5 - Mengungsi
Aku merasa tak tenang. Aku menutup akun sosial mediaku, berharap tidak ada satupun yang mengenali ataupun menemukanku.
Satrio bertindak sesuai ucapannya, ia memposting foto kami berdua, dan tentu saja, itu membuatku takut.
"Yuk, Ayah sama Tri tinggal di rumah tante Qori dulu." Ajakku, aku sengaja mengosongkan semua tabunganku, memberinya ke Trinity agar ia punya uang untuk berjaga-jaga.
"Mbak, tas kamu nih!" Tri memberikan tas ranselku.
"Oh iya, tolong ambilin laptop Mbak deeh." Aku mengemas barang-barang peting. Suka tidak suka, sepertinya aku harus mengungsi dulu di tempatnya Pram selama beberapa hari.
Membuka ransel, aku memasukkan laptop yang diberikan Tri, tapi sudah tidak muat, ranselku kepenuhan.
Mengatur ulang, aku bingung saat menemukan sebuah amplop coklat dari dalam tas, ketika kubuka, aku kaget setengah mati saat tahu kalau isinya uang tunai.
Gosh! Ini uang dari mana?
"Dek, ini kamu simpen ya!" Kuberikan uang itu pada Trinity tanpa pikir panjang.
Saat Tri menerima, aku melihat sekilas tulisan SP kecil di sudut amplop.
Tuhan. Apakah ini dari Satrio?
"Banyak banget Mbak? Kan tadi udah."
"Buat jaga-jaga dek."
Semua sudah siap, aku mengantar Ayah dan Tri ke rumah adiknya Ayah, tante Qori, setelah memastikan mereka aman di sana, aku langsung pergi, pamit menuju tempatnya Pram.
"Kamu ada masalah apa sih Mbak?" Tri mencegatku ketika aku hendak keluar.
"Gak ada apa-apa dek, aku cuma mau mastiin kalian aman. Jangan banyak debat sama tante Qori, iya-in aja maunya. Duit dari aku, beliin makanan untuk kalian bertiga, oke?"
"Kamu mastiin keselamatan kita, tapi keselamatan kamu gimana Mbak?"
"Aku bisa jaga diri aku, Dek. Lagian, ada Pram kok."
"Mbak, aku udah kehilangan satu kakak! Aku gak mau kehilangan satu lagi."
"Tenang, aku gak apa-apa, oke? Jaga Ayah, jangan ribut sama Tante Qori!" Pesanku, sebelum akhirnya Trinity melepaskan aku untuk pergi.
"Hati-hati!" Terdengar seruannya, aku menoleh ke belakang dan mengangguk.
Menggunakan angkutan umum, aku menuju tempat tinggal Pram. Masih pukul 5 sore, Pram sepertinya belum pulang, untung saja aku tahu di mana ia selalu meletakkan kuncinya.
Sekitar tiga puluh menit di jalan, aku sampai. Begitu tiba, aku langsung memasak, memutuskan untuk memberi hidangan terbaik untuk Pram agar mood-nya bagus dan ia tidak marah-marah.
Pukul tujuh malam kurang lima belas menit, terdengar ketukan di pintu dan Pram masuk ke dalam ruangan ini.
"Kaget aku pas kunci gak ada, terus denger suara TV nyala." Ucapnya ketika berjalan mendekat ke arahku.
"Laper? Aku masak ayam kemangi kesukaan kamu."
"Laper banget sayang, aku mandi dulu ya?"
Aku mengangguk.
"Aku siapin makanan buat kamu, kita makan malem bareng."
"Oke sayang!"
Ketika Pram masuk ke kamar mandi, aku langsung menyiapkan meja, semua makanan masih hangat, jadi aku tinggal menatanya agar terlihat lebih baik.
Setelah itu, aku juga sedikit mengatur rambutku, supaya gak berantakan. Dan tak lupa, menyiapkan pakaian ganti untuk Pram.
Tepat ketika aku mengeluarkan baju, Pram keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggulnya.
"Ini bajunya." Kataku.
"Iya, makasi sayaang."
Pram langsung berganti, dan aku pun pindah ke meja, duduk di kursi makan menunggunya.
"Ada angin apa nih sayang, kamu masak makanan kesukaan aku?"
"Gak ada apa-apa, tadi aku pulang cepet, Ayah sama Tri lagi nginep di rumah tante, dari pada bosen ya aku ke sini, temenin kamu, dan pas liat kulkas, ya masak."
Pram mengelus tanganku yang ada di atas meja, ia tersenyum dan matanya berbinar bahagia.
"Makasih udah siapin ini buat aku, aku seneng, aku gak salah banget pilih kamu jadi pacarku."
"Yuk makan, biar gak keburu dingin."
Kami langsung makan, sesekali aku bertanya mengenai kerjaannya, sesekali juga kami mengomentari sinetron yang sedang tayang di TV.
"Sini aku cuciin." Ucap Pram ketika aku selesai makan, ia sudah selesai dari tadi.
"Eh? Beneran?" Tanyaku kaget.
"Iya bener, kamu udah capek kerja, capek masak, ya masa aku gak mau sekadar cuci piring?"
"Oke sayang, makasi."
"Aku yang terima kasih, kamu bikin aku makan makanan enak, udah lama aku gak makan itu sejak Mama meninggal."
Aku beranjak mendekat, mengusap lengannya, memeluknya dan mencium puncak kepalanya sementara ia yang masih duduk memeluk pinggangku.
"Sabar yaa."
"Iya, kan sekarang ada kamu. Yaudah aku mau cuci piring dulu." Katanya mengurai pelukan kami.
Pram langsung membereskan meja, mengambil semua piring kotor, sedangkan aku menuju kamar mandi, mengumpulkan pakaian kotor dan memasukkannya ke dalam mesin cuci.
Keluar kamar mandi, Pram sudah duduk santai di sofa, menonton siaran olahraga. Aku melirik ke sudut dapur, sudah rapi semua.
Mendekat ke arahnya, aku langsung duduk di sampingnya, ia menarikku mendekat memutar tubuh agar kami berselonjor di sofa dan aku bersandar di dadanya.
"Aku mau kaya gini, tiap hari, kamu pindah sini aja." Bisiknya sambil memainkan rambutku.
"Gak bisa, aku masih punya tanggung jawab sama keluarga, kamu tau cuma aku yang berpenghasilan."
"Yaudah, kirim aja uang tiap minggu, aku sanggup kok."
"Ayah sama adek aku gak cuma butuh uang, Pram sayaang. Mereka juga butuh perhatianku."
"Aku juga butuh kamu." Nada suaranya terdengar sedih, aku menoleh ke belakang, menarik dagunya agar bisa menciumnya.
Membalas ciumanku, Pram menukar posisi sehingga kini aku rebahan di sofa dan dia ada di atasku. Kedua tanganku ditahan olehnya di atas kepala.
"Diem ya, tangannya jangan nakal." Katanya saat ciuman kami terlepas
Aku mengangguk.
Pram melanjutkan ciuman kami, aku membalasnya, membuat lidah kami saling berpagut.
"Pindah ke kasur yuk? Biar gak sempit." Ajaknya.
"Tapi aku gak mau diborgol."
"Makanya jangan nakal."
Aku mengangguk.
Pram menggendongku, kami pindah ke kasur dan tanpa menunggu waktu lama kami berciuman dan saling melucuti baju masing-masing.
Ciuman kami kali ini lebih panas jika dibandingkan dengan yang tadi di sofa, dan kedua tangannya sudah mulai keremas dadaku.
Aku memejamkan mata ketika ciuman Pram turun ke leher, tanganku meremas sprei ketika ia melakukan sedikit jilatan.
"Oh shit, sayang." Desahku ketika mulutnya turun ke dada, menggantikan salah satu lengannya yang kini mendorongku untuk merebah di atas kasur.
Tidak lama bermain di dada, ciuman Pran turun lagi, kedua tangannya kini naik kembali ke dadaku sementara mulutnya bermain di area vagina.
Jujur, ingin sekali aku meremas rambutnya, atau sebatas memegang tangannya ketika ia melakukan setuhan di bagian sensitifku, tapi tentu, aku menahannya, aku tidak mau Pram marah.
Tubuhku menegang saat Pram menggunakan jarinya ketika bermain di area bawah, dan detik berikutnya aku meledak.
Cengkraman tanganku di sprei semakin kuat sementara nafasku putus-putus. Sungguh ini kejadian langka, jarang sekali aku bisa klimaks bersama Pram.
Menyamakan posisi, wajah Pram kini setara denganku.
"Siap?" Tanyanya.
Aku mengangguk.
Sebenarnya belum. Aku ingin sekali menyenangkannya, memberikan oral seks, tapi Pram selalu menolak.
Terasa milik Pram sudah di ujung, dan tanpa aba-aba, ia mendesak miliknya masuk ke dalamku, membuat kami berdua mendesah.
"Ughhhh."
"Ohhhhh God!"
Pram menciun leherku, membuat desahanku semakin kacau sambil ia menggerakan pinggulnya.
Aku mengamati wajah Pram saat ia bergerak. Aku sangat menyukai posisi ini, di mana kami bisa saling bertatapan dan mencium wajah masing-masing sebagai respon dari persatuan kami di bawah sana.
Mempercepat gerakannya, tak butuh waktu lama sampai aku merasakan gelombang kenikmatan kedua muncul, kali ini aku mencengkram bantal, membiarkan Pram bergerak cepat keluar dari ritmenya.
"Aku keluar cepet ya?" Bisiknya ketika aku sedang merasakan ledakan kedua.
"Iya sayang, buang luar ya? Kamu kan gak pakai pengaman."
"Yaudah lanjut di kamar mandi." Ajaknya.
Pram melepas miliknya, aku ikut bangkit dan kami berdua berjalan ke kamar mandi. Ia langsung mengangkat tubuhku, agar aku bisa duduk di meja washtafel dan ia bisa langsung memasukkan miliknya lagi.
Aku mendesah tak karuan saat Pram bergerak di luar ritmenya, dan tak lama kemudian ia mencabut miliknya, memuntahkan cairannya ke lantai kamar mandi.
Aku turun dari meja washtafel dan ia langsung memelukku, mencium pelipisku lembut dan lama.
"I love you, Kika. Terus sama aku ya?"
"Yeah, I love you too, Pram. Aku bakal sama kamu terus, malahan, aku bakal nginep di sini untuk beberapa hari kedepan."
"Aku gak salah pilih! Kamu emang cewek terbaik, Kika."
Memejamkan mata, aku mempererat pelukanku padanya. Beruaha tenang, mengalihkan pikiran dan berharap situasi di luar sana baik-baik saja setelah Satrio mempublish foto kami.
Dan tentu saja, aku sangat tidak ingin Pram melihat foto itu, ia pasti akan menghukumku nanti.
******
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top