SIX
Terima kasih banyak buat teman-teman yang sudah menyisihkan rezekinya buat membeli salah satu atau salah beberapa bukuku. Modal tersebut kupakai buat menyiapkan cerita berikutnya dan menyelesaikan cerita ini. Aku sering bikin coret-coretan berapa biaya yang kuperlukan untuk menulis sebuah naskah dan sebisa mungkin aku membiayainya dari buku-buku sebelumnya yang telah teman-teman beli. Dari buku untuk buku.
Kalau teman-teman tidak ingin beli, atau merasa karyaku tak layak untuk dinikmati dengan mengeluarkan uang, teman-teman bisa merekomendasikan cerita gratis ini kepada teman-teman kalian atau membagikan tautan di sosial media. Itu adalah hal termudah yang bisa kalian lakukan untuk karya yang menyenangkan hati kalian. Siapa tahu mereka tertarik.
Semoga cerita ini memberi tambahan sudut pandang pada hidup kalian.
Love, Vihara (IG/Twitter/FB/Line ikavihara)
***
"You are still grieving for the woman you lost. This is not the right time to get married. Aku bukan nggak setuju kamu menikah dengan Edna. Aku menyayanginya seperti adikku sendiri. But you will hear me, wait a bit, sampai kamu bisa berdamai dengan perasaanmu, and see if you can care for another woman.
"Perasaan Edna sangat rapuh, Al, setelah ditinggalkan oleh seluruh keluarganya. Dia menginginkan pernikahan yang penuh cinta. Apa kamu akan bisa memberikannya? Memberikan cinta kepadanya dan Mara? Aku yakin kamu akan memperlakukannya dengan baik. Bagaimana jika di antara kebaikanmu, dia jatuh cinta padamu? Sedangkan kamu selamanya nggak akan bisa jatuh cinta?" Alesha langsung berbalik dan meninggalkan Alwin.
Tatapan Alwin kembali pada Edna yang masih sibuk menyuapi Mara. Mungkin memang Alwin tidak bisa memberikan cinta. Tetapi segala aspek yang lain yang diperlukan dalam pernikahan, hubungan dan keluarga, dia bisa memberikannya.
Alwin sudah lelah dengan kejaran pertanyaan dari kedua orangtuanya. Pertanyaan apakah dia punya teman dekat dan berencana untuk menikah. Ketika jawabannya tidak, mereka mencurigai bahwa Alwin berlum bisa melupakan Elma. Tidak rela Elma menikah dengan kembarannya. Lalu mereka menasihatinya berhari-hari, mengatakan bahwa semua adalah takdir Tuhan dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menerimanya.
Semua akan lebih mudah jika dia menuruti permintaan ibunya untuk menikah, dengan gadis pilihan ibunya. Kedua orangtuanya akan membiarkan hidupnya tenang kembali. Seperti dulu. Saat Rafka masih hidup. Pada waktu itu keluarganya sibuk dengan kehamilan Elma dan kelahiran cucu pertama. Semua orang tidak sadar bahwa Alwin juga ada di dunia ini sehingga dia bebas melakukan apa saja, hidup di mana saja tanpa ada yang mengomentari.
Lagi pula, calon istri pilihan ibunya tidak terlalu buruk. Atau malah terlalu baik.
Namun apa yang disampaikan Alesha ada benarnya. Bagaimana jika Edna sampai jatuh cinta kepadanya dalam pernikahan mereka? Hanya ada satu yang bisa dilakukan. Kalau Edna setuju untuk menikah dengannya, dia akan menekankan kepada Edna bahwa cinta tidak perlu hadir di antara mereka. Orang tetap bisa berteman dan tinggal serumah, bukan? Karena Alwin sudah bersumpah, sampai kapan pun dia tidak akan pernah jatuh cinta. Cinta hanya akan melemparkannya ke dalam lubang gelap tak berdasar bernama kesesengsaraan.
***
Semua orang masih duduk mengelilingi meja makan setelah selesai berbuka puasa. Orangtua Alwin, Alwin, Alesha, dan Edna. Perut Edna hampir meledak. Makanan di meja lengkap sekali. Tempe bacem, pepes tongkol, urap sayur, sayur labu siam, dan tidak ketinggalan kolak pisang. Hasil kerja sama yang bagus antara Tante Em, Alesha, dan Edna.
"Rezekinya yang jadi suamimu, Edna." Ayah Alwin, Mainio Hakkinen, berkata, meski sejak tadi menggerutu karena tidak bisa banyak-banyak menikmati kue buatan Edna karena istrinya berkali-kali mendesiskan gula darah. "Kamu, Lesh, kalau banyak waktu luang belajar memasak. Dalam kondisi darurat, keterampilan itu berguna."
Alesha, yang tidak terlalu bersahabat dengan api dan hanya membantu mengiris sayuran selama di dapur, menggumam tidak jelas menanggapi pernyataan ayahnya.
"Sejak ibu meninggal dan nggak ada lagi yang masak di rumah, mau nggak mau saya dan Elma gantian masak." Edna menyelamatkan Alesha dari lanjutan ceramah. Bukan tanpa alasan Edna bisa memasak. Jika dia masih memiliki ibu, yang masakannya lezat seperti ibu Alwin, sudah tentu dia tidak akan turun ke dapur dan memasak.
Orangtua Edna meninggal saat Elma masih kuliah. Saat itu Elma kerja di sebuah bakery. Selain itu Elma sibuk ikut kursus-kursus membuat kue di sana sini. Ketika pulang ke rumah, Elma tampak lelah sekali. Jadi Edna berinisiatif belajar memasak untuk meringankan sedikit beban kakaknya. Sekalian menghemat uang belanja.
"Edna hebat, kan, Pa?" Kali ini ibu Alwin menatap Edna dengan bangga. "Sudah cantik, mandiri, pintar mengurus Mara, masakannya enak."
Edna menunduk malu. Tidak, dia tidak sesempurna itu.
"Mama ingin Edna selalu menjadi bagian dari keluarga kita, Pa. Alwin dan Edna pasangan yang serasi bukan?" Ibu Alwin meminta dukungan suaminya.
"Anak-anak sudah bisa memilih pasangan sendiri-sendiri, Em. Ini sudah beda dengan zaman dulu. Anak-anak zaman sekarang bahkan bisa bertemu jodohnya yang ada di benua lain dengan internet dalam hitungan detik. Tidak perlu seperti kita, yang harus surat-suratan dua bulan sekali." Om Mai tertawa santai. "Kita saja yang tidak mengenal teknologi, yang terpisah jarak sangat jauh, dulu, bisa menikah."
"Saat seusia Alwin, kita sudah punya tiga anak. Coba lihat mereka, masih asyik dengan kesibukan masing-masing. Kalau tidak ada waktu untuk mencari pasangan sendiri, kita bisa membantu. Mama yakin sekali mereka cocok. Cuma gengsi dicarikan jodoh oleh orangtua. Tidak masalah, kan, Alesha, kalau Edna menjadi bagian dari keluarga kita?" Setelah suaminya tidak terlalu serius menanggapi perjodohan ini, Tante Em meminta dukungan anaknya.
"Sejak dulu memang Edna sudah menjadi keluarga kita, Mama. Apalagi sejak Edna menjadi ibunya Mara," jawab Alesha, lalu menatap Edna sambil menggelengkan kepala. Memberi kode pada Edna agar menolak segala omong kosong ini. "Tapi Mama nggak punya hak buat menentukan Edna harus menikah dengan siapa. Orangtua Edna, kalau masih ada, belum tentu berbuat begitu."
"Bakery lancar, Edna?" Pertanyaan ayah Alwin membuat Edna lega. Pindah topik. Ayah Alwin, laki-laki berambut keperakan dengan bola mata biru yang berbinar penuh kehangatan, adalah satu-satunya orang yang tidak ambil pusing atas rencana istrinya.
"Iya, Om. Saya akan berusaha menjalankan sampai Mara dewasa dan bisa mewarisi." Edna tidak pernah merasa memiliki E&E. Bakery itu didirikan setelah Elma menikah dengan Rafka. Semua biaya dari Rafka dan akan menjadi hak Mara ketika Mara sudah cakap hukum.
Setelah Elma meninggal, Edna meneruskan E&E. Sampai saat ini, Edna masih berusaha menyesuaikan diri. Saat masih ada Elma, Edna adalah tokoh di balik layar. Membantu di dapur atau mengurus pembukuan dan stok. Yang berhubungan dengan pelanggan dan memprospek pelanggan-pelanggan besar adalah Elma.
Tidak terlalu buruk. Kalau mau sedikit percaya diri, Edna berani menganggap dirinya berhasil. Bakery tersebut memberdayakan cukup banyak karyawan. Yang paling penting, bisa menghidupi dirinya dan Mara.
"Tidak usah berpikir sampai ke sana, Edna. Mungkin suatu saat nanti Mara tidak ingin mengelola bakery dan ingin menjadi dokter. Yang penting kamu senang menjalaninya. Kamu bisa berkarya dan menyalurkan kreativitasmu di sana," kata Om Mai.
Edna mengangguk, setuju dengan Om Mai, Mara bisa menjadi apa saja yang dia inginkan. Tidak perlu dipaksa untuk menjadi baker dan meneruskan bakery. Sama halnya dengan Edna, yang tidak perlu dipaksa menikah dengan Alwin. Edna mengembuskan napas dan melirik Alwin yang hanya duduk tanpa suara di seberangnya.
Keuntungan bakery, setelah dikurangi biaya hidup, semua masuk ke dalam tabungan berjangka, yang kelak akan dipakai untuk pendidikan Mara. Meski sampai saat ini, setiap bulan Tante Em mengirimkan uang—terlalu banyak—ke rekening Edna untuk memenuhi kebutuhan Mara. Besarannya akan terus meningkat, seiring bertambahnya kebutuhan Mara. Salah satu kebijakan yang tidak bisa ditawar. Edna harus menerima uang itu atau Mara tinggal di sini.
"Ukki, mau baca celita." Mara muncul di ruang makan. Dalam bahasa Finlandia, bahasa ibu Om Mai, Ukki adalah panggilan bagi seorang cucu untuk kakeknya. Sedangkan untuk nenek, panggilan yang digunakan adalah Mumma. Mara menggunakan sapaan dalam bahasa Finlandia untuk kakek dan neneknya, sesuai dengan yang diinginkan Om Mai.
"Sekarang?" Ayah Alwin mendorong mundur kursinya. Setelah mengangkat Mara, ayah Alwin meninggalkan ruangan. Diikuti Alesha.
"Mama tidak bisa membayangkan Edna menikah dengan orang lain, Alwin." Tatapan Tante Em mendarat pada anak laki-lakinya, lalu berpindah pada Edna. "Pasti kamu tidak akan punya waktu untuk mengajak Mara ke sini setiap minggu, Edna. Kamu akan punya rumah lain untuk pulang. Punya mertua lain. Ada kakek dan nenek lain untuk anak-anakmu.
"Selama ini, kamu tidak pernah pulang, Alwin. Hanya sesekali. Itu juga Mama harus memohon-mohon sampai kamu risih dan tidak tahan. Apa kamu pikir Mama tidak kesepian? Edna dan Mara yang rajin datang setiap minggu adalah hiburan bagi Mama. Kebahagiaan Mama. Yang membuat Mama semangat menjalani hidup Mama setelah ... Rafka dan Elma tiada." Kali ini tatapan ibu Alwin kembali jatuh pada anak laki-lakinya.
Edna berharap Alwin menolak usulan tidak masuk akal ini. Walaupun tahu itu tidak mungkin. Karena Tante Em sudah mengeluarkan kartu As. Kematian Rafka dan Elma. Semua orang tahu bahwa Tante Em mengalami masa sulit setelah anak laki-laki dan menantu tercinta meninggal dunia. Hanya saat Mara berkunjung bersama Edna, Tante Em bisa tersenyum.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top