08 | The Goblet of Fire

Aku berjalan santai melewati koridor yang sangat sepi, bahkan kosong, menuju ruang Piala Api. Rasanya sungguh menenangkan dan menyenangkan, aku menghela napas gembira dan mengukir senyum lebar karena sudah lama tidak merasakan atmosfer seperti ini.

Samar-samar aku bisa mendengar langkah kaki seseorang yang berjalan searah denganku. Karena penasaran, aku memutuskan untuk menoleh, namun hasilnya malah tudung jubah yang kupakai ditarik menutupi kepalaku.

Aku mengkerut kesal, lalu menurunkannya. Rambutku jadi berantakan karenanya!

"Sepenasaran itu kau sampai harus menoleh ke belakang segala?" cemooh Draco.

"Kukira semua orang sudah berkumpul di sana." jawabku seadanya.

Kami berdua berjalan bersama menuju ruangan Piala Api disimpan. Aku mengeluarkan tongkat sihirku, dan mulai membentuk payung di ujungnya karena harus menerobos hujan deras untuk ke sana.

"Kau tak ikut?" tanyaku pada Draco yang hanya berdiri diam.

"Butuh payung?" tawarku kemudian.

Aku akhirnya memperlebar payungku, dan mendekat ke arahnya. "Kau tak keberatan kan?" tanyaku hati-hati karena ia masih bergeming.

"Ai, menjauhlah." Ia tiba-tiba berlari menerobos hujan.

"Oh ... ini sedikit menyakitkan." monologku menerima penolakannya.

Aku mengendikkan bahuku acuh tak acuh kemudian melangkah maju dengan payungku.

Aku membuka pintu masuk dan hampir semua orang---oh, ralat. Semua orang melihat ke arahku diiringi bisikan-bisikan yang kuyakini sedang membahas banyak hal, sangat banyak.

Aku terus mengambil langkah, berusaha untuk tidak memedulikannya dan duduk di samping Hermione yang lagi-lagi sibuk dengan buku bacaannya.

"Kau bercanda."

"Tidak, Profesor Moody menyebutkan marga Dumbledore saat di kelas tadi."

"Ini gila!"

"Pelankan suaramu, bodoh."

Aku memutar bola mataku malas mendengar dialog mereka yang duduk tepat di belakangku.

"Kalau begitu, tidak heran jika ia dan adiknya berhasil menciptakan mantra."

"Adiknya? Kau tahu dari mana?"

"Banyak yang membicarakannya, terutama di asrama Hufflepuff. Ketenaran mereka berdua sepertinya bisa menyaingi Harry Potter."

"Woah, aku setuj---"

Percakapan keduanya terpotong karena Hermione memberikan tatapan garang. Mungkin merasa aktivitas membacanya terganggu karena suara bisikan mereka yang tidak bisa dibilang pelan.

Beberapa menit berselang, dan sudah banyak orang yang memasukkan kertas ke dalam Piala Api tersebut.

Aku hanya duduk diam menatap setiap orang yang berlalu lalang. Bahkan beberapa kali membuat kontak mata dengan mereka yang sibuk membicarakanku alih-alih membicarakan soal siapa yang akan terpilih menjadi juara.

Keadaan berubah sedikit lebih ramai ketika Cedric dan kawan-kawan datang. Mereka mendorongnya maju, dan ia melemparkan tawa malu juga bangga. Aku memutuskan untuk memperhatikannya, sedangkan Hermione hanya sesekali melirik kemudian kembali membaca.

Begitu Cedric memasukkan namanya, ia menoleh ke arahku kemudian tersenyum manis. Aku langsung membalasnya dengan senang, berharap jika ia terpilih mengikuti turnamen ini.

Hermione menyikutku pelan, kemudian menaik turunkan alisnya. Aku hanya memutar bola mataku, "Hanya teman." ujarku malas.

Hermione tersenyum geli, dan aku bertaruh jika ia tidak memercayaiku sepenuhnya.

"Ia dan Diggory, pasti berkencan."

Aku mengembuskan napas kasar, lagi-lagi harus mendengar omong kosong mereka. Tak apalah, aku juga penasaran dengan rumor apa saja yang beredar tenang diriku.

"Eh? Kukira ia berkencan dengan Malfoy."

Draco?

"Benarkah? Kukira mereka bermusuhan."

"Tidak, tidak, mereka sepertinya cukup dekat untuk ukuran musuh."

"Pangeran Hufflepuff dan Pangeran Slytherin, huh?" goda Hermione dari sampingku.

"Oh, demi Merlin."

"Menjauhlah dari Malfoy, Lyra. Kau tahu seburuk apa dirinya." peringat Hermione membuatku merasa sedikit janggal.

"Ya, kau tahu aku tidak pernah menoleransi perundung, penindas, dan semacamnya." balasku pelan.

Kami berdua menoleh ketika sorak sorai terdengar begitu Fred dan George masuk ke dalam. Mereka memamerkan ramuan penua yang akan mereka gunakan untuk melintasi garis usia yang dibuat oleh Dumbledore.

[1] "It's not going to work." komentar Hermione dengan nada khasnya.

[2] Fred dan George menghampiri kami berdua, "Oh, yeah?" tanya Fred.

[3] "Why's that, Granger?" tanya George kali ini.

[4] Hermione menutup bukunya. "You see this?" tanyanya retoris sambil menunjuk dan memutar jarinya mengelilingi Piala Api itu.

[5] "This is an age line. Dumbledore drew it himself."

[6] "So?" tanya Fred.

[7] "So! A genius like Dumbledore couldn't possibly be fooled by a dodge as pathetically dim witted as an ageing potion." jawab Hermione menggebu-gebu, persis seperti ketika ia menjelaskan soal kakekku ke Ginny waktu itu.

[8] "Ah, but that's why it's so brilliant!" seru Fred bangga.

[9] "Because it's so pathetically dim witted." imbuh George membuatku tertawa lucu.

Keduanya kemudian meminum ramuan tersebut dengan tangan menyilang satu sama lain.

Begitu selesai, mereka melompat masuk ke dalam lingkaran tersebut, dan bersorak bahagia ketika Piala Api itu tidak menunjukkan reaksi apapun.

Mereka kemudian memasukkan kertas yang bertuliskan nama mereka ke dalam api biru itu. Lagi-lagi bersorak dan bertepuk tangan karena tidak ada reaksi apapun.

Namun tiba-tiba Piala Api tersebut mengamuk melemparkan percikan api yang mengenai keduanya. Mendorong Fred dan George keluar dari lingkaran, dengan rambut yang mulai memanjang dan memutih. Keduanya saling menuduh kemudian mulai bertengkar di atas lantai, mengundang gelak tawa yang lainnya termasuk aku. Berbeda dengan Hermione yang terlihat tidak peduli dan memutuskan untuk kembali membaca bukunya.

"Itu Krum."

Sesaat setelah itu, suara-suara yang menggema perlahan menghilang. Perhatian mereka beralih ke Krum yang datang untuk memasukan namanya.

Aku melihatnya tersenyum tipis ke arah Hermione, dan Hermione juga membalasnya!

"Oh, sepertinya ada yang menarik." celetukku begitu mereka pergi.

"Ai, sudahlah."

"Tapi jujur saja, aku tidak begitu menyukainya." ungkapku pelan.

"Kenapa begitu?" tanya Hermione terlihat sedikit tertarik.

"Ya, kau lihat teknik yang digunakannya di Piala Dunia Quidditch kemarin kan? Itu mengerikan, belum lagi dengan asal sekolahnya." jelasku.

Di pertandingan Quidditch kemarin, Krum menggunakan teknik menukik---aku lupa namanya apa---dan mengecoh lawannya Aidan Lynch, sehingga Seeker itu menghantam lapangan dengan sangat kuat, tidak hanya sekali, tapi dua kali!

Itu mengerikan sekali jika diingat.

Lalu, soal sekolahnya Durmstrang yang alih-alih mempertahankan diri dari Ilmu Hitam, mereka justru mempelajarinya.

Seram? Menurutku, iya.

Hermione mengangguk mengerti. "Ya, terlepas dari itu semua, banyak yang menyukainya."

"Kalau itu, aku pun tidak bisa menyangkalnya."

--

"Silahkan duduk, semuanya!"

Suasana yang awalnya ricuh dan berantakan, perlahan mulai lebih teratur dan tenang. Aku memilih tempat duduk bersebelahan dengan Hermione, berhubung aku datang dengannya tadi.

"Sekarang, momen yang selama ini ditunggu-tunggu. Pemilihan juara." buka Dumbledore lantang dengan penuh wibawa.

Piala Api yang terletak di tengah ruangan itu merubah warnanya menjadi merah, dan mengeluarkan secarik kertas yang langsung ditangkap oleh Dumbledore.

"Juara dari Durmstrang adalah ... Viktor Krum!" ujarnya lantang. Krum menghampiri Dumbledore, dan mereka berjabat tangan sebelum akhirnya Krum berlalu.

Sebuah kertas lagi-lagi keluar dengan bentuk yang sedikit lebih unik. "Juara dari Beauxbatons adalah ... Fleur Dealcour!"

Kali ini perkamen terakhir keluar dari sana. "Juara dari Hogwarts ... Cedric Diggory!"

Semua orang bertepuk tangan menyemangati Cedric yang sedang tersenyum bangga. Ia lagi-lagi menoleh ke arahku, dan kali ini aku membalasnya dengan senyum lebar sambil terus bertepuk tangan.

"Bagus! Kita telah memiliki tiga juara! Namun diakhir, hanya satu yang akan mencatat sejarah. Hanya satu orang yang akan mengangkat piala bagi sang juara, dan posisi kemenangan di ...."

"The Triwizard Cup!" Dumbledore menunjuk ke arah sebuah piala dengan cahaya biru bersinar dan ukiran-ukiran unik di besi yang mengelilinginya.

Semua orang mulai bersuara kagum. Namun, itu tidak bertahan lama ketika Piala Api kembali merubah warnanya menjadi merah dan melemparkan percikan api.

Dumbledore perlahan mendekatinya dengan was-was, ketika dua kertas keluar dari sana.

"Harry Potter dan Lyra Alycone." ujarnya tanpa bisa menutupi ekspresi terkejutnya.

Sama halnya dengan aku dan Harry yang saat ini diam membeku. Telingaku berdengung, perasaan aneh menerobos masuk.

Profesor McGonagall dan Profesor Sprout saling melempar pandangan, namun Profesor McGonagall lebih dulu bergerak maju menghampiri Dumbledore. Keduanya terlibat percakapan kecil nan serius, sebelum akhirnya Dumbledore kembali berujar dengan lembut. "Harry Potter dan Lyra Alycone, kemarilah."

Hermione menarik aku dan Harry dari tempat duduk, dan mendorong kami berdua maju. Aku bahkan hampir jatuh karena sulit menjaga keseimbangan tubuhku. Aku menatap Hermione takut dan cemas, napasku semakin memburu ketika menerima tatapan yang sama darinya.

Aku berjalan di samping Harry, mencubit seragamnya selagi tatapan menghakimi mereka menusuk ke arah kami.

[10] "They cheated! They're not even seventeen yet!" seru sebuah suara.

Aku menggigit bibir bawahku cemas, takut, gugup, dan semuanya! Mereka semua sibuk bercampur aduk, membuat perutku sakit dan mual.

Begitu kami berdua berjalan menuruni tangga, aku menatap Harry. "Bukankah ini tidak masuk akal?" tanyaku dengan nada sedikit bergetar.

"Sangat." balas Harry.

"Apa yang terjadi?" tanyaku lagi.

"Entahlah." jawabnya singkat.

Kami berdua masuk ke sebuah ruangan yang penuh dengan piala. Ketiga juara lainnya menoleh ke arah kami, memandang dengan tatapan bingung.

Aku kembali menggigit bibir bawahku, perutku masih sakit karena terlalu gugup.

Cedric perlahan menghampiri kami berdua. "Apa yang kalian lakukan di sini?"

Aku menggeleng pelan sebagai jawaban.

Perdebatan dari kejauhan mengalihkan seluruh perhatian.

"Tidak ada kesepakatan yang menyatakan bahwa Hogwarts memiliki tiga juara, Dumbledore!" seru Madam Maxime tidak terima.

"Aku ingin mendaftarkan murid-muridku lagi, kalau begitu!" imbuh Tuan Karkaroff dengan nada dan tatapan sinis.

Dumbledore menghampiri kami berdua perlahan. "Apakah kalian menaruh nama kalian ke dalam Piala Api?" tanyanya lembut dan tenang.

[11] "No, Sir." jawab Harry, sedangkan aku hanya mampu menggeleng pelan dengan kepala sedikit tertunduk.

"Apakah kalian menyuruh anak yang lebih tua untuk melakukannya?" tanya Dumbledore lagi, Harry menjawab dan aku menggeleng.

"Ah! Mereka berdua pasti berbohong!" seru Madam Maxime.

[12] "Tidak mungkin! Piala Api adalah benda sihir yang kuat dan sakral, dibutuhkan mantra Confundus yang kuat untuk menipunya. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan oleh seorang murid, apalagi dari tahun keempat." bela Profesor Moody.

"Ini sudah direncanakan." imbuh Profesor Moody dingin.

Aku dan Harry menatapnya tidak mengerti. "Turnamen ini berhasil membunuh separuh juara yang ada, jika nama mereka berdua masuk ke dalamnya. Maka seseorang menginginkan mereka terbunuh dalam turnamen ini."

"Sepertinya kau sudah memikirkan ini matang-matang, Mad-Eye." sinis Tuan Karkaroff.

"Sudah menjadi tugasku untuk berpikir dengan cara para penyihir gelap, apakah kau melupakan itu?" balas Profesor Moody tidak mau kalah.

Dumbledore melerai mereka, menyuruh Profesor Moody diam, kemudian menyerahkan keputusannya pada Tuan Crouch.

"Sesuai dengan pilihan Piala Api, Tuan Potter dan Nona Alycone, harus ikut serta dalam turnamen ini." jelasnya sambil menatap ke arah kami.

Jantungku kali ini bukan jatuh ke perut, melainkan hilang dari tempatnya selagi tatapan mereka menghujam dengan berbagai arti terpancar dari sana.

Dumbledore menarik perhatian kami semua, dan menyuruh Tuan Crouch untuk memberitahu kami soal tugas pertama.

Setelahnya, Madam Maxime dan Delacour berlalu pergi sambil berbicara cepat dalam bahasa Perancis, sedangkan Tuan Karkaroff dan Krum berlalu tanpa sepatah kata.

"Lyra, Harry, Cedric, kusarankan kalian kembali ke asrama masing-masing." ujar Dumbledore menarik atensi kami.

"Hufflepuff dan Gryffindor tentu ingin merayakan kesenangan ini bersama kalian." imbuhnya sambil tersenyum hangat.

Aku menghela napas kemudian berbalik pergi lebih dulu. Keduanya berhasil menyusulku dalam waktu singkat, dan kami berjalan melewati Aula Besar yang kosong.

Cedric adalah orang pertama yang memecah keheningan dan bertanya. "Jadi beritahu aku ... bagaimana cara kalian melakukannya?"

"Tidak, kami tidak melakukannya." jawab Harry tegas.

"Sungguh, kami tidak berbohong." imbuhnya kemudian, karena menerima tatapan tidak percaya dari Cedric.

Aku langsung mempercepat langkahku, meninggalkan keduanya di belakang sana, karena kali ini aku benar-benar ingin menangis saja.

Maksudku, semuanya entah kenapa berubah kacau tahun ini. Pertama, masalah mantra itu dan identitasku sebagai cicit Dumbledore yang terungkap, lalu semua orang terus menatapku ke manapun aku pergi dan di manapun aku berada, belum lagi dengan rumor-rumor yang menyebar soal hubunganku dengan kedua Pangeran Hufflepuff dan Slytherin.

Kali ini, namaku malah keluar dari Piala Api tanpa keterangan yang jelas.

Ini gila!

Kalau hal ini ingin---bahkan harus---terjadi, setidaknya beri aku waktu untuk mencernanya. Bagaimana bisa ini semua terjadi dalam kurun waktu satu bulan?

Aku berhenti melangkah kemudian duduk bersandar di dinding koridor, dan mulai meluapkan rasa frustrasiku, menenggelamkan wajahku di antara lutut yang kupeluk.

"Hei." interupsi sebuah suara yang sangat aku kenal.

"Ugh, pergilah Cedric. Kau hanya akan melontarkan pertanyaan bodoh seperti tadi jika terus di sini." usirku dengan suara parau.

"Ini." Ia menyodorkanku sesuatu dan aku terpaksa menoleh. Ia memberiku sebungkus cokelat, tersenyum hangat, sebelum akhirnya berlalu pergi.

Ia berhasil membuatku tertawa kecil dengan fakta bahwa; sedari tadi ia membawa cokelat ini di dalam saku jubahnya?

--

catatan kaki;
[1] "Itu tidak akan bekerja."
[2] "Oh, ya?"
[3] "Kenapa bisa begitu, Granger?"
[4] "Kau lihat ini?"
[5] "Ini adalah Garis Usia, Dumbledore sendiri yang menggambarnya."
[6] "Jadi?"
[7] "Jadi! Seorang genius seperti Dumbledore tidak mungkin dibodohi dengan sesuatu yang sangat konyol dan menyedihkan seperti Ramuan Penua."
[8] "Ah, tapi itu mengapa ini sangat hebat."
[9] "Karena ini sangat konyol dan menyedihkan."
[10] "Mereka curang! Mereka bahkan belum berumur tujuh belas!"
[11] "Tidak, Tuan."
[12] Confundus - mantra yang memberikan efek kebingungan atau mendapatkan arahan yang tidak seharusnya.

-
| tbc |

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top