Chapter 18 - The Golden Touch
"Jadi ... siapa sebenarnya kau?" Vin bertanya sembari memakan apelnya.
Muezza duduk di atas batang pohon berlumut, menatap Danau Tondoa yang diselimuti kegelapan sambil menggenggam tongkatnya. "Sudah kubilang, 'kan? Aku ini adalah seekor kucing mutan. Aku adalah iblis kutukan."
Antonio terbaring di atas alas tidurnya, menatap bulan. Mira duduk di sampingnya sambil menekuk tubuhnya, menempelkan kepala di lututnya sambil berusaha menjaga matanya agar tidak tertutup.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Antonio. "Dan siapa pria elf tadi?"
"Aku membawa koin-koin suci," jawab Muezza, "lalu tiba-tiba saja tubuhku diangkat oleh sesuatu. Awalnya, aku pikir itu elang. Tapi tidak mungkin. Setelah kulihat, ternyata yang mengangkatku adalah vampir."
"Dia sedang berada dalam misi pencarian koin suci berwarna merah. Apakah dia iblis tingkat atas?"
"Aku meragukan itu." Muezza membantah. "Pria elf bernama Peter itu hanyalah seekor iblis tingkat menengah. Dia bukan salah satu dari enam iblis pasukan bintang tingkat atas Regulus. Tetapi ada kemungkinan bahwa pria itu bekerja untuk salah satu dari mereka."
Antonio bangkit. "Apakah kau tahu alasannya? Terakhir kali kami bertemu dengan koin suci berwarna merah, separuh populasi dari sebuah desa yang terletak di utara lenyap. Salah satu dari iblis tingkat atas dikabarkan menyerang desa itu untuk mencari koin merah. Ghost Riders."
"Bintang Kedua, itulah Ghost Riders. Sepertinya koin merah itu cukup kuat. Di mana dia sekarang?"
Antonio tidak berbicara, jempolnya menunjuk Mira.
"Luar biasa!" Muezza membelalak. "Tapi satu hal yang perlu kau tahu, gadis itu tidak akan pernah bisa hidup tenang lagi. Para iblis akan terus mengejarnya, termasuk iblis tingkat atas. Mereka tidak ingin koin-koin suci dengan kekuatan spesial beredar luas."
"Jadi, para iblis tingkat atas bergerak karena mereka takut?"
"Bisa dibilang begitu. Semua itu dilakukan agar raja mereka, Regulus, tidak dapat dikalahkan ketika hari kebangkitannya nanti."
Antonio diam sejenak dan berpikir. "Dan kau berasumsi bahwa pria elf itu mungkin bekerja bagi iblis tingkat atas karena kau membawa koin suci berwarna merah?" tanyanya.
Muezza berdiri dan merogoh tasnya dengan segera. "Benar sekali. Koin merah ini—Hei, di mana koin merahku?" Ia bertanya dengan nada panik sebab koin yang berada di genggamannya sekarang hanya berjumlah dua buah dan keduanya adalah koin berwarna emas. "Gawat! Koin merahku menghilang!"
Antonio kembali membaringkan tubuhnya, menatap bulan yang kini tertutup awan. Suara jangkrik dan katak mengelilinginya, termasuk Mira yang kelihatannya sudah terperosok ke alam mimpi. Antonio menoleh ke arah gadis itu. Penutup kepalanya sedikit turun bersama dengan rambut cokelatnya, menutup wajahnya yang anggun. Di dalam suasana pelik itu Antonio bertanya dengan lirih, "Apakah kau mendengarnya, Mira?"
Di luar dugaan, Mira menjawab, "Mendengar apa?" dengan mata yang masih tertutup.
Antonio jelas terkejut. Ia segera menatap langit. "Mendengar apa yang dikatakan oleh pria elf tadi?"
"Dia adalah seorang vampir, Midas. Berhentilah memanggilnya 'elf'. Dia adalah iblis." Mira tampak memperbaiki posisi tubuhnya. Kini ia bersandar pada sebuah batu dan menyelonjorkan kedua kakinya. "Aku tidak mendengar apa-apa. Aku tertimbun lemari."
Antonio tercekat. Jantungnya berdebar-debar, tetapi ia masih memiliki nyali untuk menjawab, "Baiklah." Dia masih belum tahu bahwa aku adalah pembunuh Keluarga Wolfgang.
"Aku harus tidur," kata Mira. "Besok pagi kita akan berangkat ke Lonesome, benar?"
Mata Antonio melirik Mira yang bangkit dan merapikan barang-barangnya. "Beristirahatlah dengan nyaman."
"Selamat istirahat, Midas, Vin, dan kucing." Mira berjalan menuju tendanya dan tertidur, menyisakan Antonio, Vin, dan Muezza yang sibuk dengan diri mereka masing-masing di tepi api unggun.
"Akhir-akhir ini aku tidak menemukan ide untuk tulisanku." Vin menopang dagunya sembari melempar batu ke danau untuk mengusir kebosanan.
Sementara itu, Muezza membolak-balikkan serta mengguncang-guncangkan tasnya, mencari koin suci berwarna merahnya yang tiba-tiba menghilang. "Aduh, bagaimana ini? Koin merah itu adalah benda langka. Bisa gawat kalau sampai jatuh ke tangan orang yang salah."
Antonio kembali hening, memejamkan matanya, menikmati tiupan angin malam yang semakin lama semakin lembut. Bunyi amukan keluar dari perutnya, Antonio segera mengelusnya. Gawat, pikirnya. Ia sudah memakan beberapa tusuk daging panggang, tetapi itu saja belum cukup. Ia bangkit, mengambil apel Vin dengan seenaknya. Ia memutar-mutar apel itu dan melihatnya dengan saksama. "Masih segar?"
Wajah Vin tampak layu, ia sama sekali tidak menoleh pada Antonio. "Makan saja."
"Kau yakin tidak ada racun di dalamnya?"
Vin berdecak. "Jika kau mati karena satu apel itu, aku akan memakannya juga. Kau tahu bahwa aku tidak bisa hidup tanpamu."
"Aku suka jalan pikiranmu," ujar Antonio. Ia memakan apel itu tanpa basa-basi.
Namun, gigi Antonio menggigit sebuah benda yang teramat keras. Ia terkejut ketika sadar bahwa apel yang ingin ia makan telah berubah menjadi emas. Bukan langsung berubah menjadi emas, tetapi apel itu perlahan-lahan dimakan oleh bercak emas. Antonio lantas menjatuhkan apel itu.
"Apa-apaan ini?!"
Vin dan Muezza menoleh, bingung.
Antonio dapat melihat bercak emas yang bergerak memakan apel itu berhenti tatkala ia melepaskannya. Untuk memastikan keraguannya, Antonio mengangkat apel itu sekali lagi. Bercak emas pada apel itu kembali menyebar, memakan tubuhnya dengan cepat.
"Antonio, apa itu?" Vin berdiri, dahinya mengernyit menatap Antonio.
Muezza menjatuhkan tasnya, mulutnya menganga. "Itu ...."
Antonio tidak dapat berkata-kata. Ia mencoba mengetuk apel itu, membantingnya, dan menggigitnya sekali lagi. Apel yang ia genggam kini telah berubah menjadi emas seutuhnya. "Tidak mungkin," gumamnya.
Muezza berjalan menghampiri Antonio, menatap tangannya. "Ini dia. Koin suci berwarna merahku pasti masuk ke dalam tanganmu."
"Bagaimana bisa? Aku tidak merasakannya sama sekali." Antonio tidak percaya.
"Tidak ada keraguan lagi. Kau telah memperoleh kekuatan Vitae, Antonio. Koin merah itu masuk ke dalam tanganmu, dan sekarang kau bisa mengubah sesuatu yang kau sentuh menjadi emas!"
Antonio mengernyitkan dahinya. Ia berusaha menguji kebenaran ucapan Muezza dengan menyentuh rumput yang berada di sampingnya. Tidak ada jeda sedikit pun. Setelah ia menyentuh rumput itu, bercak emas merebak dengan cepat, memakan rumput itu hingga berubah menjadi emas seutuhnya.
"Ini nyata." Antonio mengangkat kedua telapak tangannya dan menatapnya, masih tidak percaya.
Vin diam, larut dalam ruang antisentuhan. Ia hanya memperhatikan Antonio. Di dalam pikirannya, tidak ada lagi gangguan. Hanya ada Antonio. Ide mengalir dengan deras di dalam kepalanya, merajut benang-benang cerita. Ia mengambil potongan arang di dalam sakunya yang selalu ia simpan untuk keadaan darurat, lalu mulai menulis di atas celana kainnya yang lusuh:
Raja Midas dan Sentuhan Emas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top