Chapter 40 - Katarsis

22 November 1504.

Enam hari sebelum penutupan fase ketiga The Hunt for the Holy Coins.

Belasan kapal besar berlayar dari Benua Grandea menuju Merlin. Itu adalah respons terhadap ketidakpedulian raja para manusia, William Triton Alexander, terhadap peninggalan bersejarah bangsa elf, relik kubus suci Enigma.

Hari peperangan semakin dekat tatkala kapal dari Kerajaan Cottonfall berlabuh di Nokova. Pada hari itu seluruh manusia yang ada di sana kebingungan. Mereka melihat kapal-kapal besar itu menghantam dermaga dan menabrak rumah-rumah kecil yang berdiri di atas pelabuhan itu. Dari sana turun ratusan orang dengan telinga panjang, mengenakan setelan zirah lengkap. Salah satu di antara mereka membiarkan kepalanya terbuka. Yang terpampang di sana adalah wajah bersih dengan mata berwarna biru yang dimahkotai rambut pirang panjang.

"Manusia telah merenggut senjata terkuat bangsa elf dari tangan kami. Enigma, relik kubus suci yang sudah diwariskan secara turun-temurun dari wanita kami, Lady Flodera, adalah sesuatu yang tidak boleh digunakan oleh sembarang orang apalagi tangan-tangan kotor seperti kalian para manusia. Dengan sikap bangsa manusia yang tidak peduli dengan seruan kami, aku, Zaven Bornardi, mendeklarasikan perang kepada seluruh umat manusia." Pria itu mengangkat pedangnya ke depan dan berbicara di depan seluruh manusia yang berkumpul di hadapannya. Rambut dan jubahnya berkibar tertiup angin. "Rakyatku, hancurkan umat manusia sampai ke akar-akarnya!"

Setelah perang dideklarasikan, Pelabuhan Nokova dibumihanguskan oleh Pasukan Bulan Sabit Kerajaan Cottonfall. Kepala-kepala manusia yang ada di sana dipenggal; mereka-mereka yang berusaha kabur diperangkap dalam sebuah Vitae yang memiliki kekuatan untuk membuat kubah besi transparan. Raja Bornardi, dengan pedang yang berlumuran darah, berjalan pelan menembus api yang melahap pelabuhan itu dengan cepat. Ia bisa merasakan teriakan rasa sakit dan tangis dari para manusia yang ada di sana menusuk gendang telinganya dengan merdu.

"Indah sekali," gumamnya. "Biarkan semuanya mengudara, manusia. Sebagaimana wanita kalian, Lady Camelia yang dijuluki sebagai pendekar pedang manusia terkuat sepanjang masa, membunuh dirinya sendiri karena tidak kuat menanggung beban dunia."

Hanya dalam kurun waktu dua hari, Kota Nokova berhasil direbut oleh pasukan elf. Pasukan Raja Bornardi menyandera seluruh manusia di kota itu, menyiksa mereka tanpa henti hingga akhirnya mereka mati. Setiap sudut kota ditandai dengan bendera kebanggaan Cottonfall. Setiap manusia yang kabur tidak hanya dikejar, tetapi diburu dan dibunuh karena dianggap telah lari dari para pemburunya. Raja Bornardi sendirilah yang memenggal kepala Wali Kota Richard dan mengangkatnya tinggi-tinggi dengan pedangnya sembari berkata, "Inilah yang akan kalian dapatkan ketika macam-macam dengan bangsa kami." di depan mayat manusia yang sudah menggunung.

Di balai kota, yang sekarang sudah menjadi tempat penyiksaan oleh bangsa elf, semua manusia dikumpulkan. Mereka diperlakukan layaknya binatang ternak, atau lebih rendah daripada itu. Mereka semua ditelanjangi, tidak peduli apakah mereka laki-laki atau perempuan; tua atau muda. Tangan mereka diborgol dan leher mereka dirantai pada satu tongkat besi yang dibawa oleh regu Malekith (algojo/penyiksa).

Mereka dibiarkan makan bubur atau sup yang sudah basi. Tidak menggunakan piring, makanan mereka dilempar begitu saja ke lantai dan mereka dibiarkan merangkak untuk memakannya. Di sela-sela keheningan, tubuh mereka akan dicambuk sampai memar dan berdarah. Anak-anak dan lansia yang sudah tidak kuat dengan siksaan tersebut dituntun keluar dan dijemur di bawah sinar matahari. Kelopak mata mereka dikaitkan dengan kail pancing sehingga mata mereka terbuka lebar, menatap matahari, dibiarkan terbakar sampai buta.

Bornardi berkeliling gedung balai kota dengan perasaan senang. Ia terus diikuti oleh pembawa pesannya yang berusaha menuliskan segala ucapannya di atas perkamen.

"Tulis kepada mereka kalau aku memberi makan manusia-manusia ini dengan kotoran," ujar Bornardi. Ia meletakkan kedua tangannya di belakang.

"Ada lagi, Yang Mulia?"

"Dan juga ...." Bornardi berhenti sejenak. "Bilang juga kita memerkosa mereka. Biarkan surat di dalam perkamen itu terdengar menakutkan."

"Baik, Yang Mulia. Tapi apakah itu tidak berlebihan?"

"Tentu saja berlebihan. Siapa juga yang mau menyentuh makhluk kotor seperti manusia? Tujuan utama kita adalah membuat takut jajaran pemerintah Kerajaan Envera yang berada di ibu kota. Dengan itu, mereka akan benar-benar menganggap kehadiran kita sebagai ancaman. Aku akan melakukan apa pun untuk merebut kembali relik kubus suci."

"Baik, Yang Mulia. Saya akan menulis kembali pesan ini dalam 500 perkamen lain dan setelah itu mengirimkannya ke ibu kota. Saya izin pamit."

"Pergilah."

Pembawa pesan itu lantas pergi.

Bornardi masih melanjutkan perjalanannya untuk melihat siksaan terhadap para manusia itu. Senyuman merekah di wajahnya ketika teriakan manusia-manusia itu melengking menampar dirinya. Mata mereka bengkak dan tubuh mereka tampak ringkih sekali. Muntahan dan kotoran mereka memenuhi gedung itu, bersatu menjadi suatu kekacauan yang absolut.

Bornardi memberikan satu tepukan. "Rakyatku, sudah waktunya kita kembali ke kastil dan beristirahat," ujarnya, merujuk pada mansion yang ditinggali Wali Kota Richard.

Dengan begitu, seluruh regu Malekith yang kebanyakan adalah elf dengan badan besar dan tinggi berbaris mengikuti Raja Bornardi keluar dari balai kota, membiarkan manusia-manusia itu tenggelam dalam rasa sakit dan air mata mereka sendiri.

Di sudut ruangan, terdapat dua orang pria yang sedang bersusah payah menendang tongkat besi yang terhubung dengan rantai di leher mereka. Mereka berdua adalah Walter dan Friedrich, anak buah Osamu dari tim Old School I. Yang terlihat dari tubuh mereka berdua hanyalah warna merah—luka cambuk di punggung dan dada. Rambut klimis Friedrich tampak berantakan karena dijambak oleh para Malekith yang menyiksanya, sementara Walter yang dahulu hanya buta sebelah matanya kini menjadi buta sepenuhnya.

"Hentikan, Friedrich. Tidak ada gunanya," bisik Walter.

"Sial!" Peluh bercucuran, napasnya memburu. Friedrich terus menendang-nendang tongkat besi yang tertancap di dekat mereka. "Aku bahkan tidak bisa berteriak untuk menggunakan Vitae-ku. Aku tidak punya energi untuk itu."

"Aku rasa di sinilah akhirnya, sobat."

"Jangan sembarangan! Aku tidak mau mati di sini!"

Walter terdiam dan menyandarkan tubuhnya pada tembok. Ia menghadap langit-langit di mana sinar matahari menembus sedikit ke dalam ruangan besar itu. Ketika kepalanya menoleh, ia mendengar regu Malekith sedang memenggal kepala manusia yang mereka lewati satu per satu. Di saat itulah ia menepuk pundak Friedrich berkali-kali. "Hei! Hei! Hei! Ini buruk, Friedrich!"

Friedrich menoleh. "Ada apa?!"

"Mereka mulai membunuh orang-orang! Padahal sebelumnya tidak begini!"

Keduanya menjadi sangat panik.

"Gunakan kekuatanmu!"

Walter memejamkan mata dan merapalkan mantra Vitae-nya, "Midsummer Night." Seketika cahaya putih menyeruak, tetapi tidak berhasil membutakan regu Malekith yang lama-kelamaan semakin mendekat ke arah mereka. Kekuatan Walter terlalu lemah; energinya semakin menipis.

"Walter?" Friedrich menoleh, mendapati Walter terkapar di lantai. "Ada apa, sobat? Hei!"

Tak lama kemudian, sesosok elf berbadan besar yang bertelanjang dada menepuk kapaknya sambil menatap Walter dan Friedrich. "Selamat tinggal, manusia." Dengan tangannya yang besar ia mengangkat kepala Walter dan memenggalnya tanpa basa-basi sedikit pun. Kepala itu dilemparnya ke dalam karung besar yang dibawa oleh rekannya.

Kemudian, elf berbadan besar itu menggenggam kepala Friedrich. Pria itu tampak memberontak, menendang-nendang dadanya. Untuk menenangkannya, elf berbadan besar itu memberikan bogem mentah ke kemaluan Friedrich hingga pria itu meringis kesakitan. Setelahnya, kepalanya dipenggal dan dilempar ke dalam karung.

Di tempat yang jauh, di dekat hutan, Osamu sedang bertahan hidup dengan bersandar pada batu sambil menikmati sisa air dan rotinya yang semakin menipis. Terdapat luka terbuka di perutnya akibat serangan elf di pelabuhan dua hari lalu. Mata kanan pria itu menghitam, menjadi gagaknya yang ia kirim ke balai kota. Di balik jendela, bersama dengan sinar matahari, gagak hitamnya melihat segalanya. Osamu menangis dan berkata di dalam hatinya, Maafkan aku. Aku tidak bisa menyelamatkan kalian. Tapi aku berjanji, aku akan melakukan segala yang aku bisa untuk menyampaikan kabar ini ke ibu kota dan meminta bantuan semua orang untuk bersatu melawan elf. Demi Old School, demi teman-teman kita yang telah gugur, demi umat manusia.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top