Chapter 43 - Putri Kerajaan

11 Desember 1504.

Mira terbangun dari tidurnya, menyingkap selimutnya dan menatap ke samping sambil menguap. Pada jendela yang menembus ke kota, ia bisa melihat asap mengepul di mana-mana. Ketika tangannya mencoba meraba sekitar, Mira tidak mendapati kucing anggora hitam yang biasa menggulung tubuhnya ketika ia tertidur, pria muda berambut pirang yang biasa mengorok dan menghabiskan tempat, atau pria paruh baya berambut panjang yang biasa tidur telentang sambil memangku kedua tangannya yang dibalut sarung tangan.

"Ah, aku lupa. Ini istana."

Mira beranjak dari tempat tidurnya untuk mengikat tirai ranjangnya. Setelahnya, ia memukul tempat tidurnya dan merapikan selimut serta bantalnya. Terakhir, ia menuju cermin besar di sisi kamarnya; tubuhnya terasa berat dan nyeri. Di sana ia menatap dirinya sendiri yang berdiri mengenakan daster. Hening menyelimuti, hanya ada Mira dan bayangan dirinya. Rambut cokelatnya acak-acakan, pun dengan wajahnya: kantung matanya menebal, kulitnya kusam, beberapa jerawat muncul, dan bibirnya pecah-pecah.

"Apakah aku benar-benar seorang putri?" tanya Mira pada dirinya sendiri sambil mendekatkan wajahnya pada cermin dan melihatnya dengan saksama.

Terlalu banyak hal yang harus diurus oleh Mira kemarin sehingga ia tidak sempat melihat kondisi kamarnya yang sudah hampir dua tahun ia tinggalkan. Mira menuju nakas di samping ranjangnya, tempat di mana kandil lilin serta vas bunga amarilis kecil berada. Ketika lacinya ditarik—sempat macet sedikit—Mira dapat melihat pena dan beberapa kertas serta sebuah boneka perca yang tampak menguning. Ia mengambil boneka perca tersebut dan meremasnya beberapa kali sebelum memasukkannya kembali.

"Aku bahkan tidak ingat siapa yang memberikanku boneka ini."

Di sisi ruangan yang lain, Mira mengusap pajangan piala perisai yang digantung di dinding dengan lembut, sambil matanya mengindra potret dirinya yang tersenyum mengenakan gaun berwarna merah dan mahkota perak. Lukisan tersebut dibuat ketika Mira berusia sembilan tahun, kalau ia tidak salah mengingat. Mira lalu duduk di kursi kecil berwarna merah yang berada di samping pintu kamarnya. Ia terdiam sambil menatap lampu kandil gantung serta langit-langit kamarnya yang memiliki banyak ukiran cantik.

"Permisi, Nona Mira," panggil suara wanita dari balik pintu.

Mira yang mendengar itu langsung membuka pintu. "Bibi Yerna?" Ia sempat tidak percaya, lalu memeluk wanita itu. "Aku benar-benar merindukanmu."

"Selamat datang kembali, Nona Mira. Maaf, kemarin saya sedang tidak berada di istana."

"Tidak apa-apa. Aku pun memiliki banyak kesibukan kemarin. Bagaimana kabarmu?"

Bibi Yerna menyunggingkan senyuman lebar pada wajahnya yang mengeriput, merespons senyuman Mira yang tak kalah manisnya. "Saya baik-baik saja, Nona." Mata wanita itu berkaca-kaca. "Saya benar-benar mengkhawatirkan Anda. Keadaan di luar sana semakin kacau."

"Ah, tidak masalah. Aku sudah bilang 'kan kalau aku bisa melindungi diriku sendiri? Aku baik-baik saja, kok. Mungkin aku hanya kelelahan."

"Anda benar, Nona. Penampilan Anda tampak tidak baik. Mari saya antarkan ke ruang mandi. Air panas dan sabunnya sudah siap. Setelah ini saya akan menyiapkan handuk dan pakaian gantinya juga," ucap Bibi Yerna dengan penuh semangat.

Mira terdiam sejenak, tersenyum layu menatap wanita itu. "Terima kasih."

Sudah lama sekali sejak terakhir kali Mira berjalan menuruni tangga di istana. Setiap pelayan yang berpapasan dengannya akan membungkuk dan memujinya, begitu pula setiap patung dan ubin emas yang disentuh atau dipijak oleh hawa mulia sang putri. Suasana istana benar-benar hangat. Mira merasa nyaman berada di sana, dan ia menikmati setiap langkahnya menuju ruang mandi dengan melewati pilar-pilar tinggi, zirah prajurit yang dipajang beserta tombak mereka, air mancur di sisi lorong, dan sinar mentari yang masuk melewati kaca berwarna-warni.

"Lantainya benar-benar bersih, ya," ucapnya lirih. "Omong-omong, apakah Bibi yang selama ini membersihkan kamarku?"

"Bukan, Nona. Saya lebih sering menghabiskan waktu di mansion Anda di kaki bukit Dunhill bersama dengan Albert. Mungkin yang rutin membersihkan kamar Anda adalah para pelayan yang tinggal di istana."

"Oh, iya, bagaimana kabar Paman Albert?"

"Dia baik-baik saja. Dia sekarang sedang menyiapkan sarapan Anda bersama juru masak magang di dapur istana."

"Begitu, ya ...." Mira menatap ke bawah, terus berjalan, sambil tersipu. "Aku sudah tidak sabar untuk mencicipi masakannya lagi!"

Pintu ruang mandi dibuka dan lilin-lilin yang ada di setiap pilarnya dinyalakan untuk menerangi. Mira berjalan menghampiri bak mandi besar yang dibangun di tengah ruangan itu, sementara Bibi Yerna sedang menggali lemari pakaian.

"Kapan terakhir kali aku mandi air hangat, ya?" gumam Mira setelah mencelupkan jarinya ke dalam bak mandi.

"Saya letakkan pakaian Anda di sini, ya, Nona." Dari pilar di dekat pintu Bibi Yerna berkata. "Saya akan menunggu di luar. Kalau Anda sudah selesai, bunyikan saja loncengnya. Setelah itu saya akan membantu Anda merapikan rambut Anda."

Mira tersenyum. "Terima kasih, Bibi!"

Pintu ruang mandi pun ditutup, dan kini hanya tersisa Mira seorang di sana. Bau dupa perlahan-lahan memenuhi ruangan, dan Mira hanyut di dalamnya. Ia lantas menarik tali dasternya, membiarkan dasternya turun meninggalkan tubuhnya, dilanjut melepas pakaian dalamnya dan melangkahkan kakinya memasuki bak mandi yang dipenuhi kelopak bunga melati itu.

Mira menyapu air di bak mandi dengan kakinya sebelum akhirnya memantapkan diri untuk menenggelamkan tubuhnya di sana. Ia melakukan itu perlahan-lahan agar dapat sepenuhnya mengalami perasaan ngeri sekaligus nikmat yang timbul ketika tubuhnya dipeluk air hangat (yang sebetulnya panas) di bak mandi itu.

"Nikmat sekali ...," desah Mira. Ia membuka matanya menatap langit-langit, tepat pada sebuah kaca persegi yang menjadi tempat cahaya masuk. Ia bisa merasakan dirinya disentuh lembutnya sang surya, membiarkan jiwanya melayang dan menghilang pada alam ketidaksadaran. Waktu berlalu sampai Mira kembali lagi ke dunia nyata, dan beranjak mengambil sabun lalu mengusapkannya ke seluruh bagian tubuhnya.

Proses itu terjadi dua kali lebih lama ketimbang Mira menenggelamkan tubuhnya ke dalam bak mandi. Mira benar-benar menghabiskan setiap detik untuk bersentuhan dengan kulitnya sendiri dan merasakan keindahan dirinya, sebelum akhirnya membilasnya. Kemudian, ia mengambil sampo dan menggosokkannya pada rambutnya dengan lembut untuk membersihkan segala kotoran dan tanah yang menempel pada kulit kepalanya. Pelan. Hati-hati. Ia menghidu semerbak bunga yang merekah di kepalanya, dan berkata dengan nada penyesalan kecil, "Bagaimana bisa aku meninggalkan kehidupan seindah ini?"

Setelah selesai mandi, Mira mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Tidak pernah ia rasakan benda selembut itu mengusap tubuhnya, memberinya perasaan yang tidak dapat diejawantahkan. Mira membunyikan lonceng di samping pintu, dan beberapa saat kemudian Bibi Yerna membuka pintu sambil membawa handuk yang berbeda.

"Mari pergi ke ruang rias," ujarnya. "Saya akan merapikan rambut Anda."

Mira duduk di atas kursi di depan meja rias yang memiliki cermin yang tingginya bukan kepalang. Di sana ia dikelilingi oleh beberapa pelayan wanita yang berusaha mengeringkan rambutnya dengan handuk dan Vitae yang dapat meniupkan angin, membetulkan pakaiannya, dan mempercantik kuku tangan serta kakinya. Mira lebih memilih untuk membiarkan rambutnya tergerai, dan setelah itu barulah wajahnya dirias oleh para pelayan. Terakhir, sekujur tubuhnya disemprot wewangian.

Seluruh pelayan wanita yang mengelilinginya, termasuk Bibi Yerna, berkata secara bersamaan, "Cantik sekali!"

Mira terdiam di depan meja rias, menatap dirinya di cermin sambil membatin, Apakah ini benar-benar diriku?

Setelah itu, Mira digiring dengan penuh kebanggaan menuju ruang makan. Di samping meja makan yang panjang dan mewah itu sudah berdiri Paman Albert. Ia mengenakan setelan hitam-panjang yang rapi dengan saputangan putih di saku dadanya. "Selamat menikmati sarapan Anda, Nona Mira," ucap pria itu sambil membungkuk.

Mira tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia sontak melepas pegangan tangan para pelayan wanitanya dan berlari menghampiri meja makan untuk mengambil daging serta kentang.

"Selamat pagi, Paman Albert!" ucap Mira tergesa-gesa.

Paman Albert tersenyum. "Selamat pagi, Nona. Senang bisa melihat Anda kembali."

Ditemani para pelayannya, Mira menikmati sarapan paginya. Mengetahui bahwa semua pelayannya hanya berdiri melihatnya menghabiskan makanan dalam jumlah yang banyak, Mira memerintahkan para pelayannya untuk duduk bersamanya dan mempersilakan mereka mengisi perut mereka dari meja makan yang sama dengan yang dinikmati olehnya. Seiring berjalannya waktu, Mira memimpin pembicaraan. Yang terdengar dari luar ruang makan hanyalah gema penuh kegembiraan dan canda tawa. Istana kembali tersenyum setelah kedatangan Putri Esmeiralda.

***

13 Desember 1504.

Merasa bosan, Mira memutuskan untuk berjalan-jalan di istana sendirian. Dengan pakaian santai ia berjalan menuju taman istana, duduk pada bangku di depan air mancur. Setelah itu, Mira berjalan melewati setiap lorong dan kamar yang ada di istana. Itu semua terasa kosong, membuat Mira berpikir, Andai saja Julietta tinggal di sini.

Mira yang merasa lelah memutuskan untuk duduk dengan santai sambil menikmati teh panas dan membaca sebuah buku yang ia pinjam dari perpustakaan istana, menatap ke luar jendela menuju lapangan tempatnya berlatih pedang. Siang itu salju turun, langitnya kelabu. Mira menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan memeluk dirinya sendiri sambil terdiam di dalam keheningan dan kegelapan lorong itu. Ia mencoba mengkoneksikan dirinya dengan butiran-butiran salju yang turun—yang kecil, yang dingin—lalu menumpuk diri di tanah.

Mira membalikkan satu per satu halaman dari buku itu tanpa berekspektasi apa-apa. Buku dengan halaman-halaman yang menguning itu sepertinya diproduksi lebih dari 50 tahun yang lalu. Isinya fiksi, tidak ada signifikansi yang terlalu jelas terhadap kehidupan Mira sebagai seorang putri kerajaan. Akan tetapi, itulah yang ia cari. Mira berusaha menemukan sesuatu yang bisa ia nikmati di waktu senggangnya tanpa membebankan pikirannya. Maka dari itu, buku itu cocok untuknya.

Tidak ada sesuatu yang begitu menarik yang dapat ditemukan oleh Mira dalam buku itu. Kisah yang dituangkan di dalam buku itu tidak lebih dari kisah-kisah lama yang disampaikan dengan kata-kata indah dan ilustrasi yang menawan bagi anak-anak—ringan. Sampai akhirnya pada suatu momen, Mira berhenti pada sebuah halaman yang tidak diisi oleh gambar. Hal tersebut membuatnya bingung sebab yang terpampang di halaman itu hanyalah kalimat dengan ukuran kecil:

Tikus pengulangan waktu akan bertemu dengan tikus penafsiran dunia, dan dari merekalah bulan akan menyala.

Yang membuat Mira semakin heran adalah kedua kalimat tersebut tidak dibarengi dengan penjelasan yang lebih rinci menggunakan kalimat-kalimat yang mudah dipahami seperti kisah-kisah pada halaman sebelumnya. Justru, yang menjadi satu-satunya penjelas bagi dua kalimat tersebut adalah judul halaman yang diletakkan di bagian tengah-atas:

SISI GELAP BULAN

"Apa maksud tulisan ini?"

Pada momen itu, Mira tersentak karena ia mendengar suara. Ia melihat seekor kucing berwarna hitam sedang menggendong pedang miliknya dan menaruhnya di bawah pohon.

"Muezza?" terka Mira sambil menyipitkan matanya. "Bukan." Ia berlari mengejar kucing itu, tetapi kucing itu keburu kabur dan menghilang. Mira menatap pedangnya yang terbaring di bawah pohon dan mengangkatnya. "Apa yang kucing tadi lakukan?"

Di bawah hujan salju, di bawah pohon, Mira berdiri sembari menghunuskan pedangnya. Meski mengenakan daster panjang, ia tetap dapat menguatkan kuda-kudanya. Tatapannya tajam menuju batang pohon di hadapannya, dan ia mengayunkan pedangnya. Batang pohon itu tergores. Masih belum puas, Mira mengayunkan pedangnya sekali lagi, dan itu terus berulang sampai akhirnya dirinya tumbang disuntik dingin. Napasnya memburu, uap keluar dari sana bagaikan embusan angin dari lembah di pegunungan.

"Aku terlahir," Mira menatap telapak tangannya, "untuk mengayunkan pedang."

Tiba-tiba saja suara seorang wanita memanggil dengan nada yang tinggi, "Mira!"

Mira menoleh, mendapati wajah yang tak asing baginya. Itu adalah ibu tirinya, Ratu Grace.

"Yang Mulia," Mira berdiri dan membersihkan pakaiannya dari salju, "selamat datang kembali."

Grace mengangkat sedikit roknya untuk berlari, kemudian memeluk Mira erat-erat. "Ah, aku merindukanmu, Mira. Bagaimana kabarmu? Ke mana saja kau selama ini?"

Mira hanya diam.

"Mira?"

"Aku baik-baik saja. Aku berburu iblis bersama timku dalam turnamen."

"Tubuhmu .... Kau kedinginan. Ayo kita masuk ke dalam. Akan kubuatkan teh panas."

"Tidak perlu, Yang Mulia," balas Mira datar. "Aku sudah menghabiskan teh panasku."

Hening mengambil alih percakapan dua wanita itu barang sejenak.

"Di mana Ayah?" tanya Mira dengan nada serius.

"Ayahmu sedang berada di kamarnya. Apakah kau ingin berbicara dengannya? Kenapa kau terburu-buru sekali, Nak? Kita sudah tidak bertemu selama hampir dua tahun. Ibu ingin sekali berbicara denganmu."

Mira melepaskan tangan Grace, kemudian berpamitan padanya, "Aku akan menjumpaimu lagi nanti, Yang Mulia. Aku akan bertemu dengan Ayah terlebih dahulu."

Grace terdiam di bawah pohon sendirian, mengepalkan tangannya dengan lemah sambil menatap gadis itu yang perlahan menghilang dari pandangannya dengan menaiki tangga. Setelah bertahun-tahun, sepertinya dia masih membenciku.

***

Raja William berjalan memasuki kamarnya dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan bantuan pelayannya. Semakin hari tubuhnya semakin melemah, dan ia sering sekali mengalami mati rasa. Pelayan terbarunya—yang kini menggantikan posisi Edward—Gustav, terus membantunya melewati hari-harinya yang penuh dengan kesusahan akibat masa hidupnya yang tidak lama lagi—bersama dengan obat dan banyak ramuan herbal. Semenjak kematian Edward, William telah melakukan satu kali proses penumbalan. Di dalam proses tersebut, ia berhasil memberikan 85 jiwa kepada Capella. Itu berarti, tinggal tersisa satu pengorbanan lagi sebelum akhirnya William menyelesaikan proses menuju keabadian. Dan, satu pengorbanan tersebut akan dibebankan kepada ...

"Mira," panggil William dengan lirih, "akhirnya kau kembali lagi ke istana."

Mira berdiri di pintu kamar dengan wajah gelap. Matanya menatap tajam kepada ayahnya dan alisnya menunjukkan gelora amarah yang membara. Mira beranjak menuju ranjang tempat ayahnya terbaring; sepatunya mengentak dengan keras. Ia berteriak tepat di depan wajah ayahnya, "Apa yang kaulakukan pada kerajaan ini, keparat?!"

Gustav yang melihat itu pun langsung mengundurkan diri, keluar dan menutup pintu kamar.

"Berani sekali kau berkata seperti itu setelah meninggalkan istana selama hampir dua tahun. Kau ini adalah seorang putri mahkota. Apa yang salah denganmu?"

Mira menunjuk wajah ayahnya dengan bersungut-sungut. "Justru karena aku seorang putri mahkota, aku peduli pada kondisi kerajaanku. Kau mendeklarasikan perang kepada bangsa elf dan orc, dan kini kau lepas tangan terhadap kondisi kerajaan kita. Seharusnya aku yang bertanya kepadamu, apa yang salah denganmu?!"

"Tidak ada yang salah denganku, Sayang," ucap William pelan dengan bibirnya yang kaku. "Kerajaan kita akan menerima cahaya yang paling terang yang belum pernah disaksikan oleh penghuni belahan bumi mana pun. Ketika hari itu tiba, satu-satunya hal yang akan tampak hanyalah keindahan."

"Apa yang kaubicarakan?"

Dengan susah payah William mencoba duduk. Ia mengangkat kepalanya dan mendekatkan mulutnya pada telinga Mira, lalu berbisik, "Sisi gelap bulan akan muncul pada tanggal 9 Januari 1505."

"Apa katamu?" Mira terbelalak. "Bagaimana kau bisa tahu soal itu?"

"Para astronom dari Universitas Edinvers telah memberitahuku. Itu adalah tanggal mutlak. Mereka bilang, penghitungan kali ini sudah dikaji dan dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga tidak akan meleset lagi. Kerajaan kita tentunya akan mempersiapkan diri untuk akhir turnamen, perang melawan elf dan orc, sekaligus datangnya sisi gelap bulan, tapi tidak sekarang. Untuk sekarang, hal yang paling utama adalah ... melindungi diriku sendiri."

Mira menampar pipi ayahnya dengan keras. "Ribuan orang tewas karena turnamen ini, dan itu adalah ulahmu! Tidakkah kau berpikir, sudah berapa banyak orang yang kehilangan rumah serta keluarga mereka di luar sana? Sudah berapa banyak orang yang mati karena kelaparan dan kedinginan? Dan sudah berapa banyak orang yang hidup dengan penuh ketakutan? Mereka semua berpindah-pindah tempat karena ancaman dari iblis dan kebencian dari ras lain. Mereka hidup di bawah ketidaktenangan. Tidakkah kau berpikir tentang itu, sekali saja, sebagai seorang raja?"

"Kenapa aku harus,"—William terbatuk—"berpikir tentang itu?"

"Kenapa, tanyamu?!" Mira semakin geram. "Karena kau adalah seorang raja! William Triton Alexander, pemimpin Kerajaan Envera!"

"Aku tidak peduli."

Mira terdiam, mundur.

"Waktuku tinggal sedikit, dan untuk menghabiskannya aku ingin habis-habisan saja. Awal ketika ide terkait The Hunt for the Holy Coins muncul, aku sudah mempersiapkan sebuah rencana paling luar biasa di seluruh alam semesta. Untuk menjadi abadi dan menguasai dunia. Untuk menjadi raja seluruh dunia, dan untuk mencapai itu aku harus mengalahkan seluruh kerajaan di muka bumi.

"Turnamen ini adalah caraku untuk menyatukan seluruh ras dari seluruh penjuru dunia untuk berkumpul di satu tempat, yakni Kota Edinvers. Ketika sisi gelap bulan muncul, aku akan menjadi abadi, dan setiap dari mereka yang menentangku akan mati. Dengan begitu, aku akan mencapai tujuanku, menguasai dunia."

"Apa yang barusan kaukatakan, Ayah?" Mira bertanya dengan gemetaran. "Apakah kau ... menyembah iblis?"

William menyeringai. "Benar."

Mira yang sudah kepalang kesal, dengan napas memburu, mencari sesuatu di dalam kamar ayahnya. Ia mengambil sebuah belati dari dalam laci, menghunusnya, dan menempelkannya di leher ayahnya. "Kau mempertaruhkan kehidupan seluruh manusia, elf, orc, dan dwarf yang ada di dalam kerajaan kita hanya untuk tujuan pribadimu semata? Hanya untuk memuaskan iblis sembahanmu itu?"

"Jika kau ingin membunuhku, bunuh saja aku," ujar William santai. "Faktanya, kau tidak akan bisa dan tidak akan sudi membunuhku."

Mira menggertakkan giginya, tak kuasa menahan air mata. "Apa yang harus aku lakukan sekarang ...?" tanyanya kepada ayahnya dengan nada marah bercampur putus asa, sungguh-sungguh meminta jawaban.

"Jangan pergi dari istana. Aku membutuhkanmu."

"Apa maksudmu ...?"

"Jika kau pergi dari istana, aku tidak akan mampu menyelesaikan ritualku. Untuk beberapa hari ke depan, sampai sebelum sisi gelap bulan tiba, aku akan pergi bersama Grace ke mansion tempatmu tinggal di kaki Bukit Dunhill. Kami akan melindungi diri kami sendiri di sana. Dan kau, Mira, dengan ini, aku perintahkan untuk menjaga kota. Aku menyerahkan seluruh kuasa di dalam kerajaan padamu."

"Apa?" Mira tidak percaya. "Apa maksudmu 'menyerahkan seluruh kuasa di dalam kerajaan'? Hei, jangan bercanda, Ayah. Apa yang sebenarnya kauinginkan?"

William tertawa. "Aku ingin lari dan menyelamatkan diri."

Mira melempar pisaunya hingga menancap di tembok, kemudian terdiam.

"Berita yang mungkin akan membuatmu syok adalah, aku telah berhasil mengundang tiga kerajaan besar dunia untuk berbincang dengan Envera di atas meja bundar, merundingkan segala katastrofe yang ada di hadapan kita. Aku sudah mendeklarasikan tanggalnya kepada mereka, 18 Desember 1504. Zaven Bornardi dari Cottonfall, Qana Yamzeii dari Kutsakha, dan Edgar Granda Rubetera dari Vontera akan datang ke Kota Edinvers. Pada momen itu, mereka akan menyadari bahwa aku tidak ada di kota ini. Maka dari itu, Mira, aku menyerahkan semuanya kepadamu. Aku tahu betul, kau tidak akan bisa mengendalikan semuanya, terutama menjadi seorang pengganti raja. Dan dengan begitu, Kerajaan Envera akan runtuh di tanganmu, membuat kekuasaanku semakin absolut dan abadi. Ibarat kata, aku menyulut kembang api, lalu memasukkannya ke dalam mulutmu dan membiarkannya menghancurkanmu menjadi berkeping-keping."

Mira membelalakkan kedua matanya, tidak berkedip sama sekali menatap ayahnya. Pria paruh baya yang sedang terbaring di atas ranjang itu, bagi Mira, bukanlah seorang manusia. Dia adalah iblis. Iblis yang sama yang mendepak Ludwig Triton Alexander serta putrinya, Julietta Alexandra, dari istana dengan segala kecerdikan dan tipu muslihatnya. "Bagimu, keluarga tidak penting, ya?"

"Menurutmu?"

"Apakah mungkin, kematian Ibu dulu adalah ulahmu juga?"

"Aku tidak ingin menjawab itu."

Mira mengepalkan tangannya dengan kesal dan berkata, "Aku berharap, iblis sepertimu akan membusuk di neraka."

"Aku tidak akan pernah membusuk di neraka, Sayang. Aku abadi."

Mira keluar dari kamar ayahnya dan membanting pintunya dengan keras. Entakan sepatunya yang menuruni tangga dapat terdengar di telinga William. Dengan terbatuk-batuk dan terus mengalami nyeri di kepalanya, William berkata, "Berjalanlah, putriku. Berjalanlah sekuat yang engkau bisa. Segala pengorbananku, sejak hari pertama aku dilahirkan, akan segera berakhir. Turnamen akan mencapai garis akhir dan hari ketika bulan menunjukkan sisi gelapnya secara penuh akan segera tiba."

***

Malam harinya, Mira tampak menunggu dengan resah di dalam gudang senjata istana. Ketika ia mendengar suara ringkikan kuda dan langkah kaki dari sepatu besi berjalan menyusuri lorong, ia segera berlari mencari suara itu dan berteriak, "Jenderal Fairnburne!"

"Pu-Putri Mira?" ucap pria itu tidak percaya. Ia berlutut di hadapan Mira setelahnya. "Selamat datang kembali, Putri. Senang dapat melihat Anda."

"Aku membutuhkan bantuanmu," ucap Mira tergesa-gesa.

"Ada apa gerangan?"

"Aku ingin kau membantuku di atas meja perundingan dengan tiga kerajaan besar dunia tanggal 18 Desember nanti."

Fairnburne terkejut. "Sa-saya, Putri? Bukankah Raja William dan penasihatnya sendiri yang nantinya akan menghadiri pertemuan besar tersebut?"

"Tidak ada waktu untuk menjelaskannya, Jenderal. Bantu aku mempersiapkan segala hal terkait dengan perundingan nanti. Aku memiliki misi yang harus kusampaikan kepada tiga kerajaan besar, yaitu membentuk aliansi demi menghadapi serangan iblis ketika sisi gelap bulan muncul."

"Aliansi?" Fairnburne menggaruk-garuk kepalanya. "Tetapi apakah itu mungkin, Putri? Dalam waktu yang singkat begini—"

"Tidak ada yang tidak mungkin!" bentak Mira. "Semua hal dapat selesai ketika kita ditempatkan dalam posisi terpaksa. Dan hal buruknya, aku tidak terlalu percaya kepada para astronom dari Universitas Edinvers. Mereka memprediksi bahwa sisi gelap bulan akan muncul pada tanggal 9 Januari 1505. Menurutku, sisi gelap bulan akan muncul jauh sebelum itu. Mungkin satu atau dua minggu ke depan, bertepatan dengan akhir turnamen."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top