Bab 4 ; PERINGATAN PANDU
Feri sudah membulatkan tekad dan hatinya. Dia tidak ingin menghilang dari kehidupan Tiara begitu saja. Ia akan mencintai gadis itu dan merasakan kebahagiaan meskipun hanya sementara. Sedangkan ia tahu, rasa bahagia itu amat sangat mahal.
Setelah tubuhnya kembali Pulih, Feri menemui Tiara di taman Kampus UGM. Setangkai mawar merah yang dibelinya berada di tangannya.
“Feri!” panggil Tiara tanpa menyembunyikan bahagianya.
“Hai, Ra,” sapa Feri kembali.
“Red Rose ini buatku?” tanya Tiara sambil menunjuk mawar di tangan Feri.
Feri hanya tersenyum dan memberikan mawar itu kepada Tiara.
“Waah, kenapa nih? Jangan-jangan kamu ditolak dan bingung mau kasih bunga ini ke siapa?”
Mendengar itu membuat Feri tertawa. Ditolak? Pacaran saja tidak sempat di dalam hidupnya. “Tujuan mawar ini memang kamu, Ra. Untuk melengkapi senyum indahmu,” kata Feri menggombal.
Bibir Tiara mengerucut. Dia berusaha tidak tersenyum karena perasaannya yang melambung gembira.
“Kenapa?” tanya Feri melihat air muka gadisnya.
“Enggak kok! Ayo kita jalan-jalan saja!” ajak Tiara menggandeng tangan Feri.
Tiara mengajak Feri menikmati suasana di Kampung Pasanggrahan Tamansari. Karena ini hari Senin, tidak banyak pengunjung yang memenuhi spot-spot foto cantik di Tamansari.
Tamansari adalah situs sejarah yang dahulunya dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I secara bertahap sejak mulai 1758 M sampai pada tahun 1765 M yang ditujukan untuk tempat pesiar sekaligus meditasi Sultan dan keluarganya. Namun, sudah berhenti digunakan sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono III.
Feri memandangi Tiara yang berlatarkan Umbul Winangun yang berwarna biru kehijauan. Sosok Tiara menjelma bagai Putri Keraton Kasultanan yang cantik jelita. Dengan ponselnya, ia mengambil beberapa potret Tiara tanpa disadari kamera. Mereka bergerak ke situs selanjutnya. Feri merasakan ada yang mengawasinya. Namun, di semua sudut situs Pasranggahan Tamansari, ia belum menemukan sosok yang menjadi mata-mata terhadap dirinya dan Tiara.
Guide wisata kampung Tamansari terus menjelaskan sejarah Pasranggahan Tamansari kepada Feri dan Tiara. Sebenarnya Feri tidak menyukai usul Tiara untuk menyewa Guide. Karena dia ingin waktu yang hanya ada dia dan Tiara saja. Namun, gadis cantik calon dokter ini memilih menyewa guide untuk mengetahui kejayaan dan keindahan masa lalu Tamansari.
“Buat apa aku tahu semua itu? Toh, semuanya sekarang sudah padat rumah penduduk. Apanya yang indah? Mana segaran-nya?” komen Feri saat guide menjelaskan dimana ada segaran di atas tempat tinggal warga Kampung Tamansari. Segaran adalah laut buatan yang mengelilingi Pulo Panembung, Sumur Gumuling, dan Pulo Kenanga. Dahulu, untuk menuju Pulo Kenanga bisa menggunakan perahu atau lorong-lorong di bawah air. Bangunan Pulo Kenanga yang megah, tempat yang menjadi penjamuan dan tari-tarian menyembul di tengah segaran yang luas. Dan Sumur gumuling yang difungsikan sebagai masjid berada di atas permukaan air.
“Ya, kita kan sedang mengetahui sejarah suatu tempat ya, Mas, Mbak. Di atas pemukiman ini dulunya adalah tempat yang indah. Tapi terjadi gempa besar pada tahun 1867 Masehi yang meruntuhkan sebagian besar bangunannya,” kata guide wisata Tamansari yang menjelaskan dengan sabar.
Tiara memukul bahu Feri karena menurutnya Feri tidak menghormati sejarah.
“Adaw.” Feri mengaduh saat Tiara menampik lengannya. “Kan, aku juga penasaran betapa indahnya Tamansari dulu,” kata Feri membela diri.
“Ngeles, ya?”
“Aku yakin Tamansari ini cocok dengan putri cantik sepertimu,” bisik Feri di telinga Tiara yang tidak didengar guide. Pemandu wisata memberikan waktu untuk melihat-lihat bangunan Pulo Kenanga yang sebagian atapnya sudah runtuh.
“Maaf, kalu kamu mau jualan gombal mending ke Malioboro saja. Di sana banyak pusat-pusat fashion. Siapa tahu laku!” kata Tiara lalu meninggalkan Feri yang masih bingung.
“Lhoh, Ra! Gombalanku nggak dijual! Itu hanya untukmu seorang, Ra!”
Setelah mengambil foto beberapa kali di Pulo Kenanga, mereka melanjutkan ke Sumur Gumuling, Majid yang dahulunya berada di atas permukaan air. Untuk mengaksesnya melalui lorong bawah air dari Pulo Kenanga. Feri menangkap sekelebatan orang mencurigakan di belakangnya. Bangunan Sumur Gumuling yang melingkar sangat memesona. Tiara berkeliling mengambil potret setelah guide wisata menjelaskan mimbar imam dan filosofi 5 tangga yang merangkai yang bermakna Salat lima waktu sebagai tiang agama islam. Di saat Tiara sibuk memotret, Feri menghilang dan menyergap orang yang mengikutinya. Namun, orang itu menguasai systema yang membuat Feri hampir kewalahan.
Feri memblokade systema penyerangnya dengan ilmu jet kune do yang dipegangnya. Ia berhasil memukul mundur orang bermasker hitam itu sehingga semakin terdesak. “Siapa yang mengutusmu?” bisik Feri saat berhasil mengunci lawan. Namun, kunciannya berhasil digempur oleh si pendekar systema. Pertarungan mereka memang tanpa suara di lorong. Ia tidak ingin memancing keributan di saat bersama Tiara.
“Ada pesan untukmu. Target harus kau singkirkan!” kata orang itu tajam. Ia menyerang Feri dengan tiba-tiba dan mengeluarkan jack knife yang terselip di belt di pinggangnya. Pisau itu berhasil melukai perut Feri walau hanya menggores. Tidak cukup dalam untuk mengenai organ vitalnya Feri. Lalu pendekar systema itu kabur menuju lorong pintu keluar. Menuju situs dermaga.
Feri memeriksa darah yang memancar dari kaosnya yang robek dan kulitnya yang teriris. Cukup banyak sampai mengotori kaos dan kemejanya.
“Feri, aku cari-cariin,” kata Tiara yang muncul di lorong. Feri segera mengancingkan kemeja berwarna gelapnya. Untung saja out fit luarnya berwarna gelap sehingga cairan kental yang menguar dari perutnya sedikit tersamarkan.
“Hai, Ra. Headsetku tadi jatuh. Sudah ketemu,” kata Feri memungut headset di kakinya. “Di sini dingin dan lembab. Aku kedinginan,” lanjut Feri lagi saat Tiara memandang gaya berpakaian Feri yang kali ini mengancing kemejanya sampai kancing atas kedua.
“Oh, aku tidak tanya apa-apa kok,” kata Tiara. Feri malah semakin gelagapan dengan sikap Tiara yang seperti ini.
“Ayo, kita hunting photo! Di sini estetik banget,” ajak Feri untuk mengalihkan kecurigaan Tiara.
Feri masih memikirkan pendekar systema tadi. Mungkin saja itu Farez, salah satu asisten Pandu untuk memperingatkannya tentang misi terakhir yang belum dituntaskannya. Kegagalan membunuh Bayu memang sangat fatal bagi Feri alias Dominic sebagai kode nama di dunia hitam. Apalagi sang klien yang tentunya akan marah besar mendengar target belum dilumpuhkan. Kredibilitas Dominic yang membunuh tanpa cela juga menjadi ternodai karena Bayu masih hidup, bernapas, dan masih berjalan di bumi tempat musuh mengirimkan assassin untuk mencabut nyawanya. Tapi sang malaikat maut sepertinya belum membawa nyawa Bayu karena belum terdaftar di dalam bukunya untuk dibawa ke alam akhirat.
Sekarang barulah Feri menyadari, sulitnya membunuh Bayu. Bayu memang tampak lebih lemah dari Danu, tetapi keberuntungannya lebih besar daripada saudara kembarnya. Mungkin karena sifat religius Bayu yang taat terhadap agama karena tidak sekali pun meninggalkan ibadah salat lima waktunya. Selanjutnya, Feri harus menyusun rencana untuk menyelesaikan misi membunuh target secepatnya, atau menyelamatkan target beserta Tiara secepat mungkin sebelum peringatan Pandu datang kembali kepadanya. Peringatan yang lebih kejam dan berakibat fatal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top