THIRTEEN

Terima kasih teman-teman sudah memberikan komentar selama ini. Aku selalu berusaha membalas, di antara kesibukan di bulan Ramadan. Bulan Ramadan ini susah sekali cari waktu untuk membaca satu-satu tetapi aku selalu mengusahakan. Karena aku suka mendengar kekesalan kalian kepada Alwin hahaha. Tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Alwin ganteng dan banyak uang, tapi dia nggak punya perasaan :-D

Mungkin Rafka bisa mendekati kriteria laki-laki yang ideal, tapi seperti kata Edna di bab I, orang baik diambil Tuhan lebih dulu. Jadi, mari kita terima Alwin apa adanya, sambil marah-marah. Orang model Alwin ini kalau nanti jatuh cinta ... kita saksikan sendiri bagaimana jadinya :-D

Love, Vihara (IG/TWITTER/FB/LINE ikavihara)

***

Edna tidak memberi kesempatan Alwin untuk bicara. "Hubungan Elma dan Rafka bukan tentang uang, Al. Melainkan tentang menghargai perbedaan mimpi dan saling mendukung untuk mewujudkan. Selain itu, banyak hal yang diberikan orangtuamu pada Elma. Pada kami. Cinta. Keluarga. Elma dan aku telah kehilangan orangtua kami. Jika menikah, Elma ingin dekat dengan keluarga suaminya. Juga Elma nggak akan meninggalkanku di sini. Kamu nggak akan membawaku ke Amerika kan, kalau menikah dengan Elma?"

"Kamu sudah cukup umur dan mandiri...."

"Bukan masalah aku bisa menghidupi diriku sendiri. Tapi hanya aku dan Elma yang tersisa dari keluarga kami dan kami nggak akan hidup terpisah benua seperti itu. Rafka tinggal di Indonesia dan dekat dengan orangtuanya. Dekat denganku. Makanya aku bisa bilang ini bukan semata-mata tentang uang."

Selalu ada rasa penyesalan kenapa Alwin berpesan agar Elma tidak ragu meminta tolong Rafka jika Elma memerlukan apa-apa selama Alwin tidak di sini. Tampaknya Rafka terlalu murah hati dalam memberikan bantuan. Ketika Elma ingin bekerja dari rumah—membuka pesanan berbagai macam kue—Elma berdiskusi dengan Rafka, yang dipandang Elma menguasai area pemasaran yang disasar Elma. Sebab Rafka kenal dengan banyak orang penting di kota dan bisa mengenalkan bisnis baru Elma kepada mereka. Rafka membantu Elma merintis usaha, yang kelak memiliki gedung sendiri, E&E.

tidak pernah terlintas dalam benak Alwin, bahwa kembarannya akan menggunting di balik lipatan seperti itu. Memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan hati Elma. "Aku mengerti, Edna. Ini tentang cinta. Tentu saja dia mencintai laki-laki yang punya banyak uang yang bisa memudahkan langkahnya untuk mewujudkan cita-cita. Seandainya aku tidak punya banyak uang sekarang, mungkin kamu akan menolak ide Mama agar kita menikah."

Tutup mulutmu sekarang, Al, atau kau akan menyesal. Seandainya dia mencurigai Edna memiliki motif lain selain Mara, untuk menikah, tidak seharusnya Alwin menyuarakan jika belum terbukti. Meskipun kakak beradik, Edna dan Elma adalah dua orang yang berbeda. Dengan cara berpikir yang berbeda pula. Tidak bisakah dia berprasangka baik, bahwa pandangan Edna tentang pernikahan bisa saja—bahkan sangat mungkin—berbeda dengan Elma?

"Apa kamu nggak dengar penjelasanku tadi?!" Edna menggeram menahan amarah.

"Itu semua hanya asumsimu, Edna."

"Jadi aku berasumsi?! Kamu harus bercermin, Al! Kamu juga berasumsi bahwa Elma menikah dengan Rafka hanya karena uang. Sendainya kamu memikirkan apa yang dibutuhkan Elma—cinta dan keluarga—bukannya berusaha menjauhkan Elma dari itu semua, Elma tentu akan menikah denganmu.

"Kamu tahu, Al? Satu bulan ini aku meyakinkan diriku bahwa aku mungkin bisa menyukaimu. Tapi ternyata...," bisik Edna. Suaranya penuh kepedihan. "Aku sudah sampai pada kesimpulan akhir. Aku membencimu."

***

'Aku membencimu' bukan kalimat yang tepat untuk memulai hubungan. Lebih-lebih untuk memulai pernikahan. Untuk menikah, katanya, yang diperlukan adalah komitmen, komunikasi, kesabaran, dan kepercayaan. Benci tidak termasuk di dalamnya. Alwin menatap frustrasi layar ponselnya. Sudah lebih dari seminggu Edna tidak mau menjawab panggilannya. Biasanya gadis itu rutin melaporkan berapa banyak uang Alwin yang sudah ditarik untuk membeli gaun, menyewa gedung, membayar undangan, dan sebagainya. Tetapi sekarang, sama sekali tidak ada kabar dari Edna.

Seumur-umur, Alwin tidak pernah bersikap seperti itu. Mengeluarkan kalimat yang menyakiti hati seseorang. Bahkan saat sedang marah kepada Elma dan Rafka, Alwin memilih diam daripada bersuara. Salah satu prinsip yang harus dia pegang teguh adalah, berpikir dulu baru bicara. Bukan sebaliknya. Tetapi saat bicara dengan Edna ... Alwin menghela napas. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia tahu bahwa mudah baginya untuk jatuh cinta pada Edna. Apalagi jika Edna berbuat baik padanya. Namun sayang, dirinya trauma terhadap satu benda itu. Cinta. Tubuhnya sudah memiliki mekanisme mempertahankan diri. Ketika ada siapa saja yang berpotensi bisa memiliki hatinya, Alwin akan bersikap layaknya seorang bajingan yang pantas dikutuk oleh semua orang di dunia.

Semua kata-kata menyakitkan, yang sudah terlanjur terlontar dari mulut seseorang, tidak bisa ditarik kembali. Tidak bisa lagi diperbaiki. Sekarang lihat hasilnya, calon istrinya tidak sudi bicara dengannya.

Alwin mengirim pesan kepada Alesha, menanyakan apakah Alesha tahu kenapa Edna menghindari Alwin. Tidak akan ada jawaban dari Alesha, Alwin yakin. Solidaritas di antara para wanita benar-benar mengagumkan. Bahkan ikatan darah saja kalah. Atau memang sejak dulu memang dia dan Alesha tidak pernah punya pendapat yang sama. Adiknya lebih bisa memahami Rafka daripada dirinya. Mungkin karena Rafka berusaha akrab dengan Alesha dan Alwin tidak.

Oh, Alwin bahkan tidak tahu apa yang dirasakan Alesha setelah meninggalnya Rafka. Karena Alwin tidak peduli. Memilih tidak peduli, lebih tepatnya. Sama sekali Alwin tidak berpikir untuk menemani Alesha melewati masa berkabung. Nurani Alwin terusik. Haruskah dia mulai meluangkan waktu untuk kembali mengenal adiknya?

Setelah berpikir sebentar, Alwin mengirimkan WhatsApp ke nomor Edna.

I said sorry, okay?

Tidak sampai satu menit kemudian, ponselnya bergetar.

Fine.

Satu kata tersebut bagaikan sebuah gunung berapi. Ada magma berisi emosi-emosi negatif di dalamnya yang siap meletus kapan saja. Fine jenis ini bermakna 'aku sangat marah dan aku tidak mau lagi bicara denganmu selamanya'. Satu kata yang tidak lebih baik daripada satu kalimat aku membencimu.

***

"Jadi ini mobil barunya? Yang harganya semilyar lebih itu?" Nalia menggerakkan tangannya di sepanjang dashboard. "Aku lebih suka naik mobil ini daripada naik Jazz jadulmu."

"Haha!" Edna tertawa kering menganggapi komentar sahabatnya. "Jazz itu berjasa menyelamatkan nyawamu, waktu kamu mencret dan harus ke rumah sakit." Mobil Edna—mobil baru Edna—meluncur meninggalkan Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak tempat Nalia mengajar. Sengaja Edna menjemput sahabatnya karena perlu teman bicara untuk melupakan kekesalannya pada Alwin.

"Semester depan kita wisuda," kata Nalia. Mereka berdua sedang menyelesaikan S2 di salah satu universitas negeri pada jurusan yang berbeda. "Paling nggak, kalau kamu menikah, ada keluarga yang datang. Nggak foto-foto sendirian."

Edna sedang menimbang-nimbang untuk mengikuti petunjuk GPS—yang memberitahu mengenai kemacetan di depan sana—atau tidak. "Kita nggak akan lulus bareng, Nali. Aku bakal molor karena menikah ini. Tapi aku berencana nggak datang wisuda, kapan pun aku lulus, kamu sudah tahu itu kan?" Pertimbangan Edna adalah, tidak akan ada keluarganya yang bisa hadir—semua sudah meninggal. Melihat semua wisudawan tersenyum bahagia bersama orang-orang yang mereka cintai hanya akan membuat hatinya semakin perih.

"Tapi kamu akan punya suami dan anak, Nya. Mereka akan datang."

Mobil Edna berhenti ketika lampu merah menyala dan Edna menarik napas.

"Aku dan Alwin menikah bukan karena kami saling mencintai, Nali."

"Apa hubungannya dengan wisuda? Orang nggak tahu kalian saling mencintai atau nggak. Nggak peduli kalian menikah dengan alasan apa. Itu bukan urusan mereka sih."

Pelan Edna menginjak pedal gas. Seandinya hidup mudah diatur ini. Bisa dipelankan ketika lelah. Bisa berhenti ketika kehilangan arah.

"Dalam pernikahan kami, Alwin nggak akan mengurusi hal-hal seperti itu, Nali. Dia mungkin nggak peduli pada pendidikanku atau apa. Aku bahkan nggak punya gambaran tentang pernikahan kami. Aku nggak tahu bagaimana nanti menjalaninya. Aku takut. Aku sudah pernah menceritakan padamu gimana aku...." Edna berusaha menemukan kata yang tepat. "Terpukau waktu ketemu Alwin pertama kali? Sekarang dia jauh lebih memesona. Gimana kalau aku jatuh cinta padanya?"

"Apa yang salah dengan jatuh cinta, Nya?"

"Nggak ada yang salah kalau aku jatuh cinta pada laki-laki lain. Bukan Alwin. Dulu saat aku masih remaja dan aku menyukai Alwin, aku selalu mengingatkan diriku bahwa dia mencintai kakakku dan aku harus bisa menganggapnya sebagai kakak juga. Jatuh cinta padanya, sekarang atau nanti, cuma patah hati yang akan kuhadapi. Karena kurasa dia tetap mencintai Mbak Elma."

"Tetapi sekarang Mbak Elma sudah nggak ada lagi, Nya. Kamu memiliki ruang dan waktu untuk membuat Alwin melupakannya dan jatuh hati padamu."

Edna tertawa. "Yang benar saja, Nali. Itu nggak mungkin terjadi. Alwin nggak punya hati." Demi apa pun di dunia, lebih mungkin mencegah perubahan iklim daripada membuat Alwin mencintainya. "Lagipula, siapa aku? Aku nggak secantik Elma. Nggak sehebat Elma. Aku nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan Elma. Alwin nggak akan mau menikah sama aku kalau nggak disuruh ibunya."

"Edna yang kutahu nggak pernah merasa rendah diri seperti itu."

"Kita lihat nanti sajalah. Sekarang kita belanja atau makan dulu?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top