V. A Letter From Baghdad
Lonceng dari salah satu menara tinggi yang mengapit sebuah kapel berdentang beberapa kali setelah selama dua jam tempat itu berdiri khidmat. Burung-burung yang bertengger di sekitar kapel berterbangan seraya berkicau meriah, menembus cahaya matahari yang sudah merebak ke sebagian bumi. Orang-orang keluar dari kapel secara teratur, mereka saling menyapa dan tersenyum bahkan melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
"Kau tidak akan langsung pulang, Sophia?" Nenek menoleh memperhatikan Sophia yang terdiam menghadap banyak lilin yang beraroma manis nan lembut.
Sophia membalas dengan gelengan dan senyuman. "Aku masih nyaman tinggal di sini."
Nenek dan Kakek mengangguk mengerti lalu pergi meninggalkan Sophia yang masih mengamatinya. Tangan kiri Kakek tersampir di punggung Nenek, sementara tangan kanannya menggenggam erat tangan kanan Nenek. Sophia tersenyum melihatnya.
Tatapan Sophia kembali fokus pada lilin, lantas kedua tangannya mulai beraksi; menghidupkan tiga lilin yang terbuat dari sarang lebah. Sophia menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya menangkupkan kedua tangan dan terpejam.
Sophia memanjatkan doa untuk kesehatan orang tua kandungnya, Nenek, Kakek, dan Hugo, serta Ali. Laki-laki yang tinggal di Baghdad itu sedang menghadapi masalah politik di sana. Dia tidak menjelaskannya secara terang, Ali hanya berkata ada konflik yang menjurus pada perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan.
Sempat dalam surat, Sophia berkata jika dirinya akan menyusul ke Baghdad dan laki-laki itu tidak mengizinkannya. Sophia menebak jika laki-laki itu marah padanya, pada suratnya dia tidak banyak bercerita seperti pada surat-surat sebelumnya. Padahal Sophia hanya bercanda, meskipun memang sempat terpikirkan untuk melakukannya, karena merasa dirinya sudah dewasa dan bisa membela diri.
"Amin."
Sophia tersenyum, sekali lagi ia menghirup aroma lilin yang menyenangkan. Perempuan dengan rambut yang diikat classy ponytail itu berlalu dari dalam kapel dengan perasaan yang lebih tenang. Jalannya yang santai seraya tak jemu memandang sekitarnya, di detik berikutnya terhenti ketika seekor kuda berhenti di sampingnya. Sophia mengenal pria setengah baya yang turun dari kuda itu, dia tersenyum menyapa sambil mengeluarkan sepucuk surat dari kantong yang menyelimuti punggung kuda.
"Selamat pagi, Nona Sophia." Pria itu mengulurkan surat dengan senyuman paling indah. "Sudah dua tahun Nona tinggal di sini, tapi kenapa tidak ada satu pun waktu yang tercipta untuk saling bertemu dengan Tuan Ali?"
"Tuan Ali masih sangat sibuk, tapi yang pasti dia akan menemuiku. Dia sudah berjanji padaku," terang Sophia dengan deru dada tak terkira. "Terima kasih." Sophia sedikit menundukkan kepalanya.
"Tolong kabari saya, jika Tuan Ali menemuimu Nona. Saya sudah ikut andil dalam kisah kalian selama dua tahun ini," goda pria itu seraya naik pada kudanya dan tersenyum usil meninggalkan Sophia.
Sophia tersipu mendengar penuturan pria itu, apalagi ketika pikirannya kembali menayangkan apa yang dilakukannya di tahun pertama ketika Ali menyerahkan dirinya kepada Nenek dan Kakek. Sophia sedikit tidak sabaran, cerewet, dan menuntut pada Ali agar segera menjemputnya. Namun, seiring berjalannya waktu, tepatnya setelah melewati masa penaklukan Kerajaan Utara, Sophia memilih untuk tidak menuntutnya lagi. Hari itu cukup mengerikan dan membahayakan, Sophia hanya mengharapkan Ali tetap baik-baik saja. Tak peduli kapan dia akan menjemputnya, atau kemungkinan dirinyalah yang akan menemui Ali.
Dengan perasaan menggebu, Sophia berlalu menuju bantaran sungai yang memiliki air terjun. Tepatnya tempat di mana mata polosnya ternodai oleh seorang pangeran yang tidak tahu malu, dia berenang di sana tanpa sehelai benang pada tubuhnya. Oh Tuhan, Sophia selalu berdoa agar kejadian itu lenyap dalam benaknya, tapi bukannya lenyap kejadian itu malah mengakar. Semua ini gara-gara Sebastian Perceval Salamon yang tidak pernah absen dalam hidupnya.
Takut-takut kejadian dua tahun lalu terulang kembali, Sophia sedikit mengendap-endap memerhatikan setiap sudut sungai. Tidak ada siapa pun selain gemercik air terjun yang menghantam sungai dan bebatuan. Sekitar tiga meter dari bibir sungai terdapat batu yang datar dan teduh, perempuan bergaun sederhana dengan outer polos berwarna marun duduk di sana.
Sophia membuka surat itu dengan perasaan yang tak menentu, senyumnya terlahir begitu sebaris kalimat berbahasa arab menyapanya.
Bismillahirrahmannirrahim
Wa'alaikum, Sophia.
Ali memberi tahu beberapa kosakata bahasa arab, setelah dirinya meminta untuk diajarkan. Sophia menerapkannya pada surat-surat yang dikirim kepada laki-laki itu dengan perasaan bahagia, dia melantunkan kata demi kata dengan lembut. Meskipun melalui surat, entah apa yang terjadi sosok Ali seperti ada di sampingnya.
Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Semoga selalu baik-baik saja.
Benarkah Pangeran Sebastian tidak pernah berhenti menggodamu? Mungkin dia menyukaimu, Sophia. Mungkin kau sangat berharga baginya, meskipun pertemuan kalian membuatku terkejut lalu tertawa setelahnya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi wajahmu saat itu.
Afwan, aku mengulanginya lagi. Tapi, itu benar-benar lucu, Sophia. Sepertinya aku akan terus mengingatnya hahaha....
Senyum Sophia runtuh begitu saja begitu membaca surat bagian tersebut, padahal di setiap surat yang kadangkala menyinggung Sebastian, Sophia meminta agar Ali melupakan kejadian memalukan itu. Oh ... tunggu dia mengatakan kalimat yang sama seperti Aimee? Itu tidak mungkin. Sophia tidak mengharapkannya.
Keadaan di sini tidak bisa dikatakan baik-baik saja, aku membalas suratmu ketika aku terbangun dari tidur singkatku. Di beberapa daerah bagian semakin bertambah dinasti baru, perekonomian semakin memburuk setiap harinya. Tapi kau tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja di sini.
Rona merah jambu di pipinya yang putih bersih, berubah menjadi merah padam. Bagaimana Ali masih bisa mengatakan dirinya baik-baik saja, di Salamon Land saja kemunculan kelompok-kelompok misterius di malam hari adalah mimpi buruk. Beberapa prajurit mengejarnya sampai kudanya meringkik sesekali. Dan ya, yang terburuk kematian Tuan Oliver kemarin. Orang-orang di sekitar mulai menggumamkan spekulasi-spekulasi yang ada hubungannya dengan kelompok misterius itu.
Namun, kamu harus tahu,...
Ketakutan terbesarku adalah kamu, Sophia. Bagaimana jika aku tidak bisa menepati janji untuk menjemputmu dan mengantarkanmu pulang?
Ana asiifa, Sophia....
Untuk seperkian detik jantung Sophia seakan berhenti berdetak, suara gemercik air yang semula terdengar seakan lenyap dari telinganya. Perasaan Sophia mendadak tidak enak, sekuat tenaga Sophia meyakinkan jika Ali tidak akan mengingkari janjinya.
"Kau tidak perlu takut, Ali. Aku sangat yakin kau akan datang untuk menjemputku di sini. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menyajikan kue atau roti buatanku padamu, aku pun sudah berjanji untuk mengajakmu berkeliling di Salamon Land. Nenek-Kakek bilang, ketika kau membantunya, kau langsung pamit begitu saja. Aku akan menunggumu, atau aku yang akan menemuimu. Meleburkan semua janji yang telah kita ucapkan."
Sophia terbangun dari lamunan menyesakkan, begitu suara dehaman mengetuk gendang telinganya. Tidak perlu menoleh, tidak perlu berpikir untuk menebak, Sophia tahu jika orang yang menghampirinya adalah Sebastian. Dia selalu mengganggunya, tak kenal waktu, dan sekarang dia akan menggodanya dengan kejadian itu.
"Kenapa?" suara rendah terdengar dingin berhasil membekukan tubuh Sophia selama beberapa saat, seperkian detik ia tahu jika laki-laki di belakangnya bukanlah Sebastian melainkan Hugo. "Kau terlihat pucat, Sophia. Apa yang terjadi? Apa Ali baik-baik saja?"
Tatapan Hugo mengarah pada sepucuk surat yang entah sejak kapan Sophia meremasnya, biasanya perempuan itu akan menjaganya dengan sangat baik dan posesif. Hugo duduk di sampingnya, memalingkan tatapannya pada air terjun di hadapannya.
Sophia masih setia dengan diamnya.
"Aku memang tidak begitu dekat dan tidak begitu mengenal Ali. Dia pernah membantu Nenek dan Kakek kelelahan ketika mencari kayu bakar di hutan. Bahkan sebelumnya, kita tidak pernah bertukar surat. Tapi karena kebaikannya pada saat itu, Nenek dan Kakek seakan membuat kesepakatan kalau pria itu adalah pria yang baik. Bagaimana kabarnya?"
Sophia menghela napas pendek. "Dia baik-baik saja, hanya wilayahnya sedang dipenuhi konflik."
Hugo mengangguk mengerti. "Jika Ali tidak bisa menjemputmu, aku bisa mengantarkanmu pulang, Sophia. Aku berjanji."
Untuk beberapa saat Sophia terdiam. "Kau tidak akan melakukannya, aku tidak mau kau meninggalkan Nenek dan Kakek hanya untuk mengantarku pulang. Lagipula aku masih sangat yakin kalau Ali akan menjemputku, kalaupun tidak aku bisa pulang sendiri."
Apa yang dikatakan Sophia seakan menamparnya hingga terlempar pada sebuah janji yang ia ucapkan pada Nenek dan Kakek dulu. Hugo pernah berjanji untuk melindungi mereka, tapi melihat kondisi Sophia yang selalu menatap surat-surat dari laki-laki yang baru pertama kali dilihatnya membuat Hugo bersimpati. Meskipun awalnya Hugo sempat keberatan menerima kehadiran Sophia, tetapi perempuan di sampingnya sangat tahu diri. Dia sangat mandiri dan perhatian. Hal ini membuat hatinya tergerak untuk melindunginya juga.
"Kau baru saja melewatkan sarapan, Sophia. Nenek dan Kakek menyuruhku untuk menjemputmu," ucap Hugo akhirnya seraya beranjak dari duduknya meninggalkan Sophia yang membisu seraya menempatkan kembali surat dari Ali ke dalam amplop berhiaskan tulisan arabik.
O0O
Terima kasih Tuan-tuan dan Nona-nona pertunjukan bagian kelima telah usai, silakan tinggalkan jejak berupa dukungan dan jangan lupa untuk selalu menyimpan tiket pertunjukan di perpustakaan atau daftar bacaan!
Sampai jumpa di pertunjukan selanjutnya🌞
Tertanda,
Tokohfiksi_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top