Chapter 30 - Pertemuan

Matahari bangun dari tidurnya, menyinari peradaban penuh naga yang berselimutkan kegelapan itu. Asap dari tungku pembakaran mulai mengepul, naga-naga dicambuk untuk mengantarkan barang, para peri seperti biasanya bernyanyi di pagi hari, dan sekumpulan remaja yang memakai seragam dan topi besar sedang melayang menggunakan sapu terbang sambil mendekap buku mereka. Begitu halnya dengan Amaryllis, mereka merapikan barang-barang mereka dan segera pergi dari penginapan untuk menuju pusat kota, tempat di mana menara yang mereka cari berada.

"Besar juga patung itu," celetuk Muezza.

"Kau benar," sahut Mira sambil mengangguk.

Amaryllis berdiri di tengah-tengah arus manusia yang berjalan sambil menuntun naga mereka dari arah menara. Papan tanda jalan menunjukkan bahwa memang tempat itulah yang mereka cari. Menara Revensten—sumber dari segala sumber kekuatan di Kota Revensten, Kerajaan Danvera, bahkan seluruh dunia. Tidak ada manusia yang sanggup menciptakan bangunan semegah itu kecuali mereka adalah dewa. Gerbang emas raksasa pada puncaknya mengeluarkan bulatan-bulatan cahaya berwarna putih yang kemudian berubah menjadi peri dan juga jin. Nyanyian lembut yang menggema tipis menyelimuti menara itu bak dongeng pengantar tidur.

Mira dan Muezza berjalan melawan arus, tidak sabar melihat apa yang ada di dalam sana. Sementara itu, Antonio hanya ternganga menatap menara itu. Matanya terbuka lebar, tidak berkedip; tubuhnya mematung di dalam keramaian. Ia larut dalam pemandangan di hadapannya: langit biru yang diwarnai parade naga berwarna-warni yang menyemburkan api untuk menebar berkah pada makhluk darat (begitu kata buku kecil tentang dunia yang dibaca oleh Antonio kemarin malam).

"Sepertinya itu bukan patung, Muezza," ujar Antonio. Ketika ia meluruskan pandangannya, ia menyadari bahwa Mira dan Muezza sudah menghilang. Dengan cepat Antonio berlari menembus lautan manusia dan naga di hadapannya.

Beban berat menabrak bahunya, tetapi Antonio terus berlari. Gendang telinganya tak henti-henti disapa teriakan langit dan juga nyanyian para peri yang berbondong-bondong menghampiri menara itu. Suasana di sana ramai sekali, sampai-sampai Antonio tidak bisa memfokuskan pikirannya. Semua mata tertuju padanya, seakan-akan bertanya dari mana ia berasal. Tentu saja tidak begitu. Akan tetapi, perasaan aneh yang datang malam itu kembali menghampiri Antonio, menyebar ke seluruh tubuhnya.

Perasaan apa ini?

Tiba-tiba saja patung naga yang bertengger pada menara itu bergerak. Sayapnya mengepak dan mulutnya terbuka lebar. "PENYUSUP!" teriaknya, menggema ke seluruh penjuru kota.

Di saat itulah Antonio sadar bahwa ia sudah tamat.

Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan dayung Vin, kemudian mengentakkannya ke tanah dan terbang untuk mencari Mira dan Muezza. Semua orang yang ada di sana langsung mengangkat kepala mereka menatap Antonio. Itu bukanlah seekor naga, melainkan sebuah sampan dari kayu. Orang-orang yang melihat itu langsung menaiki naga mereka masing-masing, mengejar Antonio.

Di kejauhan, Antonio bisa melihat Mira dan Muezza sedang kesulitan menembus arus manusia sebab beberapa pengawal menghadang mereka. Antonio menurunkan dayungnya untuk membawanya menukik ke bawah. Dengan satu tangan, ia menyambar Mira dan Muezza, membanting tubuh mereka pada sampan yang dinaikinya. Setelahnya, Antonio mengangkat dayungnya tinggi-tinggi untuk membawanya ke atas. "Ini buruk!" teriaknya. "Naga itu bukanlah sebuah patung! Dia tahu kalau kita adalah penyusup!"

Mira yang tersungkur bertanya dengan kebingungan, "Apa maksudmu?! Kenapa tiba-tiba semua orang mengejar kita?!"

Muezza menarik tongkat sihirnya untuk menembak naga-naga yang mengejar mereka. Beberapa di antara naga-naga itu gugur, tetapi barisan yang mengikuti di belakangnya masih terlalu rapat dan masif. "Tidak ada gunanya. Kita harus kabur."

Antonio, masih menyetir sampannya, berkata, "Gunakan Vitae-mu, Mira!"

"Tidak bisa! Aku hanya bisa menggunakan Vitae-ku pada malam hari. Apakah kau lupa?"

Antonio menggertakkan giginya, terus mendorong dayungnya untuk kabur dari kejaran naga-naga yang ditunggangi oleh para prajurit kerajaan itu. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat ada banyak sekali yang mengejarnya. Ia lantas memberikan perintah, "Muezza, tembak naga-naga itu!"

"Tapi jumlah mereka terlalu—"

"Lakukan saja!"

Muezza terdiam sejenak sebelum akhirnya berdiri kembali. Tongkatnya ia putar sebelum cahaya hijau mengembang pada ujung kristalnya dan menyebar bagaikan tembakan jaring laba-laba. Naga-naga yang ditunggangi para prajurit kerajaan itu satu per satu tumbang. Muezza terus mengulangi prosesnya sampai akhirnya hanya tersisa tiga Rider saja yang mengejarnya.

Sampan Amaryllis meliuk-liuk di udara menghindari tembakan anak panah dari menara-menara penjaga di tengah kota. Mira dan Muezza berpegangan dengan erat ketika Antonio mendorong dayungnya lebih kuat, membuat sampan mereka melesat dengan kecepatan tinggi melawan angin.

"Antonio!" tegur Muezza. "Antonio! Antonio!"

"Ada apa, hah?!" Suara Antonio dikaburkan angin.

"Tiga orang yang mengejar kita ...."

Antonio menoleh ke belakang. Matanya menangkap kulit berwarna hijau di balik zirah dan helm itu. Sial, batinnya. Padahal aku menyuruh mereka bertiga untuk menunggu di hutan saja agar mereka tidak dicurigai oleh orang-orang kota. Mereka malah membelot!

Salah satu dari Rider itu mengeluarkan senapan laras panjang dari balik punggungnya, diikuti dengan satu ikat bom berwarna putih. Ia melempar bom ikat tersebut ke depan, lurus menghantam sampan yang ditumpangi Amaryllis. Pelatuk ditarik, peluru melesat menghancurkan bom ikat tersebut. Pecahannya mengenai wajah Antonio, Mira, dan Muezza. Momen itu seakan berhenti bagi Antonio. Ia bisa melihat serpihan dari bom ikat itu masuk ke mata Mira dan Muezza. Ia lantas mengguncangkan dayungnya agar sampannya ikut berguncang. Itu berhasil menangkal pengaruh sihir dari bom ikat yang dilemparkan oleh Rider yang mengejarnya.

Antonio menoleh kembali ke belakang. Di saat yang bersamaan, ketiga Rider itu membuka helm untuk menunjukkan wajah mereka. Dugaan Antonio benar, mereka bertiga adalah para orc dari tim Sadrathafighre—Guskar, Magnus, dan Stephanie.

"Kalian berdua, ambil ancang-ancang!" teriak Antonio. Mira menghunus pedangnya dan Muezza mengeratkan genggaman tongkatnya.

Ketika naga yang ditumpangi oleh Guskar menyemburkan bola api, Antonio mengentakkan dayungnya untuk menciptakan satu sampan lagi. Dengan cepat Antonio mematahkan dayung itu dan melempar satu patahannya kepada Mira, sementara ia menggenggam patahan lainnya. "Kalian berdua menjauhlah!" teriak Antonio tanpa suara. Ketika bola api itu menghempas mereka, kedua sampan yang berbeda sudah terpisah. Antonio berdiri sendiri dan melesat menuju kiri, sementara Mira memutarkan dayungnya untuk membuat bingung Sadrathafighre.

Guskar menggenggam tali naganya dengan kuat, kemudian berteriak kepada Magnus dan Stephanie, "Aku akan mengejar Antonio! Kalian berdua, habisi gadis dan kucing iblis itu!"

Naga yang ditumpangi Guskar mengepakkan sayapnya dan melesat mengekori Antonio, sementara Magnus dan Stephanie mengejar Mira dan Muezza. Langit mendadak berubah menjadi putih, warnanya dapat menerangi Revensten dengan ramah dan lembut. Satu-satunya hal yang tidak ramah dan lembut adalah suhu udara. Angin berembus kencang menusuk kulit, penuh dengan tombak-tombak butiran air yang terperangkap pada titik beku.

"Four Seasons: Winter."

Sudut pandang Antonio terhalang. Karena embusan angin yang teramat menyakitkan itu, ia menutupi wajahnya menggunakan kedua sarung tangannya. Tidak berefek. Badannya seperti dipaku pada sampan yang perlahan-lahan hancur. Rambutnya yang berkibar perlahan mengeras dan kepalanya tertarik ke belakang, hampir membuatnya terjengkang. Tangannya yang sudah membeku masih menggenggam dayung. Kakinya yang menempel pada kayu-kayu di bawahnya berusaha memberontak. Antonio mengeluarkan kekuatan penuh untuk melepaskan dirinya dari belenggu es tersebut dan menekukkan kesepuluh jarinya.

Puf!

Antonio berteleportasi ke belakang Guskar. Ia menggigit dan mengoyak sarung tangannya sekuat tenaga, lalu menghantamkan kepalan tangan emasnya ke kepala Guskar. Guskar oleng, tangannya masih berpegang pada tali. Langit berubah menjadi biru kembali dan naga yang mereka berdua tumpangi memekik keras sambil mengepak-ngepakkan sayapnya.

"Apa yang kaulakukan?!" teriak Antonio. Wajahnya berdarah-darah, butiran-butiran es masih menempel pada rambutnya. "Aku memerintahkanmu untuk berdiam diri di hutan karena tidak ada orc di semesta ini! Aku berusaha membantumu!"

"Aku telah menemukan tujuan baru," jawab Guskar. "Aku bertemu dengan seorang pria yang menjanjikanku kekuatan tiada batas jika aku berhasil membawamu hidup-hidup kepadanya."

Naga itu memberontak, hampir membuat Antonio jatuh. Antonio tengkurap sambil mencengkeram benjolan pada kepala naga itu, perlahan-lahan mengubahnya menjadi emas. Setelahnya, ia kembali berbicara dengan Guskar. "Siapa gerangan pria itu? Apakah dia berasal dari menara yang dijaga oleh naga putih di tengah kota? Atau sebuah bayangan halusinasi yang engkau percayai tanpa adanya fakta?"

Guskar menyeringai menunjukkan taring panjangnya. "Dia adalah seorang pria yang bisa berjalan menembus ruang dan waktu." Ia melepaskan genggamannya, tersenyum seraya bergumam, "Four Seasons: Summer."

Matahari berteriak dengan lantang. Langit berubah menjadi merah dan Antonio hampir pingsan karena sengatan panasnya. Ia mengintip ke bawah dengan setetes energi miliknya yang tersisa di lautan keringat, mendapati bangunan-bangunan di kota telah melebur menjadi pasir. Pusaran besar di kejauhan menyedot segala sesuatu yang berdiri di atas tanah.

Seekor naga kecil menangkap tubuh Guskar. Ia segera mengatur posisinya dan mencambuk naga itu untuk mengepakkan sayapnya. "Kejar pria itu," ujarnya.

Naga yang ditumpangi Antonio telah berubah sepenuhnya menjadi emas. Antonio pun terjun tanpa bisa melakukan apa-apa. Dilihatnya naga kecil berwarna hitam menukik untuk mengejarnya. Ia tahu, itu adalah Guskar. Antonio menoleh ke bawah—wajahnya dihantam badai pasir—melihat seluruh dunia yang sudah lenyap dimakan pasir.

Napas Antonio semakin melemah. Ia hampir tak bisa merasakan tangan dan kakinya. Seluruh tubuhnya dibakar oleh matahari dan perlahan-lahan wajahnya meleleh. Namun, ketika kepasrahan itu sudah mencapai titik tertingginya, suara tebasan pedang terdengar.

Langit kembali seperti semula.

Antonio jatuh menghantam tanah bersama dengan naga emasnya. Semua orang yang melihat itu langsung mengelilinginya dengan tatapan bingung. Antonio mencoba bangkit dengan tubuh penuh luka. Kakinya gemetaran dan seluruh tubuh bagian atasnya terasa nyeri. Ketika ia berhasil berdiri dengan kedua kakinya, sebuah kepala jatuh dari atas langit. Antonio menangkapnya dengan santai. Itu terjadi sebelum tengkuknya disengat kesadaran bahwa kepala yang ia gendong adalah kepala Guskar.

Antonio yang terkejut langsung melempar kepala itu jauh-jauh, membuat semua orang yang mengelilinginya lari terbirit-birit. Ia kemudian mendongakkan kepalanya, melihat matahari yang sudah kembali seperti semula—bertengger pada langit yang biru. Silau. Ia menutup kedua matanya dan mengusapnya sesaat sebelum melihat langit kembali.

Terbang turun dari atas sana, seorang pria paruh baya dengan pakaian yang sangat modis. Dia mengenakan jas, topi, monocle, dan di tangannya terdapat sebuah pedang penuh darah. Antonio terperangah menatap pria itu. Dia terjun bagaikan malaikat, memberikan senyum kepadanya. Ketika pria itu menyentuh tanah, Antonio bisa melihat sebuah kalung menyembul dari balik jasnya, menyala terang berwarna ungu.

"Akhirnya aku menemukanmu," ucap pria itu dengan tegas.

"Siapa kau?" tanya Antonio.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top