03 | Dragon Egg

hai there everybody!

before we start, aku hanya ingin memberikan sedikit informasi tentang Charlie Weasley.

gambar di atas merupakan ilustrasi dari pemuda itu. Ia merupakan anak kedua dari keluarga Weasley, artinya ia adalah seorang adik bagi Bill, dan seorang kakak bagi Percy, Fred, George, Ron, dan Ginny. Ia jarang disebutkan di dalam buku dan tidak muncul dalam film, jadi aku tidak heran kenapa kalian tidak familier dengannya.

fun fact; Charlie Weasley dan Nymphadora Tonks---istri dari Remus Lupin---berada di tahun ajaran yang sama saat bersekolah di Hogwarts.

anyway, let's begin the story. shall we?

--

"Lyra! Sarapan sudah siap!" seru Ginny dari bawah.

"Baiklah! Aku akan segera turun!" Aku berseru membalasnya dari dalam kamar mandi.

Sekitar lima menit kemudian, aku bergegas turun ke bawah. Mendapati meja makan sudah hilang, aku berasumsi jika kami akan menghabiskan sarapan di luar rumah seperti kemarin malam.

Aku melangkah keluar dan sedikit terkejut ketika melihat sudah ada tiga meja kali ini.

Aku memutuskan duduk di sebelah Fred, karena aku paling dekat dengan si kembar Weasley ini. "Ah, sudah bangun Nona Dumbledore?" tanyanya menggodaku.

[1] Aku memutar bola mataku malas. "For the record, i was actually cleaning myself."

[2] & [3] Fred dan George hanya tertawa, tidak memedulikan penjelasanku. Aku pun hanya menghiraukan mereka, beralih mendengarkan percakapan Harry dan Hermione tentang The Death Eaters yang menginvasi Dartmoor.

"Kau sungguh melihat orang yang menggunakan mantra itu?" tanya Hermione memastikan.

"Sudah kubilang, aku melihatnya tapi tidak mengenalnya. Malam itu suasananya benar-benar gelap dan suram." jawab Harry.

[4] "Is it true? That he-who-must-not-be-named is back?" tanya Ron takut.

[5] "Going to come back." imbuhku mengoreksi Ron.

Hermione menoleh ke arahku, sama halnya dengan Ron dan Harry. Aku menatap ketiganya bingung, tidak mengerti.

[6] "Apakah kau lupa menaruh mantra Muffliato?" tanya Ron.

"Tidak, aku yakin sudah." jawab Hermione tegas.

"Apa?" tanyaku berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.

[7] "Should we ask her to join?" tanya Harry pada Harmione, namun sebelum gadis itu sempat menyuarakan jawabannya, suara Tuan Weasley menginterupsinya.

"Hei, Rowan!" seru Tuan Weasley menarik perhatian kami semua.

Aku melihat ayah telah berdiri, menghampiri temannya, dan saling menyapa. Tak lama setelah itu, tahu-tahu Tuan Diggory juga sudah bergabung.

"Hai." sapa Cedric yang tiba-tiba duduk di sebelahku.

Aku terperanjat, dan langsung memperbaiki ekspresiku secepat kilat, "Hai." balasku seadanya.

"Kau Lyra, kan?" tanyanya kemudian.

"Benar, dan kau pasti Cedric dari tahun keenam?" tanyaku memastikan, dan ia menjawab dengan anggukan kepala.

"Hei, Cedric!" seru Fred di sebelah telingaku.

Aku memutar tubuhku menghadapnya, kemudian refleks memukul bahunya. Ia mengaduh kesakitan sedangkan George tertawa lepas melihat itu, "Sudah kubilang jangan berteriak di telingaku!" kesalku tidak suka.

"Kau tidak perlu melakukan kekerasan fisik juga!" balas Fred tidak terima sembari mengusap bahunya.

Aku meniup rambutku yang menghalangi pandanganku. "Maka kau harus berhenti menguji kesabaranku!"

Aku akhirnya mengembuskan napas, dan memutuskan untuk bertanya. "Sesakit itukah?" Takut jika aku melakukannya terlalu keras.

"Ini pasti akan meninggalkan bekas." gerutu Fred.

Aku meringis. "Maaf, sepertinya tadi itu terlalu keras."

"Kau bilang sepertinya?" kesal Fred tidak terima.

"Aduh, maaf, maaf." ujarku lagi.

"Kau harus membayarnya." Kepala George menyembul dari samping Fred.

Jantungku hampir jatuh ke perut mendengar penuturan George.

Matilah aku.

"Lupakanlah, Lyra juga sudah meminta maaf." Cedric berujar membelaku.

Fred dan George melemparkan tatapan tidak suka. "Itu hak kami!"

Aku menghela napas, sebelum Fred dan George semakin ganas. "Baiklah, baiklah. Apa yang kalian ingin aku lakukan?"

Keduanya saling melemparkan pandangan dengan senyum jail, lalu menaik-turunkan kedua alisnya. "Jadi pelayan kami selama satu minggu."

"Itu terlalu lama! Dan lagi, hanya Fred yang menjadi korban, kau tidak usah ikut serta, George!" protesku.

"Oh, tentu tidak. Aku dan Fred itu satu paket, tidak boleh dipisahkan." ujar George bersikeras dengan pendiriannya.

"Kalau begitu tiga hari." tawarku.

"Lima hari." balas keduanya disaat yang sama.

"Empat hari."

"Lima hari, atau kami tambah."

Aku menekuk alisku. "Ugh, baiklah." terimaku pasrah.

Sarapan berlangsung lebih ramai dari sebelumnya. Apalagi karena Tuan Weasley, Tuan Diggory, dan ayah sedang berbincang setelah lama tidak berjumpa. Hari ini kami semua akan pulang. Liburan masih tersisa sekitar satu bulan lagi, dan aku benar-benar tidak sabar ingin kembali bersekolah di Hogwarts.

--

Hermione sudah pulang kembali ke rumahnya. Berbeda dengan Harry yang akan menghabiskan sisa liburan musim panasnya di sini, dan denganku yang masih tertahan di The Burrow karena sepertinya para ayah itu akan bertahan lebih dari satu jam berbincang tentang banyak hal.

"Lyra, Cedric. Aku yakin kalian berdua sudah saling kenal. Bagaimana jika menghabiskan waktu di luar?" ujar ayah membuatku mematung seketika.

"Baiklah, Tuan Dumbledore." balasnya membuatku semakin tidak bisa mengelak.

Ia berlalu melewatiku dan keluar dari The Burrow. Aku terpaksa mengikuti langkahnya, dan berakhir berjalan dengannya mengelilingi hutan.

"Jika aku tidak salah, kau dari asrama Hufflepuff kan?" tanyanya membuka topik.

"Tidak, kau tidak salah." jawabku.

"Kudengar adikmu juga berada di asrama yang sama, dan setingkat dengan Ginny dan Luna." ujarnya lagi.

Aku mengerutkan keningku sedikit. "Bagaimana bisa kau tahu sejauh itu?" tanyaku penasaran.

Cedric tertawa lepas. "Ayahku bercerita banyak soal percakapannya dengan Tuan Dumbledore."

"Mengagumkan. Ayah tidak pernah menceritakan hal-hal seperti itu, ia selalu mengalihkan topik dan berbicara tentang ibu." ujarku dengan sedikit rasa kesal.

Relasi ayah memang banyak, tapi ia cukup selektif memilih teman. Identitasnya sebagai cucu Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore tidak boleh terungkap, apalagi di Kementrian Sihir. Ayah yakin jika identitasnya terbuka lebar, maka orang-orang akan memperlakukannya seistimewa mungkin, kemudian menggunakannya sebagai perantara untuk membujuk kakek menjadi Perdana Menteri.

Maka dari itu, mereka mengenalnya sebagai Rowan Wulfric atau Tuan Wulfric. Hanya orang-orang terdekat yang akan memanggilnya dengan nama belakang aslinya.

"Bukankah itu lebih menyenangkan?" tanyanya.

"Iya, jika saja ia tidak menceritakan hal yang sama setelah puluhan kali aku mendengarnya." sarkasku membuat Cedric kembali tertawa.

Wajahnya tampan, tubuhnya tinggi, kepribadiannya ramah, dan ia baik. Aku tersenyum geli mendengar isi pikiranku sendiri, sebelum akhirnya luntur ketika mendengar seseorang memanggil namaku.

"Lyra!"

Aku menoleh, dan menatapnya penasaran. "Charlie? Kau sedang apa?" tanyaku bingung.

"Lihatlah." Ia mengarahkan jari telunjuknya ke depan, lantas aku dan Cedric menuruti ucapannya.

Di sana, kami melihat seseorang tengah membawa telur berukuran besar. Ia lalu menyembunyikan telur itu di antara akar-akar pohon yang membentuk lubang.

"Itu telur naga?" tanyaku tidak percaya sekaligus cemas.

"Benar, dan aku yakin itu akan menjadi transaksi ilegal." tutur Charlie.

"Kalau begitu, kau yang ambil." ujarku semakin cemas.

"Belum, jangan sekarang." balasnya.

"Uh, bagaimana jika pembelinya datang dan membawa pergi telur itu?" tanyaku tak habis pikir. Namun Charlie dan Cedric, keduanya hanya sibuk memperhatikan gerak-gerik orang tersebut.

"Ai, persetan!" gerutuku tidak peduli, kemudian berlari maju.

[8] Aku segera mengeluarkan tongkat sihirku. Begitu jaraknya semakin dekat, pria itu menoleh, dan ku melemparkannya mantra, "Petrificus Totalus!"

Ia tumbang seketika itu juga, membuatku langsung bernapas lega.

Aku menghampiri lubang yang tertutupi akar pohon itu, dan menemukan telurnya masih utuh. Terlihat mengagumkan, sangat.

"Kau gila?!" Cedric berseru membuatku terkejut.

"Lyra! Kenapa kau ini gegabah sekali?" tanya Charlie tidak habis pikir.

Ekspresiku benar-benar langsung berubah datar, dan suasana hatiku langsung tidak enak. Aku memutuskan untuk mengambil telur itu, menyerahkannya pada Charlie, kemudian berlalu pergi. Mereka berdua tentu dapat menyusulku dengan mudah, tapi aku tidak peduli.

Jujur saja, aku paling tidak suka jika dibentak atau dikatai. Aku tahu mereka khawatir, tapi menyalurkannya dengan cara yang sedikit lebih lembut tentu tidak masalah. Lagipula aku baik-baik saja.

Tindakan cepat itu kulakukan karena refleks! Otakku belum sempat berpikir dan mencerna, tapi tubuhku sudah bergerak duluan.

Ugh, menyebalkan sekali.

Kami tiba di The Burrow tepat ketika para ayah itu keluar dari sana. Aku langsung menggandeng tangannya, tidak peduli dengan tatapan terkejut Tuan Weasley dan Tuan Diggory.

"Ah, sepertinya Lyra sudah lelah." celetuk Tuan Weasley dengan nada bergurau.

Aku mengukir senyum tipis namun tetap tulus. "Kalau begitu, kami pamit. Terima kasih atas jamuannya! Sampai bertemu lagi, Amos, Arthur!"

[9] Ayah menggunakan cara Apparition setiap ingin berpergian, termasuk saat datang kemari tadi dan pulang sekarang ini.

--

catatan kaki;
[1] "Sebagai catatan, aku sebenarnya sedang membersihkan diri."
[2] The Death Eaters - Pelahap Maut atau mereka yang mengikuti jejak Lord Voldemort sebagai pesuruhnya
[3] Dartmoor - tempat mereka bermalam setelah menonton pertandingan Quidditch
[4] "Apakah itu benar? Jika dia-yang-tidak-boleh-disebutkan-namanya telah kembali?"
[5] "Akan kembali."
[6] Muffliato - mantra yang digunakan untuk mencegah percakapan mereka didengar oleh orang lain
[7] "Haruskah kita mengajaknya bergabung?"
[8] Petrificus Totalus - mantra yang dapat membekukan tubuh seseorang, sehingga ia tidak bisa bergerak.
[9] Apparition - teknik berteleportasi, termasuk dalam sihir transportasi.

-
| tbc |

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top