Chapter 20 - Kota Lonesome
Seorang pria berkepala botak dengan kalung emas sedang duduk bersantai sambil menggenggam tali kudanya, menarik wagon yang sedang ia tumpangi. Di dalam wagon itu terdapat belasan manusia yang tangan serta kakinya diikat menggunakan tali dan mulutnya dibekap menggunakan kain goni. Sebagian dari mereka duduk bersimpuh pada lantai wagon, sisanya terbaring dengan tidak berdaya sambil menekuk tubuh mereka. Dua orang pria berbadan besar duduk di atas, memegang cemeti sembari mencambuk mereka semua.
Diketahui bahwa tiga pria yang membawa wagon itu adalah para bandit dari Genburry. Mereka sempat mampir ke Nokova untuk menjarah beberapa tempat, kemudian berkelana sampai ke Lonesome untuk menculik beberapa orang dan menjualnya sebagai budak kepada para saudagar besar lewat jalur gelap. Wagon tersebut baru saja keluar dari gerbang Kota Lonesome dan kini berjalan menuju selatan. Tidak ada rintangan yang ditemui oleh wagon tersebut, orang-orang yang ada di dalamnya tetap disiksa, dan roda-roda yang membawanya menjadi saksi bisu pertunjukan itu.
Kedua pria yang berada di dalam wagon itu tertawa terbahak-bahak mendengar rintihan orang-orang yang mereka siksa. Itu adalah cara terbaik untuk mendapatkan koin, setelah seluruh ekonomi bergerak fokusnya pada turnamen yang diadakan oleh Raja William. Mereka bukanlah Hunter, hanya bandit. Selama mereka tidak membunuh sesama mereka (manusia), mereka akan aman, pikir mereka.
Ketika wagon mereka memasuki kawasan bukit, tiba-tiba saja seikat besi jatuh menghantam roda bagian kiri. Tidak lama kemudian, besi tersebut meledak dan membuat wagon yang mereka tumpangi ambruk. Kedua pria yang berada di dalam wagon itu dengan segera menyibak tirai wagon, berbicara kepada teman mereka yang menyopir.
"Apa yang terjadi?!"
Pria berkepala botak dengan kalung emas itu menghunus pedangnya lalu berkata, "Itu bom ikat! Kita diserang!"
Dari atas bukit, sesosok berjubah panjang menatap ke bawah. Tak tampak apa pun kecuali matanya yang tidak terhalangi penutup wajah. Tatapan sosok itu tajam, menusuk ke dalam jantung ketiga bandit itu. Ketika mereka bertiga sudah bersiap dengan pedang mereka, sosok berjubah itu melemparkan mata panah secara bersamaan ke arah mereka.
Tidak bisa menghindar dari serangan supercepat itu, ketiga bandit itu tertembus mata panah. Sosok berjubah itu melompat, mendarat, lalu berguling di tanah, berlari sambil menghunus pedangnya. Ketika pedangnya ia ayunkan, tangan kanan pria berkepala botak itu terpotong. Pria itu berteriak kesakitan, memegangi tangan kanannya, yang dari sana hanya menyemburkan darah. Sosok itu kemudian menyibak tudung serta penutup wajahnya.
"Putri Esmeiralda?!" Dua pria yang lain berteriak berbarengan.
Mira dengan cepat menodongkan bilah pedangnya pada leher salah seorang bandit tersebut. "Mata panah yang menembus tubuh kalian sudah aku lapisi dengan racun tingkat rendah," katanya. "Kalian tidak akan bisa kabur lagi. Begitu kalian pergi ke rumah sakit, mereka akan tahu bahwa kalian adalah kriminal."
Kedua pria itu berlutut. "Ampuni kami, Putri!"
Mira tidak melihat itu sebagai sebuah alasan. Ia mengibaskan pedangnya, menghapus noda darah pada bilahnya, kemudian menarik satu pisau dari balik pakaiannya dan menyayat tangan kedua pria itu. Kini, kedua pria itu terkapar di tanah sambil memegangi tangan mereka dengan alunan teriakan rasa sakit.
"Sebagai calon ratu Kerajaan Envera, sudah menjadi tugasku untuk melindungi orang-orangku dari bahaya," ujarnya pada ketiga bandit itu sambil meletakkan kedua tangan di pinggangnya. Setelahnya, Mira menghampiri wagon yang ambruk akibat ledakan bom ikatnya tadi. Ia menyibak tirai yang menutup wagon itu, lalu melepaskan ikatan tali yang menjerat belasan orang di dalamnya. "Apa kalian baik-baik saja?" tanyanya dengan cemas.
Beberapa dari mereka hanya menganggukkan kepala. Beberapa lainnya tidak menjawab, yang tampak dari tubuh mereka hanyalah lebam. Mira lantas membawa orang-orang yang diculik itu berjalan kembali menuju gerbang Kota Lonesome. Ia berjalan semakin jauh dan lama-kelamaan menghilang dari jarak pandang Antonio, Vin, dan Muezza. Mereka bertiga melihat itu dari atas bukit.
Antonio masih belum dapat menemukan solusi dari Vitae miliknya yang dapat mengubah apa pun yang ia sentuh menjadi emas. Alhasil, ia mengepalkan kedua telapak tangannya, kemudian menutupinya dengan kain. Setidaknya itu berhasil membuatnya tidak menyentuh apa pun. Sementara Vin tetaplah Vin, dan Muezza rupanya tidak diterima lagi oleh pemiliknya, pria tua di persimpangan jalan. Pria itu sangat ketakutan ketika ia tahu bahwa kucing hitam kesayangannya telah berubah menjadi iblis dan dapat berbicara. Karena tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya, pria itu lantas membiarkan Muezza pergi. Akhirnya, Muezza mengikuti Antonio sebagai tuan barunya, yang pada malam itu telah menyelamatkan hidupnya.
"Itu tadi cepat sekali," ucap Vin, membungkuk sambil melihat kejauhan.
Antonio dengan kedua tangannya yang ia angkat ke depan berkata, "Kemampuan Mira meningkat pesat akhir-akhir ini. Aku rasa, dia sangat cocok untuk bertarung di sisiku saat ini."
"Tapi kau tahu, pak tua, Mira terlalu lemah jika dibandingkan dengan kekuatan seratus persenmu."
"Tentu saja, Vin. Itu tidak sebanding. Setidaknya, Mira punya semangat juang yang tinggi. Aku menyukai itu. Dan, lambat laun aku menyadari, ikatan emosional tim kita semakin kuat."
Vin menoleh pada Antonio. "Itu adalah hal yang bagus."
Muezza berjalan menuruni bukit itu. Tanpa menoleh ke belakang ia berteriak, "Apa yang kalian tunggu, meow? Putri Mira bergerak menuju gerbang Lonesome. Kita juga harus menyusulnya. Tujuan kita adalah kota itu, bukan?"
Vin menatap sinis kucing hitam itu. "Andai saja waktu itu kita tidak bertemu dengan dia, mungkin kau masih bisa mengayunkan pedangmu dengan bebas sekarang, pak tua."
Antonio, masih dengan kedua tangannya yang ia angkat ke depan, menjawab, "Tidak apa-apa. Kucing itu memang tidak bisa bergabung dengan tim kita, tapi dia akan sangat berguna. Tidakkah kau menyadarinya, Vin? Kucing itu adalah iblis kutukan yang tidak lemah oleh sinar matahari; kucing itu memiliki Vitae untuk penyembuhan; kucing itu bisa berbicara; kucing itu membawakan koin merah padaku. Kucing itu adalah sebuah anugerah."
"Terserah kau saja, pak tua."
Setelah sampai di gerbang Lonesome, Mira menyerahkan belasan orang yang diculik oleh ketiga bandit tadi pada prajurit yang berjaga, lalu memberikan sekantong koin untuk biaya tambahan bagi mereka. Tak lama menunggu sambil duduk di gerbang itu, Antonio, Vin, dan Muezza akhirnya datang. Mereka melewati gerbang besar itu dan masuk ke Lonesome.
Itu tampak seperti kota mimpi. Semuanya memiliki warna cerah, dan ketika matahari menyinari warna-warna itu, yang tampak hanyalah kesejukan di bola mata. Jalannya rapi dan bersih, penataan bangunannya begitu ideal, diisi bangunan-bangunan dengan gaya abad 15 yang dirawat kembali sehingga tidak hilang keasliannya dan dapat tetap bersinar di zaman yang semakin maju ini.
Di sepanjang jalan, kios makanan berdiri di dalam rumah-rumah kecil yang dihiasi kaca, bunga, serta gantungan kayu yang dipoles dengan minyak. Tulisannya dapat terlihat dengan jelas sehingga memancing orang-orang untuk datang tanpa perlu berteriak menghabiskan suara. Patung-patung raja Envera terdahulu berdiri dengan gagah, tingginya sekitar 15 meter untuk masing-masing patung, dan di bagian kaki mereka dikelilingi braizer yang digunakan untuk menampung arang yang dibakar. Di samping itu diletakkan beberapa karangan bunga untuk menghormati jiwa mereka.
Beberapa kerumunan di titik-titik strategis kota diisi oleh pertunjukan badut dengan bola serta terompet mereka. Di tempat lain, duduk seorang berambut panjang dengan bulu merak di telinganya, menggoreskan cat pada kanvas ketika matanya mencoba mengindra wanita tanpa busana yang duduk dengan anggun di atas kursi panjang. Anak-anak muda dengan pakaian dan rambut rapi tidak pernah absen berkeliling kota. Kebanyakan dari mereka membawa tas berisi buku, atau jika mereka tidak punya tas, buku-buku dari perpustakaan itu akan mereka bawa dengan tangan mereka dan diletakkan pada dada mereka.
Puisi dan lagu dilantunkan di mana-mana, setiap orang dapat mendengar keindahan itu. Yang menjadi temannya adalah anggur serta permainan kartu. Orang-orang duduk dan menepuk pundak satu sama lain, ditemani obrolan mengenai pertunjukan teater dan aksi sulap yang diadakan oleh serikat guild minggu lalu. Sapi dan domba yang melewati jalanan kota tampak begitu bersih dan cantik. Mereka dibawa oleh para prajurit berzirah menuju peternakan, bersama dengan para peternak yang berjalan di belakangnya.
Kota itu dipenuhi orang-orang dari berbagai macam ras: manusia, elf, orc, dan dwarf. Mereka yang bukan asli penduduk Lonesome biasanya adalah para peserta turnamen yang sedang mampir ke stan penukaran kepala iblis. Tidak lama setelah ini purnama akan datang. Bagi sebagian orang, itu akan menjadi mimpi buruk sebab mereka tak tahu apa yang akan terjadi, tetapi bagi para Hunter, itu akan menjadi ladang uang. Purnama itu akan menjadi penentu—jalan baru bagi The Hunt for the Holy Coins.
Amaryllis mendatangi sebuah kedai besar di tengah kota untuk makan siang. Ketika mereka berempat memasuki kedai itu, semua orang datang mengerubungi. Mereka ingin melihat sosok putri mahkota kebanggaan mereka. Mira dan Muezza sudah duduk terlebih dahulu, sementara Antonio dan Vin masih berusaha menjauhkan orang-orang yang mengerubungi untuk memberikan mereka sedikit kelonggaran.
"Menjauhlah dari sini, masyarakat!" teriak Antonio. "Aku bisa mengubah apa pun yang aku sentuh menjadi emas dengan Vitae milikku. Jangan dekat-dekat dengan Putri Esmeiralda, atau akan kuubah kalian menjadi emas!"
Peringatan Antonio tidak dihiraukan oleh orang-orang itu. Mereka tetap mendekatkan diri pada Mira. Bagaimana orang-orang tidak begitu semangat bertemu dengan Mira jika Mira adalah sosok yang sangat cinta kepada rakyatnya? Tidak seperti ayahnya, ia selalu peduli pada rakyat-rakyat kecil dan tidak pernah memandang dirinya lebih tinggi dari siapa pun. Ia bilang, ia adalah milik rakyatnya.
Antonio yang berusaha menjaga Mira dari terjangan orang-orang pun kebingungan. Ia akhirnya mengepalkan kedua tangannya kembali sebab jika ia tidak sengaja mengubah seseorang menjadi emas, itu bisa dikategorikan pembunuhan. Antonio dan Vin pun duduk di kursi itu, tidak dapat lagi membendung antusiasme rakyat Lonesome.
Mira yang sedang menyalami orang-orang seketika berhenti. "Wahai rakyatku," serunya, "sebagai rakyat Kerajaan Envera, sudah menjadi hakku untuk mendapat ruang yang aman. Aku tahu rasa kebahagiaan kalian ketika bertemu denganku, putri Ratu Wilora. Dan aku juga senang bertemu dengan kalian, wahai rakyatku. Aku senang bisa melihat senyum kalian semua. Kalian boleh mengagumi dan mencintaiku semau kalian. Tetapi ingat, wahai rakyatku, aku juga punya hak-hak yang harus dipenuhi. Maka dari itu, untuk kali ini aku minta tolong pada kalian untuk memberikan aku dan kawan-kawanku ini waktu untuk makan siang. Apa kalian mengerti?"
Semua orang yang mengerubungi Mira serentak menjawab, "Mengerti, Putri!"
"Sekarang, kembalilah pada pekerjaan kalian!" Mira berseru kembali. "Penuhi Lonesome dengan diri kalian agar ia tidak kesepian lagi!"
Antonio, Vin, dan Muezza menatap Mira dengan serius.
"Ada apa?" tanya Mira, polos.
Antonio tersenyum. "Entah kenapa, aku senang melihat kau dicintai oleh rakyatmu," ujarnya. "Dan, kau menjadi lebih bijak daripada sebelumnya."
"Masa depan Envera cerah," celetuk Vin sekenanya.
Mira hanya tertawa membalas itu. "Kalian ini, tidak perlu berlebihan. Aku sudah pernah bilang pada kalian kalau aku tidak ingin dianggap istimewa oleh siapa pun. Mereka bisa memanggilku Mira jika mereka mau, tanpa memakai embel-embel 'Putri'."
"Ya, tapi siapa juga yang mau memanggil Putri Mira dengan Mira saja—" Muezza memotong ucapannya ketika Antonio mempertontonkan gestur diam dengan jari telunjuk pada bibirnya. Muezza mengerti, ia tidak boleh berbicara karena ia adalah iblis. Kalau sampai ada orang lain yang tahu bahwa ia adalah iblis, tamat riwayatnya.
Antonio kemudian pergi untuk memesan makanan. Di depan meja kasir, ia bertemu dengan seorang pria yang tidak asing. "Kau Osamu, bukan?" tanya Antonio sambil menunjuk pria itu, memastikan.
Pria bertubuh kurus-tinggi dengan jubah bulu yang nyentrik itu menimpali, "Ah! Kita pernah bertemu di markas Old School, benar? Namamu Midas, bukan? Bagaimana keadaan timmu pada turnamen ini, Midas?"
"Tidak terlalu baik, bisa kubilang."
Osamu menengadahkan kepalanya, mengembuskan napas panjang. "Ah ..., begitu, ya? Timku juga sedang mengalami penurunan. Bahkan salah satu anggota Old School II ada yang mati ditikam oleh vampir. menyedihkan sekali. Oh, iya! Mungkin kita bisa makan siang bersama, Midas. Aku dengar, Putri Esmeiralda satu tim denganmu. Benar begitu?"
Antonio menatap dalam diam. Penjilat.
"Mungkin ... kita bisa bekerja sama dalam turnamen ini. Kau tahu, aku mencari kekuatan baru untuk timku, mengetahui bahwa—"
"Baik, Osamu, baik." Antonio memotong. "Kita akan bicara, tapi lain waktu. Maaf. Aku dan timku ingin menghabiskan makan siang tanpa gangguan."
Osamu membalas dengan ringan, "Oh, tidak apa-apa! Tenang saja, aku dan timku tidak akan mengganggu kalian. Silakan nikmati waktu kalian di kota penuh keindahan ini. Mungkin, jika waktu memperbolehkan, kita bisa bertemu di pesta malam purnama satu hari sebelum purnama terjadi. Bagaimana?"
Antonio melihat wajah penuh kebohongan milik Osamu. Ia tahu, Osamu hanya ingin memanfaatkan timnya. Namun, ajakan itu tidak ditolak mentah-mentah oleh Antonio. Guild sebesar Old School bisa menjadi kartu as lain bagi Amaryllis jika Antonio tahu bagaimana cara memposisikan diri dan menggunakan kesempatan itu. Setelah cukup lama berpikir, Antonio mengiyakan. "Sepakat. Pesta malam purnama, 27 Mei."
Osamu memasang senyuman tanpa memperlihatkan giginya. "Baiklah kalau begitu. Aku tunggu kehadiranmu dan kehadiran Putri Esmeiralda." Ia beranjak pergi, duduk bersama dengan dua anggota timnya untuk menyantap makan siang.
Antonio masih memandangi pria itu, cukup lama, hingga akhirnya terbentuk antrean di belakangnya. Antonio kemudian memesan makanan dan kembali ke mejanya. Ketika ia duduk, ia tidak sengaja menyentuh kursi dan meja dengan tangannya. Vin, Mira, dan Muezza langsung kelimpungan, demikian juga Antonio. Ia berusaha mengelap bercak emas itu agar menghilang dengan sikunya, tetapi tidak berguna. Bercak emas itu tetap berada di sana, selamanya.
Setelah beberapa saat dirundung kepanikan, Antonio terduduk pasrah dan menjuntaikan kedua tangannya yang masih dalam posisi mengepal. Sial, batinnya, sentuhan emas ini menyusahkanku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top