III. Sebastian Perceval
"Apa kau lupa Tuan, kalau Nona Sophia selalu berkirim surat dengan Pria Baghdad?" celetuk Marley, asisten sekaligus pengawal yang ditugaskan raja untuk menjaga Sebastian.
"Demi apa pun, kau sangat menyebalkan. Dan berhentilah memanggilku tuan!" Sebastian memberenggut kesal, tapi semuanya kembali terkendali ketika seorang perempuan berambut pirang mirip sepertinya keluar dari gerbang akademi.
"Sophia!"
Laki-laki berpakaian putih melambaikan tangan dengan semringah ke arah perempuan yang membalasnya dengan gedikkan bahu lalu berpaling darinya. Sebastian tidak pernah bermimpi akan bertemu dengan spesies manusia yang memergokinya ketika telanjang di sungai. Dia berteriak dan langsung diinterogasi oleh para pengawal di tempat, dia mengaku penduduk baru yang tidak tahu apa-apa dan tinggal bersama nenek-kakek penjual roti.
Pada saat itu jika dia berbohong, Sebastian akan menghukumnya tapi dia berkata jujur. Setelah kejadian itu dengan keraguan Sebastian menggodanya, dan menakutinya kalau kejadian memalukan ini akan disebar dan dia akan mendapatkan sanksi sosial karena telah mengganggu privasi seorang pangeran.
Ironisnya, Sebastian malah semakin candu untuk ada didekatnya. Sebastian merasa hidupnya menjadi punya tujuan, meskipun sempat dipatahkan oleh keberadaan pria dalam surat yang dia ceritakan. Marley menyebutnya "Pria Baghdad", dan pengawal pribadinya itu selalu menggodanya dengan istilah tersebut. Seperti sebelumnya.
Selama dua tahun ini, tumbuh kembang Sebastian ditemani perempuan cantik saudara jauh nenek-kakek penjual roti yang bernama Sophia Louisa.
"Akhir-akhir ini kau tampak bahagia, ada apa?" sambut wanita bergaun sederhana berwarna sapphire yang berkolaborasi indah dengan warna gold.
Sebastian duduk di samping laki-laki berusia lima tahun lebih tua darinya. "Tidak ada. Memangnya ada waktu di mana aku terlihat murung kecuali ketika sakit atau perang?"
Avery Doga terkekeh mendengar jawaban putra keduanya. "Ah, kau benar. Kau selalu tampil bahagia, berbe-"
"Ayah di mana?" potong laki-laki berambut hitam, ia sudah sangat hafal dengan arah pembicaraan ini. Avery selalu menyindirnya dengan membandingkan karakternya dengan Sebastian. Tentu saja dia sangat berbeda dengan Sebastian, dia lebih sering menghabiskan waktu dengan ayahnya sementara saudaranya selalu menyusahkan banyak orang istana karena karakternya yang menjengkelkan.
"Ayah masih ada urusan sama pihak akademi, karena kasus Tuan Oliver," terang Avery dengan santai. "Ayah bilang, kita bisa makan lebih dulu."
"Apa Tuan Oliver terkena kutukan?" celetuk Sebastian mulai meraih olahan daging di hadapannya. "Dia terlihat menyeramkan ketika ditemukan."
"Aku rasa ini ada kaitannya dengan kekalahan Kerajaan Utara," timpal laki-laki bermata biru langit bernama Rhys William.
Sebastian memutar bola matanya. "Ya ... ya ... ya ... kami tahu kau sangat hebat bisa menjadi bagian dari orang yang menaklukan Kerajaan Utara. Bahkan kau sudah dipastikan akan memimpin wilayah itu setelah pemulihan selesai."
Semenjak Rhys dinobatkan menjadi salah satu orang yang terlibat dalam perang melawan Kerajaan Utara, apalagi menurut kabar yang diedarkan oleh orang istana kalau dia berhasil membunuh salah satu pemimpin perang, Sebastian menjadi tambah jengkel kepadanya. Dia yang angkuh menjadi tambah angkuh, bertingkah seakan dia telah menjadi dewa perang. Baginya sangat menjijikan.
"Terserah, itu hanya asumsiku," balas Rhys dengan tenang.
"Kenapa kalian jadi berdebat?" Ekspresi Avery mendadak berubah serius, ia menatap kedua putranya yang selama ini tidak pernah kelihatan akur. Avery merasa tidak pernah membeda-bedakan mereka, semaksimal mungkin selalu memberikan apapun setara. Hanya untuk masalah kepemimpinan di bekas Kerajaan Utara, secara mental dan usia, Rhys jauh lebih siap ketimbang Sebastian.
"Dia sangat menyebalkan!" balas Sebastian mendadak kehilangan selera makan.
"Kau saja yang iri," seloroh Rhys tak mau kalah.
"Aku hanya tidak suka dengan caramu agar terlihat tinggi, Tuan Rhys William Salamon," ledek Sebastian masih ngotot jika sifat saudaranya sangat menyebalkan.
Avery hanya terdiam menyaksikan perdebatan kedua putranya dengan hela napas berat. Tidak ada sedikitpun momen di mana mereka terlihat akrab, selalu saja berdebat seperti ini. Terkadang menonton mereka berdebat seperti ini memang menyenangkan, saking tak pernah terciptanya momen bahagia di antara mereka.
"Kau yang menyalakan api, kau juga yang terbakar." Rhys masih semangat meladeni saudaranya yang sangat tidak sopan ini. "Lagipun kalau kau yang maju pada saat itu, aku yakin kau akan sangat merepotkan. Seharusnya kau bersyukur punya saudara sepertiku, kau jadi ikut terpandang karenaku."
"Ya, seharusnya aku bersyukur kalau di perang itu tidak ada Tuan Benedict." Sebastian bangkit dari duduknya. "Kau harus ingat di atasmu masih ada Cornelius Hugo. Selama kau tanding dengannya, kau tidak pernah menang darinya. Jangan sampai rasa terpandangmu itu hancur karena semua orang mencium kekalahanmu dari laki-laki biasa pembuat pedang."
Sebastian berlalu meninggalkan kebekuan di meja makan, seporsi nasi yang sudah ia siapkan dibiarkan begitu saja. Sebastian memilih untuk meredam pikirannya yang mendidih dengan berjalan menikmati malam di selasar istana. Melewati tiang-tiang penyangga yang besar yang diukir rapi membentuk rangkaian bunga dan semesta.
Baiklah mungkin hari ini Sebastian sudah sangat keteraluan terhadap saudaranya, entah apa yang terjadi tiba-tiba emosinya melonjak dan terlontar melalui kata-kata. Kata-kata pengharapan bahwa Rhsy harusnya mati dalam peperangan itu.
Di keheningan malam ini, Sebastian menjadi teringat bagaimana sifatnya menolak keberadaan Rhys. Dia memang saudara kandungnya, tapi dia tumbuh dengan tidak normal. Kenapa dia sangat menikmati segala kesibukan yang harus disandang seorang pangeran, itu sangat menyebalkan. Dia sangat kaku, dan selalu mengomentari segala hal jika Sebastian tidak bertindak layaknya seorang pangeran.
Salah satu contohnya, Sebastian suka mandi di sungai. Rhys mengomentarinya, ayahnya pun sama, mereka bilang itu bisa membahayakan nyawanya. Demi apa pun, Sebastian hanya ingin merasakan apa yang dirasakan oleh teman-temannya, dan itu sangat menyenangkan.
Sebastian juga meminta agar teman-temannya tidak menyanjungnya, memberikan hormat secara berlebih, cukup anggap dirinya seperti mereka.
Sementara Rhys, berbanding terbalik. Semakin Sebastian mengenal orang-orang sekitarnya, memandang Rhys menjadi sesuatu yang memuakkan.
Langkah Sebastian terhenti ketika melihat seorang pria berbadan tegap dengan diikuti tiga pria lain di belakangnya. Ada semburat keresahan di wajah ayahnya, mungkin kematian Tuan Oliver berhasil menyulut emosinya atau mungkin menggoyahkan kekuasaannya.
Dia punya ambisi yang mungkin dalam hitungan singkat akan berubah menjadi sebuah obsesi yang tidak pernah terpuaskan, Sebastian membencinya sampai dia kehilangan selera untuk hidup dalam lingkungan kerajaan. Sebastian ingin keluar dari kerajaan, dan Sophia hadir selayaknya angin segar yang mendukung keinginannya. Perempuan itu berniat untuk menghampiri si pria dalam surat, meskipun suatu saat nanti perasaannya terbalas dengan kenyataan menyakitkan, setidaknya Sebastian bisa keluar dari sini.
Alih-alih menikmati keheningan malam, Sebastian memutar tubuhnya hendak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Tuan Oliver. Otaknya kembali memuat jasad Tuan Oliver yang menatap nyalang dengan dihiasi senyum miring.
Langkah Sebastian yang terburu-buru dikejutkan dengan kemunculan penjaga istana dari arah samping yang menabraknya. Sebastian mundur beberapa langkah, tatapannya tertuju pada tali kekang kuda yang terlepas dari pelukan sang penjaga istana.
"Maaf Tuan, saya tidak sengaja." Dia menunduk hormat sejenak, sebelum akhirnya memungut kembali tali kekang kuda di hadapannya.
"Tidak apa."
Setelah menatap kepergian si penjaga istana, Sebastian kembali masuk ke istana dan benar saja Raja Denzel Salamon sedang mengambil alih percakapan di antara Avery dan Rhys. Dalam senyap, Sebastian bersandar dan mematung menyaksikan percakapan yang tampak menghabiskan udara di bumi.
"Jadi, Tuan Oliver dibunuh?" Setelah mendengarkan penjelasan Denzel tentang pengecekan dan penyelidikan yang dilakukan oleh pihak akademi, Rhys membuka suara.
"Melalui air minum yang tersisa digelasnya, serta efek yang ditimbulkan setelah Oliver meregang nyawa, kemungkinan yang pasti dia diracun," terang Denzel dengan hela napas berat.
"Apa ini ada kaitannya dengan Kerajaan Utara?" todong Rhys, tak sedikitpun keseriusan itu runtuh dari matanya.
Denzel menggeleng resah. "Ayah tidak tahu, bisa jadi iya bisa jadi tidak. Oliver memiliki keberanian, dan kemampuan yang luar biasa. Posisinya sebagai ksatria sekaligus menjadi guru di akademi, bisa membuat siapa saja menjadi iri."
Selama diskusi berlangsung, Avery hanya diam mendengarkan dan menenangkan suaminya melalui elusan lembut. Sebenarnya Avery tidak pernah tertarik dengan segala permasalahan yang berhubungan dengan nyawa manusia, kepalanya selalu terasa berat jika sudah membahas hal ini.
"Apa tindakanmu sekarang, Sayang?" tanya Avery, lembut.
"Aku menyuruh Benedict untuk berhati-hati dan peka terhadap sekitar. Sementara itu di luar sana penjagaan ditambah, jika hal ini memang ada kaitannya dengan para pemberontak." Sekarang Denzel sudah terlihat lebih rileks dari sebelumnya, ia mengatur napasnya dengan tenang, sesekali terpejam.
Tubuh Rhys sedikit maju, dahinya semakin berkerut mencari-cari benang merah di antara dua kemungkinan yang ada. "Tapi jenis racun apa yang berhasil menghabisi Tuan Oliver?"
"Hemlock."
Sebastian melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian keluar dari persembunyiannya seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Ia melewati tempat diskusi itu dengan santai, membalas senyum Avery, tapi ketika langkah pertama menginjak anak tangga, Sebastian mematung dan membalikkan tubuhnya menghadap tiga pasang mata yang mengarah padanya.
"Kata Benedict kau selalu tampil penuh dengan candaan, Sebastian. Bisakah kau berlatih lebih serius? Dan berhentilah mengganggu teman-temanmu. Usiamu sekarang tujuh belas tahun, dan kau tidak buta untuk melihat apa yang sedang terjadi." Denzel sudah terduduk tegap, tatapannya menyorot tajam.
Hela napas panjang berangsur dari hidung Sebastian. "Tentu. Aku tidak buta, lagipun pemberontakan sudah jadi cerita lama, bukan? Seharusnya kalian tidak perlu mengkhawatirkanku tentang hal ini, bukannya lebih bagus, jadi Tuan Rhys tidak memiliki saingan di istana ini."
"Ini bukan tentang persaingan, Sebastian!" Suara Denzel naik satu oktaf dari sebelumnya. "Ini untuk dirimu sendiri!"
Sebastian terdiam beberapa saat. "Ya, terima kasih atas perhatiannya, ayah."
O0O
Terima kasih Tuan-tuan dan Nona-nona pertunjukan bagian ketiga telah usai, silakan tinggalkan jejak berupa dukungan dan jangan lupa untuk selalu menyimpan tiket pertunjukan di perpustakaan atau daftar bacaan!
Sampai jumpa di pertunjukan selanjutnya🌞
Tertanda,
Tokohfiksi_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top