Chapter 32 - Wolfgang Amadeus

(Tanpa Judul)


Gerbang neraka terbuka pada malam itu ketika malaikat pencabut nyawa mengantarkan pesan kepada malaikat penjaga neraka bahwa ada pesta pora bergelimang darah dan ketakutan di sebuah gubuk di pinggir kota.

Kisah tersebut adalah tentang seorang pria dan temannya yang tak tahu apa-apa tentang dunia, dibutakan fana, bersama-sama menginjakkan kaki ke ladang sepi untuk menggetarkan setiap penghuni neraka sampai mereka menyambut bahagia dari dasar jurang katastrofe, "Kalian berdua adalah sebangsa kami! Mari turun dan nikmati api serta penderitaan ini!"

Mati. Anak-anak dan orang tua itu mati. Mereka semua.

Gelap. Matahari bertransformasi menjadi kepompong. Dan bulan tertidur lama sekali di dalam karung yang dibawa oleh orang-orang lalai.

Arah dan tujuan kabur dari pandangan; kaki bergerak hanya untuk menginjak tanah yang semakin meleleh dan tidak memberikan kepastian perihal apa yang harus dipegang kembali di esok hari.

Tertidur—terlelap—seorang durjana. Bersama dengan pedangnya yang bersimbah darah yang, masih berdarah hingga bertahun-tahun lamanya, mengantarkannya pada gerbang mimpi di pelupuk mata, lalu dibawa kabur oleh pengantar pesan yang menaiki bahtera keabadian.

Hingga sekarang, pria durjana itu masih belum menemukan jawabannya.

Entah kapan, mungkin di alam semesta yang lain, ia tak tahu pasti.

Dosa-dosanya akan bertemu dengan hakimnya—bertemu dengan hukumannya.


—Antonio, 1496

***

Sesuatu yang tidak nyaman kembali menjalar di sekujur tubuhnya. Sesak dadanya dibuatnya, sama seperti ketika malam dengan gemuruh hujan 17 tahun lalu. Hati dan pikirannya tak tenang, berputar terus-menerus—direbus api ketidakpastian yang semakin membara tatkala ia berusaha menutup lukanya.

"Akhirnya aku menemukanmu," ucap pria itu dengan tegas.

Menatap mata biru pria itu, Antonio bertanya dengan gemetaran, "Siapa kau?"

"Aku adalah pria yang bisa berjalan menembus ruang dan waktu. Aku tidak pernah tidur dan tidak pernah menangis. Aku tidak pernah lelah dan tidak pernah kalah. Aku menguasai dunia, semesta demi semesta, dengan kekuatanku." Nyala terang pada matanya membekukan Antonio. Terbelalak Antonio dibuatnya, sampai-sampai dia tidak bisa berkata-kata. Pria itu lantas melanjutkan dengan nada rendah, "Aku adalah kesatria tertinggi raja iblis. Aku adalah Aldebaran. Aku adalah Wolfgang Amadeus."

(Iblis tingkat atas, Bintang Pertama: Aldebaran/Wolfgang Amadeus)

"Mata itu ...," Antonio terbata-bata, "adalah milik Wolfgang Randolf."

"Mata ini telah menentang aturan Vitae," Amadeus mendekatkan wajahnya pada Antonio. "Jiwa kakakku masih hidup di dalam Indigo Night bahkan setelah dia mati. Aku mencoba mencarimu dengan mata ini. Aku melintasi berbagai alam semesta, tapi aku tak kunjung berjumpa. Hal yang membuatku terkejut adalah ternyata kau berasal dari semesta yang sama denganku. Semesta tempat seluruh anggota keluargaku dibunuh dan tempat di mana The Hunt for the Holy Coins dilaksanakan. Setelah jutaan tahun berkelana, aku berhasil menemukanmu."

"Apa maksudmu? Kenapa kau sampai mencariku ke alam semesta lain?"

Amadeus tertawa puas. Antonio melihat pria itu mengibaskan pedangnya. Spontan, Antonio menghunus pedangnya dan mengayunkannya. Benturan terjadi, dan Amadeus tampak begitu tenang. Ia sama sekali tidak menggerakkan kakinya. Ia hanya diam, dan tak lama senyuman terpampang pada wajahnya. "Bagaimana kehidupanmu?" tanyanya. "Sudahkah kau menghidupi kehidupan yang diramalkan oleh kakakku, Randolf?"

Napas keluar dari mulut Antonio seperti embusan angin di musim dingin. Menusuk dan menyedihkan. Kedua matanya terbelalak dan bibirnya gemetar. Antonio terus menggenggam pedangnya hingga itu berubah menjadi emas, dan bertanya kepada Amadeus, "Memangnya hidup seperti apa yang dia maksud?"

"Jangan bertingkah seperti orang bodoh. Aku tahu bahwa kau adalah orang yang cerdas dan hebat. Seluruh alam semesta ada di dalam benakmu." Amadeus mengetuk-ngetuk kepalanya menggunakan jari telunjuk. "Kau takkan pernah melupakan kejadian malam itu, termasuk apa yang kakakku Randolf katakan padamu."

Antonio tidak bisa menyeimbangkan kakinya. Sekujur tubuhnya berubah dingin, disengat oleh sebuah kekuatan aneh yang kemudian melemahkan dirinya. Antonio bersimpuh dengan telapak tangan kanannya yang terbuka menghadap langit. "Kehidupan itu ..., aku telah menjalaninya."

"Baguslah kalau begitu. Sudah sepatutnya kau menerima segala penderitaan yang diakibatkan oleh dirimu sendiri. Semua hal yang terjadi sekarang adalah karma bagimu. Tapi biarkan aku memberitahumu satu hal. Aku tidak akan membunuhmu untuk saat ini."

Antonio mendongakkan kepalanya dengan penuh kebingungan.

Amadeus mengarahkan pedangnya pada telapak tangan Antonio. "Tangan itu, kekuatan itu, Golden Touch, aku sudah mencarinya ke mana-mana. Bisa kukatakan, ini adalah sebuah keberuntungan bagiku. Aku memiliki dua tujuan dan rupanya dua tujuan itu terletak pada dirimu. Ini pasti kesalahan Tuhan dalam merajut benang takdir. Itu karena Golden Touch merupakan Vitae terkuat yang pernah ada. Puncak kekuatan dari Golden Touch bukan merupakan sesuatu yang dapat kaubayangkan. Tidak, itu tidak membuat segala sesuatu yang kausentuh berubah menjadi emas. Tidak, itu tidak membuatmu berteleportasi ke ruang lain, ke waktu lain, atau ke semesta lain. Puncak kekuatan dari Golden Touch adalah menulis ulang realitas. Dan kekuatan itu sejatinya hanya dimiliki oleh Tuhan."

"Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan." Wajah Antonio benar-benar bingung. "Bukankah kau orang yang seharusnya membunuhku atas segala dosa-dosaku? Tetapi kenapa kau justru merasa bahwa aku adalah 'emas' yang selama ini kau cari-cari?"

Amadeus mengembuskan napas panjang. "Ketika anak buahku, Peter, bertemu denganmu, dia mengabari bahwa sang pembunuh sudah ketemu. Kemudian, dia mengikutimu sampai Lonesome dari balik kegelapan dan sungguh sebuah pemandangan yang luar biasa terjadi di depan matanya. Peter melihat kau menyentuh tubuh para iblis tingkat atas dengan tanganmu dan mengubah mereka menjadi emas, lalu berpindah tempat dengan mudahnya menggunakan kekuatan teleportasi. Sejak saat itu, aku tahu bahwa aku harus kembali mendekat ke semesta kita. Setelah perjalanan jauh, aku kembali. Dan ternyata, kita bertemu di sini. Mata ini mendeteksi energi besar dari Vitae milikmu. Sebuah energi luar biasa yang tidak bisa dilihat oleh mata telanjang. Jika kau tahu, kekuatan Vitae-mu sekarang sedang memenuhi langit dan bumi. Aku bisa melihatnya menabrak batas-batas dimensi, pun dengan alam semesta lain. Kekuatanmu menembus batas-batas itu dan menyebar ke mana-mana. Titik temunya ada di semesta ini. Kita bertemu, sebagai sebuah kain yang indah, hasil rajutan benang takdir."

"Lalu apa yang akan kaulakukan sekarang?" Antonio menelan ludahnya. Di dalam selubung rasa takut, ia sama sekali tidak menunjukkan kepanikan. "Tujuanmu adalah aku, dan sekarang aku terduduk di sini tidak berdaya. Jika kau ingin membunuhku, bunuh saja aku. Tapi jika kau ingin terus berbicara dengan suara busukmu yang mendayu-dayu itu, aku siap mengayunkan pedangku dan bertarung denganmu sampai hari kiamat."

"Aku suka sikapmu, Antonio." Amadeus tersenyum lebar, jongkok untuk menatap Antonio. "Tapi seperti yang aku bilang, aku tidak akan membunuhmu untuk saat ini. Aku punya tawaran."

"Apa itu?"

Amadeus mengeluarkan telunjuk kirinya yang berwarna merah dan membusuk. "Tarik telunjukku dan jadilah iblis."

Antonio terperanjat. "Apa maksudmu?!"

"Menjadi seorang pria yang dapat melakukan segalanya dan diberkahi oleh segalanya, aku tergolong pria yang baik hati. Aku tidak langsung membunuhmu, padahal kau adalah pembunuh keluargaku. Aku justru memberimu kesempatan untuk hidup abadi bersamaku. Akan kita persembahkan Golden Touch untuk kebangkitan raja kita, Regulus."

Hening melahap Antonio barang sejenak sebelum ia mengayunkan pedangnya, menebas jari telunjuk Amadeus. Senyum lebar yang tadi terlukis pada wajah Amadeus kini menghilang. Ia kembali berdiri sambil menatap jari telunjuknya yang terjatuh bersama dengan darah yang menghujaninya. Tatapan matanya begitu tajam menusuk Antonio. Pada wajahnya tidak ada rona yang tampak selain gelap. Amadeus membenci itu. Emas yang selama ini ia cari-cari tidak menerima tawarannya, dan justru melawannya.

"Asal kau tahu, Antonio." Amadeus berkata. "Aku lebih kuat darimu. Jauh. Jauh sekali. Satu tebasan pedangku bisa mendorong kepalamu pergi ke semesta lain."

Antonio menundukkan kepalanya, melepas napasnya yang sedari tadi ia tahan agar tampak kuat. Di dalam hatinya ia begitu ketakutan. Ia tidak berdaya, seperti kata-katanya. Sebab yang berada di hadapannya sekarang adalah malaikat pencabut nyawa yang sejak dahulu sudah diramalkan akan mencari dan membunuhnya. Amadeus, satu-satunya anggota keluarga Wolfgang yang tersisa berdiri di hadapannya tanpa ada pembatas sedikit pun. Itu bukan mimpi, bukan pula kisah fantasi. Yang ada di hadapannya adalah realitas, yang menjadi titik akhir dari segala titik kebingungan di kepalanya.

"Aku adalah seorang pria yang baik hati." Dengan tatapan kesal Amadeus berkata, "Kau membunuh keluargaku, aku menemuimu dan memberimu kesempatan, tapi ini yang kauberikan padaku. Aku membencinya."

"Tidak apa-apa kalau kau membenciku. Aku memang pantas dibenci olehmu. Ini semua adalah kesalahanku. Tapi, aku tidak akan menyerah begitu saja." Antonio bangkit dengan menggenggam pedang emasnya. "Kau adalah iblis, dan aku harus membunuhmu." Ia meletakkan ujung pedangnya di leher Amadeus.

Amadeus tampak semakin geram melihat sikap Antonio. Nada bicaranya menjadi berat sekali. "Aku adalah seorang pria yang baik hati," ucapnya sambil menggenggam kalungnya. "Aku sudah memberimu kesempatan dan kau menolaknya. Tidak apa-apa. Aku masih tidak akan membunuhmu untuk saat ini. Tetapi karena sikapmu ini, aku mendeklarasikan perang kepada alam semesta tempat kita tinggal. Manusia, elf, orc, dan dwarf—aku akan menghancurkan kalian semua. Aku akan mengerahkan kekuatan penuh untuk menyambut sisi gelap bulan dan kebangkitan rajaku. Dan ketika malam itu tiba, mari kita lihat, apakah kau akan datang padaku dan mengubah pikiranmu, atau kau akan melawanku dan membuatku memiliki alasan untuk membunuhmu."

"Aku lebih suka opsi kedua," jawab Antonio tegas. Ia memenggal kepala Amadeus, tetapi pada saat yang bersamaan Amadeus mengaktifkan kekuatan Vitae miliknya menggunakan kalungnya. Portal terbuka lebar dan membawanya pergi entah ke mana. Antonio kini berdiri di tengah-tengah kerusakan itu, di samping naga emas yang sudah terpecah belah. Tidak jauh dari sana, ia bisa melihat tubuh besar tanpa kepala milik Guskar yang tenggelam di genangan darahnya sendiri, bersama dengan puluhan koin berwarna emas dan merah.

Pada momen itu, naga putih raksasa penjaga Menara Revensten mengepakkan sayapnya dan mendarat di dekat Antonio, bersama dengan beberapa Rider berzirah yang menunggangi naga mereka. "Apakah dia penyusupnya, Ratu?" tanya seorang Rider kepada naga putih itu. Naga putih itu sempat menatap Antonio sebentar, tetapi dengan yakin ia menjawab, "Bukan. Energi penyusup itu sudah menghilang." Setelah itu, rombongan Ratu Fiena kembali ke Menara Revensten.

Antonio terdiam menatap langit dengan lemahnya. Pedangnya terjatuh. Sarung tangan kirinya tiba-tiba terlepas karena sudah tidak bisa menahan pengaruh kekuatannya. Kini kedua telapak tangannya menggantung tanpa pelindung. Ia memejamkan matanya, lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya.

Menulis ulang realitas? Persetan dengan menulis ulang realitas. Aku harus membeli sarung tangan baru.

Keheningan yang menyelimuti Antonio pecah ketika seorang pria memanggilnya dari balik gang. "Pria bernama Amadeus itu pergi karena takut denganku."

Antonio menoleh dan mengangkat satu alisnya. "Siapa kau?"

"Ikuti aku dan akan kutunjukkan padamu cara mengalahkan Amadeus." Pria itu mengeluarkan sebuah relik kubus dari balik jubahnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top