Dua Puluh Empat | Memori

“Siapa kau?” tanya Eren.

“Ahh, maafkan aku karena belum memperkenalkan diri,” balas wanita tersebut sementara Eren tampak lebih waspada. Dia merasakan firasat tak mengenakkan tentang wanita tersebut.

“Namaku Yelena. Aku kemari untuk. Membunuh. Ratu mu.”

Dan firasat Eren ternyata benar.

“Apakah kau berkomplot dengan wanita itu?” tanya Eren merujuk pada Midori yang sepertinya masih berada di atap kereta bersama Levi dan juga Mikasa. Entah apa yang mereka lakukan sekarang ini karena denting suara pedang yang sebelumnya Eren dengar sudah tak terdengar lagi.

Dahi wanita yang bernama Yelena itu mengerut untuk sesaat. Lalu seolah tercerahkan dia langsung menjawab, “apakah maksudmu Nona Midori?” tanyanya yang langsung membuat kedua bola mata Eren membulat.

“Jadi dia memang berhubungan dengannya!” simpul Eren di dalam kepalanya.

“Kau ....” Eren bersuara tegas sambil menunjuk Yelena. “Sebaiknya kau batalkan niatmu atau aku yang akan membunuhmu,” ancamnya serius namun justru dibalas dengan tertawaan kecil yang cukup menyinggung pendengarnya.

“Lakukan saja jika kau bisa. Aku tidak perlu izin dari bocah sepertimu,” tanggap Yelena membuat amarah Eren menjadi tidak terkendali.

Eren pun langsung berlari ke arah Yelena yang saat itu terlihat tidak membawa senjata apapun ditangannya. Dan ketika tangan Eren yang mengepal tinju itu hampir menghantam Yelena, dengan gampangnya Yelena menangkisnya dan balas menangkap tangan Eren juga membantingnya.

Brakk!!!

Suara punggung Eren yang dibanting Yelena ketika menyentuh lantai keras itu. Meski tidak ada tulangnya yang patah akibat bantingan tadi tapi tetap saja terasa sakit.

“Kau takkan bisa mengalahkanku,” lirih Yelena sambil menyeringai tajam menatap mata Eren yang terbaring di lantai kereta dengan sebelah tangannya Yelena memegang pistol yang entah dikeluarkannya sejak kapan dan pada pistol tersebut pada bagian moncongnya menempel di dahi Eren. Hanya perlu satu tarikan jarinya saja maka nyawa Eren akan melayang.

Apakah Eren akan mati begini saja?

Rasanya teralu sederhana jika ia harus mati seperti ini.

Terlalu cepat.

Bahkan bisa dibilang antiklimaks.

Dan Eren, meskipun terlihat kalau maut sudah di depan matanya, Eren hanya tersenyum kecil sambil menatap Yelena, orang yang mungkin menjadi malaikat mautnya itu dengan intens. Tak diragukan lagi kalau wanita itu akan menarik pelatuknya.

Mungkin ini adalah akhir bagi Eren.

Mungkin.

MANA MUNGKIN EREN MAU MENERIMANYA BEGITU SAJA!

Menyerah? Apakah itu ada di dalam kamusnya seorang Eren Jaeger?

Dengan satu gerakan tangan yang cepat dan pastinya berani, Eren menghempaskan senjata api dari hadapan wajahnya itu hingga terlempar beberapa meter dari mereka.

Tanpa memberi celah pada Yelena untuk bereaksi, Eren mendorongnya hingga jatuh ke lantai seperti yang dilakukan Yelena tadi kepadanya. Lalu membalik posisinya. Tangan Eren juga mencengkram kedua tangan Yelena hingga wanita itu tak bisa bergerak lagi.

Dia sudah menangkap Yelena.

Dengan cepat situasi berbalik sekarang, atau begitulah seharusnya.

“Hentikan, Eren!"

🖤🖤🖤

"Midori neesama, kau mau latihan bersamaku?”

“Tidak.”

“Midori neesama, tolong ajari aku teknik sepertimu.”

“Tidak mau.”

Gadis kecil itu tak henti-hentinya meminta untuk berlatih bersama kakak sepupunya yang tujuh tahun lebih tua darinya.

Sebagai sesama anak perempuan dari keluarga Hizuru dan berada di perguruan yang sama mereka sering disandingkan untuk menjadi lawan dalam latih tanding. Tentunya Mikasa masih tak bisa mengalahkan Midori waktu itu.

Guru mereka adalah orang yang ketat.

Dan Mikasa memiliki jadwal latihan lebih ketat dari siapapun yang ada dipenjuru istana untuk berlatih. Semenjak kedua orangtuanya meninggal, latihan yang diterimanya semakin banyak. Bahkan ia hampir tak diberikan jeda istirahat.

“Midori neesama, apakah Akashi niisama akan pulang hari ini?” tanya Mikasa lagi.

Akashi sedang pergi untuk sebuah misi sehingga Mikasa menghabiskan banyak waktunya sendirian. Dia ingin menunjukan sebuah teknik yang baru dipelajarinya.

“Midori neesama,” rengek Mikasa lagi.

Diamlah, kau sangat berisik.” Mata Midori memicing. Ia menyahut dengan ketus pada sang Adik yang dimatanya penuh dengan kesalahan itu. “Menjauhlah. Jangan pernah kembali ke hadapanku lagi.”

🖤🖤🖤

Jemari Mikasa memegang erat hulu pedang miliknya.

Tatapannya lurus ke arah Midori yang juga sudah siap dengan pedangnya.

Duel pedang di atas kereta yang sedang dalam perjalanan menuju Hizuru. Tak ada dalam prediksi Midori akan terjadi kejadian seperti ini, tapi hal-hal diluar dugaan seperti inilah yang akan membuat hidup jadi lebih menyenangkan.

Mikasa maju selangkah sementara Midori masih diam di tempat. Sepertinya Midori sedang menantang Mikasa untuk menyerangnya terlebih dahulu.

Baiklah, jika itu yang diinginkan oleh Midori. Lagipula mereka tak punya pilihan lain selain maju menerjang langsung karena mereka berada di atas kereta dimana tak ada tempat untuk bersembunyi disini.

Tidak ada.

Mikasa pun maju. Pedangnya terulur kedepan menyerang secara frontal untuk menebas Midori yang tentunya berhasil ditangkis oleh Midori.

Trang.

Trang.

Trang.

Dengan pedang mereka saling bertukar serangan, bertahan, lalu menyerang kembali. Mencari celah untuk memojokan lawan di depan mereka.

Levi yang melihat dua orang itu saling bertukar serangan tak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Mikasa.

“Apakah kau sudah mulai lelah, Adik?” Midori yang pedang nya berada di atas punggung pedang Mikasa tersenyum menyeringai. Dia mencoba mencari celah untuk menyerang Mikasa yang sedang dalam posisi defensifnya.

Mikasa tidak menyahut. Dia justru mendorong pedangnya membuat Midori termundur beberapa langkah.

Kini mereka kembali saling berhadapan. Berjalan berputar berlawanan arah seperti jarum kompas yang menunjuk saling berseberangan di sudutnya masing-masing.

Lalu Midori berhenti, menerjang Mikasa,  menyerangnya tanpa memberi jeda.

Bunyi dua pedang saling bertemu kembali terdengar.

Trang.

Trang.

Trang.

Serangan Midori yang sangat cepat membuat Mikasa sedikit kewalahan karenanya. Pedangnya yang cukup panjang membuatnya tidak lebih leluasa dibanding Midori untuk menyerang.

Dia juga pernah berlatih pedang yang sama dengan Midori sehingga ia tahu setiap trik dari penggunaan pedang tersebut. Setiap anak perempuan di Hizuru yang ingin belajar pedang akan diberian pedang tanto seperti yang Midori pakai sekarang.

Kelebihan Midori adalah kecepatannya. Dan pedang pendek itu memudahkan Midori untuk memanfaatkan secara maksimal kelebihannya. Terlebih lagi, Midori sepertinya lebih pandai menggunakan pedang itu hingga akhirnya, Midori berhasil menemukan satu celah kecil untuk menyerang Mikasa. Tanpa membuang waktu, langsung dari depan wanita itu dengan segera menusukan pedangnya ke arah dimana ia melihat celah tersebut, ke arah dada Mikasa.

Dalam sepersekian detik pedang itu bergerak lurus ke hadapan Mikasa. Sedetik saja jika Mikasa terlambat merespon, pedang Midori sudah dipastikan tertancap di jantungnya.

Menyadari kalau dia takkan sempat untuk menangkis pedang tersebut, maka dengan tangan kirinya, Mikasa menangkap punggung pedang Midori.

Darah mengalir dari jemari Mikasa yang menggenggam pedang tersebut, menahannya dengan kuat hingga Midori bahkan tak bisa menariknya kembali meski ia sudah mencoba.

Levi berseru, memanggil nama Mikasa saat melihat darah yang merembes melalui kepalan tangan gadis itu. Namun ia masih diam di tempatnya. Ingin beranjak, tapi Mikasa telah meminta Levi untuk tetap diam saja disana.

Dan meski tangan Mikasa basah oleh darah, bukan berarti dia sudah tidak bisa menyerang lagi. Tidak tinggal diam dan tanpa banyak membuang waktu, satu tangan Mikasa yang bebas memegang pedang panjang miliknya yang sekarang dengan manis berada disebelah leher Midori.

Midori melirik ke arah pedang yang tepat disebelah lehernya tersebut. Satu tebasan dan kepala Midori akan melayang. Tapi Midori sangat yakin kalau Mikasa takkan mungkin melakukannya.

Midori menarik napasnya, mengendurkan pegangannya dari pedang miliknya. Ia tak mengira kalau Mikasa akan berhasil memojokannya dalam waktu singkat seperti ini padahal dia tak pernah sekalipun melancarkan serangan pada Midori jika mereka berlatih tanding di istana dahulu.

Apakah gadis itu sengaja mengalah padanya?

Pertanyaan itu sempat terlintas di kepala Midori.

Midori pun tersenyum, dia memejamkan matanya tiba-tiba kepalanya diisi oleh kenangan masalalu yang ingin dibuangnya.

🖤🖤🖤

“Katanya Nona Midori tidak terpilih perwakilan untuk turnamen kali ini?”

“Sepertinya begitu, Nona Mikasa yang akan menggantikannya.”

“Benarkah?”

“Ya, memang sangat disayangkan. Tapi jika dibandingkan, Nona Mikasa memang lebih baik daripada Nona Midori.”

“Tapi Nona Mikasa bukankah ....”

Dua orang pelayan sedang bergosip dan sayangnya obrolan mereka justru terdengar oleh orang yang menjadi topik pembicaraan mereka. Segera setelah menyadari kalau orang yang mereka bicarakan berada di dekat sana, mereka menghentikan bicaranya, menunduk dengan segan lalu beranjak pergi setelah mengucap kata permisi.

Midori yang baru saja selesai dari latihan hariannya dan sedang berjalan untuk pulang ke kediamannya tanpa sengaja mendengar bisik-bisik pembicaraan pelayan istana mereka yang membicarakan mengenai turnamen tahunan di Kerajaan Hizuru. Turnamen Matahari.

Tahun lalu, Midori terpilih menjadi perwakilan bersama dengan Akashi, Kakaknya. Namun tahun ini, seperti yang dibicarakan oleh dua orang pelayan tadi, ia tidak terpilih lagi karena guru mereka lebih memilih Mikasa untuk dijadikan perwakilan dibandingkan dirinya. Meski beberapa keluarga sempat menentang, tapi dengan kekuasaan sang Kakek yang merupakan Raja Hizuru, mereka akhirnya menerima keputusan tersebut.

Sudah dipastikan, Mikasa lah yang akan menjadi pemeran utama untuk Turnamen Matahari bersama dengan Akashi yang terpilih lagi untuk tahun ini.

Dengan suasana hati yang cukup buruk, Midori melanjutkan kembali perjalanan pulangnya.

Di halaman kediamannya, dia menemukan kakaknya yang sedang berlatih bersama seorang gadis berusia sepuluh tahun. Mikasa.

Seperti yang Midori lakukan di tempat latihan, Mikasa juga berlatih mengayun pedang dengan diajari oleh Akashi secara langsung.

Bahkan hanya dengan sekali lihat Midori bisa tahu, kalau gerakan Mikasa sudah terbilang sempurna sementara dia masih harus berlatih untuk hasil yang lebih baik lagi.

“Aku pulang,” ucap Midori pelan tanpa minat.

Akashi yang sedang mengajari Mikasa sebuah gerakan baru menghentikan aktivitasnya. Dia menegapkan badannya dan tersenyum ke arah Midori.

“Selamat datang,” sambut Akashi. “Bagaimana latihanmu hari ini?”

Midori hanya balas tersenyum simpul seolah mengatakan semuanya baik. Matanya yang sayu menangkap Mikasa yang juga sedang menatapnya sambil tersenyum. Terlihat jelas sekali kalau gadis itu hendak menyapanya. Tapi Midori bahkan tak berminat untuk sekedar melihatnya.

Dia masuk begitu saja ke dalam kediamannya.

Seusai menutup pintu, punggungnya disandarkannya ke daun pintu. Dadanya begitu sesak dan kakinya terasa berat sekali untuk menopang badannya perlahan melorot ke bawah. Dia terduduk ke lantai.

Dari luar dia dapat mendengar suara Mikasa dan Akashi yang kembali melanjutkan latihan mereka.

“Apa lagi?” lirih Midori. “Apa lagi yang akan direbut anak itu dariku?”

🖤🖤🖤

Published: 20 September 2021

Ranisa's note:
Aku baru baca webtoon Suddenly I Became a Princess. Keren banget rupanya. Aku juga mau baca novelnya, tapi gak nemu yang bahasa Indonesia :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top