekali-kali engkau mundur!

Kami, rakyatmu, bersumpah akan selalu mendorong jiwamu!

Kami, rakyatmu, bersumpah akan selalu menyayangimu!

Hiduplah!

Pergilah ke medan pertempuran dan tunjukkan kepada mereka kekuatan Kerajaan Envera!


Kelak ketika mahkota jatuh ke kepalanya, semoga Tuhan selalu melimpahkan kebahagiaan padanya.

Namanya adalah Esmeiralda Wilora.

Panjang umur sang putri!

Panjang umur sang putri!

Panjang umur sang putri!


Sorak-sorai penuh kegembiraan menggema di dalam kedai minuman itu. Semakin larut, semakin banyak koin yang dihamburkan, tepuk tangan semakin mengeras, dan aroma anggur yang memabukkan memenuhi udara. Sang penyair melanjutkan pertunjukannya pada lagu ketiga, tentang kisah lobak, wortel, singkong, dan kelapa. Lobak wortel, singkong, dan kelapa saling membenci, tetapi mereka saling memeluk ketika para manusia datang menghancurkan tanah mereka untuk membangun rumah-rumah. Lagu keempat sampai lagu keenam memiliki isi yang hampir sama: persatuan, pergerakan rakyat, dan hikayat tentang alam semesta, iblis, peperangan, menegakkan keadilan, dan melawan siapa-siapa saja yang jahat. Sang penyair bermandikan keringat, membiarkan urat-urat pada lehernya timbul ketika ia semakin keras melantunkan syair-syairnya, melompat dan menari dengan lincah, hanyut dalam senyum bersama para pelanggan yang berada di ruang antisentuhan.

Ketika kedai sudah mulai sepi, sang penyair bersama anggota band-nya memunguti koin-koin yang berserakan di lantai. Sang pemilik bar bersama anak perempuannya ikut membersihkan semua kekacauan yang tercipta pada malam itu agar mereka dapat bersiap untuk esok hari.

Mira bangkit dan berjalan menghampiri sang penyair sembari membuka tudung jubahnya. "Penyair," panggilnya.

Sang penyair menoleh, sempat bingung. "Ah, Putri!" katanya dengan riang.

"Pertunjukanmu tadi sangat luar biasa, Vin. Aku kagum."

Vin lantas mengajak Mira duduk. "Terima kasih. Namun, aku akan lebih senang jika kau juga memberiku koin."

Mira tertawa kecil sambil memberikan satu kantong kecil berisi koin.

"Kau menyukai penampilanku tadi?"

"Kau benar-benar seorang penyair yang mahir menggerakkan hati orang-orang dengan kata-kata. Aku tidak tahu bagaimana caramu melakukan itu, tapi kau melakukannya dengan lembut. Aku merasa dipeluk oleh setiap kata yang keluar dari mulutmu, dan aku rasa semua orang juga merasa demikian."

Vin mengipas-ngipas wajahnya dengan koin. "Tentu saja. Aku adalah penyair paling tersohor di Benua Merlin."

"Oh iya, aku ingin menyampaikan permohonan maafku padamu."

"Atas apa?" Vin bingung.

"Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawamu ke panggung utama festival tahunan Edinvers. Festivalnya harus diundur sampai tahun depan."

Vin terkekeh. "Ah, tidak usah dipikirkan. Memangnya siapa yang mau menghadiri festival di tengah-tengah peperangan seperti ini? Aku sudah bahagia dengan kondisiku yang sekarang. Tapi, kalau kau memang sungguh-sungguh ingin membawaku ke panggung utama, ya aku tidak menolak."

"Omong-omong, bagaimana bisa ini semua terjadi?"

"Maksudnya?"

"Maksudku, bagaimana bisa manusia, elf, orc, dan dwarf berkumpul di satu tempat dengan bersukacita ketika di luar sana peperangan antarras sedang terjadi?"

"Bagaimana bicaranya, ya .... Kedai minuman ini adalah sebuah pengecualian. Sejauh yang aku tahu, hanya di distrik inilah keempat ras bisa hidup dengan rukun dan damai. Mereka tidak peduli ada kekacauan apa di luar sana. Yang mereka pedulikan hanyalah kehidupan mereka dan tetangga mereka. Jika ada orang jahat di luar sana yang mengusik kehidupan mereka, maka orang jahat itu akan menjadi musuh bersama, tidak peduli apa pun bentuknya."

"Aku baru tahu ada distrik seperti ini di Edinvers," ujar Mira tidak percaya.

"Itulah alasan kenapa aku pergi bernyanyi dan menghibur orang-orang. Mereka menyukai musik, dan dari musik aku bisa berbicara banyak hal tanpa perlu menggadaikan nyawaku. Sejak kepergianmu dari tim, aku berusaha sebisaku untuk menjalankan peranku sebagai seorang penyair. Aku pergi ke kedai-kedai, juga ke setiap pertigaan dan perempatan di kota untuk menghibur orang-orang. Aku terus menyuarakan persatuan agar orang-orang sadar bahwa musuh kita adalah para iblis."

"Vin, kau ...."

"Aku mencoba sebisaku, Mira. Aku tahu tugas berat yang dipikul oleh kerajaan, termasuk dirimu. Aku tidak ingin membiarkan kerajaan kita jatuh hanya karena kelalaian. Aku berusaha menggerakkan hati rakyat, bersama dengan Antonio dan Osamu yang juga bekerja sama untuk membentuk serikat Hunter demi menghadapi perang yang akan datang."

Mira sedikit terkejut ketika mendengar nama itu keluar dari mulut Vin. "Antonio dan Osamu? Serikat Hunter?"

"Iya, Osamu. Kau ingat Osamu dari Old School yang waktu itu bertemu dengan kita ketika pesta bulan purnama, bukan? Osamu datang kepada kami dan berkata bahwa Nokova sudah diduduki oleh bangsa elf, dan kedua temannya sudah dibantai oleh mereka. Dia memiliki usulan untuk menyatukan semua tim yang masih tersisa di dalam turnamen, juga tim yang sudah gugur, dan guild Hunter yang ada di kota. Tujuannya adalah untuk berperang melawan elf, atau iblis, atau apa pun itu yang nanti akan menghadang kita.

"Dan hasilnya bisa kukatakan tidak terlalu buruk. Antonio dan Osamu sudah berhasil mengumpulkan total 58 orang dalam Serikat Hunter Amaryllis. Sedikit cerita saja, kami semua berusaha mati-matian untuk mendirikan serikat Hunter dengan waktu yang sangat singkat ini, apalagi ada beberapa elf dan orc juga yang tergabung di sana, menimbulkan banyak pro-kontra. Akan tetapi, Antonio dan Osamu sebagai pendiri berusaha untuk meredam segala kebencian yang mengakar di antara keempat ras dan menjalankan Serikat Hunter Amaryllis dengan dasar persatuan, kebersamaan, dan perlawan terhadap orang-orang jahat. Tidak ada yang peduli apakah itu manusia, elf, orc, dwarf, atau bangsa iblis sekalipun. Tugas kita adalah memerangi orang-orang jahat."

"Kalian semua sudah berbuat sampai sejauh itu?" Mira berkaca-kaca, tidak percaya.

"Iya," jawab Vin mantap. "Kami semua bergerak seperti benang. Kami berjalan sendiri-sendiri, tetapi pada akhirnya semuanya bertemu, merajut sebuah kain indah yang belum pernah ada sebelumnya. Perang semakin dekat dan kami tidak bisa hanya duduk dan diam. Kami harus melawan."

"Aku tidak bisa memercayainya. Harapan itu ternyata masih ada."

"Kecil, memang. Tapi kami yakin, harapan pasti masih ada."

"Aku rasa ...," ucapan Mira terpotong, "kita akan benar-benar memenangkan perang ini. Entah itu melawan para elf, orc, atau iblis, kita pasti akan memenangkan perang ini."

"Pasti. Dan jangan lupakan The Hunt for the Holy Coins. Turnamen besar ini sebentar lagi akan segera selesai. Jutaan orang sudah berkumpul di Edinvers untuk menyambut hari akhir dan menyerukan nama sang juara. Kita harus melindungi mereka semua. Kita harus melindungi kota ini."

"Kemarilah, Vin." Mira memerintahkan Vin mendekat. Ketika Vin memenuhi perintah itu, tidak disangka Mira memeluk tubuhnya erat-erat dan berkata, "Terima kasih atas perjuangan kalian, rakyatku. Aku pun akan berjuang sekuat tenaga untuk menyampaikan keinginanku membentuk aliansi di meja perundingan bersama tiga kerajaan besar tiga hari nanti. Doakan aku."

Vin sedikit kebingungan. "Kau yang akan mewakili Kerajaan Envera di meja perundingan nanti? Bukan ayahmu?"

Mira mengembuskan napas panjang. "Memangnya apa yang bisa diharapkan dari ayahku?"

"Kuatkan dirimu, Mira." Vin membalas pelukan erat Mira. "Bicaralah dengan lantang di hadapan mereka semua, demi keselamatan seluruh dunia."

Mira memejamkan matanya, mengangguk mafhum. "Aku akan berusaha."

Sebelum melepaskan pelukan itu, Mira tiba-tiba saja mendaratkan kecupan di pipi Vin. Vin menaikkan satu alisnya menatap Mira, ragu akan jawaban apa yang harus dibuatnya.

"Jangan jatuh cinta kepadaku."

Vin mengedarkan pandangan sebelum menjawab dengan nada nyeleneh, "Memangnya siapa yang tidak jatuh cinta padamu, Tuan Putri?"

Mereka berdua tertawa di tengah malam.

Tidak lama berselang, Mira berpamitan dengan Vin. Ia berpesan kepada Serikat Hunter Amaryllis untuk tidak berhenti dan terus mencari tentara demi menghadapi peperangan. Mata mereka berdua saling bertaut, cukup lama, hingga akhirnya senyuman merekah di wajah mereka masing-masing. Sebelum Mira benar-benar pergi, Vin berkata pada dirinya sendiri:

Mira adalah kebebasan.

***

Mira berjalan di tengah kegelapan jalanan kota ketika salju turun kembali, melihat asap yang mengudara di kejauhan, tanda bahwa kekacauan sedang terjadi di bagian kota yang lain. Ia bertanya-tanya dengan cemas tentang apa yang terjadi di bagian kota yang lain, tetapi itu semua enyah ketika seorang pria menabraknya dengan keras.

"Maafkan aku, Putri. Aku tidak sengaja." Pria itu membantu Mira berdiri.

Sontak Mira panik, kedua matanya terbelalak. "Siapa kau? Bagaimana kau bisa tahu siapa aku?"

Pria itu membuka tudungnya. Dari sana muncul wajah berkulit putih dengan rambut pirang bergelombang dan satu mata tertutup. Pria itu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik jubahnya dan berkata, "Terimalah pemberianku."

Itu semua terjadi dengan sangat tiba-tiba, dan itu membuat Mira semakin kebingungan.

"A-apa ini?"

"Kau tidak perlu tahu detailnya. Tapi sekarang, sebelum kita berdua berpisah jalan, aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

Mira menelan ludahnya, terdiam. Hening melingkupi mereka berdua barang sebentar.

"Namaku adalah Gibran Greminthor. Apa yang ada di dalam kotak itu adalah Vitae-ku, itu adalah mataku, Eclipse. Dan itu adalah kunci untuk menghentikan sisi gelap bulan. Aku tidak bisa memberitahumu bagaimana cara menggunakan mata itu dengan pasti. Yang terpenting, fokuskan kekuatanmu maka mataku akan aktif dengan sendirinya."

Mira tertegun, mendengarkan cerita pria itu dengan skeptis. "Apa katamu ...?"

"Aku menyerahkan ini semua padamu, Putri. Karena sekarang, aku tidak memiliki kendali penuh atas tubuhku. Benang takdir membawaku kemari untuk bertemu denganmu dan kemudian dengan Kahlil, dan aku tidak bisa berhenti sama sekali. Bahkan alam semesta pun tidak dapat menghentikanku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top