6 - Lapas
Pagi ini aku terbangun karena ponselku berdering nyaring. Meraba-raba nakas aku mengambil ponsel tersebut dan menjawab panggilan yang berisik ini.
"Dwika Kencana?"
"Hah??"
"Anda belum bangun?"
"Ini siapa?" Tanyaku tak sadar.
"Satrio."
"Satrio mana ya?"
"Satrio Pamungkas."
Mataku sepenuhnya terbuka. Gila, Kika gila. Bisa-bisanya aku melupakan si pemilik suara berat yang penuh ancaman ini.
"Bang Satrio, maaf, saya baru bangun."
"Yeah saya tahu. Anda bisa datang lagi hari ini? Jam yang sama."
"Untuk apa? Bang Satrio bilang kalau Abang bukan narasumber saya."
"Yeah benar, tapi apa saya boleh berteman dengan Anda?"
"Hah??!!!" Aku terkejut kaget, menarik ponsel dari telinga, menatap nomor yang tidak ku simpan ini. Dan dengan gerakan otomatis, aku menekan icon merah untuk memutus sambungan telefon.
Duduk di kasur, aku menyadari kalau aku sendirian. Melirik jam dinding, ternyata sudah pukul 9. Pantas saja, Pram sudah berangkat kerja.
Aku turun dari kasur, berjalan gontai menuju kamar mandi.
Menyelesaikan rutinitas pagi, aku bahkan sudah mandi. Selesai berganti aku menuju meja makan, dan terkejut melihat sebuah roti lapis yang ada note-nya.
Selamat sarapan sayang,
have a nice day!
Aku tersenyum. Pram memang bisa sangat manis di saat-saat tertentu, hal yang membuat aku jatuh cinta berkali-kali padanya.
Memakan sarapan yang disediakannya, aku menonton berita lokal, semalam terjadi keributan di sebuah tempat hiburan malam, salah satu pengunjung membawa senjata api.
Wah? Menarik nih untuk dikulik. Sepertinya malam ini aku akan berburu berita di bar tersebut. Mencari bahan dari pengunjung, bukan hanya owner seperti yang kulihat di TV saat ini.
******
Seharian ini aku hanya diam di kantor, menulis berita. Menyiapkan tenaga untuk nanti malam.
Kantor kosong, banyak yang cari berita di luar, di ruangan ini hanya ada aku dan Mbak Irina yang mejanya ada di pojokan.
Malam telah tiba, tapi belum cukup malam untuk club tersebut buka. Aku sudah banyak menghabiskan gorengan yang tadi kubeli.
Ponselku tiba-tiba berdering, nama Pram muncul di layar.
"Di mana lo?!" Tanyanya begitu panggilannya diangkat.
"Masih di kantor Pram, kenapa?"
"Lo gak ngabarin? Katanya lo mau nemenin gue!"
"Iya, aku kan masih ngejar berita, nanti aku pulang ya sayang." Aku sengaja tidak menanggapi emosinya, aku tahu dengan sendirinya nanti akan berubah.
"Tau ah, mati aja sana lu!" Serunya lalu sambungan telefon tersebut mati.
Huh, sabar Kika, sabar.
*
Aku mengetuk pintu beberapa kali, hampir 3 menit menunggu, akhirnya terbuka dan Pram muncul, dengan wajah bantalnya.
Ya, aku tetap pulang kepadanya setelah mencari berita.
"Malem banget?" Tanyanya.
"Yeah, gimana lagi?"
Ia menarikku masuk, memelukku erat.
"Jangan PHP-in aku, sayaang. Aku ngarep banget kamu temenin." Bisiknya.
"Maaf." Aku mengurai pelukan ini, menutup pintu lalu berjalan ke arah sofa, melepas ransel yang kugendong.
"Tidur yuk?" Ajaknya.
"Aku masih harus nulis, mumpung anget beritanya."
"Nulisnya di kasur ya? Temenin aku."
"Iya, aku ke kamar mandi dulu ya? Terus ganti."
"Oke sayang."
Malam ini, Pram tidur sambil memeluk pahaku. Di hadapanku, laptop masih menyala, berita yang kubuat sudah hampir rampung.
Mengoreksi sedikit tatanan bahasanya, aku langsung memposting berita tersebut. Setelah itu, aku menulis sedikit tentang Satrio Pamungkas dengan data yang kumiliki saat ini. Menyimpannya di arsip.
Menyerah, aku menutup laptop, lalu tidur menghadap Pram.
Gosh! Kenapa harus Pram? Kenapa aku sayangnya sama dia? Yang moodnya gampang berubah, yang ucapannya kasar, yang ringan tangan?
Kadang, aku heran, kenapa aku bisa bertahan menghadapi dia?
Tapi di satu sisi, aku merasa bangga. Bangga karena aku kuat bisa tahan dengan Pram dan segala kekurangannya itu.
Asli, aku nih complicated sekali.
*****
Ingin berangkat awal ke kantor, aku memutuskan berangkat bersama Pram, dan syukurlah ia mau mengantarku.
"Semangat kerjanya Kika,"
"Yeah, kamu juga Pram. Hati-hati ke kantornya." Pram melambaikan tangan sekilas sebelum mobilnya melaju meneruskan perjalanan.
Pukul 8 pagi dan kantor masih sepi, hanya ada OB yang berlalu-lalang membersihkan lantai ataupun meja-meja.
Kunyalakan laptop, mengecek berita yang kutulis semalam. Yeah, lumayan, gak banyak, tapi gak nihil juga sih yang baca. Semoga saja nanti bakal naik lagi.
Mengingat masalah yang kuhadapi, aku mencari berita tentang Satrio yang terbaru, tapi hasilnya nihil. Aku juga mengecek sosial medianya, dan fotoku masih terpampang di sama.
Hemmmm.
Apa semua media sudah bungkam mengenai pemberitaan Satrio? Apa sih yang ketahui banyak orang namun tidak olehku? Asli, aku penasaran.
"Mbak Kika, dipanggil Pak Nugra." Ucap Mbak Yunet dari ujung tangga.
"Siap, Mbak!"
Sebenarnya bisa saja mbak Yunet telefon, tapi mungkin dia malas karena telefon di ruangan ini ada di sudut, dan hampir semuanya malas mengangkat. Hahaha.
Beranjak dari kursi, aku berjalan menuju tangga ke lantai atas.
"Langsung masuk aja Mbak." Ucap Mbak Yunet ketika aku mendekat.
Mengangguk kecil, aku berjalan menuju pintu ruangan Pak Nugra, mengetoknya pelan lalu membuka.
"Sini, masuk Ka! Tutup pintunya." Seru Pak Nugra.
Melaksanakan yang dikatakannya, aku menutup pintu di belakangku lalu duduk di seberang bosku ini.
"Ada apa Pak?" Tanyaku.
"Kamu nih gimana Kikaaa?"
Aku diam, bingung maksud perkataan bosku ini.
"Kenapa kamu langsung datengin Satrio? Harusnya dia tuh terakhir Neng, ahhh! Malah jadi kamu yang mampir di feed IG dia."
"Eh? Pak Nugra liat?"
"Ya pasti laah, orang saya lagi mantengin dia kok, eh tiba-tiba kamu nongol."
"Saya pusing Pak, dia kok kaya gak mau cerita."
"Nah itu makanya, dia terima aja semua tuduhan yang dilayangkan, gak ambil pusing. Dihukum seumur hidup pun dia gak banding. Itu yang jadi misteri."
"Yaudah Pak, nanti saya coba gali lagi. Tapi mungkin dia memang merasa bertanggung jawab sama apa yang dilakukannya, Pak."
"Cuma dia dan Tuhannya yang tau, Ka."
"Yaudah Pak, ada lagi?"
"Udah sih, cuma ya kamu lebih hati-hati aja ya?"
"Siap Pak." Jawabku sambil mengangguk.
*
Menerbitkan satu berita, aku akhir-akhir ini masih syok karena yang baca jadi lumayan banyak. Syukurlah, kalo kaya gini kan aku jadi dapet bonus.
Sampai siang, kantor masih sepi, jadi kuputuskan akan membeli makanan di depan kantor saja, biar kantor gak kosong.
Memesan bakso, aku menunggu sambil memakan pangsit goreng yang tersedia di meja. Buka-buka HP juga untuk berkabar dengan Trinity, memastikan ia dan Ayah baik-baik saja.
"Mbak Dwika?" Aku menoleh, ada seorang pria duduk di sebelahku.
"Eh iya? Mas kenal saya?" Tanyaku.
"Bisa ikut saya?"
"Eh? Ke mana?"
"Bang Satrio Pamungkas ingin bertemu dengan Mbak Dwika Kencana."
"Eh? Ada perlu apa?" Kok ya aku kaya sok penting gini ya?
"Bang Satrio hanya bilang kalau dia mau bertemu Mbak Dwika."
"Nanti deh, besok saya yang ke sana, bilangin, saya mau makan dulu ini."
"Please Mbak, ikut saya ya? Kalau saya gagal bawa mbak, saya yang dapet masalah." Suaranya kini tidak setegas awal-awal tadi. Pria berbadan besar ini justru terdengar memohon.
"Emm, yaudah, saya makan dulu ya? Laper." Kataku.
"Nanti mbak bisa makan kok, Bang Satrio mau bakan siang sama Mbak Dwika."
"Hah??!!" Aku melongo.
Pria ini berhasil membawaku, ia bahkan membayar bakso Pak Tono yang tidak kumakan. Aku langsung diajaknya naik mobil hitam besar yang ternyata sudah menunggu di pinggir jalan.
Aku pasrah ketika dibawa ke lapas di mana Satrio ditahan.
Begitu sampai, pria ini tidak membawaku ke ruangan yang biasa, ia terus berjalan ke arah dalam, dan berhenti di depan pintu.
"Silahkan Mbak, Bang Satrio sudah menunggu."
Menarik napas, aku memberanikan diri membuka pintu ini. Dan di sanalah dia, Satrio menunggu, duduk di kursi kayu, di hadapannya di atas meja sudah ada dua porsi bakso yang sepertinya masih panas. Dan ruangan ini... ini seperti kamar, kamar yang sangat nyaman.
Emang di penjara ada tempat ginian ya??
"Silahkan, Dwika Kencana." Ucap Satrio dengan suara berat khasnya.
Gosh! Apa lagi sih ini??
*******
TBC
Thanks for reading, dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo
Cusss yuk yg mau beli versi komplitnya xx
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top