Chapter 38 - Suatu Malam
Julietta menatap Antonio dengan penuh pertanyaan. Rintihan yang dibuat oleh pria itu memperdengarkan sebuah lantunan pilu yang teramat dalam dan tidak pernah tersentuh oleh cahaya sedikit pun. Rona pada wajah Antonio seakan menghilang, terganti oleh segala rupa ketakutan yang mengakar kuat dan bangkit dari dalam dirinya. Julietta cepat-cepat menautkan kedua tangannya dan mengaktifkan Vitae miliknya—Stairway to Heaven—yang dapat ia gunakan untuk mengontrol jiwa seseorang. Baru beberapa detik masuk ke dalam tubuh Antonio, Julietta terpental. Alam kesadarannya diretakkan oleh energi yang sangat kuat dari dalam diri Antonio—amarah dan ketakutan. Ia tersungkur terengah-engah, menatap Antonio dengan tajam.
Apa yang sebenarnya terjadi pada pria ini?
Antonio membiarkan air matanya terus mengalir. Tatapannya kepada langit-langit begitu kosong, dan tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia hanya pasrah tatkala segala memori tentang kehidupan masa lalunya yang pernah hilang mengalir begitu deras di dalam kepalanya.
"Apakah kau ingin aku menghapus semua memori buruk itu untukmu?" tanya Julietta sambil menggenggam relik kubus suci.
Hal pertama yang dilakukan oleh Antonio bukanlah menjawab pertanyaan Julietta, melainkan memeluk Muezza yang berdiri dan tampak kebingungan di ujung ranjang.
"Ada apa, meow?" tanya Muezza.
"Aku tidak akan membiarkanmu diinjak oleh orang-orang jahat lagi," ujar Antonio.
"Kenapa kau tiba-tiba jadi aneh begini?"
Julietta menghampiri mereka berdua dan duduk di atas ranjang. "Apakah kau yakin tidak ingin menghapus ingatan buruk itu? Kita bisa melakukannya saat ini juga."
Dari matanya yang berkaca-kaca, jawaban sebenarnya sudah terpampang. Akan tetapi, Antonio berusaha memperkuat segala kata yang diucapkan oleh tubuhnya itu. "Tidak perlu. Aku rasa, ini adalah hukumanku."
"Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu." Nada bicara Julietta terburu-buru, ia masih tampak panik. "Aku benar-benar minta maaf."
Antonio mengusap air matanya menggunakan tubuh Muezza. "Tidak perlu meminta maaf," ujarnya, mencoba untuk tersenyum; bibirnya bergetar. "Masa lalu yang penuh dengan mimpi buruk itu setidaknya membuat hidupku lengkap saat ini. Aku tidak akan lari lagi. Aku akan menghadapi segala penyesalan dan rasa takut itu, meski serangannya bertubi-tubi. Aku akan memeluk mereka kuat-kuat dan menjadikan mereka bahan bakar untuk langkahku. Luka yang sekarang menganga lebar di hatiku harus segera kututup. Aku harus terus berjalan maju."
Antonio kemudian memasukkan Julietta ke dalam pelukannya, membuat wanita itu kelabakan. Julietta dan Muezza terdiam serempak.
"Hangat sekali," ujar Antonio.
***
Beberapa hari kemudian, Amaryllis bersama dengan Ode to Joy dan Sadrathafighre kembali ke hutan tempat mereka masuk ke semesta itu. Kuda yang mereka tumpangi menembus reruntuhan gerbang di tengah hutan. Tidak ada yang berubah, tempat itu masih sama: hutan. Satu-satunya hal yang berubah adalah waktu. Hutan timur Wenfri tengah terlelap di keheningan malam.
Pada saat yang bersamaan, para jin hutan dari Tarintus yang menghuni hutan itu mengejar mereka. Itu adalah monster pepohonan yang bergerak dengan akar mereka yang meliuk-liuk, lalu mengibaskan cambuk lewat sulur mereka. Antonio, Mira, Muezza, Ludwig, dan Julietta turun dari kuda mereka. Sementara itu, dari atas kuda, Magnus membidik senapan laras panjangnya.
"Sepertinya kita harus bertarung menggunakan pedang," ujar Antonio.
"Aku akan menggunakan sihirku," seru Muezza. "Kalian maju saja, aku akan membantu kalian dari belakang."
"Kucing gendut ini hebat juga, ya. Selain dia bisa berbicara, dia juga bisa menggunakan sihir." Julietta mengelus leher Muezza dengan ujung sepatunya, kemudian menghunus pedangnya.
"Paman Ludwig, apakah kau tidak ikut bertarung?" tanya Mira.
Ludwig terdiam sejenak, menggenggam gagang pedangnya, tetapi ia membiarkan orang-orang yang lebih muda darinya untuk bertarung. "Aku akan melihat saja."
Mira mengangguk, memanggil Vitae-nya. Jin ungu keluar dari punggungnya dan bertanya, "Perintahmu, Nona?"
Mira menatap pepohonan yang berombak menghampiri mereka semua, kemudian memantapkan pilihannya, "Buatkan aku sebuah meriam yang bisa menembakkan bola api."
Saat bentrokan semakin dekat, pertarungan pun terjadi. Antonio berteleportasi ke belakang barisan pepohonan itu; Muezza mengangkat tongkat sihirnya, menembakan bola-bola hijau yang membutakan pohon-pohon itu; Julietta maju dan menebas tubuh mereka semua.
Mira tampak sedikit kesulitan menyetel meriamnya bersama dengan jinnya. Membutuhkan waktu beberapa saat sebelum akhirnya semuanya siap. Ia memanjatkan permohonan terakhir kepada Nine Nine Nine Temples, "Obor." Setelah itu, Mira berteriak kepada Magnus, "Tembak!" Maka ditariklah pelatuk pada senapan laras panjang pria orc itu. Di saat yang bersamaan Mira menyulut meriamnya. Ia mengarahkannya kepada pohon-pohon yang sedang mengerubungi Julietta. Tembakan pertama terdengar. Saking kuatnya, Mira sampai terpental ke belakang. Ia bangkit kembali, melakukan hal yang sama. Tembakan kedua terdengar.
Bola-bola api itu menghantam pepohonan. Julietta berguling untuk menghindar. Ketika ia bangun, Antonio sudah menari—menebas tubuh pohon-pohon itu menggunakan pedangnya yang sudah mulai retak—dan mengubah mereka semua menjadi emas.
Magnus menembak, pelurunya meledak menghancurkan kepala pohon-pohon itu, membuat Stephanie terkesima.
"Dari mana kaudapatkan amunisi baru itu?" tanya Stephanie.
"Aku memintanya pada Tuan Putri kemarin malam," jawab Magnus; ia lanjut mengokang, membidik, dan melepaskan tembakan.
Antonio dan Julietta saling menempelkan punggung mereka. Lingkaran akar yang menjebak mereka dengan cepat mereka bersihkan menggunakan tebasan pedang. Antonio mengeruk akar-akar yang agresif itu dengan tangannya dan mengubah mereka semua menjadi emas, sementara Julietta meliuk dengan tubuhnya yang ramping lewat celah-celah akar itu dan mematikan segala titik lemahnya. Pedang mereka berayun dengan padu; dedaunan berhamburan ke mana-mana.
Muezza mendekati pertarungan, berlari dengan kedua kakinya. Ia mengayunkan tongkatnya—menyapu ke kanan dan kiri—seperti seorang konduktor yang sedang memimpin orkestra. Gelombang sihir berwarna hijau menyinari hutan itu, merasuk ke dalam pepohonan, menghancurkan setiap jaringan yang ada pada batang mereka. Pohon-pohon itu ambruk, dan sisanya tinggal tugas Antonio dan Julietta untuk memenggal kepala mereka semua.
Untuk mempercepat proses pembersihan, Mira terus menembakkan bola api dari meriamnya. Gadis itu tampak kesulitan karena harus jatuh-bangun akibat dentuman meriam yang keras, tetapi ia tampak bersemangat. "Hei, kenapa kau masih bengong di sini, Nine Nine Nine Temples?" tanya Mira terengah-engah.
"Kau belum memerintahkanku untuk kembali ke dalam tubuhmu, Nona."
Bola api terakhir ditembakkan, Mira menatap Nine Nine Nine Temples dengan wajah penuh keringat. "Terima kasih. Sekarang tolong buatkan aku satu botol air minum."
Nine Nine Nine Temples menggosokkan kedua telapak tangannya, memunculkan sebuah botol berisi air. "Silakan dinikmati."
Mira mengambilnya dan menenggaknya sampai tak bersisa. Selepas itu, Nine Nine Nine Temples kembali ke dalam punggung tuannya. Mira terduduk, mengusap punggungnya, dan bergumam, "Betapa kuatnya kita jika semuanya berada dalam satu kesatuan seperti ini."
"Pasti kuat sekali," sambar Ludwig, menepuk meriam Mira. "Sayangnya itu tidak akan terjadi. Setiap dari penghuni bumi akan tetap berkonflik dengan sesama mereka. Dan hanya ada beberapa kelompok saja yang sadar secara penuh akan pentingnya persatuan. Apalagi, hari ketika bulan menunjukkan sisi gelapnya secara penuh semakin dekat. Dunia ini semakin memanas, dalam artian, konflik tidak akan pernah bisa dihindari lagi. Kita semua pastinya akan mencari cara untuk bertahan hidup. Apa pun itu."
Ucapan Ludwig membuat Mira berpikir. Gadis itu terdiam sambil menekuk kakinya, melihat pepohonan yang terbakar. Hari kebangkitan raja iblis semakin dekat, tetapi dunia semakin kacau. Raja harus melakukan sesuatu terhadap itu, atau akan ada banyak jiwa yang terbuang sia-sia ketika hari yang diramalkan dipenuhi oleh ketakutan itu tiba. Melihat ayahnya sendiri, Mira sadar, ialah yang harus bergerak untuk mencegah segala kekacauan itu.
Ayahnya, Raja William, tampak acuh tak acuh terhadap kondisi kerajaannya. Turnamen besar yang dibentuknya untuk "mencari pemburu iblis terkuat" ini pun tidak dipedulikannya lagi. Ayahnya menikmati seluruh hasil dari turnamen ini dengan anggur dan perhiasan mahal, bersama ibu tirinya, Ratu Grace. The Hunt for the Holy Coins telah menjadi arena pertempuran antarras yang juga merupakan perputaran uang judi bagi para saudagar dan bisnis besar di kerajaan. Itu bukanlah sebuah rahasia, semua orang yang berakal mengetahui itu.
Dari kejauhan Mira bisa melihat Antonio membantu Julietta berdiri dengan bahunya. Julietta tersenyum lebar dan berusaha memeluk Antonio, tetapi Antonio menolaknya mentah-mentah karena tidak mau mengubah wanita itu menjadi emas. Muezza berlari menghampiri mereka. Antonio dan Julietta mengelus-elus kepala kucing hitam bertubuh gendut itu. Di sebelah kanan, Mira melihat asap mengepul tipis dari lubang senapan Magnus, sementara Stephanie hanya diam di sampingnya. Dua orang orc itu tidak berusaha berkhianat, mereka hanya mengikuti apa yang menurut mereka dapat berguna untuk kelangsungan hidup mereka.
Mengetahui itu semua, rasa cemas di dalam pikiran Mira sedikit memudar. Masih ada harapan, batinnya. Masih ada harapan untuk para penghuni bumi yang berbeda-beda bersatu di dalam satu kesatuan untuk melawan musuh bersama. Aku harus melakukan sesuatu untuk itu.
Hutan timur Wenfri hangus. Berkat bantuan dari Nine Nine Nine Temples, apinya dapat dipadamkan agar tidak melahap seluruh bagian hutan itu. Amaryllis, Ode to Joy, dan Sadrathafighre melanjutkan perjalanan mereka. Tujuan kedua mereka adalah Desa Wenfri. Laporan harus diberikan oleh Antonio kepada Joseph. Pria tua itu pasti tidak akan percaya dengan apa yang sudah terjadi selama seminggu ke belakang.
Setibanya di Wenfri, suasananya berubah menjadi hening. Rumah-rumah gelap dan tidak ada suara yang timbul dari dalamnya. Tidak ada yang berspekulasi macam-macam kecuali Antonio dan Mira. Hanya mereka berdualah yang tahu betapa terang dan ramainya Wenfri ketika malam hari setelah dibangun kembali pasca serangan iblis.
"Joseph seharusnya menunggu di atas gelondong kayu ini." Antonio menunjuk gelondong kayu, bersama dengan api unggun yang padam. "Kenapa dia tidak ada di sini?"
Di saat yang lainnya kebingungan, Mira turun dari kudanya. Ia berlari menuju desa dengan tergesa-gesa. Meski gelap menyelimuti tempat itu, sinar ketakutan dapat terpampang dengan jelas dari wajahnya.
"TUAN JOSEPH! DI MANA KAU?!" teriak Mira. Gadis itu berlari menuju rumah Joseph si kepala desa. Karena gelap, ia memerintahkan Nine Nine Nine Temples untuk membuatkannya obor. Setelah obor itu menyala, entah kenapa tempat itu tetap gelap. Mira masih tidak dapat melihat. Apakah itu karena tidak ada cahaya, atau karena "mereka semua benar-benar menghilang?"
Mira berpindah dari rumah Joseph ke rumah yang lain, rumah suster yang sering mendoakannya. Rumah itu juga sama gelapnya. Api dari obor yang digenggamnya pun tidak bisa mengenyahkan segala ketidakpastian yang merundung tempat itu. Mira berpindah lagi dari satu rumah ke rumah yang lain, begitu terus dengan harapan ia bisa menemukan secercah cahaya. Namun, hasilnya nihil. Satu-satunya cahaya yang bisa ia lihat adalah api dari obornya sendiri, yang kemudian menjadi pudar ketika air mata mulai menetes.
Antonio dan yang lainnya melakukan hal yang sama. Mereka bergerak untuk mencari tanda-tanda kehidupan dari rumah-rumah di desa itu, tetapi hasilnya nihil. Semuanya kosong dan tidak bermakna lagi.
"Amadeus sudah bergerak," ujar Antonio. "Ini adalah permulaan dari perang yang dideklarasikan olehnya. Jauh sebelum ini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, tiga orang orc hilang dari kamar penginapan mereka tanpa jejak sedikit pun. Itu pasti juga ulah Amadeus. Dia bergerak di dalam kegelapan dan menghabisi mangsanya bagaikan serigala yang kelaparan."
Kuda mereka terus berjalan hingga akhirnya sampai di ujung desa. Di pinggir gapura, tampak Mira sedang terduduk menahan tangisnya sambil memukul-mukul tanah. "KENAPA?!" teriaknya, suaranya tinggi dan pecah. "Mereka semua menaruh harap kepadaku .... Kenapa aku tidak bisa melindungi rakyatku ...?" Mira terkapar bersama rintihan penuh kesuraman itu.
Antonio tidak dapat melihatnya dengan jelas, tetapi ia bisa merasakannya lewat sebuah benang tak kasatmata. Seluruh emosi yang mungkin dapat dirasakan oleh manusia kini dirasakan oleh Mira, dan anehnya itu dirasakan juga oleh Antonio. Antonio bisa merasakan dadanya tiba-tiba menjadi sakit, ada rasa nyeri yang membangkitkan tangis di sana. Akan tetapi, ia sudah kepalang senior soal menangis, sehingga air matanya bertransformasi menjadi kata-kata yang kemudian menghampiri Mira: "Kita semua benar-benar rapuh."
Dan bagaimana cara manusia rapuh seperti kita mengalahkan iblis yang begitu sempurna?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top