Chapter 37 - Tumbal

"Akankah aku masuk surga jika mengikuti perintahmu, Rajaku?" tanya seorang pria tua yang tubuhnya kurus sekali, tergantung pada rantai penuh darah.

"Jangan pernah mempertanyakan itu," jawab William sambil mendongak. "Segala siksaan yang kaudapatkan di dalam ruangan ini adalah bentuk pengorbananmu untukku."

Katrol dari rantai itu bergerak dan membawa pria itu turun. William menyulut obor yang ada di genggamannya menggunakan api dari brazier yang berada di depan patung Capella. Kemudian obor itu ia angkat dan tempelkan ke dada pria tua tadi. Pria itu merintih kesakitan; ia berteriak memanggil-manggil nama anggota keluarganya dan nama Tuhannya untuk memohon ampunan, tetapi semuanya sudah terlambat. Seisi ruangan gelap itu tahu bahwa ia pulang sebagai penyembah iblis.

Edward menjauh dari tepi ruangan dan berjalan ke tengah. Ia juga menyulut obornya dan menggunakannya untuk menerangi ruangan itu. "Tiga puluh lima orang, Yang Mulia," ujarnya. Disinarinya tubuh-tubuh tidak bernyawa dari para manusia yang terbang-tergantung, melingkar di ruangan itu. Darah mengucur deras dari luka lebar di dada mereka, mata mereka terbelalak, dan mulut mereka berbusa. Pemandangan itu hampir sama seperti pertunjukan boneka tali, cuma bedanya, ruangan berbentuk lingkaran itu dipenuhi oleh bau anyir dan busuk, serta kecoak, lalat, dan belatung yang sudah akrab dengan setiap celah di tempat itu sebagai rumah mereka; bukan dipenuhi tawa atau koin dari anak-anak.

"Kita mulai ritualnya sekarang?" tanya Edward.

William menanggalkan jubahnya, tampak dari sana tubuhnya yang semakin lemah. "Ayo kita mulai."

William dan Edward mendekatkan diri pada patung Capella, mereka berdua berlutut di hadapannya. Kobaran api keluar dari kepala patung tersebut. Erangan berfrekuensi rendah menyapa gendang telinga. Ruangan itu tiba-tiba menyala terang dengan warna darah, disertai bau anyir dan busuk yang semakin pekat.

"Lama sekali," gerutu Capella. "Ke mana saja kalian?"

"Aku jatuh sakit," ucap William sambil menunduk.

"Memang seharusnya begitu. Umurmu semakin pendek, dan tumbal yang kaubawa padaku masih belum memenuhi jumlah yang sudah kita sepakati."

"Aku akan melakukan apa pun yang aku bisa di sisa waktuku." William terbatuk. "Aku akan kembali ke sini secepatnya."

"Cepat atau tidak pun aku tidak peduli." Kobaran api di kepala Capella semakin membara, dari sana muncul sebuah sigil berbentuk lingkaran dengan bintang di tengahnya. Ada tujuh nama yang terpampang di sana, mewakili raja iblis dan seluruh pasukan bintang tingkat atasnya: Regulus, Aldebaran, Alpha Centauri, Antares, Capella, Hao, dan Beta Ceti. "Kau masih belum menjadi seorang pengabdi iblis yang sempurna, William. Masih tersisa 87 jiwa manusia lagi sebelum mencapai 666 pengorbanan."

"Maafkan aku, Tuan Capella. Pada saat purnama di Lonesome, aku tidak bisa membawa sebanyak yang aku kira."

"Aku tidak peduli!" sentak Capella ketus. "Aku hanya menginginkan darah dari para manusia."

Cahaya terang sejenak memutihkan ruangan itu. Getaran terjadi, William dan Edward bangkit kembali, dan segera menyayat jari mereka masing-masing. Tetesan darah dua pendosa terbesar Kerajaan Envera itu menyentuh lantai, dan dari sana muncul sebuah salib terbalik.

"Oh Regulus, sang Raja Iblis! Berkatilah kami dengan kekuatanmu!" Capella berteriak.

Tubuh para manusia yang tergantung pada rantai itu meledak secara berbarengan—seakan tanpa ampun. Tulang mereka tercerai-berai, otak mereka meleleh, dan usus mereka berceceran, mengotori lantai yang licin dan bau di ruangan itu. Setiap dari jiwa mereka berusaha menggantungkan diri dan bertahan pada rantai penyiksaan itu, tetapi raja iblis cepat-cepat menarik jiwa mereka dan mencetak nama mereka di gerbang neraka sebagai "penyembah iblis"—tidak ada jalan untuk kembali. Pada saat itu, seluruh cahaya yang ada di ruangan itu padam, menyisakan brazier di hadapan Capella.

Ruangan itu kembali menjadi seperti semula: gelap, pengap, anyir, busuk, dan lembap. Darah masih menetes dari jari William dan Edward. Mereka berdua belum bergerak, diam di hadapan Capella.

"Sisa umurmu adalah satu." Capella mengatupkan salah satu dari dua jarinya yang menunjuk ke atas.

Edward mendesis, menahan dirinya agar tidak mengamuk karena kesakitan. Setelah taring dan sayapnya masuk kembali, ia melihat Capella dengan cemas sambil berusaha menahan rajanya yang tampak kesakitan di depan sana. William memuntahkan seluruh isi perutnya, dan pada saat itu seluruh saraf di dalam tubuhnya semakin melemah. Muntahannya disusul oleh darah, yang kemudian membuatnya semakin terpaku pada lantai hingga akhirnya menempel di sana bersama dengan segala kotoran yang ia ciptakan sendiri.

"Bisakah kau memberi tahu kami apa sebenarnya maksud dari satu itu?" tanya Edward seraya membantu William berdiri.

"Aku ingin para pendosa seperti kalian memikirkan itu sendiri. Itulah konsekuensi dari perjanjian yang sudah kalian sepakati bersamaku. Dengan pengorbanan darah, jiwa kalian tidak akan pernah bisa tenang. Akan selalu ada selubung kebingungan dan bayang-bayang ketakutan yang menghantui hidup kalian. Dan lagi, nama kalian berdua sudah kekal di neraka, bersama kami bangsa iblis yang lainnya."

Edward menggertakkan giginya. "Apakah kau berusaha menjebak Raja William? Aku melihat, kau tampak mempersulit apa yang ingin kami capai. Kau seperti sengaja membuat Raja William tidak dapat mencapai target 666 pengorbanan. Apa kau benar-benar akan memberinya keabadian?"

Capella tidak menjawab. Kobaran api di kepalanya meninggi—menyembur—sampai menyentuh langit-langit ruangan itu. Untuk pertama kalinya, tubuhnya bergerak. Capella mengayunkan tangan kanannya ke depan—dengan kedua jarinya yang menunjuk ke atas—kepada Edward seperti sedang menodongkan pistol. Setelah itu, cahaya putih keluar dari jari Capella dan menembak kepala Edward dengan sangat kencang. Kepala sang astronom meledak dan isi tengkoraknya berceceran; tubuhnya ambruk, diikuti oleh William yang oleng ke kiri. Tidak sampai di situ, Capella menembakkan cahaya putih itu sekali lagi, menghancurkan dada Edward sampai seluruh tulang rusuknya mencuat dan jantung serta paru-parunya hancur, melesat ke dinding terdekat ruangan itu.

William syok melihatnya. Ia terkapar di samping Edward dengan mata membelalak tidak percaya, keringat dingin mengalir di pelipisnya seperti sedang menggaruk-garuk kepalanya dengan kasar, dan sekujur tubuhnya gemetaran. Seketika itu juga William menangis. Tangannya berusaha meraih tubuh Edward.

"Jangan berani-berani meragukan kekuatan kami." Capella kembali pada posisi semula. "Edward adalah seorang iblis kutukan, dan sisi manusianya masih lebih kuat dibandingkan sisi iblisnya. Jadi aku rasa, itu menjadi pengorbanan selanjutnya. Tersisa 86 jiwa lagi."

William tidak menghiraukan ucapan Capella dan tetap menangis di dada sahabatnya yang sudah hancur berantakan itu.

"Ini adalah kenyataan yang harus kauhadapi, William. Demi keabadian, kau harus berani mengorbankan segalanya. Aku berharap, pada ritual-ritual selanjutnya, kau membawa lebih banyak manusia yang berdosa, lalu siksa mereka dengan penuh kebencian sebagaimana kau mewadahi neraka untuk rumah mereka kelak. Semakin kuat kebencian yang mengalir dari setiap darah yang kaukorbankan, semakin mulia pula kau di hadapan Regulus."

William mendongakkan kepalanya menatap Capella. Dari kedua matanya tampak kemarahan yang menggebu-gebu. "Apa yang akan kaukatakan kalau semisal aku mengorbankan putriku untukmu? Dia adalah ratu masa depan Kerajaan Envera. Aku tidak ingin mahkotaku jatuh kepada siapa pun."

Capella, untuk pertama kalinya, tersenyum dengan lebar. "Biadab. Aku suka." Ia lantas berubah kembali menjadi patung yang diam. Api di brazier itu padam.

Dengan terseok-seok William melangkah menuju pintu ruangan itu. Sebelum pergi, ia menatap mayat sahabatnya yang sudah ia kenal selama belasan tahun itu dalam-dalam. Segala kepingan memori yang pernah mereka ukir bersama tiba-tiba saja mengalir di dalam kepala William yang penuh dengan segala penyesalan dan rasa takut. Segala hal tentang langit dan alam semesta membekas pada pikirannya dengan manis, dan ia ragu apakah itu bisa menghilang dalam beberapa waktu ke depan.

William sendiri menyadari bahwa ia sudah kepalang jauh menyelam ke palung neraka, dan tidak ada lagi jalan pulang baginya. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menyelam lebih dalam, lebih lama menahan napasnya, dan mungkin ia dapat menemukan danau atau lembah dosa di palung itu lalu menjadi orang yang akan dipuji oleh para penghuninya.

Pintu ruangan itu terkunci; mayat Edward meledak.

Turnamen harus terus berlanjut. Sebelum bulan menunjukkan sisi gelapnya secara penuh, aku harus menjadi abadi. Mira akan menjadi tumbal terakhirku. Dengan begitu, tidak akan ada yang bisa mengalahkanku. Aku bebas.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top