Chapter 24 - Pertempuran Lonesome Bagian 2
Dengan tertatih-tatih Antonio berlari. Ia mengayunkan pedangnya dengan lemah menggunakan tangan kirinya. Tebasan itu mengenai leher Polaris meski tertahan tulang yang begitu keras; racunnya menyebar. Setelahnya, Antonio mengeluarkan tangan kanannya dari balik jubahnya dan menempelkannya pada kepala Polaris.
Bercak emas menyebar dengan sangat cepat menggerogoti kepala Polaris. Namun, semuanya sirna ketika bercak emas itu berhenti. Antonio sadar, ketika tangannya tidak lagi menyentuh sesuatu setelah tersentuh, sesuatu tersebut akan berhenti dimakan emas. Karenanya—Antonio kini tahu cara menggunakan Vitae miliknya—cara paling ampuh untuk mengalahkan Polaris adalah dengan pertarungan tangan kosong.
Antonio menggigit tali yang mengunci sarung tangan bagian kirinya, lalu menariknya. Sekarang kedua tangannya bebas. Polaris yang melihat itu geleng-geleng kepala dan berucap, "Apa yang akan kaulakukan sekarang, manusia?" Ia memutar pedangnya untuk memberikan ketakutan pada Antonio.
Pada momen itu, faktanya, Antonio benar-benar ketakutan. Ia hampir kehabisan napas dan seluruh tubuhnya diselimuti rasa nyeri. Satu hal yang membuatnya masih berdiri adalah perintah dari sang putri. Mira sudah membebankan iblis itu padanya, dan ia tidak boleh lari dari tanggung jawab itu.
Polaris melesat menuju Antonio dan Antonio hanya bisa terdiam sambil memutar kedua tangannya. Ketika Polaris mengayunkan pedangnya, Antonio menghindar ke kiri. Antonio menarik jubah yang dikenakan oleh Polaris hingga robek, kemudian menempelkan telapak tangannya pada dada iblis itu.
Antonio tahu bahwa Polaris akan menyerang kembali, jadi ia memukul pergelangan tangan Polaris. Praktis, pedang panjang itu terjatuh, dan kini Polaris juga bertelanjang tangan. Antonio menggaruk-garuk dada Polaris hingga dia meraung kesakitan. Di sana bercak emas menyebar begitu cepat, memakan seluruh tubuhnya tanpa terkecuali.
Polaris masih memiliki kesadaran penuh untuk mendorong Antonio. Di saat Antonio lepas, ia justru mengambil pedang milik Polaris dan menebaskannya kepada sang empunya. Ayunan itu terlalu lemah untuk memotong kepala Polaris. Akan tetapi, dengan bantuan telapak tangannya yang sudah menempel pada luka di leher Polaris, Antonio berhasil melakukannya.
Kepala kambing dengan tanduk berkeluk yang sudah berubah menjadi emas itu terpotong dan jatuh ke tanah.
Antonio terjungkal bersamaan dengan tubuh tanpa kepala milik Polaris. Ia bisa melihat senyuman dari Friedrich yang terbaring tak jauh darinya, serta gagak milik Osamu yang mendarat tepat di atas kepala kambing itu.
"Ini benar-benar terasa tidak masuk akal." Antonio mengangkat telapak tangannya yang sudah menyebarkan sedikit bercak emas di tanah. "Sentuhan emasku berfungsi."
Ketika Antonio mengarahkan pandangannya kepada bulan purnama, ia bisa melihat kavaleri gaib terbang mengikuti pemimpinnya yang mengendarai kuda putih bersenjatakan sabit raksasa. Ghost Riders, batin Antonio. Ia terbangun panik ketika sadar bahwa kavaleri gaib itu menukik mengincar dirinya. Ia ingat bahwa Vitae miliknya—Golden Touch—berasal dari koin merah.
Di momen mengerikan itu, tiba-tiba saja tembakan cahaya berwarna hijau datang dari kejauhan membentuk sebuah kubah yang menangkal Ghost Riders mencapai Antonio. Ketika Antonio menoleh, matanya menangkap Muezza yang tengah berdiri sambil menggenggam tongkatnya, menembakkan proyektil sihirnya.
"Antonio, lari!" teriak kucing itu.
Antonio berkata di dalam hatinya, Vitae Muezza mendapatkan kekuatan baru. Apakah ini juga pengaruh dari sisi gelap bulan? Ia berdiri, mengenakan kembali sarung tangannya dengan bantuan giginya dan memboyong Friedrich, berjalan mendekati Muezza.
Osamu yang hampir kehilangan kesadarannya secara mengejutkan dapat mengubah tubuhnya menjadi puluhan gagak yang kemudian terbang membawa jiwanya pergi ke tempat lain. Vitae milik Osamu juga mendapatkan kekuatan baru malam itu.
"Apa yang terjadi di sana?!" Antonio berteriak sebab suara yang ditimbulkan dari pancaran cahaya itu sangatlah bising.
"Hanya ada segelintir orang yang selamat dari serangan burung pelikan raksasa itu!" balas Muezza. "Walter pingsan di reruntuhan gedung itu, tetapi aku sudah menyembuhkan lukanya dan mengamankannya. Kemudian, burung pelikan raksasa itu berhasil kabur. Aku tidak tahu ke mana dia pergi."
"Dia kabur, katamu?!"
"Iya!" Muezza masih kesulitan menahan dorongan dari Ghost Riders dengan kubahnya. "Larilah, jangan pedulikan aku!"
"Tapi—"
"Cepatlah, Antonio!"
Antonio kabur dari tempat itu bersama dengan Friedrich.
***
Seluruh kota dirundung ketakutan. Orang-orang tanpa peduli ras mereka berlari, bahu-membahu menjauhkan diri dari serangan iblis hantu yang sudah mulai merambah ke rumah-rumah warga. Langit masih dipenuhi titik-titik hitam yang menemani gaharnya sinar bulan purnama. Orang-orang paling awam tanpa teleskop pun dapat melihat bahwa wajah bulan semakin berubah. Itu tandanya hari di mana sisi gelap bulan benar-benar menghadap bumi semakin dekat.
Mira menerbangkan sampan yang ringkih itu dengan dayung milik Vin, sementara tiga dayung yang lain ia tidurkan pada sampan itu. Meski belum terbiasa, Mira dapat membawa sampan itu terbang dengan mulus. Vin terdiam dengan tatapan kosong sembari melihat-lihat ke kanan dan kiri.
"Apa yang terjadi? Di mana aku?" tanyanya kepada Mira.
Mira terus mendorong dayung itu tanpa menghiraukan Vin. Pikirannya yang kalut ia fokuskan untuk menerbangkan sampan itu karena tingkat kesulitan untuk memakai benda Vitae milik orang lain tidak semudah yang ia kira. Mira berusaha sekuat tenaga untuk menggenggam dayung itu selagi matanya membendung tangis agar tak tumpah dan merusak suasana.
"Hei, tolong katakan padaku, apa yang terjadi?" Vin bertanya sekali lagi.
"Namamu adalah Vin."
"Hah?"
"Namamu adalah Vin. Tolong ulangi kalimat itu di dalam kepalamu."
Vin sedikit kebingungan mendengar ucapan gadis berzirah yang ada di depannya itu. Tanpa pikir panjang, ia pun menuruti ucapannya. "Namaku adalah Vin."
Ketika mereka berdua tengah mengudara, burung pelikan raksasa yang menabrak gedung pesta terbang mendekati mereka. Mira yang melihat itu kelabakan, spontan bertanya kepada Vin, "Vin, bagaimana caranya mempercepat sampan ini?!"
Vin justru membalas dengan pertanyaan, "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
Mira menelan ludahnya, mengetahui bahwa ia sudah tamat. Dengan yakin ia membelokkan sampan itu untuk menjauh dari iblis tingkat atas yang mengejar mereka, Altair. Akan tetapi, Altair justru semakin kuat mengepakkan sayapnya untuk terbang mengejar mereka berdua. Mira gemetaran, tidak bisa mengatur pikirannya. Saat itu juga ia berteriak kepada dirinya sendiri, "Nine Nine Nine Temples!"
"Perintahmu, Nona!"
"Buatkan aku benda untuk menahan burung besar itu! Cepat! Apa saja!"
Jin ungu itu kebingungan. "Benda apa, Nona? Bisakah kau lebih spesifik?"
Mira sedang berbicara dengan dirinya sendiri sekarang. Otaknya terbakar kepanikan dan kebingungan, maka jinnya pun bernasib sama. Akan sulit memfokuskan segala imajinasi yang melayang-layang di dalam sanubarinya untuk bisa dikonversikan menjadi kata-kata berupa permintaan. Akhirnya, Mira memerintahkan Nine Nine Nine Temples masuk kembali ke punggungnya.
"Apa yang akan kaulakukan, Nona?" tanya Vin.
"Tolong panggil aku 'Mira' saja."
Mira meletakkan dayung itu, sampannya perlahan-lahan turun. Ia menghunus pedangnya dan siap untuk bertarung. Ketika sampannya mendarat di atas sebuah jembatan, Altair menggericau dengan suara parau dan melesat menuju Mira dan Vin. Mira mengangkat pedangnya dan mengayunkannya barang sedikit, itu berhasil melukai Altair. Altair mengepakkan sayapnya kembali dan terbang memutar. Mira menuntun Vin turun dari sampan itu dan kabur.
"Iblis-iblis itu ... apa yang mereka lakukan di kota?" tanya Vin memandang langit.
Mira menggenggam tangan Vin erat-erat, membawanya pergi tanpa arah dan tujuan.
"Kau tidak apa-apa, Nona Mira?"
Mira menyandarkan tubuhnya pada tembok. Ia kelelahan. Ditambah melihat Vin yang begitu tidak berdaya setelah kehilangan ingatannya, Mira menjadi semakin lemah.
"Jangan berhenti," ujar Mira terengah-engah. "Ulangi kata-kata tadi. Namamu adalah Vin."
"Na-namaku adalah Vin." Vin mengulanginya dengan terbata-bata. "Namaku adalah Vin. Namaku adalah Vin. Namaku adalah—"
Pekikan parau dari Altair kembali menyusup melewati gendang telinga. Burung pelikan raksasa itu mendarat tepat di atas rumah di mana Mira menyandarkan tubuhnya. Dia berteriak menembakan tulang-tulang tajam. Beruntung Mira dapat menghindarinya. Altair memekik sekali lagi, sekarang hantu-hantu merembes lewat sela-sela pintu dan jendela, mengejar Mira dan Vin.
"Vin, larilah dari sini sejauh yang kau bisa!" Teriakan itu berasal jauh dari dasar kerongkongan Mira. Ia mendorong Vin dari cakaran iblis hantu yang mengejarnya. Keduanya berpisah jalan.
Mira kembali memanggil Nine Nine Nine Temples. Kali ini pikirannya menjadi lebih tertata karena ia berlari di jalan yang lurus meski belasan iblis hantu mengejarnya. Ia mengajukan sebuah permintaan gila pada Vitae-nya, yakni sebuah meriam yang pelurunya dilapisi dengan racun hantu dan racun iblis tingkat atas sekaligus.
"Ada permintaan lain lagi, Nona?"
Mira menjawab dengan geram, "Tidak ada! Cepatlah! Kabulkan permintaanku!"
Seketika itu juga Nine Nine Nine Temples menggosokkan kedua telapak tangannya, memunculkan sebuah tabung panjang dengan pegangan kulit yang terhubung padanya, yang di dalamnya sudah terisi beberapa peluru dengan lapisan racun hantu dan racun hibrida.
"Gila!" teriak Mira. "Benda apa ini yang kaubuat?"
"Itu adalah meriam portabel, Nona. Adakah permintaan lain?"
Mira dengan cepat menggendong meriam portabel itu dan berbalik tanpa berkata-kata lagi. Ia langsung menarik tuas yang ada pada meriam itu dan meriam itu pun menembak; saking kuatnya dorongan meriam itu, Mira sampai terjatuh. Pelurunya menembus hantu-hantu yang mengejarnya, sekaligus membakar mereka semua. Di langit, Altair mengejarnya; Mira tidur telentang, mengarahkan meriamnya ke atas. Tuasnya ia tarik kembali dan meriam itu pun menembak. Bagian perut Altair tertembus peluru. Dapat dilihat burung pelikan raksasa itu masih terbang dengan bebas, tetapi beberapa detik setelah tembakan itu, sayapnya melemah dan dia pun terjatuh. Mira dengan cepat berlari menuju tubuh Altair—masih menggendong meriam portabelnya—siap untuk menghabisinya.
Vin berlari di jalanan kota yang penuh dengan potongan tubuh manusia. Ia tidak bisa mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi di sekitarnya. Suara tangis dan teriakan penuh ketakutan menggema di mana-mana. Rumah-rumah masih tampak seperti biasanya, tetapi mereka dipenuhi oleh hawa yang membuat bulu kuduk berdiri. Semua yang terjadi di tanah, termasuk di langit, sangat tidak masuk akal bagi Vin.
Kenapa bulan purnama ditemani oleh para iblis di atas sana? tanyanya pada dirinya sendiri. Kakinya terus ia pacu untuk kabur dari kejaran belasan iblis hantu. Tatkala Vin berbelok ke gang kecil di perempatan jalan, ia sudah dihadang oleh dua sosok iblis hantu yang membawa rantai. Vin yang kalang kabut gagal putar balik, ia terpeleset karena genangan air yang merembes dari rumah di gang itu.
Ketika sudah tidak ada lagi harapan baginya, puluhan gagak datang dan membentuk sesosok tubuh manusia dengan bulu-bulu mereka. Itu adalah Osamu, yang dari balik tuniknya mengeluarkan pisau belati yang sudah licin dengan racun hantu. Osamu menebas dua iblis hantu itu tanpa ragu. Setelahnya, dua iblis itu melebur menjadi dua kristal kecil, dan di sana jatuh satu keping koin suci berwarna emas. Osamu mengambilnya lalu berbalik kepada Vin. "Larilah, penyair."
Jawaban Vin terpampang dari wajahnya yang kebingungan. "Siapa kau?"
"Larilah!" Osamu mengangkat pisau belatinya, menusuk iblis hantu yang terjun dari atas menerjang dirinya. Gagal. Ia terjatuh dan terpukul mundur, tetapi cepat-cepat berdiri untuk menyeimbangkan tubuhnya dan bertarung kembali. "Larilah, penyair!" teriaknya sekali lagi.
Insting Vin mengatakan bahwa ia harus lari, maka berlarilah ia. Vin benar-benar kebingungan dengan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Kepalanya ringan—kosong. Hampir semua yang ia tahu di dunia ini hanyalah sebatas sidik jari pada jari kelingking: kecil dan terbatas. Vin bahkan tidak tahu apa tujuan hidupnya, apalagi nama dan pekerjaannya. Pening di kepalanya terus menjalar, membuatnya tidak fokus berlari. Ia terjatuh lagi, kali ini di tengah jalan yang bermandikan darah dan berselimutkan bau busuk.
Altair yang bisa kembali terbang dengan tubuh superlemah yang sudah babak belur akibat serangan Mira terlihat mengepakkan sayapnya di atas Vin. Burung pelikan raksasa itu siap menikam Vin dan menjadikannya santapan makan malam. Ketika Altair turun, sebuah pedang melesat dengan kekuatan yang begitu luar biasa dari kejauhan, menusuk jantungnya.
Itu adalah sebuah pedang menyala yang sangat licin, diselimuti oleh, mungkin, sembilan atau sepuluh botol racun hibrida (bercampur dengan racun iblis tingkat atas). Altair memekik parau, membuka paruhnya lebar-lebar menghadap langit. Vin melihat burung itu kesakitan, dan ketika matanya melirik, ia bisa melihat sesosok pria dengan telapak tangannya yang berwarna emas sedang berlari mendekat.
Antonio menekuk kesepuluh jarinya, menyilangkannya di depan dada, kemudian meluruskannya ke depan, seperti mendorong benda berat.
Puf!
Seketika itu juga Antonio berteleportasi tepat ke bawah tubuh Altair. Dengan cepat ia menarik pedangnya menggunakan tangan kanannya yang masih tertutup sarung tangan, sementara tangan kirinya meraih bekas tusukan pada tubuh Altair. Antonio menebas dada Altair. Di saat itu pula Altair terbang kembali sehingga Antonio gagal menyentuh dadanya. Antonio menekuk kesepuluh jarinya kembali, menyilangkannya di depan dada, kemudian meluruskannya ke depan, seperti mendorong benda berat.
Puf!
Antonio berteleportasi ke atas kepala Altair. Ia menggigit sarung tangan bagian kanannya untuk melepaskannya, dan dengan bersamaan menyentuhkan kedua telapak tangannya pada kepala Altair. Burung itu memekik hingga memecah dimensi. Gemanya terdengar sampai ujung kota, menggetarkan langit sampai tanah di mana tikus-tikus sedang berlindung dari kejaran iblis di dalam saluran pembuangan air.
Bercak emas memakan kepala Altair dengan cepat, tetapi ia masih belum menyerah. Sayapnya ia kepakkan terus-menerus untuk mendorongnya naik. Mira yang datang dari kejauhan membidik meriamnya kepada Altair. Tuasnya ditarik dan meriam itu pun menembak. Dentuman keras terdengar ketika tembakan itu terjadi, dan seketika itu juga sayap kanan Altair berlubang. Proses itu terjadi lagi hingga sayap kiri Altair ikut berlubang. Burung pelikan raksasa yang kepalanya sudah berubah menjadi emas sepenuhnya itu pun tumbang. Sayapnya masih berusaha mengepak dan kakinya masih menendang-nendang.
Antonio turun dari kepala Altair, menggenggam pedangnya yang kemudian ikut berubah menjadi emas karena sentuhannya. Ia memasang kuda-kuda dan mengayunkan pedangnya dengan kuat.
Kepala Altair terpotong; dari sana keluar tiga koin suci berwarna merah.
Vin masih terduduk di tanah setelah melihat semua kejadian itu. Ia terperangah, tidak bisa berkata-kata. Memori baru yang tercetak di dalam kepalanya saat ini adalah seorang gadis berambut cokelat yang bisa menerbangkan sampan dan seorang pria berambut hitam panjang yang memiliki sentuhan emas dan bisa berteleportasi.
Antonio menghampiri Vin dan bertanya kepadanya, "Kau baik-baik saja, sobat?"
Dan jawaban yang keluar dari mulut penyair muda itu adalah "Siapa kau?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top