Chapter 21 - Ketika Malam Turun
Keesokan harinya, Antonio dan Mira pergi ke tempat yang menjual berbagai macam pakaian dan perlengkapan; Vin pergi dengan mandolinnya ke bar-bar di kota untuk menyanyi sekaligus mengeruk informasi; Muezza berjalan di pusat kota untuk mencari makanan.
Mataharinya bersinar terang pada hari itu. Kota begitu ramai, dipenuhi oleh para elf yang sedang melakukan demonstrasi terkait menghilangnya relik kubus suci Raja Bornardi. Setiap pasang mata milik para prajurit berzirah yang berjaga di sekitaran tempat itu tidak henti-hentinya mengawasi, sebab perlahan kondisinya menjadi semakin tidak kondusif.
Jajaran pemerintah kota berdiri di dekat patung Eleanor Rigby yang didedikasikan untuk Lady Betalia dan semua orang kesepian untuk menjelaskan kepada para elf bahwa manusia tidak memiliki sangkut paut dalam kasus kehilangan besar ini, tetapi para elf tetap tidak percaya dan mengatakan bahwa turnamen ini adalah salah satu cara untuk menutupi kebohongan itu. Percikan kekacauan mulai merekah ketika ujaran rasisme keluar dari mulut para elf kepada manusia, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk dungu dengan umur pendek.
Antonio dan Mira yang berjalan dengan pakaian serba tertutup melihat itu semua dari kejauhan. Mereka terus melangkah menuju tempat tujuan mereka. Suara-suara bertabrakan hingga semuanya menjadi membingungkan, antara teriakan penuh kebahagiaan atau teriakan sarat kebencian.
"Ini menjadi semakin buruk," bisik Antonio.
"Kau berpikir begitu?" Mira membalas.
"Aku sudah berkeliling ke banyak tempat di seluruh dunia sejak lama, dan tahun ini adalah tahun di mana perselisihan antarras menjadi sangat mengkhawatirkan. Aku tidak bisa menjamin bahwa akan terjadi perang sebentar lagi, tetapi aku juga tidak bisa menjamin bahwa semuanya akan baik-baik saja meski tensinya meninggi."
"Aku rasa, siapa yang mengayunkan pedangnya pertama kali, dia yang akan kalah. Bagaimana menurutmu, Midas?"
Antonio diam barang sebentar. "Tidak. Justru yang mengayunkan pedangnya pertama kalilah yang akan menang. Semua hal akan berubah menjadi kacau setelah ini, dan kita harus bisa menyesuaikan diri."
"Maka itu akan menjadi suatu kondisi yang sangat mengerikan."
"Maksudnya?"
Mira menatap tanah, sambil terus berjalan, cemas. "Pertumpahan darah antarras akan terjadi, padahal kita semua seharusnya bergandengan tangan untuk melawan para iblis. Sisi gelap bulan terus berputar, siap menunjukkan wajahnya pada bumi."
"Itulah kenapa aku bilang ini menjadi semakin buruk," ujar Antonio. "Semua hal yang terjadi saat ini pasti sudah diatur oleh seseorang seperti dalam sebuah permainan catur. Setiap buah catur akan saling berhadap-hadapan, perlahan-lahan dipertemukan satu sama lain, kemudian saling memakan hingga hanya tersisa sisi yang menang saja. Tidak peduli mereka yang berpangkat tinggi atau orang biasa sekalipun, yang terakhir berdirilah yang akan melihat cahaya kemenangan."
"Menurutmu, siapa orang yang mengatur semua ini? Apakah itu ayahku? Atau ada orang lain yang lebih kuat darinya?"
"Aku masih belum bisa memberikan jawaban pasti," balas Antonio yakin. "Setiap dari kita adalah buah catur di atas papan permainan yang memiliki perannya masing-masing. Setiap langkah yang kita ambil akan berpengaruh pada hasil akhir permainan, dan kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi sebab semua buah catur pada papan permainan ini bergerak dengan kehendak mereka masing-masing. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah terus bergerak maju."
Mira tersenyum simpul. "Kata-kata yang indah. Aku tahu bahwa kau begitu menyukai sastra. Itu tampak dari dirimu yang bijak, Midas."
"Aku sudah tidak percaya lagi pada sastra," bantah Antonio. "Ia sudah menghilang dari hidupku lama sekali."
Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah toko yang menjual pakaian dan perlengkapan. Tempat itu adalah yang paling tersohor di Lonesome. Mulai dari pakaian berbahan biasa dengan harga merakyat sampai pakaian berbahan langka yang hanya bisa dipesan oleh petinggi kerajaan dapat ditemukan di sini.
Mira berjalan menghampiri pemilik toko itu untuk mencari gaun yang akan ia gunakan ketika pesta malam purnama nanti, sementara Antonio, dengan kedua tangannya yang masih terus mengepal dan tertutup kain, melihat-lihat stand yang memajang berbagai macam baju besi serta pedang yang digantung di dinding. Tidak lama kemudian, Mira memanggil Antonio. Ia menjelaskan kepada pemilik toko itu tentang masalah yang terjadi, bahwa Antonio memiliki sebuah Vitae yang membuat ia dapat mengubah apa pun yang ia sentuh menjadi emas. Antonio membutuhkan sebuah sarung tangan dengan bahan khusus yang dirancang sedemikian rupa agar dapat menangkal kekuatannya.
Antonio lantas membuka penutup kain itu dan menyentuhkan jarinya pada sebuah potongan kayu kecil yang diberikan oleh pemilik toko itu. Beberapa detik setelahnya, potongan kayu tersebut berubah menjadi emas sepenuhnya. Sang pemilik toko mengangkat potongan kayu tersebut, melihatnya dengan teliti, dan mengatakan bahwa itu bukanlah emas asli. Apa yang disentuh oleh Antonio hanya berubah warna dan sifatnya menjadi sama seperti emas, tetapi untuk keasliannya, benda tersebut tetap tidak berubah.
Antonio sempat melenguh ketika mengetahui kebenaran tersebut. Ia tidak bisa kaya mendadak, pikirnya, sebab kekuatannya tidak mengubah benda menjadi emas asli. Akan tetapi, bukan itulah yang ia pikirkan. Sangat aneh jika Vitae miliknya yang tergolong lemah dan memiliki banyak kerugian ini dikategorikan sebagai Vitae spesial dari koin merah. Maka dari itu, untuk sekarang, Antonio berhenti pada kesimpulan bahwa Vitae miliknya dapat mengubah segala sesuatu yang disentuh olehnya menjadi emas. Entah kekuatan seperti apa yang sebenarnya ia miliki, biar waktu saja yang menjawab. Kini, ia harus mencari cara untuk bisa menjinakkan kekuatannya terlebih dahulu.
"Melihat daya sebar kekuatannya, aku bisa membuat sebuah sarung tangan yang dapat menangkal kekuatan sentuhan emas itu," ujar sang pemilik toko. "Tapi mungkin prosesnya memakan waktu dua hari. Aku harus menggunakan sihir dan bahan-bahan mahal yang baru akan datang nanti sore. Aku tidak yakin seratus persen kekuatannya akan jinak begitu kau memasukkan tanganmu ke sarung tangan, jadi kau harus mengganti sarung tanganmu secara berkala ketika ia sudah mulai termakan emas," tambah sang pemilik toko, meraba pergelangan tangan Antonio untuk mengukurnya dengan hati-hati agar tidak menyentuh telapak dan jarinya.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Antonio.
Sang pemilik toko mengangkat kepalanya, bingung. "Bagaimana apanya?"
"Pernah bertemu kasus seperti ini?"
"Belum." Sang pemilik toko menggeleng. "Kalau aku jadi dirimu, aku akan memotong kedua tanganku. Vitae bodoh macam apa ini? Sama sekali tidak memberikan keuntungan bagiku. Dengan sentuhan emas ini, aku tidak bisa tidur dengan bebas lagi, tidak bisa makan dengan bebas lagi, tidak bisa buang air dengan bebas lagi, dan tidak bisa berhubungan badan bersama istriku dengan bebas lagi."
"Benar juga." Antonio ragu, tetapi mengiyakan ucapan sang pemilik toko.
Ketika Antonio dan sang pemilik toko berbincang, Mira berjalan menjauh untuk melihat gaun yang dipajang pada stand yang terletak di dalam lemari kaca. Ada yang berwarna biru laut, hijau tua, dan cokelat. Satu yang menarik perhatian Mira adalah gaun merah berenda dengan tali emas. Ia menambatkan hatinya pada gaun itu, menatapnya dalam-dalam lama sekali, hingga Antonio menghampiri dan bertanya, "Apa yang sedang kaulakukan?"
"Akankah aku terlihat cantik dengan gaun ini?" Mira menoleh.
"Bagaimana aku bisa tahu? Aku kira kau sudah paham tentang gegaunan seperti ini, mengingat kau adalah putri kerajaan."
Mira kembali menatap gaun tersebut. "Bagaimana, ya .... Aku sudah tidak ingat kapan terakhir kali aku mengenakan gaun. Aku benar-benar seorang pemberontak sampai aku lupa bahwa aku adalah putri kerajaan."
Antonio terdiam menyilangkan kedua tangannya. Nahas, ia lupa sentuhannya dapat mengubah apa pun menjadi emas. Ia lantas menjuntaikan tangannya, dengan pakaiannya di bagian ketiak yang mengeras berwarna emas, sembari berkata, "Gaun itu cocok untukmu, Putri."
***
Pesta Malam Purnama, 27 Mei 1504.
Dengan sarung tangan tebal berwarna hitamnya, Antonio menuntun Mira yang mengenakan sepatu kaca menuruni tangga dengan menggenggam tangannya. Semua orang di dalam ruangan itu menatap mereka berdua yang tampak seperti sepasang anggota keluarga kerajaan yang mulia. Antonio dengan tunik hitamnya yang dipasangkan bersama celana kain dan sepatu bot dengan warna yang sama, rambutnya ia ikat dengan gaya man bun; Mira dengan gaun berwarna merahnya yang terbuka di bagian pundaknya, di dekatnya melingkar kalung emas dengan liontin berwarna perak, riasan pada wajahnya menempel dengan cantik, dan rambut cokelatnya ia sanggul dengan dua gelung.
Vin yang mengenakan jubah kain berwarna biru serta baret dengan bulu merak yang sedari tadi memetik mandolinnya untuk menghibur para tamu pun terkesiap. Ia diam dengan mulut menganga sambil menatap Antonio dan Mira yang datang menghampiri. "Wah, wah," ujarnya sambil menggeleng. "Kalian berdua cocok sekali."
"Apa maksudmu, Vin?" Antonio melepaskan tangan Mira, bertanya dengan ketus.
"Kau terlihat seperti ayah yang gagah, pak tua."
"Jangan ingatkan aku tentang umurku."
Mira tertawa kecil, kemudian membuka matanya lebar-lebar menatap sekitar. "Semua ini terasa tidak nyata! Eh, di mana Muezza?" tanyanya, sambil berusaha mencari kucing hitam itu.
"Dia ada di luar, mengawasi," jawab Vin.
"Kalau begitu, karena kita bertiga sudah ada di sini, mari kita nikmati makanan dan minumannya!" Mira mengepalkan kedua tangannya, tersenyum lebar, menunjukkan semangat.
Vin mengangkat mandolinnya, berkata dengan nada remeh, "Maaf, Mira. Makannya nanti saja. Orang-orang di sini harus mendengar lantunan karyaku. Mereka harus tahu mengapa aku dijuluki penyair paling tersohor di benua Merlin."
"Baiklah," Mira tertawa, "menyanyilah, Vin."
Vin berjalan ke tengah ruangan, tepat di bawah lampu kandil gantung. Ia memetik mandolinnya untuk menciptakan harmoni demi mengiringi para tamu yang berdansa di tengah ruangan. Alunannya semakin menyejukkan hati semua orang yang tengah menikmati daging serta anggur mereka ketika tiupan seruling dari seorang pria di balkon masuk menemani mandolin Vin. Vin melompat-lompat, memetik semakin keras dan merdu, diikuti oleh para tamu yang lain. Barulah setelah semua jiwa di dalam ruangan itu terhubung, ia bernyanyi:
Seperti angin, kau datang berlari.
Ambil segala resah dari hidup.
Tidak ada kata, tidak ada siapa.
Dan tidak ada ruang buat kita bicara.
Semua orang menari dan bertepuk tangan, menikmati pesta malam purnama.
"Mau menari bersamaku?" Mira mengajak Antonio, tetapi Antonio hanya diam.
Pria itu hening menatap Vin yang berjingkrak-jingkrak dengan riang gembira di tengah kerumunan orang. Antonio berpikir, dalam, tentang lagu yang dinyanyikan oleh Vin. Bersama dengan Vin selama lebih dari enam tahun membuat Antonio paham betul tabiat Vin. Vin tidak akan pernah menyanyikan lagu yang bukan berasal dari puisi atau tulisannya. Itu mutlak.
Lagu yang dilantunkan Vin sekarang, Antonio tidak pernah mendengarnya sama sekali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top