II. Salamon Land Two Years Later


Nama lengkapnya Ali Ghazali.

Sophia mengetahuinya karena laki-laki itu membawanya pada sepasang lansia penjual roti di wilayah Kerajaan Salamon. Ali tidak membawanya pada penyihir, atau bahkan menjualnya kepada lansia yang kini sedang membuat roti di hadapannya. Laki-laki dari bangsa arab itu hanya menitipkannya di sini, dia berjanji akan menjemputnya setelah perang di daerah Romawi mereda.

Namun, setelah dua tahun ini laki-laki itu belum menjemputnya juga. Melalui surat yang diterimanya di setiap bulan, Ali bercerita peperangan masih berlangsung, bahkan bukan hanya di daerah Romawi saja melainkan di daerah sekitarnya juga.

Laki-laki itu tinggal di Baghdad yang juga sedang berjuang mempertahankan negerinya dari serangan luar maupun dari dalam. Bahkan tidak sekali pula dia menuliskan deretan kata yang seakan dunia ini akan kiamat, akan binasa tak tersisa.

Ya, Sophia tahu ini bentuk kekhawatiran seorang Ali. Bukan hanya Ali yang merasa khawatir, bahkan dirinya pun sama. Selama dua tahun tinggal di sini, Sophia selalu merasa kalau hari ini adalah hari kematiannya, setiap kali ada pemberontakan atau serangan dari orang-orang yang entah siapa. Sophia beserta sepansang lansia yang merawatnya juga pernah dievakuasi ketika terjadi peperangan antara Kerajaan Salamon dengan Kerajaan Utara.

Menurut berita yang beredar, semua itu terjadi karena Kerajaan Utara telah berkhianat atas perjanjian yang telah disepakati. Seharusnya mereka menjalin kerjasama dalam mengelola sumber daya di pegunungan yang berdiri di antara kedua wilayah kerajaan ini. Namun, tabiat raja dari Kerajaan Utara yang serakah membuat Kerajaan Salamon menyatakan perang. Peperangan itu berakhir, setelah rakyat Kerajaan Utara meminta agar menyerah karena mereka tidak sanggup menerima serangan Kerajaan Salamon.

Alhasil, dari perang itu, wilayah Salamon menjadi sangat luas dari sebelumnya dan wilayah dari yang semula adalah wilayah Kerajaan Utara sedang dalam proses pemulihan hingga saat ini.

"Kau belum berangkat, Sophia?" Wanita keriput yang rambutnya sudah sepenuhnya memutih, berhasil membuat Sophia terperanjat di depan pemanggangan.

"Ah, iya, sebentar lagi." Sophia mengintip ke adonan yang sedang di masak di dalam pemanggangan yang terbuat dari batu semen.

Wanita itu telah mengatur adonan di atas tatakan yang terbuat dari besi, siap untuk dimasukkan ke dalam pemanggangan. "Seharusnya kau tak perlu terlalu bekerja keras untuk ini, Sophia. Dunia saat ini sedang kacau, ilmu bela diri lebih diperlukan. Kau harus bisa membela diri, bila suatu waktu terjadi perang lagi di sini kau bisa bertahan."

"Nenek benar, Sophia. Kau harus pandai membela diri, jangan sia-siakan masa mudamu ini hanya berdiam di depan adonan atau pemanggangan," susul si Kakek yang baru saja menyelesaikan adonan terakhir.

Meskipun mereka bukan orang tua kandungnya, selama dua tahun hidup satu atap, Sophia bisa merasakan kehangatan yang telah lama tenggelam dalam hidupnya. Sophia paham dengan apa yang mereka katakan, kedua anak mereka gugur ketika peperangan melanda, sampai mereka trauma untuk mempunyai anak lagi. Mereka pernah bilang, kami enggak sanggup untuk kehilangan anak lagi. Batin kami tersiksa, kami trauma, tapi kenapa Tuhan malah mengirimkan Hugo kepada kami melalui perempuan yang entah ke mana perginya hingga saat ini.

"Baiklah, aku pergi dulu, Kakek, Nenek."

Bukan hanya dirinya dan mereka yang tinggal di rumah ini, ada laki-laki tiga tahun lebih tua darinya. Dia memiliki wajah yang sangat dingin. Jarang berbicara, bahkan sampai saat ini Sophia kadang sungkan jika harus berhadapan dengannya. Sophia tidak tahu kapan laki-laki itu terakhir tersenyum atau tertawa, untuk membayangkan dia mempunyai selera humor saja Sophia tidak mampu.

Namun di balik tampangnya yang sedingin es, dia sangat perhatian padanya. Dia mengajarinya membuat adonan roti, memanggang roti, memegang pedang, memperkenalkan orang-orang di sekitarnya dengan cara yang menakutkan. Sophia berani bertaruh, sedingin-dinginnya Ali, kakaknya ini jauh lebih dingin. Orang gila mana yang mengajari banyak hal dengan suasana seakan ia adalah rusa yang siap diterkam oleh singa.

Tersisa beberapa langkah lagi untuk tiba di depan sebuah gerbang tinggi, seseorang dari belakang memberikan sesuatu pada tangannya. Sophia sempat tersentak seiring dengan tatapan terarah ke tangannya, sebelum ke sosok laki-laki berbaju longgar berwarna hitam yang menjauh dari hadapannya.

"Hugo?" Sophia mengangkat tangannya yang mencengkeram apel merah, sesaat setelah itu ia berlari menyusul kakaknya. "Kau mencuri apel dari mana?"

"Seumur hidup aku tidak pernah mencuri," jawab Hugo tak peduli dengan kehadiran Sophia di sampingnya.

"Ya-ya-ya, aku hanya becanda. Terima kasih, Tuan Hugo!" Sophia sedikit meledek, tapi seperti biasa Hugo hanya melenggang tanpa ekspresi.

Kata Kakek dan Nenek, Hugo memang seorang pendiam, kaku, dan sangat serius. Apalagi sekarang laki-laki bermata ungu gelap itu sudah mengetahui fakta dirinya bukan anak kandung Kakek dan Nenek, dia seperti laki-laki yang tak pernah terjamah oleh siapa pun. Kakek dan Nenek sempat menyesal karena sudah memberikan berita tak menyenangkan padanya, tapi semuanya sudah terjadi, mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain mendoakannya.

Sophia bergabung dengan sekelompok perempuan yang duduk di atas hamparan rumput hijau, semuanya tengah bersiap-siap menunggu seseorang yang akan mengajarkannya memanah.

"Sophia, apa kau benar-benar tidak tertarik sama Pangeran Sebastian?" celetuk perempuan berponi bernama Aimee.

"Eh? Tentu saja tidak, kita hanya berteman," canda Sophia, kedua matanya tertutup menahan malu. "Kau sangat berlebihan, Aimee."

"Benarkah? Kau tahu tadi dia mencarimu sambil cengengesan. Jangan-jangan dia jatuh cinta padamu," balas Aimee sembari menarik napas cukup panjang, merasa orang yang dia cintai malah mencintai orang lain.

"Itu tidak mungkin, Aimee. Dia seorang pangeran, sementara aku? Bahkan aku tidak-maksudku aku hanya gadis penjual roti. Suatu waktu aku akan pulang ke rumah, setelah masa hukuman ini berakhir." Sebenarnya Sophia tidak tahu tentang konflik yang terjadi di seluruh dunia, tetapi Ali menyuruhnya untuk berpura-pura kalau dia adalah keluarga jauh Nenek dan Kakek.

Ini memang menyebalkan, Ali hanya menyuruhnya berpura-pura tanpa memberitahu bagaimana caranya berpura-pura. Memang kalau ia mengaku sebagai orang Romawi akan terjadi sesuatu? Ya, itu adalah pemikirannya dua tahun lalu. Setelah melewati banyak masa, Sophia menjadi mengerti di masa peperangan ini siapa saja bisa menjadi lawan tak peduli kalau orang itu adalah korban dari mereka yang haus akan kekuasaan.

"Sepertinya itu jauh lebih buruk bagiku, Sophia. Kalau kau pergi aku akan sendirian lagi ...." Aimee menoleh menatap Sophia dengan senyum tipis tapi tulus. "Jadi aku pilih lebih baik kau hidup bersama Pangeran Sebastian dibandingkan aku harus berpisah denganmu."

Sophia mengerjap beberapa kali, perlahan ia berpaling ke arah laki-laki berambut pirang yang tak pernah menahan tawanya. Sophia tidak mengerti kenapa waktu malah membuatnya akrab dengan laki-laki itu, dan kenapa waktu memilih Aimee untuk menjadi temannya? Baiklah mungkin Aimee memang pantas untuk dijadikan teman, dia berhak bahagia setelah lingkungannya memandang sebagai pemicu runtuhnya keluarga ternama di sini. Tapi Sebastian? Sophia mendadak ingin melempar sandalnya ke arah Sebastian ketika mengingat momen pertemuannya dengan laki-laki pemilik lesung pipi itu.

Sangat menjijikan.

"Tapi, Aimee-"

Ketika matahari turun dua puluh derajat dari posisi sebelumnya, seorang wanita berteriak histeris membungkam obrolan orang-orang di area bangunan yang berdiri melingkar ini. Yang semula duduk lantas berdiri, menghampiri arah sumber suara. Derap langkah cepat dengan diiringi rasa penasaran itu baru terhenti ketika seorang wanita keluar dari bangunan seluas 5 x 5 meter. Dia berlari ketakutan, bahkan dia tampak menangis dan melemah di hadapan pimpinan akademi.

"Tuan! Tuan Oliver tergeletak tak berdaya di dalam sana!" seru wanita pelayan itu.

Semua orang yang berkumpul di sekitar terpaku beberapa saat, sebelum akhirnya mendekat ke gudang senjata khusus para peserta akademi. Mereka yang berada di barisan paling depan menegang, melihat tubuh Oliver mengarah ke arah pintu. Bibirnya menyeringai, tatapannya nyalang, tak sedikit pun tubuh itu bergerak bahkan hanya untuk menandakan bahwa pria berusia setengah abad itu masih bernapas.

"Sebaiknya segera panggilkan dokter, dan kalian semua harap kembali ke tempat semula, Tuan Alexander akan menggantikan Tuan Oliver untuk melatih kalian memanah!" pungkas Tuan Benedict, berhasil menyingkirkan anak didiknya dari tempat kejadian.

Dari kejauhan Sophia memandang guru-gurunya yang berjalan ke arah gudang senjata, mereka tampak serius dan berjalan cepat. Sebenarnya apa yang menimpa Tuan Oliver, kondisi terakhirnya sangat aneh. Mungkinkah dia terkena kutukan?

"Nona, apa kau yang mengutuk Tuan Oliver?"

Sophia lantas berputar begitu suara halus itu membelai gendang telinganya. Mata Sophia melotot, sebelum akhirnya mendelik melihat rupa laki-laki yang menyebabkan mimpi buruk di hari pertamanya di Salamon Land.

Sebastian Perceval Salamon.

O0O

Terima kasih Tuan-tuan dan Nona-nona pertunjukan bagian kedua telah usai, silakan tinggalkan jejak berupa dukungan dan jangan lupa untuk selalu menyimpan tiket pertunjukan di perpustakaan atau daftar bacaan!

Sampai jumpa di pertunjukan selanjutnya🌞

Tertanda,

Tokohfiksi_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top