Chapter 41 - Neraka

6 Desember 1504.

Masa istirahat fase ketiga The Hunt for the Holy Coins.

Malam itu bulannya terang dan sudah mulai terdapat tanda-tanda bahwa salju akan segera turun. Sekelompok orang berpakaian tebal berjalan kaki menyusuri sungai di selatan Hasfijy untuk menuju ke Edinvers. Mereka hanya berbekal obor dan pedang.

Mereka mulai bergerak ke barat menuju Edinvers dikarenakan kondisi timur yang sudah tidak kondusif. Semenjak memasuki bulan Desember, semakin banyak peristiwa aneh terjadi, mulai dari hujan deras yang turun dan menghilang tiba-tiba, munculnya benda-benda "antik" yang tidak pernah diketahui siapa pemiliknya, menghilangnya orang-orang dan datangnya orang-orang tak dikenal, sampai keluarnya iblis-iblis yang belum pernah tercatat di buku sejarah mana pun.

Bagi mereka, Edinvers itu bak api unggun di tengah musim dingin yang memberikan kehangatan bagi sesiapa yang mengelilinya. Sehingga pilihan terbaik dari sekelompok orang tersebut adalah mengungsikan diri mereka ke ibu kota. Ketika menemukan permukiman penduduk, pria yang menjadi pemimpin kelompok tersebut mengusulkan ide untuk bermalam di sana sebab mereka tidak mungkin melanjutkan perjalanan karena takut salju akan turun dan membunuh mereka di tengah perjalanan.

Salah satu dari mereka menyadari bahwa ada seekor iblis yang sedang hinggap di atas pohon di samping rumah warga. Pria pemimpin kelompok tersebut berkata, "Jangan lihat ke atas. Tetap lanjut saja."

Tidak ada yang salah dengan tempat itu. Semua rumahnya masih berpenghuni, dapat terlihat dari beberapa lentera yang masih menyala di tengah kegelapan dan hewan-hewan peliharaan seperti anjing dan kucing yang masih bersuara di tengah keheningan.

"Ini bukan ide yang bagus, Ketua," ucap salah seorang pemuda yang mengikutinya.

Pria itu berbalik, "Kalian tidak perlu takut. Kita sudah menyumpah diri kita untuk setia kepada bangsa iblis. Kita sudah mengorbankan darah kita atas nama Tuan Amadeus dan Yang Mulia Regulus. Selama kita terus menyebut nama mereka, kita tidak akan diganggu oleh iblis-iblis yang menghuni tempat ini."

"Sekarang kita akan pergi ke mana?" Pemuda itu bertanya.

"Menemui tuan kita."

Selama beberapa menit mereka terus berjalan di tengah permukiman itu. Banyak sekali iblis yang bertengger di atas pohon, menatap mereka dengan tajam. Tidak hanya itu, ada juga kavaleri gaib dengan barisan yang begitu panjang. Pemimpin mereka menunggangi kuda putih bersenjatakan sabit raksasa.

"Itu Ghost Riders."

"Sudah kubilang jangan lihat ke atas."

"Kenapa tempat ini dipenuhi oleh banyak iblis? Dan kenapa kita tidak diserang oleh mereka."

"Karena kita adalah tamu."

Sampailah mereka di depan sebuah pondok yang terletak di pinggir permukiman tersebut, dekat dengan sebuah jurang yang dalam. Pria pemimpin kelompok tersebut menghampiri pintu pondok, membuat para pengikutnya kebingungan.

"Ketua, apa yang kaulakukan?"

Pria itu membalas, "Ini adalah tempat yang ditunjukkan oleh Tuan Amadeus kepada kita."

Saat pintu itu dibuka, yang terhampar di dalamnya adalah sebuah laut yang luas dengan beberapa perahu yang ditumpangi iblis—berbaris sambil membawa barang-barang entah ke mana tujuan mereka.

"Apa ini, Ketua?" Pemuda itu membelalakkan matanya, tampak gemetaran.

Pria itu tidak menjawab pertanyaan pengikutnya. Ia hanya mengangkat tangannya untuk memanggil salah satu dari perahu yang sedang berlayar di laut. Anehnya, perahu tersebut berbelok dan menghampiri mereka yang berada di tepi pantai (pintu pondok). Iblis tinggi yang berada di atas perahu itu menurunkan obornya untuk menerangi dan memastikan siapa yang datang. "Kalian adalah para tamu undangan Tuan Aldebaran," ujarnya dengan nada berat.

"Benar," jawab sang pemimpin kelompok. "Dia memperkenalkan dirinya sebagai Wolfgang Amadeus, Hunter terkuat di Kerajaan Envera."

"Naiklah," ucap iblis tinggi itu.

Maka naiklah pemimpin kelompok itu, diikuti oleh para pemuda yang menjadi pengikutnya. Perahu itu berputar dan kembali berlayar, menembus kabut di tengah lautan. Salah seorang pemuda yang sedari tadi berbincang dengan pria pemimpin kelompok itu kini hanya bisa terdiam melihat pemandangan yang berada di sekitarnya. Laut dan langit di sana sangat aneh. Warnanya hitam dan putih, hampir sama seperti sebuah lukisan. Di kejauhan ada sebuah cahaya merah yang membara, seakan-akan memanggil mereka. Dari embusan angin yang dibawa oleh panggilan cahaya tersebut, terdapat tangan-tangan kasar yang membelai rambut orang-orang yang menaiki perahu itu dengan sangat lembut. Sontak mereka semua terkejut, kecuali sang pemimpin kelompok.

"Jangan takut," kata iblis tinggi. "Mereka adalah tangan dari Tuan Aldebaran, Bintang Pertama, yang sedang menyambut kalian."

"Sudah lama sekali sejak aku dibelai oleh tangan Amadeus seperti ini," ujar pria pemimpin kelompok itu.

Akhirnya mereka sampai di pelabuhan. Rupanya cahaya merah yang membara itu berasal dari sebuah mercusuar yang berdiri di tebing dekat pelabuhan itu. Dari sana keluar iblis hantu yang banyak jumlahnya, berputar mengelilingi mercusuar.

"Kalian hanya perlu melangkah beberapa ratus meter ke depan. Terdapat rumah besar yang berdiri di tengah-tengah tanah kosong. Di sanalah tempat Tuan Aldebaran berada."

"Terima kasih, iblis."

Iblis tinggi itu berbalik bersama perahunya, kembali berlayar di lautan tanpa tujuan yang jelas. Setelahnya, kelompok itu kembali melanjutkan perjalanan mereka. Pulau tempat mereka menginjakkan kaki sekarang hanya berisi tanah berwarna hitam dan putih, begitu pula dengan pepohonan dan bebatuan yang mengakar di sana. Tidak ada hewan atau tanda-tanda kehidupan lain selain suara nyanyian bernada rendah dengan iringan biola. Suara tersebut indah—magis—sebab lantunannya dapat membuat siapa pun yang mendengarnya merasakan rasa sakit berupa penderitaan yang paling dalam, digali langsung dari sanubari seorang pendosa.

"Inilah rumahnya." Pria itu menatap rumah bertingkat yang berada di hadapannya. Semua orang di dalam kelompok termasuk dirinya begitu heran melihat rumah tersebut. Rumah itu tampak lebih modern 200 atau 300 tahun dari zaman sekarang. Ketika mereka dirundung kebingungan, pintu rumah tersebut mendadak terbuka dan sebuah suara memanggil mereka.

"Masuklah."

Benar saja dugaan mereka. Rumah itu adalah rumah mewah, bahkan lebih mewah dibandingkan mansion pejabat atau istana kerajaan. Lagi-lagi, warna hitam dan putih merupakan dua perpaduan primer yang menjadi penyejuk mata. Pria pemimpin kelompok itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan merasakan hawa panas memeluk dirinya erat-erat.

"Apa ini, Ketua?!"

"Tenangkan diri kalian," ujarnya. "Yang sedang memeluk kalian saat ini adalah dosa."

Pada saat itu muncul seorang gadis cilik dari dalam tembok, sedang mengangkat lenteranya. Ia berdiri di atas tangga dan menatap kelompok itu dengan hati-hati sambil memiringkan kepalanya. Beberapa detik setelah tatapan gelap dari mata yang berlubang itu diperlihatkan, gadis itu tersenyum lebar. "Ikuti saya. Tuan Aldebaran sudah menunggu kalian," ujarnya dengan lembut.

Mereka pun melangkahkan kaki mereka, satu per satu melewati anak tangga yang ada. Di lantai kedua, terdapat sebuah lorong panjang yang diisi oleh banyak sekali ruangan. Mengikuti gadis itu, mereka pun berjalan melewati setiap ruangan yang ada.

Salah satu pintu terbuka, di sana terduduk seorang wanita dengan wajah datar yang sedang melihat sebuah benda persegi yang menyala. Dari sana keluar bunyi dan getaran: "Tidak ada yang mau menolongku." Wanita itu tampak kosong, ditambah dengan tubuhnya yang sangat kurus. Ia berdiri dengan susah payah, naik ke kursinya, dan melilit lehernya sendiri dengan sebuah tali tambang. Ia tendang kursinya dan tubuhnya tergantung di sana—meronta-ronta—sebelum akhirnya ia tidak bergerak lagi.

Di ruangan sebelah, terdapat sesosok pria yang meleleh kepalanya. Ia hanya tersenyum menatap rombongan kelompok itu. Tubuhnya menggigil dan ia berusaha menghangatkannya dengan sebuah selimut. Akan tetapi, ketika ia menarik selimut itu, selimut itu meleleh. Sebelum akhirnya mereka melewati ruangan itu, pria itu berkata, "Aku dulu sering sekali menghardik orang lain."

Pada ruangan yang lain, terdapat sesosok pria yang hancur rahangnya, sementara perutnya besar tak terkira. Di kedua tangannya ia menggenggam emas, dan di atas kepalanya muncul sebuah lingkaran seperti mahkota yang kemudian menghujaninya dengan banyak sekali koin. Ia mengais-ngais koin tersebut dan berusaha memakannya, tetapi ia sadar, perutnya sudah kenyang.

Ada banyak sekali ruangan di lorong tersebut: orang-orang yang dipotong tangannya, kakinya, kepalanya, lidahnya, dan masih banyak lagi. Tempat tersebut adalah panggung pertunjukan yang mempertontonkan penyiksaan kepada para pendosa. Ketika sampai di ujung lorong gadis tersebut menghilang, tetapi bisikannya masih dapat terdengar dengan jelas: "Masuklah ke dalam pintu itu. Tuan Aldebaran ada di dalam sana. Ia duduk di samping singgasana neraka, menunggu Raja Regulus kembali."

Pria pemimpin kelompok tersebut menelan ludahnya, sementara para pengikutnya hanya bisa berpegang pada jubahnya dengan penuh ketakutan. "Apakah kalian siap?" tanyanya.

"Ketua, kita harus keluar dari sini."

Tidak memedulikan kata pengikutnya, pria itu memutar knop pintu. Terhampar di depan sana sebuah ruangan yang gelap gulita. Mereka tidak bisa melihat apa-apa. Satu-satunya hal yang dapat mereka rasakan adalah hawa panas yang menyentuh kulit mereka.

"Selamat datang di neraka."

Mereka semua terkejut bukan main ketika melihat penampakan wajah berwarna merah tersebut. Mengendalikan dirinya dengan kesadaran penuh, pria pemimpin kelompok itu lantas maju dan bersalaman dengan sosok yang ada di hadapannya. "Terima kasih telah mengundang kami, Tuan Amadeus."

"Penduduk neraka mengenalku dengan nama Aldebaran. Rumah ini adalah tempat kami melakukan kegiatan sehari-hari kami. Di rumah ini jugalah aku mengumpulkan seluruh iblis dari seluruh alam semesta yang ada sembari mendiskusikan rencana untuk menggoda manusia."

Pintu ruangan tersebut terkunci. Seketika tujuh kursi muncul dan menarik semua orang yang ada di dalam ruangan tersebut untuk duduk di atasnya. Amadeus memunculkan wujud palsunya: pria paruh baya dengan pakaian yang sangat modis. Ia mengenakan jas, topi, monocle, dan sebuah tongkat untuk berjalan. Mata birunya menyala terang menatap mereka semua.

"Aku yakin kalian semua takut, tapi tidak apa-apa. Sekarang kalian adalah bagian dari kami, penghuni neraka yang abadi. Tidak perlu takut lagi karena kalian sudah mengorbankan darah kalian atas nama Regulus."

"Terima kasih banyak, Tuan Aldebaran."

"Mordo, kau tampak begitu sehat. Bagaimana kehidupanmu?"

"Banyak yang berubah setelah saya dan pengikut saya mengorbankan darah kepada Anda. Kehidupan kami yang sekarang dipenuhi dengan banyak sekali kesenangan."

"Bagus," Amadeus maju, menepuk pundak pria itu, "itu tandanya kau sudah menemukan jawabannya. Jalan yang paling benar di dunia ini adalah jalan para iblis."

"Benar sekali, Tuan."

"Katakan padaku, sudah berapa banyak orang yang kaupengaruhi?"

"Saya mencoba berdakwah ke sembilan desa bersama kelompok saya. Ada banyak sekali tantangan dalam petualangan kami, tapi kami sangat bangga."

"Kenapa demikian?"

"Semakin hari semakin banyak orang yang menggaungkan nama Anda sebagai pahlawan kehidupan, serta nama Yang Mulia Regulus sebagai penyelamat mereka. Orang-orang meninggalkan Tuhan yang selama ini mereka sembah dan pergi ke jalan yang gelap karena hanya di sinilah tempat kita bisa menemukan kebahagiaan dan kesejahteraan abadi."

Amadeus tersenyum simpul. "Sempurna. Kau telah menyebarkan ajaran iblis dengan sempurna. Aku bangga kepadamu, Mordo."

"Terima kasih, Tuan Aldebaran. Kau benar-benar seorang pria yang baik hati."

"Sekarang lanjutkan perjalanan kalian. Pergilah ke Edinvers, goda semua manusia yang ada di sana, beri tahu mereka bahwa jalan yang paling benar di dunia ini adalah jalannya para iblis. Kita harus mencari banyak jemaat untuk menyambut kehadiran Regulus ketika bulan menunjukkan sisi gelapnya secara penuh nanti."

"Kalau boleh saya bertanya, kapan peristiwa itu akan terjadi, Tuan?"

Amadeus mengangkat tubuhnya, memudarkan senyumannya, dan menjelaskan dengan tegas, "Peristiwa itu akan terjadi pada tanggal 31 Desember 1504 ketika si kembar Kahlil dan Gibran bertemu. Pada masa itu, jutaan orang dari seluruh dunia akan berkumpul di Edinvers untuk menyambut babak akhir The Hunt for the Holy Coins. Bulan akan terlihat paling terang di kota itu, dan tidak akan ada yang bisa menghalau kekuatannya. Sekarang aku sedang bersusah payah untuk mengumpulkan pasukan iblis dari seluruh alam semesta untuk menyambut kebangkitan raja kita. Maka dari itu, kau dan kelompokmu juga harus melakukan hal yang sama, Mordo. Tidak hanya kau, tetapi semua penyembah iblis yang eksis di semesta tempat kalian tinggal. Jangan sampai bangsa kita kalah oleh orang-orang beriman. Sebab semenjak The Four Ladies meninggal, musuh terbesar bangsa iblis adalah mereka yang masih percaya kepada Tuhan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top