Chapter 14 - Persinggahan

Matahari mulai tenggelam, tetapi Amaryllis belum juga menemukan tempat untuk menjual hasil buruan mereka. Kota Maghenberg tidak terlalu ramai sore itu, hanya ada warga lokal yang mengurus diri mereka sendiri seperti biasanya. Ketika bertanya kepada warga sekitar, mereka berkata bahwa tim-tim yang ikut dalam turnamen ini tahu bahwa kawasan utara akhir-akhir ini menjadi tempat yang tidak aman. Para iblis dikabarkan muncul secara masif ketika purnama lalu dari utara; bandit mengerumuni kawasan utara sebab persediaan bahan makanan yang melimpah dibandingkan kawasan lain.

Maghenberg bersinar terang menunggu para pemburu datang, lalu menggunakan mereka sebagai tempat perlindungan. Sesuai mandat Raja William, gerbang kota dilindungi kurang-lebih 25 Hunter dari serikat guild yang tidak mengikuti The Hunt for the Holy Coins, termasuk para prajurit resmi kerajaan, di setiap sisi. Pada awalnya, berkaca dari Edinvers, mereka senang karena kota akan dipenuhi dengan sukacita dan kesejahteraan setelah waktu yang lama.

Realitas yang terjadi demikian berbeda. Semua orang yang berjaga di gerbang kota terasa seperti boneka—zirah mati—yang tidak berbuat apa-apa selain diam. Sampai-sampai mereka bertanya kepada diri mereka sendiri: "Apakah kita pantas mendapatkan semua uang pajak yang raja dan wali kota berikan kepada kita?"

Antonio, Vin, dan Mira memasuki distrik permukiman kumuh. Mereka menarik tudung serta penutup wajah mereka, dan melangkah dengan hati-hati di jalanan yang becek dan licin. Jalanannya gelap, tak ada bedanya dengan menutup mata. Mereka tidak ingin menyalakan lentera sebab mereka sadar bahwa kehadiran mereka sudah diawasi oleh para penghuni distrik itu. Bandit atau bahkan iblis—mereka tidak tahu apa yang menunggu mereka di balik kegelapan.

Dari kejauhan sebongkah harapan muncul. Di ujung jalan, tepat di samping tembok tinggi yang membatasi distrik itu dengan dunia luar, terdapat sebuah lentera di samping papan gantung bertuliskan "PENGINAPAN". Bangunan itu adalah bangunan paling megah di distrik suram itu, yang entah kenapa seolah-olah memanggil Amaryllis untuk mendatanginya, entah itu sebuah bantuan atau jebakan.

Ketika melangkahkan kaki melewati pintu masuk, Antonio sempat menabrak meja karena ruangan utama bagunan itu terlalu sempit, apalagi tubuhnya yang besar itu didorong Vin dan Mira dari belakang. Ruangan itu berbentuk persegi, dengan sebuah meja resepsionis berbentuk huruf U yang sudah memakan hampir setengahnya. Sudut-sudutnya diisi oleh kursi kecil berbentuk bulat dengan empat kaki. Apa yang menjadi pencahayaan ruangan itu hanyalah sebatang lampu lilin yang hampir meninggal.

"Bisakah aku membantumu?" ucap suara serak dari balik kegelapan, yang kemudian menyulut lilinnya dan membawanya dengan sebuah piring ceper kecil.

Seorang manusia.

"Tidak ada lagi penginapan yang buka di kota ini?" tanya Antonio. "Kami sudah berkeliling selama hampir dua jam dan tidak menemukan apa-apa. Sebagian besar lampu obor jalanan juga tidak menyala. Apa yang sebenarnya terjadi di kota ini?"

"Sebelumnya perkenalkan, namaku Roberto, pemilik tempat ini. Beberapa minggu ke belakang kota kami menjadi sangat sepi karena banyaknya kekacauan yang terjadi. Bahkan turnamen yang diadakan oleh Raja William pun tidak mampu menolong kami. Banyak pedagang berhenti dan pindah ke Edinvers; banyak penginapan tutup karena sepi pelanggan. Ini lebih dari sebuah mimpi buruk bagi kami."

"Lalu bagaimana denganmu?" Mira membuka tudung serta penutup wajahnya. "Di distrik kumuh ini, apakah usahamu laku?"

Roberto terkesiap. "Pu-Putri Esmeiralda?!"

"Hei," Antonio menggenggam pipi pria itu agar menatap dirinya kembali, "jawab dulu pertanyaanku sebelum menjawab pertanyaannya. Apakah tidak ada lagi penginapan yang buka di kota ini?"

"Ti-tidak ada, Tuan. Hanya di sinilah tempat yang tersisa. Dari lima kamar, ada empat yang kosong."

"Ini buruk. Bagaimana bisa aku membawa Tuan Putri ke tempat seperti ini? Sangat rawan."

Vin hanya manggut-manggut sambil menepuk lehernya; nyamuk mulai beterbangan mengelilinginya. Ia melihat Antonio berbalik, siap untuk keluar dari tempat itu.

"Bagaimana dengan usahamu, Paman Roberto?" Mira bertanya kembali. Intonasinya lembut.

"Buruk sekali, Putri. Biaya penginapan mereka (yang sudah membeli kamar) sudah habis dua hari lalu. Aku menggunakannya untuk makan selama dua kali. Kemarin dan seharian ini, aku belum mengisi perutku sama sekali ...."

Mira lantas meremas tangannya di atas dadanya. Ia begitu prihatin melihat kondisi rakyatnya. Tanpa pikir panjang, ia berkata dengan yakin, "Kami bertiga akan menginap di sini malam ini."

"Kau gila, Mira?" gerutu Vin, menepuk-nepuk lehernya, kini mulai menggaruk.

Antonio yang sudah berada di jalanan kembali lagi ke dalam setelah mendengar ucapan itu. "Mira, jangan bahayakan dirimu lagi."

Menanggapi tatapan Antonio dan Vin yang begitu mengintimidasi, Mira menjawab, "Memangnya ada masalah apa? Kita akan aman menginap di sini untuk semalam."

"Kalau kami mati, kami akan baik-baik saja. Tapi kau .... Jika sesuatu terjadi padamu, seluruh kerajaan akan gempar."

Mira terdiam sejenak di hadapan Antonio. Ucapan pria itu ada benarnya. Akan tetapi, harus bergerak ke mana lagi mereka? Segala pertaruhan yang telah dibuat oleh Antonio sama sekali tidak berhasil. Mereka benar-benar tidak beruntung karena pergi ke utara. Akan memakan waktu dua sampai tiga hari untuk bisa menyeberangi Sungai Henvers dan sampai di Kota Mestopora, yang kemungkinan besar akan lebih ramai karena dekat dengan Edinvers. Mau tidak mau, untuk saat ini, mereka harus menerima bahwa mereka akan bermalam di distrik kumuh itu.

"Pengamanan apa yang kaumiliki?" tanya Mira.

"Uh .... Saya hanya akan mengunci pintu depan."

"Lihat." Antonio sekali lagi memperingatkan Mira, "Terlalu berbahaya."

"Tenanglah. Semuanya akan baik-baik saja, Midas. Aku punya Vitae milikku. Mari kita lakukan eksperimen malam ini. Benda-benda apa saja yang bisa dibuat olehnya."

Vin membelalak tidak setuju. "Mungkin kau bisa membuat sebuah alat untuk memerangkap nyamuk-nyamuk ini, tapi bagaimana dengan para bandit? Kalau mereka tahu bahwa ada seseorang sesuci dirimu yang masuk ke dalam distrik ini, bisa-bisa aku dan Antonio dibunuh kemudian kau diculik."

"Vin, itu berlebihan." Antonio berbalik. "Baiklah, aku setuju denganmu, Mira. Hanya malam ini. Tapi kita tidak boleh lengah."

"Hei, pak tua! Bukannya kau tadi berpihak padaku? Tidakkah kau lihat bentol-bentol di leherku ini?"

Setelah berbicara dengan Roberto, Antonio mengantongi kunci kamar. Mira memberikan koin sejumlah 2.500 Von kepada pria itu (10 kali lipat harga biasa) kemudian berkata bahwa dia bisa menggunakan itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, serta sepotong roti untuk mengganjal perut. Antonio dan Mira langsung bergegas menuju kamar. Roberto menerima satu kantong penuh koin tersebut dengan mata berbinar-binar. Sesekali pandangannya terarah pada Vin disertai ucapan "Terima kasih banyak".

"Tempat seperti ini membuatku muak!" Vin mencangklong tasnya dan berjalan menuju kamar.

Roberto segera mengunci pintu utama, kemudian memadamkan lilin yang menerangi ruangan itu. Setelahnya, ia beranjak menuju kamarnya di lantai dua.

***

"Siapa kalian?!" teriak seorang orc bertubuh besar yang melihat Antonio sedang kesusahan membuka pintu kamar. Wajah pria itu kasar dan kusam, ucapannya sumbang, dan di tangannya terdapat botol bir. Dua orang dari dalam kamar segera menarik temannya yang sedang mabuk tersebut, tetapi tidak berhasil. "Manusia seperti kalian adalah makhluk paling hina di muka bumi! Enyahlah kalian manusia!"

Dua orang yang ada di belakang pria itu masih berusaha menariknya sambil menggumamkan "Maaf" berkali-kali pada Antonio, Vin, dan juga Mira. Antonio tidak menghiraukan ucapan pria orc tersebut, ia justru geleng-geleng kepala melihat kunci yang ia bawa tidak bisa berputar untuk membuka pintu kamar. "Sial!" ucapnya. Mira menatap dengan tenang dari balik tudungnya, sementara Vin menaikkan satu alisnya dan menggertakkan giginya, memasang wajah kecut.

Ketika pintu akhirnya terbuka, Antonio mundur. Ia mempersilakan Vin dan Mira masuk terlebih dahulu sekaligus merapikan barang bawaan mereka. Antonio menutup pintunya—masih ada celah sedikit—kemudian diam sambil menempelkan tubuhnya ke dinding menatap pria orc yang masih ditenangkan oleh kedua temannya tersebut.

"Apa masalahmu, orc?"

"Bajingan!" teriak pria orc tersebut. "Jangan bicara padaku seakan-akan kau tidak memiliki dosa pada rasku, dasar manusia!"

Antonio diam, menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya. "Aku tidak tahu apa yang sedang kaubicarakan."

"Ah! Kalian manusia memang semuanya berengsek!"

Terdengar ucapan kedua teman pria itu: "Maafkan kami. Maafkan kami." Sambil terus menarik tubuh pria itu yang besar dan tinggi.

"Aku bisa menghajarmu, tapi aku tidak ingin melakukannya. Aku menghormati rasmu dan aku menghormatimu. Kita tidak seharusnya bertengkar. Musuh kita sama."

Pria orc itu menggampar pipi Antonio dengan keras sampai Antonio tersentak saking terkejutnya. "Musuh dunia ini adalah para manusia. Kami, orc, adalah bangsa paling berpengaruh dalam sejarah. The Four Ladies dipimpin oleh wanita kehormatan kami, Lady Quinera. Dia adalah satu-satunya orang yang berhasil memperjuangkan ras kami dari belenggu manusia seperti kalian!"

Pintu kamar tertutup. Dapat diasumsikan bahwa Vin dan Mira mendengar perseteruan Antonio dengan pria itu. Di saat hinaan masih terus berlanjut, Antonio tetap memilih untuk sabar. Beberapa ucapan yang dilontarkan pria orc itu terlampau bodoh.

Antonio tahu bahwa The Four Ladies sejatinya diisi oleh dua manusia, satu orc, dan satu elf. Pemimpinnya adalah Lady Camelia, anak seorang petani, yang kemudian dikenal sebagai pendekar pedang manusia terkuat sepanjang masa. Lady Betalia, kekasih Lady Camelia, dikenal sebagai pendekar pedang yang mematikan karena kesendiriannya. Lady Quinera, sosok yang diagungkan sebagai ibu dari para orc, memperjuangkan persatuan semua ras, tidak eksklusif kepada orc saja. Dan terakhir, Lady Flodera, yang manifestasi jiwanya masih hidup hingga saat ini dalam bentuk relik kubus suci, turun ke masyarakat sampai tingkat yang paling bawah untuk dapat mengangkat derajat perempuan hingga menjadi seperti sekarang. Keempatnya berjuang bersama tidak hanya untuk melawan raja iblis dan pasukannya, tetapi juga membawa perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh dunia.

"Aku rasa kau harus pergi tidur, sobat," ucap Antonio. "Malam sudah larut dan turnamen ini masih akan terus berjalan selama beberapa hari ke depan."

"Oh, kau ikut dalam turnamen ini juga? Berapa jumlah koin yang sudah kaukumpulkan?"

"Nol. Aku santai saja. Perlombaan baru dimulai."

Pria orc itu tertawa keras setelah menenggak birnya. "Manusia benar-benar tidak berguna! Lihatlah kami! Tim kami sudah berhasil mengumpulkan dua koin suci. Salah satu di antaranya adalah koin berwarna merah!"

Antonio menoleh dengan cepat, tatapan matanya tiba-tiba berubah serius. Lagi-lagi, ia tetap memilih untuk sabar. "Timmu kuat juga, ya. Semoga kita bisa bersaing dengan sehat sampai fase keempat nanti." Antonio segera masuk ke kamar. Pria orc itu tidak henti-hentinya menceracau. Kedua orang temannya masih kesulitan untuk membawanya kembali ke dalam kamar. "Cih!" decak Antonio.

"Jangan terlalu dipikirkan, pak tua."

Vin sudah duduk bersila di atas ranjangnya, sementara Mira juga terduduk di atas ranjang satunya dengan kakinya yang masih bersentuhan dengan lantai. Antonio terlihat kesal dengan keadaan itu sebab ia tahu bahwa ia akan tidur di lantai lagi. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan olehnya adalah menerima itu.

"Mari kita lihat bagaimana kekuatan Vitae milikmu, Mira." Antonio duduk bersila di lantai, menatap sang putri.

***

Keesokan paginya, Amaryllis membereskan barang-barang mereka, termasuk dua kantong di mana yang satu berisi kristal sementara yang lain berisi kepala-kepala iblis yang sudah mulai mengerut dan membusuk. Setelah memakai jubah, penutup wajah, dan sepatu, mereka bertiga segera meninggalkan kamar, tidak lupa untuk mengunci pintunya.

Antonio yang berada di depan tampak bingung ketika melihat Roberto berdiri di depan sebuah pintu kamar bersama beberapa prajurit berzirah. "Ada apa ini?" Ia bertanya.

"Para orc! Kau kemarin berbicara dengan mereka, 'kan?" Wajah Roberto tampak panik.

Antonio mengangguk.

"Mereka menghilang."

"Apa maksudmu?"

"Mereka menghilang. Menghilang. Tiba-tiba tidak ada."

"Bagaimana itu bisa terjadi?" Antonio menerobos masuk ke kamar yang masih diinvestigasi oleh para prajurit, meninggalkan Vin dan Mira yang berada di luar bersama barang-barang bawaan mereka.

"Aku tidak tahu!" Roberto menimpali. "Pintu depan tidak terbuka. Tidak ada tanda-tanda pembobolan. Dan anehnya lagi, jendela dan pintu kamar mereka juga terkunci. Tidak mungkin ada orang luar yang masuk!"

"Mungkin mereka pergi dengan Vitae mereka?" Antonio menjawab asal.

"Tidak! Semua barang dan uang mereka masih ada di sini."

Mengetahui bahwa barang-barang para orc itu, mulai dari pakaian, senjata, uang, sampai persediaan makanan masih berjejer rapi di meja kamar, Antonio pun mulai mempertanyakan sesuatu di dalam benaknya: Kira-kira barang apa yang hilang? Hingga akhirnya Antonio menemukan satu titik terang di dalam kepalanya. Ia bertanya, "Apakah kalian menemukan koin suci di kamar ini? Satu berwarna emas dan satunya lagi berwarna merah."

Seluruh prajurit berzirah di kamar itu serempak menoleh ke arah Antonio dan melakukan satu gerakan yang entah mengapa bisa selaras meski pikiran dan otak mereka terpisah. Mereka menggeleng.

Di situlah Antonio mengerti, antara iblis tingkat atas atau seseorang dengan Vitae yang sangat kuatlah yang menjadi pelaku dari penculikan para orc. Satu titik di dalam kepalanya berhasil terhubung, menciptakan beberapa titik baru. Dan lama-kelamaan akan tiba masanya ketika titik-titik itu menghimpun barisan penuh garis yang jelas.

"Terima kasih atas informasinya." Antonio berbalik, mengajak Vin dan Mira keluar seakan tidak terjadi apa-apa. "Kita harus segera menemukan desa terdekat yang bisa membeli kepala-kepala iblis ini," ujarnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top