Chapter 22 - Panggilan Purnama
Muezza naik ke pagar balkon bangunan itu, kini ia berdiri dengan dua kaki. Suasana di atas sana tenang; matanya menatap titik-titik cahaya yang menerangi Lonesome dengan berkaca-kaca; bulunya ditiup lembut oleh angin. Itu adalah kali pertamanya melihat kota seindah itu. Sebuah tempat di mana orang-orang dari seluruh ras berjalan dalam barisan seperti semut, diiringi suara-suara berisik yang terus menggema di segala penjuru. Sepanjang hidupnya, Muezza hanya mengikuti tuannya tanpa dapat berbuat apa-apa. Ia tidak pernah bebas.
"Wajah bulan berubah," ujar Muezza, "begitu kata orang-orang. Aku tidak bisa memahaminya." Matanya ganti menatap bulan sekarang.
Kucing hitam itu perlahan-lahan menapakkan lagi dua kaki depannya pada pagar. Ia tahu, mau bagaimanapun juga, ia tetaplah seekor kucing. Sebebas apa pun dirinya, ia hanya akan menjadi binatang yang memerlukan tuan. Tidak pernah mudah menjadi binatang peliharaan, tetapi Muezza sadar, mungkin dengan tubuh iblisnya saat ini, dan bantuan Vitae-nya, ia mampu mengabdikan dirinya secara penuh pada tuannya yang baru, Antonio, dalam petualangan berbahaya ini.
Muezza turun dari pagar, berjalan kembali ke dalam. Sebelum kakinya melangkah melewati pintu, sebuah vibrasi dari langit dapat ia rasakan. Ekornya bergerak ke kanan dan kiri, kepalanya menoleh dan menatap ke atas, kepada bulan. Aneh, pikir Muezza. Bulan tidak pernah terlihat seterang itu, atau mungkin, ia saja yang tidak pernah mengangkat kepalanya.
Seketika itu juga, gelombang kuat menyebar. Muezza sedikit terdorong karenanya. Gelombang itu membuat bulu-bulunya berdiri, dan tubuhnya terasa sangat berenergi. Tatkala ia menatap bulan kembali, langit sudah penuh oleh kavaleri gaib dengan barisan yang begitu panjang, dihubungkan oleh kain sutra yang membentang dari utara hingga selatan.
Warnanya putih, Muezza dapat melihatnya. Dari barisan itu muncul satu kepala yang dibalut kain mewah yang berkibar-kibar, yang dengan tangannya ia menggenggam sabit, lalu menggunakannya untuk mengatur pasukannya.
(Iblis tingkat atas, Bintang Kedua: Alpha Centauri/Ghost Riders)
Muezza gemetaran, kedua matanya membelalak lebar ketika ia melihat seekor burung pelikan raksasa yang pada punggungnya berdiri tulang-tulang tajam. Burung itu tampak bertengger di atas bangunan tinggi yang berseberangan dengan bangunan tempat pesta malam purnama diadakan.
(Iblis tingkat atas, Bintang Ketiga: Altair)
Gelombang kedua menyebar dari bulan, menimbulkan vibrasi yang lebih kuat dari sebelumnya. Kini mata Muezza menyala merah terang. Ia berusaha menahan gejolak amarah yang berkecamuk di dalam tubuhnya dengan berteriak sekencang-kencangnya. Hujan kemudian turun dari langit, perlahan, seperti bangkai kapal yang ditenggelamkan air. Ketika gelombang ketiga terjadi dan vibrasi menembak kembali, Muezza sadar bahwa hujan itu adalah ribuan iblis hantu berwujud bayangan yang memenuhi langit, turun ke Kota Lonesome.
Gelombang keempat terjadi, dan vibrasinya kini benar-benar terasa seperti sebuah gempa. Muezza, yang menangis darah, bergumam menatap langit yang dipenuhi oleh iblis, "Bulan purnama."
***
Vin membungkukkan tubuhnya, dan saat itu pula riuh para tamu pecah. Suara tepuk tangan menggema di segala sisi ruangan. Penyair muda itu tersenyum lebar sembari membusungkan dadanya, melambai-lambaikan tangan dan berteriak, "Terima kasih, rakyat Lonesome! Senang dapat menghibur kalian!" Ia kemudian berjalan menghampiri Antonio dan Mira. "Kalian tidak ikut menari?" tanyanya dengan nada tinggi.
Mira hanya tersenyum dan membalas singkat, "Lagumu tadi bagus sekali."
Sementara Antonio bertanya-tanya, "Lagu yang barusan, dari puisimu yang mana?"
"Puisi? Ah, tidak. Lagu yang barusan aku dapatkan dari mimpi," jawab Vin, dengan wajah yang tidak berubah—gembira. Antonio hanya diam sambil mengerutkan dahinya.
Pesta kembali berlanjut, Osamu bersama dengan dua anggota timnya tiba menghampiri Amaryllis. Pria bertubuh kurus-tinggi itu masih lekat dengan setelan nyentriknya—jubah berbulu. "Selamat malam, Midas," ujarnya.
Antonio menimpali sambil mengangkat kepalanya, "Ya, Osamu."
"Perkenalkan, dua pria di belakangku ini adalah anggota timku dalam Old School I."
Pria dengan rambut sedang-bergelombang yang sebelah matanya buta itu bernama Walter Shakespeare, penulis paling tersohor di Lonesome. Karya-karyanya sudah banyak dibukukan dan diterbitkan di seluruh benua. Orang-orang mengenalnya sebagai seorang penulis yang keras, dengan gaya tulisannya yang dewasa dan realistis. Pria yang satunya memiliki rambut klimis dengan kumis panjang melengkung. Namanya Friedrich Natsen, seorang pengembara dengan pemikiran sinting yang banyak ditentang oleh orang-orang agamis.
Antonio menyalami kedua pria yang dibawa oleh Osamu tersebut, kemudian bertanya kepada salah satunya, "Apakah kau anak dari Harold Shakespeare yang terkenal itu?"
"Benar sekali," jawab Walter.
"Dulu aku suka membaca karya-karya mendiang ayahmu. Semuanya indah."
"Terima kasih."
Vin dan Mira kemudian menyalami kedua pria itu dan saling memperkenalkan diri. Sekarang, Amaryllis dan Old School saling berhadap-hadapan. Di malam yang penuh kegembiraan itu, di tengah-tengah euforia turnamen, Osamu memanfaatkan kesempatan untuk masuk dan mencari kawan. Ia melihat, turnamen ini terlalu besar dan berbahaya. Oleh karena itu, aliansi menjadi satu-satunya jalan yang paling logis. Toh, dalam peraturan turnamen, seluruh tim boleh melakukan apa pun asalkan tidak bertentangan dengan norma dan kepercayaan yang ada.
Osamu mengambil dua cawan dan menarik Antonio menjauh, membiarkan dua anak buahnya berbincang dengan Vin dan Mira. "Midas," bisiknya, "kau tahu bahwa bulan menjadi semakin kuat akhir-akhir ini, bukan?"
Antonio menerima cawan pemberian Osamu dan mengernyitkan dahi sebab bingung. "Aku tidak mengerti maksudmu."
"Beberapa Vitae menjadi lebih kuat akibat cahaya bulan. Kau mengetahui itu, bukan?"
"Aku tahu."
"Itu sepertinya ada hubungannya dengan segala hal yang terjadi malam ini."
Antonio menyesap anggurnya, melihat-lihat sekitar di mana orang-orang masih sibuk menari dan bernyanyi. "Apa maksudmu?"
Osamu menunjukkan mata kanannya yang menghitam pada Antonio, menunjuknya, dan berkata, "Mata kananku ini telah berubah menjadi gagak yang aku letakkan di luar untuk mengawasi. Di luar sana, bulan purnama sedang terjadi."
Cawan Antonio jatuh, menimbulkan suara yang keras. Osamu yang melihat Antonio terkejut segera menenangkannya. "Bersikaplah normal, Midas."
"Apa katamu, Osamu?!" tanya Antonio geram, menahan suaranya di tengah keramaian. "Bulan purnama sedang terjadi?!"
"Bulan menjadi semakin kuat dan entah kenapa itu membuat bulan purnama terjadi lebih cepat. Di luar sana, ada ribuan iblis di langit yang dikomandoi oleh tiga iblis tingkat atas. Para pasukan bintang."
"Apa katamu?!" Kedua mata Antonio membelalak menatap Osamu.
"Percayalah padaku, Midas. Jabat tanganku, bekerja samalah dengan Old School. Kita akan mengalahkan iblis-iblis itu dan menjadi pahlawan kota ini."
Antonio tidak habis pikir, mengapa Osamu dapat mengatakan itu dengan santai ketika di sekelilingnya ratusan orang tengah berkerumun dan di luar sana terjadi sebuah bencana besar. Antonio menggenggam pundak Osamu dan berkata, "Kita harus mengevakuasi orang-orang ini terlebih dahulu. Sebagian besar dari mereka hanya rakyat biasa."
"Tidak ada waktu," Osamu balas menggenggam pundak Antonio, "iblis-iblis itu sudah bergerak menyerbu kota."
Mata Antonio dan Osamu saling bertaut. Tidak lama setelah keheningan itu menyelimuti mereka berdua, seorang prajurit berzirah mendobrak pintu utama, berteriak dengan panik kepada seluruh tamu di ruangan itu, "PURNAMA DATANG!!!"
Semua orang berhenti menari dan bernyanyi. Respons pertama yang mereka lakukan bukanlah berlari sebab takut, tetapi diam. Mereka semua bertanya-tanya, Apa yang dikatakan prajurit itu?
"PURNAMA DATANG!!!" Prajurit berzirah itu berteriak sekali lagi. Liur berjatuhan dari mulutnya dan peluh mengalir deras melewati pipinya. Tubuhnya gemetaran.
Ruangan pesta masih terang benderang; para pemusik masih memegang alat musik mereka; para penyair masih berlagak seperti lakon utama dalam cerita klasik; para tamu masih menyantap makanan mereka, menenggak anggur mereka, dan menari serta bernyanyi. Teriakan dari prajurit berzirah itu tidak digubris, dan itu menjadi titik awal pertumpahan darah Kota Lonesome.
Burung pelikan raksasa menerobos gedung pesta, menghancurkan atap ruangan itu, membuat orang-orang yang berada di bawahnya tertimpa kandil gantung dan beton. Ketika burung itu memekik parau, barulah orang-orang di dalam ruangan kalang kabut. Tidak ada sesiapa yang percaya tentang apa yang sedang terjadi malam itu. Dari lubang pada langit-langit bangunan itu, semua orang dapat melihat bulan bulat sempurna yang menyala terang tanpa tertutup awan sedikit pun. Ia ditemani ribuan iblis yang sedang mengudara, lalu turun menghujani bumi.
Teriakan pecah di mana-mana. Amaryllis dan Old School mematung di ruangan itu ketika beton-beton berjatuhan dari langit menghujani sekitar mereka. Osamu dengan cepat merapalkan mantra Vitae-nya, "No Longer Human." Tubuhnya menghitam dan puluhan gagak keluar dari balik kulitnya, melesat keluar. "Kita harus segera pergi, Midas," ujar Osamu, masih sangat tenang.
Antonio terbelalak dan ternganga. Ia dengan cepat menarik dan menggendong Mira, kemudian memerintahkan Vin untuk mengentakkan dayungnya. Siut terdengar dan dua buah sampan keluar dari bawah lantai marmer bangunan itu.
"Osamu, naik!" teriak Antonio.
Osamu segera naik diikuti oleh Friedrich, sementara Walter tidak bergerak. Ia diam, menatap burung pelikan raksasa itu ketika bangungan itu perlahan-lahan runtuh. "Aku mengandalkanmu, Walter," ucap Osamu pelan.
Walter tidak menjawab, hanya mengangguk. Vin mendorong dayungnya, membawa dua sampan itu pergi, meninggalkan gedung pesta yang kini sudah hancur, menimbun ratusan manusia, elf, orc, dan dwarf dalam puing-puing berwarna merah darah.
"Midsummer Night," gumam Walter, dan seketika cahaya putih menyeruak, membutakan pandangan burung pelikan raksasa itu. "Cepatlah kabur!" teriaknya pada orang-orang yang masih berada di dalam bangunan itu. "Aku hanya bisa menahannya beberapa menit saja!"
Antonio, Vin, Mira, Osamu, dan Friedrich kini terbang di langit menggunakan sampan. Mereka berlima dapat melihat kekacauan yang terjadi di Kota Lonesome. Kota penuh keindahan itu tiba-tiba saja berubah menjadi perigi mimpi buruk. Semua orang berlari dari kejaran bayangan hantu iblis disertai teriakan dan tangisan. Tidak ada lagi tempat untuk kabur. Kepala mereka dipenggal oleh para iblis dan diangkat sambil diiringi teriakan penuh kebahagiaan.
"Kenapa semuanya tiba-tiba jadi begini ...?" Mira merangkak menggapai bagian luar sampan, melihat ke bawah. "Midas, apa yang terjadi ...?"
"Tenanglah, Mira." Antonio membenamkan kepala gadis itu ke dadanya. "Sekarang kita harus mencari tempat aman terlebih dahulu. Maju terus, Vin!"
Kedua sampan itu terus bergerak. Antonio diam melihat langit yang penuh dengan titik-titik hitam. Jauh di dalam hatinya, rasa takut menggaruk-garuk. Sudah lama sekali sejak Antonio mengalami kejadian mengerikan seperti ini. Rasanya luka lamanya bangkit kembali, membuatnya enggan mengangkat pedang. Rasa perih menggerogoti dadanya, perlahan-lahan membuat kepalanya pening dan berhenti. Akan tetapi, Antonio sadar bahwa ia tetaplah seorang Hunter, dan tugas Hunter adalah membasmi para iblis. Sambil mengusap kepala Mira dengan lembut, Antonio menatap wajah gadis itu. "Tenangkan dirimu. Kita butuh bantuanmu."
Mira, yang ketakutan, bertanya, "Apa itu?"
"Ini adalah saat yang tepat untuk menggunakan ratusan permintaan dari Vitae-mu."
Setelah Mira menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, detak jantungnya sedikit melambat dan hatinya menjadi sedikit lebih tenang meski kekalutan masih terjadi di sekitarnya. Mira membuka mulutnya perlahan-lahan, berusaha menggerakkan lidahnya untuk berucap. Sulit sekali, sebab rasa takut masih memeluk dirinya.
"Nine ...." Ucapannya berhenti. "Nine ... Nine ...." Mira gemetaran.
"Pejamkan matamu. Fokus!" ujar Antonio.
Mira memejamkan matanya dan mengulangi kembali ucapannya, "Nine ... Nine ... Nine ... Temples—"
BRAKK!!
Sebuah pedang melesat dengan kencang menembus dua sampan yang dikendarai Amaryllis dan Old School. Mereka berlima terjatuh. Antonio terpental ke kiri, membentur cerobong asap dan terjun ke tanah, sementara Mira dan Vin oleng, jatuh berguling-guling pada genting yang miring; Osamu dan Friedrich jatuh membentur tanah dengan sangat keras bersama sampan mereka. Tepat di depan dua pria itu, berdiri seekor iblis berkepala kambing dengan ukuran tubuh sama seperti manusia. Iblis itu mengangkat tangannya, menangkap pedangnya yang melesat pulang pada genggamannya.
(Iblis tingkat atas, Bintang Keenam: Polaris)
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top