TEN
Ikuti GIVEAWAY di Instagramku ikavihara, berhadiah tiga novel MY BITTERSWEET MARRIAGE edisi baru. Siapa tahu jawaban kalian terpilih untuk jadi pemenang beruntung :-) Novelnya bagus lho. Cerita perjodohan dan pernikahan juga. Manis, renyah, hangat. Nggak kalah dengan Ayah Untuk Mara.
Tinggalkan juga komentar untukku ya. Aku senang kenal dengan kalian semua. Terima kasih sudah membaca.
***
Wajah Edna cantik, tidak kalah dengan Elma. Hanya beda pada sorot mata. Sorot mata Elma lembut dan teduh, mengundang laki-laki untuk berlama-lama menatapnya. Sedangkan milik Edna tajam dan penuh keberanian, memperingatkan laki-laki untuk tidak mendekat.
Tetapi namanya laki-laki. Biasanya semakin dilarang, semakin ingin mencoba. Seperti Edvind. Semakin Edna menolak, semakin penasaran dan gigih berjuang untuk mendapatkan Edna. Seolah gelar Edvind sebagai player belum sahih kalau belum mengajak Edna kencan. Edna santai saja menghadapi Edvind. Apa Edna tidak sadar bahwa Edvind terobsesi padanya? Bahwa Edvind akan melakukan apa saja supaya bisa menggandeng tangan Edna di muka umum?
Ketika bersama Mara, sorot mata Edna berubah. Menjadi keibuan. Dammit. Tiba-tiba Alwin memikirkan seperti apa sorot mata Edna bersamanya, di malam pengantin mereka. Tentu saja mereka akan melakukannya. Bukankah Edna sendiri yang meminta, bahwa Edna ingin mendapatkan haknya sebagai istri? Dibahagiakan di atas tempat tidur termasuk salah satu hak istri, kalau menurut kamus pernikahan buatan Alwin.
"You lucky arsehole." Alesha duduk di lantai di samping Alwin, dan Alwin hanya meliriknya sekilas. "Aku nggak paham kenapa Edna mau menikah denganmu."
Ya, dia memang benar-benar beruntung. Dia tidak hanya akan menikah dengan wanita cantik, tetapi dengan wanita yang tahu dengan jelas apa yang bisa diharapkan dari laki-laki dan pernikahan. Tidak mengharapkan cinta.
"Setelah Elma, sekarang Edna? Dua gadis paling cantik di kota ini? We have the winner. Kurasa Edvind nggak boleh lagi membanggakan dirinya sebagai orang yang paling bisa menaklukkan wanita." Alesha menyindir kakaknya.
"Just trust me to do what's right." Alwin berdiri untuk mendekati Edna yang masih duduk bersama Edvind sambil menggoda Mara yang sedang bermain bersama Hale—salah satu anak sepupu Alwin—di lantai di dekat mereka.
"Minggir, Ed." Alwin memaksa duduk di antara Edvind dan Edna, sedangkan Edvind menggerutu dan pindah ke lantai, ikut bermain balapan mobil-mobilan bersama Hale dan Mara.
"Kita pulang setelah ini. Istirahat. Besok, kita bertiga harus ke suatu tempat. Aku tidak punya banyak waktu. Lusa aku kembali ke Amerika." Alwin meletakkan tangannya di atas sandaran sofa di belakang leher Edna.
"You didn't learn your lesson, did you?" Edvind, yang ikut mendengarkan pembicaraan, mengedipkan mata pada Edna. "Tidak takut kehilangan lagi, Al? Meninggalkan tunanganmu ke Amerika? Berarti aku punya banyak waktu dan kesempatan untuk mencuri perhatianmu, Nya."
"Back. Off!" Alwin mengusir sepupunya, yang sedang tertawa dan mengangkat tangan. Meski, seandainya kali ini Edna memilih jalan yang sama dengan Elma—memutuskan hubungan demi laki-laki lain—Alwin tidak akan merasakan sakit hati yang sama seperti dulu. Karena dia tidak mencintai Edna. Tetapi tidak tahu kenapa, dia merasa tidak rela ketika membayangkan Edna bersama dengan Edvind. Atau laki-laki mana pun.
"Nggak jadi sore ini perginya?" Seingat Edna, alasan Alwin berangkat ke sini dengan mobil terpisah adalah karena Alwin ingin mengajaknya berkunjung ke suatu tempat.
"Mara sepertinya sudah capek. Kita istirahat saja dulu."
"Kita mau ke mana memangnya? Sama Mara juga?" tanya Edna, penasaran.
"Mewujudkan salah satu keinginanmu sebelum menikah."
"Aku nggak punya keinginan apa-apa."
"Demi Tuhan, Edna!" Kali ini Edvind kembali menyahut. "Calon suamimu termasuk salah satu dari lima puluh orang terkaya di dunia. Minta sesuatu padanya sebelum menikah. Pulau pribadi atau jalan-jalan ke luar angkasa."
"Apa itu betul, Al?" Mata Edna membulat tidak percaya. Selama ini Edna tidak pernah mengikuti berita mengenai Alwin. Kecuali jika Tante Em bercerita mengenai anaknya. Hanya saja Tante Em tidak pernah menyebut berapa jumlah harta Alwin.
"Itu tidak penting."
"Apa yang ingin kamu berikan padaku?"
"Semua yang kamu inginkan, Edna, aku akan mewujudkannya. Tapi besok, aku baru bisa memberikan salah satu."
***
Lebaran adalah salah satu hari terbaik di kota ini. Jalanan lengang sekali. Perjalanan pagi yang biasanya menyiksa, kali ini lancar tanpa hambatan. Penyiar radio melaporkan kemacetan di pintu tol keluar. Ditingkahi suara Mara yang sedang bicara dengan boneka jerapahnya. Edna menoleh ke belakang, memeriksa Mara yang duduk di child car seat dengan dua boneka jerapah di tangan.
SUV superbesar milik Alwin, masih tercium bau barunya. Mobil ini jauh berbeda dengan Honda Jazz generasi pertama, yang umurnya sudah lebih dari sepuluh tahun milik Edna. Mobil peninggalan ayah Edna, lebih tepatnya. This car has excessive displays of size and power. Cocok sekali dengan sosok Alwin. Kuat, baik secara fisik maupun kepribadian. Edna melirik tangan Alwin. There's something sexy about a man behind the wheel. Wajah yang serius menatap jalan di depan, tangan yang mencengkeram erat kemudi.
Sambil menggelengkan kepala, Edna menutup mata. Kenapa dia bisa menganggap Alwin seksi?
Sepanjang perjalanan menuju tempat rahasia yang dimaksud Alwin, Edna kembali mengingat apa yang pernah dikatakan Socrates kepada Plato, saat Plato menanyakan apa itu pernikahan. Socrates menyuruh Plato masuk ke hutan untuk menebang pohon yang paling besar dan bagus. Peraturannya tetap sama seperti ladang jagung. Hanya boleh melangkah maju dan membawa keluar satu pohon saja.
Di tangan Plato, ada pohon yang sangat biasa, tidak ada istimewanya. Socrates bertanya kenapa dia memilih pohon tersebut dan dia menjelaskan, "Karena aku belajar dari pengalaman di ladang jagung. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang. Jadi, saat aku sudah berjalan melintasi setengah hutan dan aku belum juga mendapatkan apa-apa, aku harus segera memilih satu pohon. Ketika melihat pohon yang bagus ini, tidak peduli ini sempurna atau tidak, aku memotongnya, karena aku takut melewatkannya dan keluar lagi dengan tangan hampa."
Seperti itulah pernikahan. Edna menggumam dalam hati. Karena tidak mungkin menemukan laki-laki yang sempurna, wanita menikah dengan laki-laki yang dianggap baik. Daripada terus hidup sendiri. Seandainya Alwin menyukai Mara, tanpa mencintai Edna, Edna akan memasukkan Alwin dalam kategori baik. Katanya, karakter seseorang yang sesungguhnya bisa dilihat dari cara mereka memperlakukan anak-anak. Dua hari ini, Alwin memperlakukan Mara dengan baik dan dengan begitu, Edna menyimpulkan Alwin adalah orang yang baik pula.
Itu sudah cukup menjadi alasan untuk menerima Alwin sebagai suaminya. Yang penting, selamanya Mara akan bersamanya. Tadi malam Alwin kembali menjelaskan bahwa dalam perjanjian pranikah mereka, akan ada pasal yang menyebutkan jika mereka sampai berpisah suatu hari nanti, Alwin akan selalu menjadi ayah bagi Mara maupun anak kandung hasil pernikahan mereka kelak.
"Ini rumah siapa?" Edna mengamati rumah berpagar hitam, tinggi dan rapat, saat mobil Alwin berhenti. Rumah nomor 47 di sisi kiri jalan. Di belakang mobil Alwin terdapat belasan mobil. Sepertinya tamu rumah nomor 45, yang pagarnya kini terbuka lebar.
"Rumah kita." Alwin membuka pintu dan Edna mengikuti turun dari mobil.
"Rumah kita?" Edna membeo. Dagunya mungkin sudah jatuh ke lantai karena bibirnya menganga tidak percaya. Sambil berusaha mencerna semuanya, Edna mengikuti Alwin turun dari mobil.
Saat Edna akan membebaskan Mara dari child car seat dan sabuk pengaman, Alwin menyentuh punggung Edna. "Biar aku saja."
***
Edna melangkahkan kakinya dengan ragu ke sebuah rumah besar kosong berdinding putih. Sedangkan Mara sudah berlarian ke sana kemari. Anak-anak, Edna tersenyum memandang Mara, selalu penasaran dengan tempat baru. Kalau Edna tidak ingat harus menjaga harga diri di depan Alwin, dia juga akan mengikuti Mara meneliti seluruh ruangan.
"Kita akan tinggal di sini setelah menikah nanti." Alwin memimpin langkah menuju bagian dalam rumah.
"Ini ... rumahmu?" Kalau dulu Edna terkagum-kagum dengan rumah baru Elma dan Rafka yang besar dan megah, saat ini Edna merasa mulutnya sudah sukses ternganga lebar. Dengan SUV mahalnya, ditambah rumah di kawasan—yang Edna tidak pernah berani bermimpi mampu membelinya—ini, Edna jadi bertanya-tanya berapa penghasilan Alwin setiap bulan. Apa betul yang dikatakan Edvind kemarin, bahwa Alwin kaya raya?
"Rumah kita." Alwin meralat. "Dulu Papa menyarankan suapaya aku membeli rumah di sini. Setelah keliling dan tidak ada yang cocok, aku memutuskan membeli tanah saja. Aku membangun rumah ini selama satu tahun," jelas Alwin.
"Kamu membangun rumah sebesar ini untuk ditinggali sendiri?"
"Aku juga tidak tahu apa yang kupikirkan waktu itu. Hanya saja, Mama bahagia sekali, karena mengira dengan punya rumah di sini, berarti aku sudah siap untuk menikah." Sejak Rafka meninggal, sedikit sekali hal-hal yang bisa membuat ibunya bahagia. Harapan Alwin segera berkeluarga adalah salah satunya. "Kita akan tinggal di sini setelah menikah."
"Aku pikir kita akan tinggal di rumahku." Rumah peninggalan orangtua Edna luas, meski tidak baru, dan selama ini hanya dihuni oleh Edna dan Mara. Kalau ingin kekinian, tinggal direnovasi. Mereka tidak perlu membangun rumah baru.
"Aku tidak ingin tinggal di tempat yang pernah ditinggali Elma."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top