Chapter 13 - 999 Temples
Milos menembus semak belukar dengan kudanya. Sekujur tubuhnya basah kuyup, tetapi tangannya masih mantap menggenggam lentera. Matanya berusaha fokus, tetapi hujan yang begitu deras malam itu seakan-akan membutakan pandangannya. Milos tahu bahwa itu akan berbahaya bagi dirinya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk berhenti.
"Kau tak apa-apa, Irene?" Milos berbisik di telinga kudanya. "Diam di sini, aku akan pergi mencari gadis itu sendiri. Jalan di depan sana terlalu terjal."
Milos turun dan mengangkat kapaknya dengan tangan kirinya. Ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati untuk menuruni jalanan yang dipenuhi banyak sekali tanaman berduri tersebut. Hujan semakin deras dan ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda kehidupan selain pohon yang tidur di dalam dunianya sendiri.
"Mira! Di mana kau?" teriaknya. Dadanya naik-turun dan tubuhnya menggigil bermandikan air hujan. Angin kencang pada malam itu memperburuk situasi. Milos sama sekali tidak bisa menggunakan indranya untuk mencari. Sampai pada suatu momen di mana embusan angin yang kencang tadi menghilang, rombongan bayangan biru yang menyala dalam kegelapan terbang di hadapannya. Ketika mereka melayang, bunyi seperti tiupan angin dapat terdengar lirih, diiringi gesekan rantai, serta erangan pelan.
Milos tergelincir. Kepalanya membentur batang pohon, tetapi tubuhnya masih bisa bangkit dan cepat bereaksi dengan menggenggam kapaknya kuat-kuat. Iblis hantu, batinnya panik. Aku tidak akan bisa mengalahkan mereka. Aku tidak memiliki racun hantu untuk menangkalnya. Aku harus lari!
Bayangan-bayangan berwarna biru itu lantas mengejarnya dengan cepat. Milos berusaha memanjat, sayangnya sulur pohon yang ia genggam tidak mampu menahan berat badannya. Ia tergelincir sekali lagi, kali ini tubuhnya berguling-guling, kepalanya jatuh ke dalam genangan air.
Salah satu dari bayangan itu mengayunkan tebasan berat kepada Milos. Beruntung Milos dapat menghindar. Ia refleks mengayunkan kapaknya meski serangannya menembus bayangan itu. Ia segera berdiri dan berlari menjauh. Erangan dari bayangan-bayangan itu semakin kuat, dan semakin cepat pula mereka mengejarnya.
Milos mengerem kakinya, hampir tergelincir untuk ketiga kalinya. Di hadapannya terbentang jurang yang tingginya melebihi tinggi pohon jati. Milos berbalik dan berlari dengan menyilangkan tangan kirinya pada dadanya, menerobos gerombolan bayangan itu seperti sebuah ram yang menghancurkan dinding benteng.
Nahas, ia tidak sekuat yang ia pikir. Iblis hantu dapat menyentuh sesuatu tanpa takut diserang, sehingga kepala Milos digenggam oleh salah satu bayangan itu dan diangkatlah ia. Milos dipertontonkan mulut berbusa dan berasap bayangan itu, yang dari sana keluar belatung serta erangan keras.
Hampir tewas sebagai menu makan malam para iblis hantu, tiba-tiba saja kepala iblis yang mencengkeramnya itu terpenggal. Kepala bayangan itu berubah menjadi sebuah kristal kecil, menggantikan kepalanya yang transparan dan tidak dapat diserang oleh senjata biasa, kemudian jatuh ke tanah. Milos terjatuh dengan kesadaran penuh. Sehingga ketika kepalanya mendongak dan matanya berusaha mencari pedang siapa yang menolongnya, ia terkejut.
Mira?
Tebasan itu berasal dari sang putri mahkota. Pakaian gadis itu basah kuyup sehingga lekuk tubuhnya dapat terlihat, dan pakaiannya kotor terkena lumpur. Satu bayangan tumbang, tetapi Mira belum berhenti. Setelah mendaratkan kakinya, ia melompat, mengayunkan pedangnya yang menyala terang berwarna kuning dalam sebuah putaran, memenggal kepala beberapa bayangan yang menghampirinya. Kristal-kristal berhamburan.
Ia mendarat sekali lagi, lanjut berlari. Tebasan kuat dilayangkan dan satu kepala iblis tumbang; satu kristal jatuh. Masih ada sisa dua bayangan jauh di sana. Mira berhenti sejenak, mengatur napasnya. Wajahnya berantakan, tangan serta kakinya gemetar, dadanya kembang kempis menarik oksigen yang dalam dan berat. Dari tubuhnya keluar asap berwarna ungu yang kemudian menyelimutinya. Meski warnanya tersamarkan gelap dan air hujan, Milos dapat melihatnya dengan jelas: jin keluar dari punggung gadis itu.
"Nine Nine Nine Temples."
"Perintahmu, Nona?"
"Buat sebuah alat untuk menembakkan racun hantu kepada mereka. Aku sudah tidak kuat lagi." Mira ambruk setelah mengatakan itu.
Jin bertubuh gempal berwarna ungu itu diam dalam kebingungan. Matanya sempat mengerjap beberapa kali karena tubuhnya masih terhubung dengan tubuh tuannya, tetapi tuannya itu sudah tumbang. Tanpa pikir panjang, ia pun melakukan apa yang sudah seharusnya ia lakukan. "Baik, Nona Mira. Permintaanmu akan terhitung sebagai satu benda." Tidak lama kemudian, jin itu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, asap ungu dengan percikan-percikan emas keluar dari sana, yang lantas membentuk sebuah benda tabung dengan banyak lubang.
Benda itu menancap di tanah, dan mendadak keluar tembakan air berskala kecil dari lubang-lubangnya. Kedua bayangan yang diam menatap tubuh Mira dari kejauhan terkena tembakan dari benda tabung itu. Seketika, tubuh mereka terbakar, menyala kuning, kemudian melebur menjadi dua kristal kecil.
Jin tersebut masuk kembali ke dalam tubuh Mira yang sudah tidak sadarkan diri. Milos hanya terdiam melihat semua keajaiban itu terjadi di depan matanya.
Apa yang baru saja terjadi?
***
Hujan dan petir masih belum berhenti, tetapi Mira dapat dibawa pulang dengan selamat. Gadis itu duduk bersila di depan perapian, memeluk tubuhnya yang menggigil dengan handuk tebal. Di sampingnya terdapat secangkir teh panas.
"Jadi bagaimana ceritanya?" Antonio yang bertelanjang dada keluar dengan santai dari kamarnya mengenakan celana pendek, mengusap-usap rambutnya yang panjang menggunakan handuk.
Milos, masih mengenakan pakaiannya yang basah, menjawab, "Tanya saja pada gadis itu." sambil memajukan bibirnya menunjuk ke arah Mira yang giginya menimbulkan bunyi gemertak.
"Apa yang terjadi padamu, Mira?" tanya Antonio.
Mira tidak menjawab.
"Halo! Apakah ada yang bisa membawakanku sabun lagi? Yang dipakai oleh Antonio tadi sudah lenyap. Halo? Halo?" Vin berteriak dari bak mandi, tetapi tidak ada sesiapa yang menanggapinya.
Antonio, Mira, dan Milos duduk di ruang tengah di depan perapian.
"Gantung dulu pakaianmu, Milos," ujar Antonio.
"Nanti saja. Sekarang, mari kita dengar penjelasan gadis ini. Aku hampir mati karena mencarinya."
Mira masih bungkam, tubuhnya gemetar. Antonio pun menyahut, "Hangatkan dulu tubuhmu. Nanti kami akan bertanya kembali. Milos, cepat mandi!" Ia berdiri dan beranjak ke kursi sambil menghidu aroma tehnya.
Milos menatap Mira dalam-dalam, kemudian pergi ke kamar mandi. Vin menjerit terkejut, sempat terjadi selisih paham antara mereka berdua. Pada akhirnya, dua pria itu memutuskan untuk mandi bersama. Saling berbalik punggung, tentunya. Agak lama detik dalam jam berlalu hingga hujan sedikit mereda dan amukan petir tidak terdengar lagi. Vin keluar lebih dulu dari kamar mandi, langsung menuju kamar, sementara Milos kembali ke ruang tengah sudah dengan pakaian lengkap.
"Sekarang katakan pada kami, apa yang sebenarnya terjadi?" Milos duduk dan langsung menginterogasi Mira.
"Aku pergi berlatih sejak pagi buta. Menjelang sore, hujan turun, dan di saat itulah aku memutuskan untuk pulang." Mira menyesap tehnya. "Tapi aku terjebak di dalam hutan. Hingga matahari terbenam, aku terus mencari jalan keluar. Hujan semakin deras dan aku tidak bisa melihat apa-apa lagi karena aku tidak membawa obor. Aku berlari, terus berlari. Di tengah-tengah perjalananku, aku bertemu dengan beberapa iblis. Mereka iblis hantu yang berupa bayangan berwarna biru. Aku mundur dan berlari tunggang langgang karena aku tahu aku tidak bisa mengalahkan mereka tanpa racun hantu di pedangku."
"Lalu bagaimana kau bisa memenggal kepala mereka?"
"Ssshhh!" Antonio menegur Milos. "Bagaimana kelanjutannya?"
"Kau bisa lihat pakaianku robek dan tubuhku luka-luka," ungkap Mira sambil menunjuk pakaian basahnya yang ia gantung di dinding, lalu memperlihatkan lengan serta kakinya yang memar. "Ketika aku berjalan, aku tersandung sebuah batang pohon yang tertidur. Aku berusaha bangkit, tetapi sadar bahwa ada sesuatu yang mengganjal sepatu botku. Betapa terkejutnya aku ketika aku sadar bahwa sesuatu yang mengganjal sepatuku adalah sebuah koin. Koin suci berwarna merah."
Antonio dan Milos terdiam. Vin tiba-tiba keluar dari kamar sambil menyergah Mira dengan sebuah pertanyaan tajam. "Koin merah?"
Mira mengangguk.
"Lalu, koinnya masuk ke dalam tubuhmu?"
"Nah, jadi begini. Pada awalnya, karena aku tidak tahu, aku terus saja berlari sambil menggenggam koin itu di tanganku. Aku baru sadar bahwa koin itu sudah hilang ketika ada rasa gatal di punggungku, seakan-akan ada ulat bulu yang masuk ke dalam pakaianku. Aku mencoba menggaruknya, tetapi rasa gatal itu hilang begitu saja. Seketika itu juga, sebuah jin muncul dari punggungku dan langsung memberikan aku pertanyaan, 'Perintahmu, Nona?'
"Aku sempat berteriak histeris karena aku pikir jin itu adalah iblis lain yang datang untuk membunuhku. Tapi, aku teringat dengan kisah koin suci. Pada saat itu juga aku yakin bahwa diriku ini telah mendapatkan anugerah Vitae dari koin suci. Koin suci berwarna merah itu telah masuk ke dalam tubuhku."
Milos menoleh kepada Antonio dan Vin, "Apa maksudnya itu?"
"Koin suci berwarna emas adalah koin yang dapat memberikan kekuatan Vitae normal, sedangkan koin suci berwarna merah ... adalah koin yang dapat memberikan kekuatan Vitae langka. Benar begitu, Vin?"
Vin mengangguk tegas. "Jadi selama ini iblis-iblis di luar sana, termasuk iblis tingkat atas, menyerang desa ini bukan sekadar untuk membunuh orang-orangnya saja, tetapi juga untuk mencari koin suci berwarna merah itu. Mereka mencari Vitae yang ada di dalam tubuhmu, Mira."
"Kenapa?" Mira bertanya.
"Itu karena Vitae milikmu adalah Vitae langka, dan para iblis merasa terancam olehnya. Sehingga mereka ingin mengumpulkan koin-koin suci berwarna merah yang berpotensi menghadirkan Vitae-Vitae luar biasa agar tidak jatuh ke tangan penghuni bumi."
"Masuk akal," Mira bicara kembali, "sepertinya itulah alasan kenapa ada banyak sekali iblis yang mengejarku sejak sore tadi. Fuh, itu gila sekali. Ada banyak kepala yang berhasil aku penggal." Mira menoleh ke arah karung besar yang berisi puluhan kristal kecil (kepala) iblis hantu yang ia lawan tadi. "Aku menamai Vitae milikku, yang berupa jin, Nine Nine Nine Temples. Sebab dia bilang, dia dapat membuat benda apa pun berdasarkan imajinasiku dengan batas maksimal 999 barang seumur hidupku pada waktu malam saja. Dan aku bisa mengalahkan iblis hantu itu karena aku meminta bantuan Nine Nine Nine Temples untuk membuatkan aku sepuluh botol penuh berisi racun hantu, sehingga pedangku bisa menyala terang di dalam gelap dan menebas kepala mereka semua," lanjutnya.
"Wah, keren!" Mata Vin berbinar-binar. Otaknya yang sedikit korslet akibat air hujan tidak mengantarkannya pada ruang antisentuhan. Syukur.
"Kenapa kau membahayakan dirimu sendiri? Kau adalah putri Raja William. Keselamatanmu adalah tanggung jawabku dan jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, aku pulalah yang harus menerima hukuman dari raja."
Mira membelalak panik. "Midas! Identitasku!"
"Oh, tidak masalah. Aku sudah tahu sejak awal kalau kau adalah putri Raja William."
"Hm?" Mira menatap Milos dalam-dalam. "Bagaimana bisa?"
"Maksudku ..., kau cukup merakyat dan namamu sering disebut oleh peradaban Utara."
Di tengah malam itu, ketika hujan benar-benar berhenti, isi cangkir teh mereka tandas. Tubuh mereka yang berlinang air hujan sudah dihangatkan oleh bara api. Setelah percakapan yang cukup panjang menceritakan alasan mengapa Mira berlatih dari pagi hingga malam dan terjebak di hutan, waktu istirahat pun tiba.
Antonio memutuskan bahwa besok Amaryllis harus kembali ke Kota Edinvers sebab periode fase pertama turnamen tersisa delapan hari lagi. Mereka tidak boleh terlambat kembali ke kota untuk melaporkan progres buruan mereka atau mereka akan didenda. Namun, sebelum itu, mereka akan mampir ke Kota Maghenberg terlebih dahulu untuk menjual kepala-kepala iblis yang tempo hari mereka dapatkan setelah pertarungan di hutan belantara di barat Sungai Henvers, serta menjual kristal-kristal kecil (kepala) iblis hantu yang berhasil didapatkan Mira seorang diri. Sangat disayangkan, sejauh ini Amaryllis belum dapat mengumpulkan satu pun koin suci (karena satu-satunya koin suci yang ditemukan telah masuk ke dalam tubuh Mira sehingga tidak terhitung sebagai poin).
"Aku tidur di ranjang, ya, pak tua. Malam ini kau tidur di lantai. Gantian."
Vin masuk mendahului Antonio, sementara Milos mengambil kunci dan segera pergi dari rumah itu untuk kembali ke rumahnya. Mira berjalan menuju kamarnya sembari menenteng karung berisi kristal itu dan Antonio menghentikannya.
"Mira, lain kali jangan bahayakan dirimu lagi."
"Aku hanya menuruti kata-katamu."
"Memangnya apa yang aku katakan?"
"'Tapi kau masih harus banyak berlatih, Putri'," ujar Mira, persis seperti apa yang dikatakan oleh Antonio setelah pertarungan di hutan belantara itu.
Antonio menatap Mira dengan sayu, kemudian mengusap kepala gadis itu perlahan-lahan. "Untuk selanjutnya jangan pergi tanpa izin dariku."
"Tidak sopan. Aku ini seorang putri kerajaan."
"Dan aku yakin, kau tidak akan keberatan kalau aku mengusap kepalamu."
"Kau ... jauh lebih perhatian dibandingkan ayahku." Mira menunduk dan mengeratkan genggaman tangannya.
Hening. Lidah Antonio menjadi kelu. Jantungnya seakan-akan berhenti berdetak. Dingin menyeruak di dadanya. "Aku senang ... mendengarnya darimu," ungkapnya terbata-bata.
"Ada apa? Kalau kau mau menangis, menangislah."
"Kenapa aku harus menangis?"
Mira terkekeh. "Kau bilang, aku mengingatkanmu pada putrimu?"
"Itu bukan alasan bagiku untuk menangis. Aku sudah terlalu sering menghabiskan masa hidupku untuk menderita. Jatah menangisku sudah habis." Antonio melepaskan telapak tangannya dari kepala Mira, lalu masuk ke kamar. "Selamat malam." Pintunya tertutup.
Mira terdiam di sana, tangannya masih menenteng karung besar itu. Ia tersenyum simpul, menatap pintu kayu yang sudah reyot, lantas berjalan menuju kamarnya untuk beristirahat demi melanjutkan perjalanan di esok hari.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top