Chapter 34 - Keluarga Kerajaan

Malam pun tiba. Ludwig membakar kayu di perapian dan menyalakan lilin di meja bundar ruang tengah. Mira memangku dagunya, menatap lilin itu. Muezza tampak duduk dengan santai di lantai sambil bermain dengan bola benang. Antonio duduk di kursi kayu panjang, menatap Magnus dan Stephanie yang berbalik menatapnya dengan wajah penuh perban.

"Aku tidak akan membunuh kalian berdua," ujar Antonio. "Mulai sekarang, kalian berdua harus mengikutiku."

Meski sebelah matanya tertutup, dapat terlihat raut muka penuh dendam dari Stephanie. "Kau manusia, ha! Kau adalah orang yang membunuh suamiku, bukan, ha?"

"Itu bukan aku."

"Lantas siapa, ha?!"

"Seorang pria yang bisa berjalan menembus ruang dan waktu."

"Tapi itu kau, ha! Kaulah yang membawa kami ke sini dengan menembus ruang dan waktu, ha!"

Terdengar lenguhan pasrah dari Magnus. "Aku menyerah. Aku tidak yakin bisa melanjutkan turnamen ini."

"Apa katamu, ha? Kita harus melawan manusia-manusia ini, ha!"

"Stephanie," Magnus memotong, "kita sudah kalah. Aku tidak akan bisa berjalan dengan normal setelah ini. Bagaimana kalau kita serahkan saja seluruh koin kita dan ikut mereka? Aku rasa, itu adalah satu-satunya cara bagi kita untuk bertahan hidup."

"Aku tidak akan mengambil semua koin kalian. Jika kau, Magnus, tidak bisa melanjutkan turnamen, maka akan kuambil koinmu. Tapi koin Stephanie, selama dia masih bisa berjalan dan membunuh iblis, aku tidak akan mengambilnya. Menurutmu itu sudah adil, Mira? Koin pria ini akan menjadi milikmu."

Mira yang tampak lemas membalas, "Aku serahkan koin itu padamu saja, Midas. Tidak ada artinya juga koin itu buatku. Jika kau berhasil masuk ke sepuluh besar klasemen individu fase ini, itu sudah cukup. Kita bisa gunakan uangnya untuk membantu orang-orang yang terdampak serangan iblis dan mempersiapkan fase berikutnya."

Ludwig menarik kursi dan duduk di seberang Mira. Ia menyeruput teh panasnya dan mulai bersenandung pelan.

"Paman Ludwig, di mana Julietta?" tanya Mira.

Ludwig terdiam sejenak. Ia mengusap-usap ujung cangkirnya menggunakan jari telunjuknya sambil berpikir. "Walaupun berada di semesta lain, dia tetap mencoba sekuat tenaga untuk menghidupi dirinya sendiri."

Tiba-tiba saja pintu depan terbuka, dan dari sana muncul sesosok wanita dewasa bertubuh tinggi dengan jubah cokelat. Ia menanggalkannya, termasuk juga sepatu hak tingginya, dan segera beranjak menuju meja bundar di tengah ruangan, menarik cangkir Ludwig dan menyeruput teh panasnya. "Siapa orang-orang ini?" tanyanya.

Ludwig memasang senyuman kecil, sementara Mira menarik mundur kepalanya, menatap wanita berpakaian minim yang duduk di sampingnya.

"Siapa wanita ini?" Mira bertanya.

"Saudara perempuan yang telah lama berpisah akhirnya bertemu kembali." Ludwig dengan santai menyeruput teh panasnya.

Mira dan Julietta sontak bertatap-tatapan. Cukup lama. Keduanya mematenkan mata mereka untuk mengindra, menerka, dan mengingat kembali sosok saudara perempuan seperti apa yang pernah ada di dalam kepala mereka dan menghilang sembilan tahun lamanya.

"Apakah ini kau?" Julietta tampak gemetaran. "Apakah ini benar dirimu, Mira?"

Mira tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca. Karena kepalanya terlalu penuh dengan emosi, ia sampai tidak bisa berkata-kata. Satu-satunya hal yang ia lakukan adalah tertawa terisak-isak sambil mengangguk. Julietta langsung memeluk tubuh Mira kuat-kuat. Keduanya tenggelam di dalam pertemuan bergelimang air mata. Ia sekali lagi menatap wajah Mira, kemudian mengecup pipinya tak henti-henti.

"Aku benar-benar merindukanmu, Mira! Ini mustahil! Kau jadi besar sekali!"

Antonio bangkit dari kursi panjangnya, berjalan menuju meja bundar dan duduk. Ia juga ikut menyeruput teh panas dari cangkir itu; Ludwig kepalang kesal dan menempeleng Antonio dengan pelan.

"Ini putrimu?"

"Kau bisa lihat sendiri."

Setelah pelukan yang cukup lama itu usai, wajah Julietta tampak berbunga-bunga. Ia kembali duduk, dan lagi-lagi menyeruput teh panas dari cangkir ayahnya. Terlalu bersemangat, ia sampai menyemburkan teh panas itu. Ludwig kali ini tampak diam dan memilih untuk pasrah saja.

"Lalu siapa orang-orang ini, Mira?" Julietta mengarahkan pandangannya ke sekeliling.

"Pria dan kucing ini adalah rekanku. Kami ikut dalam The Hunt for the Holy Coins. Dan dua orc yang sedang terluka di sana, mereka berasal dari tim Sadrathafighre dan kebetulan ikut terseret ke semesta ini. Kami mengalahkan mereka."

"Kalian berhasil mengalahkan Sadrathafighre?" Nada bicara Julietta meninggi. "Tim yang bertengger di posisi kedua klasemen itu? Hebat!"

Mira hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak bisa mengimbangi energi Julietta yang begitu besarnya. "Apa yang kaulakukan di kota, Julietta?" Mira membuat topik baru. "Wajah dan pakaianmu tampak berantakan. Aku berpikir, pekerjaan seperti apa yang kaulakukan di kota, dan kenapa kau bisa mudah sekali mendapatkan pekerjaan di semesta yang sama sekali belum pernah kau jejaki?"

Julietta memukul meja dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Ia mendorong kakinya dan bermain-main dengan kursi itu. "Aku seorang pelacur," ucapnya.

Mira sontak termenung. Wajahnya dipenuhi penyangkalan. "Kau bohong, 'kan?"

"Tidak. Itu sungguhan." Julietta menoleh, memberikan tatapan tajam yang membius Mira. "Aku seorang pelacur."

Mira mengalihkan pandangannya kepada Ludwig. Keduanya tidak berbicara, tetapi dapat tergambar sebuah kondisi di mana Mira berteriak meminta jawaban, sementara Ludwig hanya menutup mulut dan menggeleng sambil berkata bahwa ia tidak tahu apa-apa. Antonio menyilangkan kedua tangannya, menyandarkan tubuhnya, menyaksikan percakapan "keluarga kerajaan" itu.

"Bagaimana bisa, Paman?" Akhirnya pertanyaan terlontar.

"Ceritanya panjang," jawab Ludwig. "Kami jatuh miskin. Miskin sekali. Sampai-sampai kami harus tidur tanpa atap selama berbulan-bulan, makan tidak menentu, dan jatuh sakit berulang kali. Suatu hari dia melihat sebuah kesempatan datang. Aku sudah melarangnya. Kita ini adalah keluarga kerajaan yang terhormat, kataku. Tapi dia tetap saja melakukannya."

Mira kembali menatap Julietta. "Kenapa kaulakukan itu?"

"Awalnya aku hanya coba-coba." Julietta masih bermain dengan kursinya. "Tapi apa artinya 'keluarga kerajaan yang terhormat' kalau kami tidak memiliki masa depan yang jelas dan hanya makan tahi? Aku tidak bisa membiarkan itu. Aku mencobanya, aku mendapatkan uang, banyak sekali uang. Akhirnya aku tahu, mungkin jalan yang hina ini memang disiapkan oleh Tuhan untukku."

"Tapi tidak seharusnya kau melakukan hal hina seperti itu. Kau adalah wanita mulia dengan garis keturunan kerajaan."

"Tidak usah menasihatiku, Mira. Aku sudah hina, jauh sebelum menjadi hina. Ditendang dari kerajaan, dan dicabut nama belakangku. Tidakkah itu menyakitkan? Waktu itu semua orang di kerajaan melihat kami berdua sebagai pendosa. Mereka melempari kami kotoran dan menyumpah serapahi kami. Itu sesuatu yang menyakitkan. Maka dari itu, aku minta tolong, tidak usah menasihatiku tentang menjadi anggota keluarga kerajaan. Sekarang ... aku hanyalah seorang pelacur."

Antonio berdiri dan memutar-mutar lengannya. "Sepertinya aku butuh istirahat." Ia beranjak menaiki tangga. "Muezza, ingin tidur bersamaku?" teriaknya. Muezza mengeong, berjalan dengan cepat mengikuti Antonio.

"Apakah masih ada kamar kosong di atas?" tanya Magnus yang sudah berdiri, diikuti oleh Stephanie.

"Oh, ada," kata Ludwig. "Kalian tinggal naik saja. Kamar yang dekat dengan nakas itu masih kosong."

Setelahnya, Magnus dan Stephanie pergi, meninggalkan tiga anggota keluarga kerajaan itu di meja bundar.

"Ini menjadi sedikit serius," ujar Ludwig dengan nada rendah, menyeruput cangkirnya yang sudah kosong sejak tadi.

Mira masih terdiam di dalam bilik ketidakpercayaan. Julietta, sosok kakak perempuan yang baik hati, yang selalu menjadi temannya semasa kecil, yang selalu tampak anggun, lembut, dan suci, yang merupakan putri mahkota sebelum dirinya, kini telah menjadi wanita yang penuh dengan noda dosa. Julietta berhenti bermain dengan kursinya. Ia menatap keduanya tangannya tanpa berkedip, sementara rahangnya naik turun dengan mulut tertutup.

"Aku dan ayahku sudah tidak punya harapan lagi. Ketika kami tahu bahwa turnamen besar ini diadakan, kami berusaha sekuat tenaga untuk mengambil posisi pertama. Meski mustahil, setidaknya kami ingin berbicara banyak di turnamen ini untuk memperbaiki kehidupan kami."

"Hidup di luar istana itu keras sekali, Mira," ucap Ludwig dengan penekanan. "Tidak ada yang peduli siapa dirimu. Kalau kau tidak bisa menempatkan diri dan bekerja untuk mencari uang, kau akan mati."

"Ayah benar," Julietta menyela, "dan itu yang terjadi pada kami. Tidak ada orang yang tahu kalau kami berdua adalah anggota keluarga kerajaan. Yang rakyat tahu, anggota keluarga kerajaan pasti bernama Alexander atau Alexandra. Namun, nama itu sudah tidak lagi ada pada kami. Kami berdua hanya sampah."

Mira mengembuskan napas panjang. Ia menatap Ludwig, kemudian beranjak pelan menuju Julietta. Dari kedua matanya terpampang tatapan penuh iba. Ia masih tidak bisa memercayai segala fakta yang dijabarkan di hadapannya, bahwa keluarganya yang telah lama hilang sekarang benar-benar bernasib 180 derajat dibandingkan sebelumnya.

"Aku benar-benar tidak punya pilihan waktu itu," ungkap Julietta. "Tapi dilahirkan dengan wajah dan tubuh yang indah seperti ini, aku pikir, siapa yang tidak mau membeliku? Sungguh, menjadi putri kerajaan membawa berkah tersendiri untukku. Sejak pertama kali melepas keperawananku tujuh tahun lalu, aku sudah tidur dengan ratusan laki-laki dan perempuan. Aku tidak tahu dunia seperti itu bisa menjadi menyenangkan."

Ludwig melenguh pelan, memeluk cangkir dengan kedua tangannya.

"Aku mendapatkan banyak uang. Orang-orang menyukaiku. Itu surga, Mira. Itu surga. Sesuatu yang tidak pernah bisa aku bayangkan. Sesuatu yang tidak mungkin aku dapatkan kalau aku masih memiliki Alexandra sebagai nama belakangku."

Mira mendengarkan cerita dari kakak sepupunya itu dengan saksama. Perasaannya bercampur aduk. Tinggal satu langkah lagi—pada saat itu—Julietta dapat menjadi seorang putri mahkota. Kematian Raja Hansen, kakeknya, adalah penyebabnya. Mahkota yang mati harus diserahkan sesuai aturan garis keturunan kerajaan. Putra tertua, jika tidak ada, maka putri tertua. Dan putra tertua itu adalah Ludwig. Lebih tepatnya, Ludwig Triton Alexander.

William sebagai adiknya merasa tidak terima. Ia menyusun strategi untuk menggulingkan kakaknya yang sebentar lagi akan diangkat menjadi raja. Setelah sekian lama mencari, akhirnya ia bertemu dengan sebuah cara yang paling memungkinkan. Tiga bulan sebelum kematian Raja Hansen, pihak kerajaan mengadakan perburuan besar untuk membasmi iblis sisa bulan purnama. Raja Hansen, Ludwig, dan William ikut di dalamnya. William ingat betul pada malam itu ada seekor iblis lebah yang lolos dari pengawasan dan menyengat ayahnya. Itulah yang menjadi penyebab sakit keras Raja Hansen, yang akhirnya membuatnya meninggal dunia tiga bulan setelahnya.

Iblis lebah itu datang dari arah utara—garis depan. Pasukan garis depan dipimpin oleh Ludwig. Itulah titik terang yang berhasil ditemukan oleh William. Ia akan menyudutkan kakaknya dengan fakta itu. Ia punya beberapa saksi yang ikut bersamanya menjaga Raja Hansen di tenda sebelum sengatan itu terjadi. Ia berencana menyuap mereka untuk menutup mulut, dan membunuh mereka setelahnya. Pada saat itu, pikiran William sudah terkontaminasi oleh keburukan.

Setelah melalui rangkaian pengusutan dan pencarian bukti selama berminggu-minggu, hari penghakiman pun tiba. Belasan orang bersaksi atas nama Tuhan dan keempat kesatria wanita legendaris bahwa penyebab kematian Raja Hansen adalah kelalaian Ludwig dalam memimpin pasukan di garis depan sehingga satu ekor iblis lolos dan menyerang Raja Hansen. Seketika seisi ruang pengadilan menghardik Ludwig. Ludwig tidak percaya. William telah bertindak di luar nalar. Sejak awal, ia sudah lebih berkuasa dibandingkan kakaknya. Patung iblis tingkat atas Bintang Keempat—Capella—yang ia miliki di ruang bawah tanah istana menjadi kartu asnya. Ia mengancam seluruh petinggi kerajaan dan orang-orang yang hadir di ruang pengadilan itu:

"Jika kalian tidak berbohong untukku, akan kupersembahkan seluruh jiwa kalian pada iblis. Akan kubuat kalian mati dengan kondisi paling hina. Menyembah iblis."

Dengan begitulah, seluruh orang di dalam ruang pengadilan menggandakan keimanan mereka demi William. Menghindari ketakutan terhadap iblis dengan berbohong dan mendosa kepada Tuhan. Palu diketuk dan Ludwig dengan segera diborgol. Ia menangis dan meraung dengan keras. Di kejauhan, ia bisa melihat William duduk di atas singgasana dengan mahkota di kepalanya, memberikan tatapan penuh kelegaan.

Nama kerajaan dicabut dari nama Ludwig dan Julietta. Mereka berdua secara resmi ditendang dari silsilah keluarga kerajaan dan tidak diperbolehkan untuk menginjakkan kaki di istana lagi. Seluruh kekayaan mereka disita, mulai dari tanah, rumah, hewan, dan segala persenjataan. Kini mereka hanyalah rakyat biasa.

"Sudah cukup." Julietta berdiri. "Ayah, di mana kubus itu kauletakkan?"

"Di atas perapian. Kenapa?"

Julietta mengambil kubus itu dan segera menuju lantai dua tanpa berkata apa-apa.

"Hei, apa yang ingin kaulakukan?" teriak Ludwig.

Di meja bundar itu, Mira hanya diam. Perlahan-lahan air matanya menetes. Kepalanya terus mengulangi pertanyaan yang sama: Bagaimana bisa semuanya menjadi seperti ini?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top