Chapter 36 - Satu Kesatuan
Hari ketika bulan menunjukkan sisi gelapnya secara penuh semakin dekat.
Bulan purnama sedang terjadi. Setiap partikel kegelapan yang dibawa embusan angin pada malam itu merayu para manusia yang hidup di Desa Wenfri dengan halus. Di bawah pohon besar di dekat gapura, Joseph menikmati malam harinya di depan api unggun. Ia duduk di atas gelondong kayu sambil menyesap teh panasnya, menatap bulan seperti ia menatap mendiang istrinya yang cantik. Itu karena malamnya dingin dan tenang. Purnama Oktober ini tidak sama seperti purnama-purnama sebelumnya, di mana setiap langkah yang diambil oleh manusia menjadi begitu mengerikan karena iblis bisa saja menimpa mereka dari atas langit. Joseph berpikir bahwa ini bukan sebuah anugerah. Bulan selalu berteriak melalui perantara cahaya dan ketika suaranya sudah tidak tampak lagi, para penghuni bumi perlu mewaspadai. Itu tandanya, bulan sedang menyimpan energinya untuk ledakan besar-besaran pada bulan-bulan yang akan datang.
Setiap dari mereka yang memenuhi desa sudah masuk ke rumah masing-masing untuk menghangatkan diri, entah itu dengan selimut atau pelukan hangat anggota keluarga. Sudah seminggu berlalu semenjak kepergian Amaryllis, tetapi Joseph masih berharap pada hasil dari "eksplorasi semesta" yang mereka lakukan. Ia menunggu setiap malam dengan penuh kecemasan.
Hingga pada suatu momen suara tiupan angin terdengar. Joseph memutar kepalanya untuk mencari dari mana suara itu berasal. Barisan pepohonan yang berada di belakangnya terdengar hening, bahkan suara jangkrik pun tidak dapat terdengar. Joseph bertanya-tanya ketika awan mulai beranjak menutupi bulan, dan hawa di tempat itu menjadi mencekam sekali. Cangkir yang ia genggam dialiri dengan dingin, merasuk ke tubuhnya, yang kemudian membekukannya.
"Sedang mencoba menghangatkan dirimu di tengah-tengah pagelaran tangis raja iblis?"
Joseph diam seketika. Suara itu datang tepat dari belakangnya, menyapa dengan lirih. Hal buruknya adalah Joseph tahu persis siapa yang sedang mengincarnya. Suara tersebut tidaklah asing baginya—akrab sekali bahkan. Itu berasal dari seorang pria yang membawanya menelusuri rahasia terbesar: multisemesta.
"Apa yang kaulakukan di sini, Amadeus?"
Sebuah telapak tangan menggenggam pundak Joseph yang ringkih. "Sudah puluhan tahun sejak terakhir kali kita bertemu, tapi rupanya kau masih ingat dengan suaraku."
"Apakah ada sesuatu yang ingin kaubicarakan?"
Amadeus meletakkan kepalanya yang terpenggal di samping Joseph dengan mata terbelalak dan wajah bersimbah darah. "Apakah kau memberi tahu orang lain tentang diriku? Apakah kau memberi tahu orang lain tentang kebenaran multisemesta?"
Joseph menoleh dengan gemetaran. Tubuhnya yang sudah renta tak kuasa menahan pemandangan itu dan terlonjak dengan spontan. "Apa yang kauinginkan?!" tanyanya penuh ketakutan.
"Aku menginginkan jawaban." Kepala Amadeus berputar dengan sendirinya, menatap tajam kepada Joseph. Nada bicaranya memberat. "Ini adalah pertama kalinya kepalaku terpenggal setelah lebih dari jutaan tahun, dan itu karena seseorang dengan sentuhan emas berhasil menembus gerbang antarsemesta. Katakan padaku, apakah Antonio Genga yang memiliki kekuatan sentuhan emas itu datang ke Tarintus karena dirimu?"
"Aku tidak mengerti apa yang kauucapkan."
Mendengar itu, Amadeus lantas menjambak rambutnya sendiri, mengangkat kepalanya dan meletakkannya pada lehernya agar ia dapat beregenerasi. "Itu dia jawaban yang aku mau. Kata-kata penuh ketakutan yang kaulontarkan barusan merupakan pertanda bahwa kaulah yang membawa Antonio ke semesta di mana planet Tarintus berada." Ia menghunus pedangnya dan meletakkannya pada leher Joseph. "Aku adalah seorang pria yang baik hati, tetapi aku kecewa padamu."
Joseph membuang pandangan. Ia menatap tehnya dengan gemetar. Pikirannya berkonflik dengan segala macam hal yang memenuhinya, entah itu warga desa, atau para pahlawan desa, Amaryllis. Setelah sekian lama memegang janji kepada Amadeus untuk menyembunyikan identitasnya, Joseph mengingkarinya. Ia paham betul konsekuensinya dan tetap melakukan itu. Ia melakukan apa yang ia anggap benar: memberi tahu segala sesuatu tentang multisemesta kepada Amaryllis dan menyebutkan nama penjahat utama dari seluruh alam semesta—Wolfgang Amadeus.
"Kau tidak punya kata-kata terakhir?" Amadeus sedikit membungkukkan tubuhnya untuk melihat Joseph.
Momen ketika Joseph menggenggam cangkir tehnya kuat-kuat dan menenggak isinya hingga tandas, Amadeus yakin, pria tua itu sudah tidak punya apa-apa lagi yang dapat dikhawatirkan.
"Antonio pasti akan membunuhmu," ujar Joseph.
Amadeus memasukkan pedangnya kembali; hanya tersenyum dengan tatapan mata teduh. "Mari kita jalan-jalan, kawan lama." Ia mengaktifkan kekuatan Vitae miliknya menggunakan kalungnya. Portal terbuka lebar, membawa dirinya dan Joseph pergi.
Pada potongan kecil kejadian itu, Joseph tidak dapat memejamkan matanya lagi. Ia digiring melewati spiral berwarna putih yang dikelilingi oleh gelap dan kerlap-kerlip bintang—berputar kencang sekali. Denging memenuhi telinganya dan otaknya terasa mau meledak. Joseph tidak bisa bergerak. Ia seakan-akan dipaku pada sebuah kapal yang melesat dengan kekuatan magis melintasi samudra. Tubuhnya ditarik seperti getah pohon karet—melentur—kemudian melebur menjadi debu dan menghilang. Ketika vibrasi kuat tadi menghilang sepenuhnya, Joseph terbangun di sebuah padang pasir yang sangat luas.
"Ke mana kau membawaku?" tanyanya.
Amadeus menyipitkan matanya melihat sekitar. "Di dekat sini ada sungai besar. Aku membuang mayat-mayat orc yang tidak berguna tidak jauh dari sana. Kau harus melihatnya."
Joseph berdiri. "Jadi kaulah dalang dibalik penculikan puluhan orc itu?"
"Aku benar-benar membenci mereka, entah kenapa. Dan aku tidak menyangka bahwa kasusnya akan seramai itu. Orang-orang kerajaan kalang kabut sebab mereka dituduh oleh para orc atas penculikan itu."
"Ada apa dengan sungai ini?" tanya Joseph terbatuk-batuk karena tenggorokannya kering.
"Sungai ini diagung-agungkan oleh masyarakat Mesir sebagai pemberian paling mulia dari Dewa. Rumput-rumput hijau yang ada di sekitar sungai ini akan dijumput oleh sungai ini dan kemudian membawa berkah kepada laut di seluruh dunia."
Joseph terduduk di tepi sungai itu dan menyendok airnya menggunakan telapak tangannya, lalu meminumnya. "Apa itu Mesir?"
"Peradaban paling maju di muka bumi saat ini."
Joseph yang kebingungan pun hanya bisa terdiam, membiarkan air yang berpangku di telapak tangannya melepaskan diri dari celah jari jemari. "Dan kau berusaha mengotori pemberian Dewa ini dengan darah dari tanganmu yang penuh dengan dosa."
"Aku menyimpan mayat orang-orang berkulit hijau itu di dalam sebuah sarkofagus lalu menguburnya. Aku tidak ingin mencemari sungai ini." Amadeus duduk dan mencelupkan tangannya ke dalam sungai itu. "Kau tahu kenapa?"
"Aku tidak tahu."
"Karena aku adalah seorang pria yang baik hati," jawab Amadeus dengan senyuman. "Tidakkah kau berpikir demikian? Aku membunuh saudara sebangsaku sendiri untuk bisa mendongkrak poinku dalam turnamen bodoh yang merupakan akal-akalan Raja William untuk melindungi dirinya sendiri. Seharusnya aku dicap sebagai pria yang jahat, tetapi aku tidak berpikir demikian. Aku baik. Aku telah membuat para penghuni bumi percaya kepadaku. Mereka percaya bahwa aku adalah pahlawan mereka. Dengan begitu, aku akan membawa lebih banyak jemaat kepada Regulus ketika hari kebangkitannya tiba."
Joseph duduk di samping Amadeus. "Jika bulan telah menunjukkan sisi gelapnya secara penuh, apa yang akan terjadi nanti?"
Amadeus mendongak, menatap burung-burung yang beterbangan di langit jingga. "Cahaya akan menyinari seluruh dunia."
"Apa maksudmu?"
"Cahaya kebenaran. Dunia akan tahu bahwa satu-satunya jalan yang paling benar di muka bumi adalah jalan para iblis."
"Itu terdengar mengerikan."
Amadeus dengan tegas menimpali, "Tidak." Wajahnya berubah serius. "Itu tidak mengerikan sama sekali. Sungguh. Hari ketika sisi gelap bulan muncul secara penuh, yang ada hanyalah kemuliaan."
"Apa sebenarnya tujuanmu, Amadeus?" tanya Joseph dengan suara lirih, ia mulai kehabisan napas.
"Tujuanku? Tentu saja membantu bangsa iblis menang melawan tentara Tuhan."
"Siapakah tentara Tuhan itu?"
"Orang-orang yang beriman."
"Bagaimana caranya?"
"Merebut Golden Touch, kekuatan yang bisa menulis ulang realitas. Dengan begitu, kami akan menjadi sama. Tuhan dan iblis akan sama-sama memiliki kekuatan untuk menciptakan apa yang diinginkan. Dan dengan cara itulah iblis dapat mengalahkan Tuhan dan memperdaya seluruh tentaranya."
"Apakah kau yakin iblis dapat mengalahkan Tuhan?"
Alis Amadeus naik sebelah, ia menoleh kepada Joseph dengan penuh kebingungan. "Kenapa kau bertanya begitu?"
"Entahlah." Joseph meraba lehernya, kering, udara yang masuk lewat kerongkongannya seperti api yang membara. "Menurutku, manusialah yang akan mengalahkan Tuhan, bukan iblis. Kami ini sudah lebih iblis daripada iblis itu sendiri."
Amadeus tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Joseph. "Kata-katamu barusan persis seperti yang diucapkan Regulus. Dia sudah mengatakan itu jauh sekali sebelum manusia diciptakan. Manusia itu penuh dengan kesombongan, kedengkian, ketamakan, dan berahi. Entitas yang paling banyak menentang Tuhan di masa depan bukanlah kami para iblis, melainkan manusia."
"Kau benar—Akh!" Joseph menelan ludah terakhirnya dan menatap Amadeus dengan muram. "Sepertinya waktunya sudah tiba."
Amadeus membalasnya dengan senyuman. Ia berdiri, menggenggam kalungnya yang kemudian menyala terang berwarna ungu. "Untuk terakhir kalinya aku bertanya, apakah kau dan warga desamu mengimani Regulus sebagai tuan dan penyelamat?"
"Kami hanya percaya kepada Tuhan. Tuhan akan melindungi kami dari hasutan iblis."
"Celakalah kalian."
Amadeus membuka portal dan menghilang.
Joseph merebahkan tubuhnya ke pasir dan memejamkan mata. Ia masih berusaha untuk menarik napas, terbatuk untuk beberapa kali, sebelum akhirnya paru-parunya terbakar dan ia kehilangan kesadarannya.
Kau tidak membiarkanku mati tanpa rasa sakit, batin Joseph. Kau sengaja menyiksaku sesuai dengan segala dosa yang telah kuperbuat. Sungguh, Amadeus, kau benar-benar seorang pria yang baik hati.
***
Amadeus mendarat di perempatan jalan Desa Wenfri, masih di malam yang sama. Ia menghunus pedangnya—kali ini sungguhan—untuk menjemput jiwa-jiwa tidak berdosa dengan cara yang paling manusiawi. Pada malam purnama itu, Amadeus membawa seluruh warga desa ke semesta yang berbeda-beda dan memenggal kepala mereka semua tanpa terkecuali—anak-anak, wanita, dan lansia. Ia tidak meninggalkan jejak sama sekali.
Sekali lagi menggenggam kalungnya, Amadeus menembus gerbang antarsemesta dan mendarat di tepi pantai. Malam hari di pantai itu diwarnai dengan pemandangan bulan sabit yang remang-remang. Ombak laut cukup besar dan suara angin terdengar merdu sekali. Amadeus berjalan di air dan kemudian memanggil, "Keluarlah. Raja telah menunjukmu sebagai pengganti Polaris."
Muncullah dari dasar laut seekor iblis berwujud manusia dengan kepala tengkorak yang badannya bersatu dengan seekor kuda. Ia menggenggam pedang, memimpin pasukannya yang membuih ke permukaan.
(Iblis tingkat atas, Bintang Keenam yang baru: Beta Ceti)
"Kau akhirnya datang, Aldebaran," gerutu iblis itu.
Amadeus hanya menatapnya dengan dingin. "Jabat tanganku. Mari kembali ke semesta tempat kita seharusnya berada."
Mereka berdua kemudian berjalan melintasi ruang dan waktu menggunakan portal. Amadeus mengusap jasnya dan mengambil tongkatnya untuk kembali memainkan peran sebagai Wolfgang Amadeus sang pemburu iblis terbaik di The Hunt for the Holy Coins, sementara Beta Ceti hanya mengikutinya di sepanjang perjalanan. Untuk bertemu dengan Peter, begitu kata Amadeus, lalu mencari Antares yang bersemayam di dapur magma untuk menggantikan posisi Altair sebagai Bintang Ketiga. Menyadari sesuatu yang aneh di sepanjang perjalanan, Beta Ceti bergumam kepada Amadeus, "Sarkofagus-sarkofagus itu berasal dari mana?"
Amadeus menoleh dan terdiam—seorang iblis tingkat atas termangu. Raut wajahnya tampak lebih bodoh dari anak-anak yang kehilangan kesadarannya.
"Ada yang salah?" tanya Beta Ceti memastikan.
"Kenapa ...," ucapan Amadeus terpotong, "Sungai Nil ada di semesta ini? Ini pasti sebuah kesalahan." Amadeus mendongakkan kepalanya dan mendapati langit yang sama seperti sebelumnya: ia mendarat di tempat semula, bulannya masih sama—purnama—dan hawanya tidak semengerikan bulan-bulan sebelumnya. Ketika matanya melangkah lebih jauh menelusuri sungai itu, ia bisa melihat mayat baru seorang pria tua yang keriput kulitnya.
Itu adalah Joseph.
Amadeus tidak dapat mencerna segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Ia berpikir keras sebelum akhirnya sampai pada sebuah konklusi:
Vitae milikku, Stationary Traveller, telah mendapatkan kekuatan baru. Meleburkan alam semesta yang berbeda lewat gerbang lintas ruang dan waktu, lalu menggabungkannya menjadi satu kesatuan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top