Chapter 23 - Pertempuran Lonesome Bagian 1
Dengan Vitae miliknya Mira melempar tiga buah pedang dan tiga botol racun dari atas genting, masing-masing untuk Antonio, Osamu, dan Friedrich. Gadis itu langsung bangkit dan berdiri menatap kota yang terbakar kekacauan dengan tatapan penuh amarah. Kedua tangannya mengepal; giginya gemertak; dari matanya dapat tertangkap rona kebencian. Mira memerintahkan Nine Nine Nine Temples untuk mengganti pakaiannya: satu setel baju zirah lengkap dari ujung kepala hingga kaki. Kemudian pedang kesayangannya muncul dari balik genting itu, tidak ketinggalan juga satu botol racun besar berisi cairan berwarna ungu (racun khusus iblis tingkat atas), sama dengan apa yang ia berikan kepada tiga pria di bawahnya.
Antonio menyeka darah yang keluar dari mulutnya, lalu bangkit menarik pedang pemberian Mira yang menancap di depannya bersama dengan satu botol racun berwarna ungu yang lantas ia oleskan ke pedangnya. Osamu dan Friedrich melakukan hal yang sama.
Terdengar teriakan Mira dari atas genting di sebelah kanan jalan besar itu: "Midas, Osamu, Friedrich! Aku membebankan iblis ini pada kalian bertiga, sementara aku akan terbang bersama Vin untuk menyelamatkan orang-orang!"
Osamu, yang menghitam seluruh tubuhnya, menjawab, "Baik, Putri. Distrik Utara diserbu oleh pasukan Alpha Centauri, Distrik Barat diserbu oleh pasukan iblis hantu, dan kekacauan antara manusia, elf, dan orc sedang terjadi di depan balai kota."
"Terima kasih atas informasinya, Osamu!" teriak Mira. "Jangan tarik dulu gagak-gagakmu. Kalian membutuhkan itu."
Antonio lantas bergerak menghampiri Osamu dan Friedrich. Kini mereka bertiga berhadapan dengan Polaris. Sementara itu di atas genting, Vin masih belum bisa memercayai apa yang ia lihat. Gadis itu berjalan dengan hati-hati menghampirinya, lalu menunduk dan berkata, "Vin, sudah waktunya kita coba kekuatanmu."
Vin dengan panik bertanya, "Tunggu, mencoba apanya? Jangan berujar yang tidak perlu, Mira!"
"Panggil aku 'Putri'," ujar Mira serius. "Sekarang kau harus menuruti perintahku. Gunakan dayung ini dan ciptakan sampan yang banyak."
Vin menggapai dayung yang diberikan oleh Mira. "Sejak kapan kau membawa dayung ini?"
"Lakukan saja!"
"I-iya-iya-iya!" Vin berdiri. Tangan kirinya menggenggam dayungnya, sementara tangan kanannya menggenggam dayung pemberian Mira. Ketika ia mengentakkan kedua dayung itu bersamaan, betapa terkejutnya ia, empat sampan muncul dan sudah berbaris di langit. "Mustahil."
Mira yang melihat itu spontan memanggil kembali Vitae-nya, "Nine Nine Nine Temples! Buatkan aku dua dayung lagi!"
Jinnya dengan cepat menggosokkan telapak tangannya, memunculkan dua buah dayung yang sama persis seperti yang Vin genggam, kemudian memberikannya kepada Vin tanpa basa-basi. "Ada permintaan lagi, Nona?"
Mira terdiam di sana bersama dengan Vin yang masih melongo dengan empat dayung memenuhi tangannya. Mira berpikir tentang apa yang ia butuhkan dalam pertarungan melawan iblis sekaligus menyelamatkan rakyat Lonesome. Secara logika, ia bisa meminta benda apa pun pada jin itu, tetapi benda itu harus masuk akal dan dapat dicapai. Karena kepalanya penuh dengan berbagai macam tekanan, Mira menyudahi permintaannya. "Untuk sekarang itu saja. Terima kasih, Nine Nine Nine Temples."
Nine Nine Nine Temples mengacungkan jempolnya, lalu masuk kembali ke punggung Mira.
"Mira, kau seharusnya meminta sebuah meriam dengan daya tembak yang tinggi. Dengan itu kita bisa membasmi iblis-iblis ini dengan mudah."
"Kau gila, Vin? Nine Nine Nine Temples hanya akan bekerja di bawah pikiranku, dan sekarang pikiranku benar-benar kusut. Aku tidak bisa berpikir jernih. Segala permintaanku menjadi terbatas. Juga, panggil aku 'Putri'."
"Baiklah, Putri, pertama-tama tenangkan dirimu dulu." Vin menepuk pundak Mira. "Pikiranmu adalah kunci untuk Vitae-mu, dan Vitae-mu adalah kartu as kita."
Mira menekan pipi Vin dengan kedua sarung tangan besinya. "Tidak ada waktu lagi, penyair gila! Kita harus cepat terbang untuk menyelamatkan orang-orang itu!"
"Yo! Yo! Yo!" Ujar Vin dengan bibir monyong. "Loposkon tongonko. Oko horos mongontokkon doyongko."
Mira melepaskan pipi Vin. Vin kemudian mengentakkan dua dayungnya yang lain. Empat sampan muncul, kini jumlahnya menjadi delapan buah. "Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana caraku mengemudikan delapan sampan ini, Putri?"
Mira tidak berbicara lagi. Ia langsung naik ke salah satu sampan itu dan berdiri di sana dengan kaku seperti orang bodoh. "Mana aku tahu? Kenapa kau bertanya padaku? 'Kan kau yang memiliki Vitae ini."
"Dasar putri sialan," gumam Vin yang terhuyung-huyung naik ke atas sampannya sambil membawa empat dayung itu.
Mira menatap datar pada Vin, dan Vin kebingungan membalasnya. Setelah itu, mereka berdua terbang bersama tujuh sampan lainnya.
***
"Tenangkan diri kalian!" teriak wali kota, yang dikelilingi oleh pasukan berzirahnya, berdiri di hadapan ratusan manusia, elf, dan orc yang dipenuhi ketakutan. "Gerbang darurat ini sedang dalam proses pembukaan. Tunggu sebentar."
Lautan orang itu berteriak menyerukan sumpah serapah kepada sang wali kota sebab dia tidak memperbolehkan mereka lewat meskipun kondisi kota benar-benar kacau. Dari balik pilar besar yang menyangga gedung balai kota, dua orang elf berjubah panjang menyaksikan semuanya.
"Sekarang kaulah yang sinting, Freddie," ujar Kallen. "Vitae milikmu dapat membuatmu memecah diri dan menyamar menjadi orang lain. Kau menggunakan itu untuk menyamar menjadi wali kota. Tidakkah kau lihat betapa putus asanya orang-orang itu? Bahkan ada orang-orang dari ras kita juga. Dasar gila!"
Freddie menyibak tudungnya, membalas, "Jangan pernah kaubandingkan sintingku dengan sintingmu, Kallen. Lihatlah dirimu yang tidak berguna ini. Kau sama sekali tidak menggunakan Vitae-mu untuk membantuku."
"Mau bagaimana lagi? Vitae-ku kugunakan untuk menghapus ingatan orang. Sementara sekarang, ingatan siapa yang harus kuhapus? Apakah harus kuhapus ingatanmu, agar kau lupa tentang segala kisah dan kasih yang sudah kita torehkan selama ini?"
"Kau itu hanya digerakkan oleh nafsu berahimu!" teriak Freddie geram. "Ingat, Kallen, tugas kita adalah membantai para manusia dan mencari relik kubus suci! Kita adalah utusan yang dipercaya oleh Raja Bornardi untuk menjalankan misi ini!"
Keheningan memeluk mereka berdua. Kallen mendekatkan tubuhnya pada Freddie, menempelkan buah dadanya pada Freddie dan memaksa tangannya untuk meremasnya. "Jangan sekali-sekali kau berteriak padaku. Jika bukan karena misi ini, aku tidak akan mau melayanimu. Dan aku sudah tahu sejak awal bahwa kau sendiri juga digerakkan oleh nafsu berahimu. Kau mencintaiku, bukan?"
Freddie terdiam. Ia menghela napas panjang. "Untuk sekarang, mari kita fokus pada misi kita."
Kallen tersenyum lebar pada Freddie sembari memiringkan kepalanya. "Sekali lagi kau marah padaku, akan kuhapus ingatanmu."
Delapan sampan yang terbang di langit datang menghampiri balai kota. Dari sana turun sang putri mahkota, bersama dengan seorang pria berpakaian aneh yang tampak kesulitan membawa empat dayung di tangannya.
"Wali Kota Willenburn!" Mira berteriak, semua orang tiba-tiba menjadi hening. "Saya patut bertanya kepada Anda tentang alasan Anda tidak membuka gerbang balai kota dan mengevakuasi semua orang ke ruang bawah tanah." Mira berjalan membelah lautan orang itu, menghampiri wali kota. "Kenapa?"
"Maafkan saya, Putri. Tapi, sudah menjadi kewenangan saya untuk memutuskan apa yang pantas untuk warga kota saya."
Kedua alis Mira membentuk sudut lancip pada dahinya. Ia menghunus pedangnya dan menebas kepala Wali Kota Willenburn. Semua orang termasuk Vin terkesiap tatkala kepala itu melayang di langit dan jatuh menggelinding di tanah. "Dia bukan Wali Kota Willenburn," lirih Mira. "Beliau adalah orang yang sangat menghormatiku."
Lautan orang di halaman balai kota masih hening menunggu lanjutan ucapan Mira.
"Kalian semua," gadis itu berteriak kembali, "cepat pergi ke timur! Bergeraklah sejauh mungkin dari pusat kota! Selamatkan diri kalian!"
Tiba-tiba saja guratan darah mewarnai pilar putih tempat Kallen dan Freddie bersembunyi. Darah mengalir dari leher Freddie. Ia bisa merasakan rasa sakit itu. Dalam. Perih.
"Freddie sayang, apa yang terjadi?!"
"Putri Esmeiralda dari Envera menebas klonaku!" kata Freddie dengan nada berat. "Sialan! Aku jadi gagal membunuh orang-orang itu!"
"Tenangkan dirimu. Sekarang kita harus pergi ke tempat yang lain. Masih banyak manusia, orc, dan dwarf yang berkeliaran di tengah kota karena dikejar-kejar iblis."
"Tidak!" Freddie menggeram, menggenggam pundak Kallen. "Hapus ingatan Putri Esmeiralda! Kita tidak boleh membiarkan dia membawa pergi orang-orang itu!"
"Apa katamu ...?" Kallen diam mematung.
Kallen sempat menolak permintaan ekstrem itu, tetapi akibat desakan dari Freddie, ia segera berdiri dan keluar dari persembunyiannya. Kallen mengepalkan tangan kanannya dan memfokuskan kekuatannya. Segera setelah itu sebuah bola kecil yang berputar kencang muncul di depan kepalan tangannya. Ia membidik kepala Mira dan setelah targetnya terkunci, ia menembakkannya sambil berkata, "Sweet Child O' Mine."
"Mira, awas!" Di tengah-tengah keramaian yang mulai bergerak itu Vin melihat sebuah bahaya mendekati Mira. Dengan spontan ia berlari ke arah putri kerajaan itu, melindunginya dari serangan yang datang.
Tubuh Mira ditimpa oleh Vin, dan Mira tidak tahu mengapa penyair muda itu melakukannya. Seketika itu juga, Mira dapat melihat sebuah bola menempel pada dahi Vin, berputar mengelilingi kepalanya dan pecah menjadi sebuah cahaya yang menyilaukan mata. Sesaat setelah cahaya putih dan keheningan itu menghilang, Mira dapat melihat Vin tergeletak dengan tidak berdaya. Matanya masih menyala; tangannya masih menggenggam dayung-dayung besar itu. Akan tetapi, ekspresi wajahnya benar-benar kosong. Saat itulah sampan-sampan yang terbang di langit jatuh dan pecah menjadi tidak keruan.
Mira memangku kepala Vin dan bertanya, "Apakah kau baik-baik saja?!"
Dan jawaban yang keluar dari mulut penyair muda itu adalah "Siapa kau?"
***
Antonio mengambil posisi siaga ketika dengungan yang menulikan pendengaran itu keluar dari mulut Friedrich (Vitae-nya, Thus Spoke Zarathustra, dapat menembakkan teriakan yang bisa menulikan lawan). Osamu mulai kehabisan tenaga setelah beradu pedang cukup lama dengan Polaris, ditambah lagi gagak-gagaknya belum ia tarik kembali. Betul kata Mira, mereka bertiga memerlukan informasi dari gagak-gagak itu. Tapi celakanya, gagak-gagak itulah yang paling banyak menguras energi Osamu. Akhirnya, ia menarik kembali gagak-gagaknya; tubuh serta pakaiannya mendapatkan warnanya kembali.
Polaris lepas dari pengaruh teriakan Friedrich dan melesat kencang menghampirinya. Pedang panjang itu ia ayunkan dengan cepat dari atas ke bawah, Friedrich dapat menahannya. "Bantu aku!" teriak Friedrich.
Antonio berlari menuju Polaris, mengayunkan pedangnya. Serangan pertama dapat ditangkis. Kuda-kuda Polaris sangat kuat, Antonio merasa sedang melawan tembok beton yang tebal. Serangan kedua, Antonio menyikukan pedangnya. Kini ia maju sambil berputar, seperti yang pernah ia lakukan ketika menghadapi Mira. Ayunan demi ayunan dapat ditahan oleh Polaris dengan pasti.
Polaris mengubah arah serangannya. Ia menarik pedangnya jauh-jauh, mendorongnya dengan kuat ke arah perut Antonio. Antonio sigap mengubah kuda-kudanya, menurunkan pedangnya mengantisipasi serangan itu. Akan tetapi, dorongan itu terlalu kuat sehingga Antonio terpental dan tersungkur.
Dengan tenaganya yang tersisa Osamu maju dan mengayunkan pedangnya. Itu pelan, tetapi sayatan muncul pada baju hitam-panjang yang dikenakan Polaris. Osamu langsung mengubah arah serangannya dan menusuk. Jantung Polaris tertembus, tetapi ia masih bisa berdiri bak tidak terjadi apa-apa.
Polaris menggenggam tangan Osamu dan melempar pria itu ke atas bangunan. Osamu menabrak tembok dan terjatuh pada sebuah balkon di lantai dua. Friedrich memuntahkan darah sebab ia kehabisan tenaga untuk berteriak kembali—tenggorokannya cedera.
Kini hanya tersisa Antonio. Ia bangkit bertumpukan lututnya, melepaskan sarung tangan bagian kanannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top