IV. Morning Sadness

Semalam setelah menguping perbincangan keluarganya, Sebastian memilih untuk mengistirahatkan jiwa raganya. Namun, setelah kurang lebih satu jam Sebastian baru ingat jika malam ini perutnya belum terisi oleh apa pun. Sebastian lapar, sejenak mengintai mencari keberadaan asistennya. Ia baru sadar, semenjak bergabung di meja makan keberadaan Marley tidak tercium olehnya. Sebastian terlalu malas untuk pergi ke ruang makan, selain itu ia tidak siap jika harus berpapasan dengan keluarganya.

Karena kebodohannya dan gengsi yang teramat tinggi, Sebastian berusaha untuk mengabaikan rasa laparnya. Entah pukul berapa telinganya terkunci, perutnya berhenti merengek, yang jelas pagi ini Sebastian benar-benar ingin mengumpat.

"Marley!"

Pria itu seakan hilang ditelan bumi, Sebastian terbangun begitu posisi matahari sudah dua puluh lima derajat. Selimut tebal yang membungkus tubuhnya ia buka dengan kasar, tubuhnya terasa gerah, matanya setengah terbuka, melihat ke arah sinar matahari dari lubang angin-angin yang berderet di atas jendela.

"Akan kupastikan kau ditendang dari istana ini, Marley!" umpat Sebastian, selanjutnya menguap sebelum akhirnya meregangkan otot-otot tubuhnya.

Sebastian berdiri dari duduknya, menyingkap tirai-tirai besar yang membungkus kamarnya. Seketika sinar matahari menerpa Sebastian sepenuhnya, dan menyinari setiap sudut kamarnya yang luas berisikan beragam aksesoris yang tak berguna baginya.

Hari ini adalah hari di mana Sebastian akan berkunjung ke bekas Kerajaan Utara yang sedang dibenahi, karena beberapa fasilitas dan lahan pertanian rusak akibat peperangan. Begitu juga dengan masyarakat yang trauma, Kerajaan Salamon sebagai pihak pemenang bertanggung jawab atas semuanya.

Namun sayang, pagi hari ini sepertinya Sebastian mengalami mimpi paling buruk dalam hidupnya. Tubuh berisi Sebastian mematung, mata hijaunya membeliak, di detik yang sama jiwa Sebastian seakan dipaksa ditarik keluar dari raganya.

Mata yang bersibobrok dengannya saat ini melambangkan kepedihan tak tertandingi, tubuhnya melayang lemah, sedikit terombang-ambing, dan lidahnya sedikit menjulur keluar.

"Mar-ley?"

Pria yang sudah menemaninya dari kecil tampak melayang tak berdaya di hadapannya, sebuah tali kekang kuda mengikat leher Marley di kandelir kamarnya. Secepat air mata yang menyembul, otak Sebastian mencerna satu momen yang dianggap biasa pada malam hari. Seorang pelayan dengan tali kekang kuda.

"Tolong!" Susah payah menahan sesak yang membengkak, Sebastian mendekat ke arah jasad Marley. "Marley kau tahu aku hanya becanda! Mana mungkin aku sudi menendangmu dari istana setelah banyak hal kita lewati bersama! Aku sudah sangat mengenalmu, begitupun kamu!"

Suara Sebastian menghantam langit-langit kamar, merambat penuh kesakitan ke seisi istana. Orang pertama yang muncul dari balik pintu adalah Rhys, dia menganga tak percaya, tanpa banyak berbicara dia langsung mengambil tindakan; menarik kursi kayu dan menebas tali kekang kuda yang mengikat Marley dengan pedangnya.

"Apa yang terjadi?" seloroh Denzel begitu hadir di tengah-tengah Sebastian dan Rhys. "Marley? Apa yang terjadi dengannya?" Denzel mengambil sikap di samping Rhys yang membuka ikatan tali kekang kuda di leher Marley.

"Dia-" Rhys menggantung ucapannya tidak yakin, lantas menatap adiknya yang tampak kesusahan mengontrol emosinya. "Kita bicarakan saja nanti, lebih baik kita bawa Marley pada dokter kerajaan."

Denzel menurut dan mengekori Rhys yang sudah menggendong Marley keluar dari kamar Sebastian, bersamaan dengan hadirnya Avery yang terkejut sekaligus kebingungan dengan kekacauan yang terjadi. Alih-alih mengikuti Denzel dan Rhys, Avery tertarik dengan Sebastian yang terlihat tak berdaya di samping kasurnya.

"Sebastian, apa yang terjadi? Dan Marley, kenapa dia?" Avery menatap putra keduanya dengan khawatir.

Bukan menjelaskan, Sebastian jatuh ke dalam pelukan Avery meluapkan segala kesedihan yang memenuhi dadanya. Tidak mudah baginya kehilangan orang yang selalu ada di sampingnya selama bertahun-tahun, dibandingkan keluarganya Marley-lah yang paling tahu dengan dunianya.

"Marley tidak mungkin bunuh diri, dia tidak mungkin melakukannya!"

Avery terkejut mendengar penuturan Sebastian, tangan lembutnya mengelus menguatkan Sebastian. Sepanjang sejarah Kerajaan Salamon, ini adalah kasus pertama yang terjadi di lingkungan istana kerajaan. Avery berusaha berpikir, menerka apa ada sesuatu yang salah dengan kerajaannya ini sampai Marley melakukan hal di luar perkiraan?

"Ibu tahu, Marley tidak mungkin melakukannya." Avery menatap potongan tali kekang di sampingnya. "Ayah akan melakukan yang terbaik untuk Marley begitu juga dengan Oliver."

"Apa ini ada hubungannya dengan kematian Tuan Oliver?" Sebastian menarik tubuhnya dari tubuh Avery.

Avery terdiam dalam kebisuan kamar bernuansa hangat ini. "Ibu tidak mengharapkannya, tapi kita tidak bisa melepaskan fakta jika semenjak runtuhnya Kerajaan Utara keadaan Kerajaan Salamon menjadi sedikit kacau."

Sebastian tidak pernah menutup mata dan telinga, para pengawal kerajaan selalu melaporkan adanya pergerakan aneh di berbagai sisi kerajaan. Mengingat Kerajaan Salamon termasuk kerajaan yang di kelilingi kawasan hutan, pergerakan itu selalu lenyap di lautan hijau itu. Mungkin salah satu dari kelompok mereka berhasil menyusup ke istana, pemuda semalam yang membawa tali kekang.

Sebastian, bangkit dari keterpurukannya meninggalkan Avery yang terperangkap oleh kekhawatiran tak berujung. Memang ini hanya sebatas asumsi, momennya sangat tidak tepat untuk dikatakan sebuah kebetulan. Semenjak pria itu muncul dengan tali kekang di hadapannya, seakan semua itu adalah pertanda atau petunjuk baginya. Sebastian menyisir setiap sisi istana untuk menemukan sosok pria berpostur muka agak lonjong, matanya hitam, berbadan kurus dan memiliki tinggi badan yang sama dengannya.

Namun langkah Sebastian terhenti di hadapan ruang kesehatan, melalui ekor matanya ia menangkap siluet Rhys beserta Denzel dan dokter yang sama yang menangani Oliver.

"Marley tidak melakukan bunuh diri, Yang Mulia. Dia dihabisi dengan cara dipukul kemudian dicekik, kalian bisa melihat bekasnya di belakang kepala dan di lehernya. Baru setelah dihabisi dia digantung menggunakan tali kekang kuda," terang Sang Dokter seraya menelisik kembali jasad Marley yang terbaring di hadapannya.

Sebastian sudah bisa menebak hal itu dari awal, Marley tidak mungkin mengakhiri hidupnya sendiri. Sejauh ini dia selalu bercerita apa saja kepadanya, dan tidak satu cerita pun yang bisa mendasari kalau pria itu berkemungkinan melakukan bunuh diri.

Secerah hari ini tidak sanggup meruntuhkan kegelapan yang menyelimuti perasaan Sebastian, langkah lebarnya kembali menjejaki setiap senti koridor istana hingga ke tempat paling ujung, tempat kuda-kuda milik istana berada.

Layaknya mata elang, Sebastian sudah memotret target yang akan diterkam di detik berikutnya. Dengan deru napas yang memburu, dan mengabaikan senyum-sapa dari orang yang bertanggung jawab atas penjagaan para kuda, Sebastian langsung memberikan dorongan keras terhadap pria yang sedang memandikan kuda di sana.

"Ah!" pekik pria itu, jatuh ke dalam kubangan air bekas memandikan kuda. "Tu-tuan?"

"Tuan Sebastian, apa yang terjadi kenapa-"

"Apa yang sudah kau lakukan pada Marley?" todong Sebastian, emosinya meluap-luap seakan pria di hadapannya adalah mangsa paling lezat yang harus segera ia habisi.

Pria itu celingak-celinguk meminta penjelasan atas pertanyaan yang dilontarkan oleh putra kedua dari Kerajaan Salamon. Mulutnya gelagapan, dahinya berkerut, sejenak memandang tuannya yang terlihat berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.

"Maaf, Tuan. Ada apa?" Pria seusia Marley kembali melontarkan kebingungan atas apa yang terjadi saat ini.

"Kau tau, pagi tadi Marley ditemukan ter-meninggal di kamarku dengan tali kekang kuda. Sebelum kejadian dia menabrakku dengan di tangannya terdapat tali kekang kuda," terang Sebastian, emosinya sangat tidak terkontrol. Matanya masih menyorot pria yang sekarang sudah berdiri kembali seraya meringis kesakitan. Sayangnya, Sebastian tidak melihat itu sebagai sesuatu yang patut untuk dikasihani. Bahkan sekarang, Sebastian sudah menarik pria itu ke depan wajahnya. "Apa yang kau lakukan padanya, hah?"

Si Penanggung Jawab Kuda itu terdiam mencerna berita yang baru saja didengarnya, semalam ia sempat bertemu dengannya berjalan-jalan di selasar istana, kemudian mengecek kudanya, seperti yang selalu dilakukannya setiap hari.

"Kenapa kau diam saja? Apakah ini bentuk pengakuanmu atas apa yang aku ucapkan adalah sebuah kebenaran?" Hanya ketakutan yang mampu dia tunjukan pada Sebastian, bibirnya tampak bergetar, bahkan sekarang air mata sudah membanjiri pipinya. "Dasar bedebah sialan!"

Pria itu kembali terlempar pada kubangan air, Sebastian mendekat dan siap menghajarnya tanpa ampun.

"Tuan! Hentikan!" Setelah kesadaran kembali menyergapnya, si Penanggung Jawab Kuda langsung menahan laju tangan Sebastian. "Tolong hentikan! Dia semalam memang membawa tali kekang kuda, karena saya yang suruh. Dia membawakannya untukku, aku berani bersumpah dan bertanggung jawab atasnya!"

Entah kenapa Sebastian tidak bisa menerima itu, Sebastian ingin membalas kematian Marley dengan menghabisi nyawa pria yang ... mungkin memang tidak ... berdosa.

"SEBASTIAN!"

Pada akhirnya Sebastian kembali tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung.

O0O

Terima kasih Tuan-tuan dan Nona-nona pertunjukan bagian keempat telah usai, silakan tinggalkan jejak berupa dukungan dan jangan lupa untuk selalu menyimpan tiket pertunjukan di perpustakaan atau daftar bacaan!

Sampai jumpa di pertunjukan selanjutnya🌞

Tertanda,

Tokohfiksi_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top