Chapter 11 - Perihal Jawaban
"Kau meninggalkan mereka berdua."
Antonio seketika terdiam. Matanya membelalak menatap Paman Jenkins. Tak pernah pria itu begitu serius mengucapkan kalimatnya.
"Katakan padaku, apa benar kau meninggalkan mereka berdua?"
"Tidak," bibir Antonio bergetar, "memangnya laki-laki seperti apa diriku ini sampai harus meninggalkan istri dan putriku?"
"Syukurlah. Kau masih punya kehidupan yang panjang."
Antonio kembali diam.
"Aku harap istri dan putrimu masih hidup di luar sana, menjalani hari-hari mereka dengan bantuan tangan Tuhan, agar suatu hari nanti mereka dapat bertemu denganmu kembali."
"Semoga," tambah Antonio.
Paman Jenkins membetulkan, "Amin .... Itu yang diucapkan orang-orang bertuhan untuk merespons doa."
Antonio memasang tatapan mata teduh, mengiyakan ucapan pria itu, "Amin."
"Tapi jangan sampai kau menelantarkan mereka, atau karma akan membunuhmu dalam derita."
"Itu kata-kata Harold Shakespeare, bukan?" celetuk Antonio. "Berbuat baiklah kepada sesama, atau karma akan membunuhmu dalam derita."
Paman Jenkins mengangguk sambil tersenyum. "Aku percaya bahwa kau adalah pria yang cerdas dan rasional, Antonio. Kau tak akan pernah berbuat jahat pada sesama."
Jauh di dalam, Antonio berusaha menjaga jantungnya agar tidak meledak. Percakapan di bawah malam berbintang itu seperti sentuhan peringatan dari Tuhan yang berperantara Paman Jenkins. Kini Antonio terjebak di dalam ketakutannya sendiri. Jika suatu hari karma datang padanya, apakah itu karena ia menelantarkan atau karena ia tidak berbuat baik kepada sesama? Atau bahkan keduanya, sehingga Tuhan benar-benar murka padanya?
Di dalam hatinya Antonio berkata, Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku, seraya mengingat enam manusia yang pernah dibunuh olehnya beserta istri dan putrinya yang ia bunuh secara tidak langsung, ditutup dengan Amin.
***
Antonio terbaring di ranjang; Vin menulis di atas meja ditemani lentera remang-remang.
"Kau belum tidur juga, pak tua?"
"Kata-kata di dalam kepalaku masih bergerak dengan bebas."
"Ada apa gerangan?"
"Aku berpikir, bagaimana caranya kita menukarkan kepala-kepala iblis yang sudah kita dapatkan itu? Mereka sepertinya mulai membusuk."
Vin berdecak, "Cih, jangan bohong padaku. Bukan itu yang kaupikirkan di dalam kepalamu, 'kan? Kota Maghenberg tidak jauh dari sini. Akan mudah bagi kita menemukan markas guild Hunter untuk menjual kepala-kepala itu dan mengklaim poin kita. Katakan saja padaku, apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu saat ini."
"Kau tidak mungkin mendengarku." Antonio menyerongkan tubuhnya menatap tembok. "Kau pasti akan terus sibuk dengan tulisanmu."
Vin melipat buku jurnalnya, membersihkan ujung pena bulunya, menutup botol tintanya rapat-rapat, dan memadamkan api di dalam lentera. "Aku sudah selesai. Sekarang bicaralah." Ia beringsut menuju ranjang Antonio dan duduk di sebelahnya.
Antonio diam barang sebentar. "Akankah Tuhan mengampuniku?"
"Mengampuni dalam hal apa?"
"Semuanya. Semua dosa yang telah kulakukan."
"Aku tidak tahu." Vin meregangkan kedua tangannya. "Aku bukan Tuhan. Tapi yang aku yakini, setiap tulisan akan menemukan pembacanya."
"Jangan mulai berkata omong kosong lagi, Vin."
"Loh, tidak. Aku sungguhan. Semua hal yang terjadi di dalam kepalamu itu adalah kumpulan kata yang membentuk klausa tanya. Apakah, akankah, bagaimana, dan tanya-tanya seterusnya."
"Lantas apa hubungannya dengan ampunan Tuhan yang aku bicarakan tadi?"
Vin tersenyum. "Sebagaimana setiap hitam akan bertemu putih, setiap siang akan bertemu malam, dan setiap pertanyaan akan bertemu jawabannya. Kau akan menemukan penyudah kebingunganmu itu suatu hari nanti. Jangan berhenti melangkah, aku akan selalu berada di sisimu untuk mencari itu semua. Mencari istri dan putrimu? Akan kubantu. Mencari ampunan Tuhan? Akan kucarikan jalannya. Mencari kekayaan? Sudah kusodorkan surat pengumuman turnamen ini padamu siang itu. Pelan-pelan tapi pasti, Antonio, semua hal akan bertemu dengan pasangannya."
"Lalu bagaimana kalau pada akhirnya semua itu tidak bertemu dengan siapa-siapa?" Antonio bertanya, penuh penyangkalan.
"Jika tidak hari ini, maka esok." Vin melanjutkan, "Jika tidak esok, maka lusa. Semua kebingunganmu akan enyah begitu saja suatu hari nanti. Sebagaimana setiap tulisan akan menemukan pembacanya, setiap dosa akan menemukan ampunannya."
"Ratusan tulisan di rumahmu itu, mereka belum menemukan pembacanya." Antonio berusaha memecah percakapan serius itu dengan sedikit intermeso. "Bagaimana?" tanyanya.
Vin tersenyum remeh. "Maka kau akan menjadi pembaca pertamanya!"
"Sialan!" Antonio menimpuk wajah Vin dengan bantalnya yang kasar. "Aku takkan pernah membaca tulisan dari penyair amatir sepertimu."
Malam itu tawa mereka berdua dapat terdengar sampai rumah sebelah.
***
Para iblis sedang tertidur, atau mungkin belum menjamah sekitar kawasan Desa Jonova lagi. Pagi-pagi buta Antonio berjalan ke ladang bersama Milos. Pria berusia 34 tahun itu kehilangan tangan kanannya akibat pertempuran melawan Ghost Riders ketika purnama Desember lalu. Ia berkata bahwa hidupnya sekarang telah berubah—hancur—menjadi remahan yang tidak ada artinya lagi. Kehilangan ayahnya, kehilangan teman-temannya. Milos kini menjadi satu-satunya pemburu iblis di desanya. Dan kehilangan tangan, bagian tubuh paling berharga dari seorang Hunter, merupakan mimpi buruk yang menghapus semua angannya.
"Aku memutuskan target menikah pada saat kau hampir pergi meninggalkan desa ini," ujar Milos. "Malam natal tahun 1503. Tapi ketika purnama itu terjadi, semua mimpiku hilang begitu saja. Kekasihku, Merlina, tewas. Ayahku, Emerald Jenkins, tewas. Karlen tewas. Fox tewas. Semuanya. Hanya tersisa ibuku, serta beberapa warga desa yang lain."
"Ibumu sudah mulai pikun," tukas Antonio, "saking pikunnya, dia terkadang melupakan kejadian mengerikan yang menghilangkan setengah penduduk desa ini. Aku bisa melihatnya dari ucapan serta tatapannya."
"Kau benar. Bahkan terkadang dia lupa bahwa aku adalah anaknya. Yang dia ingat hanya suaminya, Emerald Jenkins, yang tewas karena kepalanya dipenggal ketika berusaha melindunginya dari serangan raja Ghost Riders."
Antonio menutup mulutnya rapat-rapat dan memalingkan pandangannya. Raja Ghost Riders. Ia tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya kondisi Desa Jonova ketika serangan itu terjadi. Jika ditinjau pun, serangan itu terjadi belum lama ini, tetapi dampaknya seperti sebuah luka yang sudah menganga selama bertahun-tahun. "Omong-omong," Antonio masuk kembali, "kau tidak jadi merealisasikan rencanamu untuk memanggil Ghost Riders, bukan? Itu terlalu berbahaya."
"Syukurlah kau datang kemari, Antonio. Kalau bukan karena bujuk rayumu, mungkin aku akan tetap memanggil Ghost Riders menggunakan ritual penumbalan itu dan mengantarkan desa ini pada kehancurannya."
"Justru menurutku, daripada kau memanggil Ghost Riders, kita harus mencari apa yang sebenarnya dicari oleh Ghost Riders."
Milos kebingungan. "Seperti relik bersejarah atau koin suci?"
"Tepat sekali." Antonio menjentikkan jarinya.
"Tapi apa? Kau sudah tahu 'kan kalau desa ini adalah desa yang bersih. Tidak ada benda-benda seperti itu di sekitar sini."
"Kita tidak akan tahu kalau tidak mencarinya. Bisa saja ada binatang atau iblis yang tidak sengaja menjatuhkan barang-barang itu ketika melintasi desa ini. Coba nanti malam kita berdiskusi soal itu, bersama dengan Vin dan Mira."
Belum sempat melanjutkan perbincangan, kaki mereka sudah menabrak pagar ladang. Dari kejauhan Bibi Jenkins melambai-lambaikan tangannya dan tersenyum menatap dua pria yang tampak buram di matanya itu. "Kemari, uh ... siapa, ya? Kemari!" teriaknya dengan suara soak.
Antonio terkekeh. "Kalau saja berkebun dihitung poin, mungkin timku akan menjuarai turnamen ini dengan mudah."
"Ah, tidak usah merendah. Hunter sepertimu tidak akan kesulitan memenangkan turnamen ini."
"Kau sendiri, kenapa kau tidak ikut dalam turnamen ini, Milos? Kau masih bisa menggunakan tangan kirimu, bukan?"
Milos terdiam sejenak, menatap tangan kanannya yang habis. "Ayahku bilang, tujuan utama seorang Hunter mestinya bukan untuk mencari uang, tetapi untuk melindungi orang-orang lemah dari para iblis. Tidak ada gunanya bagiku mengikuti turnamen ini kalau pada akhirnya aku tak bisa melindungi warga desa."
Matahari menyingsing. Antonio mulai menggali tanah dan menanam biji semangka. Butiran keringat jatuh dikulum pakaiannya, sampai basah, barulah Vin datang dengan tergesa-gesa sambil mengangkat cangkul di pundaknya.
"Maaf, aku terlambat!"
"Sudah, sudah ...." Bibi Jenkins menepuk pundak penyair muda itu. "Bantu Allegro di sana. Tanam biji-bijinya, jangan saling berdekatan, karena nanti tidak akan tumbuh dengan sempurna."
Vin mengangguk-angguk, masih terengah-engah, kemudian disambar oleh Antonio, "Di mana Mira?"
"Uh, itu .... Aku tidak melihat kuda dan juga pedangnya."
Mengusap keringatnya; Antonio membenamkan satu biji ke dalam tanah. Ia berhenti sejenak. Apakah dia berlatih sendiri? Karena ucapanku malam itu? Besar juga tekadnya. Ia tampak tak percaya dengan semangat putri kerajaan itu. Mira sungguh ingin menjadi Hunter yang kuat untuk membuktikan diri kepada ayahnya.
***
Perihal Jawaban
Setiap tulisan akan menemukan pembacanya.
Sebagaimana setiap hitam akan bertemu putih,
setiap siang akan bertemu malam, dan
setiap pertanyaan akan bertemu jawabannya.
"Pertanyaan, tak usah khawatir.
Kau akan menemukan jawabanmu.
Jika tidak hari ini, maka esok.
Jika tidak esok, maka lusa."
—VIN, 1501
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top