FOURTEEN

Terima kasih teman-teman sudah meninggalkan komentar untukku sampai hari ini. Aku senang membalasi satu per satu setiap hari Minggu :-) Aku tunggu komentar kalian lagi pada bab ini.

Oh ya, aku ada masalah ketika memindah teks dari word processor-ku ke sini. Ada spasi yang hilang, sudah kuusahakan kuperbaiki, tapi mungkin ada yang terlewat. Mohon dimaklumi.

Love, Vihara

(IG/FB/TWITTER/LINE ikavihara)

***

Masihtanpa komunikasi di antara dirinya dan Edna. Laporan tentang persiapan pernikahan hanya didapat Alwin dari ibunya. Yang terdengar sangat antusias dan bahagia saat menceritakan betapa cantiknya Edna saat mencoba kebaya pengantin. Tentu saja. Alwin juga bisa membayangkan. Ibunya sudah mengirimkan foto baju-baju mereka. Tanpa foto Edna tentu saja. Begini kalau tidak ikut mempersiapkan pernikahan secara langsung, dia hanya menerima laporan melalui gambar. Menurut ibunya, akan lebih menyenangkan jika Alwin langsung melihat Edna dengan gaun pengantinnya nanti saat hari pernikahan mereka.

Sejak meninggalnya Rafka dan Elma, belum pernah Alwin melihat ibunya bersemangat untuk mengerjakan sesuatu. Biasanya ibunya murung dan lebih banyak diam di dalam rumah. Keinginan ibunya untuk memasukkan Edna ke dalam keluarga secara resmi dan permanen kedengarannya masuk akal. Kehadiran Edna dan Mara setiap akhir pekan—bahkan mereka sering menginap—adalah salah satu sumber kebahagiaan terbesar ibunya. Juga, kunjungan tersebut menolong Alwin selama ini. Orangtuanya tidak terlalu seringmenuntutnya untuk pulang.

"Alwin, kamu tidak dengar Mama, ya?" Suara ibunya di telinga menyadarkan Alwin dari pikirannya yang sejak tadi ke mana-mana.

Seperti biasa, ibunya selalu rajin melakukan video call, setidaknya seminggu sekali. Belakangan semakin sering karena sudah semakin dekat dengan hari pernikahan. Tidak ada habis-habisnya ibunya memuji Edna. Seperti Alwin tidak bisa melihat sendiri bagaimana hebatnya Edna. Siapa pun wanita yang berada pada posisi Edna, sendirian membesarkan anak, bukan anak kandungnya, Alwin memberikan rasa hormat yang setinggi-tingginya.

"Dengar, Ma. Tenang saja, aku pasti akan pulang dan menikah." Tadi ibunya menyuarakan kekhawatiran kalau Alwin akan berubah pikiran dan tidak jadi pulang. Meninggalkan Edna kecewa di Indonesia. Seandainya ibunya tahu, kalau Alwin tidak datang, Edna akan menari gembira dari satu ujung dunia ke ujung lainnya.

"Mama bukan mau cerewet menyuruhmu cepat-cepat menikah. Tapi sejak Rafka ...tiba-tiba meninggalkan kita, Mama ingin anak-anak Mama tidak menunda-nunda untuk berkeluarga. Rafka dan Elma memang pergi saat masih muda, tapi kita sempat punya Mara. Satu-satunya penghubung kita dengan Rafka dan Elma." Mamanya tampak murung saat menyebut nama Rafka. "Mama tidak pernah membayangkan itu terjadi. Dalam bayangan Mama, kalian semua ada di sini, melihat anak-anak kalian dananak-anak dari anak kalian tumbuh dewasa. Kita tinggal berdekatan, bertemu seminggu sekali di antara kesibukan...."

Sisa kalimat ibunya tidak lagi bisa ditangkap oleh Alwin. Pikirannya melayang mengingat kembarannya. Siapa yang tahu sampai di mana jatah hidup manusia? Lahir lebih dulu tidak menjamin pasti mati lebih dulu. Kematian tidak mengenal prinsip tua dan muda. Sehat atau sakit. Adil atau tidak adil. Wajar jika orangtuanya khawatir dan menyuruhnya untuk tidak lagi membuang-buang waktu.

"Mama jangan khawatir. Kalau tidak dengan Edna, aku akan menikah dengan siapa? Mama tahu sendiri, aku tidak pernah punya teman dekat selama ini.Jadi aku akan menikah dengan siapa saja yang Mama pilihkan untukku. Aku percaya Mama akan memilih yang terbaik." Setelah Elma memilih orang lain, sekali atau dua kali Alwin berkencan, tapi tidak untuk jangka panjang. Pernikahan adalah topik yang sangat dia hindari jika dia bicara dengan teman wanita.

"Mama sempat khawatir saat kamu dikabarkan serius dengan model dari Rusia itu."

Alwin menggelengkan kepala. "Makanya, aku bilang sama Mama jangan suka membaca website gosip seperti itu."

"Adikmu yangmemberi tahu Mama."

"Aku tidak pernah berniat menikah dengannya, Ma." Atau siapapun,Alwin menambahkan dalam hati.

"Kamu memang tidak pernah punya niat untuk menikah. Apa karena ... kamu masih mencintai Elma, Nak?" Hati-hati ibunya bertanya.

Alwin menarik napas. Akan ada keuntungan dari pernikahannya. Menikah dengan Edna akan mengeliminasi pertanyaan semacam itu di masa mendatang. Semua orang tidak akan lagi menganggapnya tidak bisa melupakan Elma. Tidak ketika dia sudah beristri dan tampak bahagia.

"Aku tidak punya teman dekat karena sibuk kerja, Ma. Bukan karena aku mencintai siapa-siapa." Kerja keras adalah satu-satunya hal di dunia yang tidak akan pernah mengkhianati kita. Semakin kita berdedikasi, semakin kita berhasil. Tidak seperti cinta. Semakin mencintai, semakin sakit ketika berpisah.

"Apa yang terjadi pada Rafka dan Elma ... merupakan kehendak Tuhan. Hidup mereka singkat, karena itu Tuhan memberi kesempatan untuk saling mencintaidan bahagia bersama. Percayalah, waktu Rafka datang kepada Mama dan mengatakan niatnya untuk menikah dengan Elma, Mama menasihatinyau ntuk memikirkan perasaanmu dan melupakan niatnya. Lebih dari sebulan Mama memohon kepada Rafka.

"Tapi Mama tidak punya kuasa apa-apa ketika Rafka dan Elma bersama-sama menemui Mama. Jelas sekali mereka ingin bersama dan perasaan cinta di antara mereka sangat kuat. Seandainya Elma menikah denganmu, pernikahan kalian tidak akan berjalan dengan baik. Sebab kamu bukanlah orang yang diinginkan Elma menjadi teman hidupnya.

"Jalan hidupmumasih panjang, Nak. Kamu punya banyak kesempatan untuk bahagia. Mamayakinakan ada wanita yangmembuatmu percaya lagi kepada cinta dan menyembuhkan sakit hatimu. Kamu dan Edna akan bisa bahagia. Bersama dengan Mara dan anak-anak kalian nanti."

"Mama." Alwin memotong. "Aku tidak sakit hati. Karena Rafka, Elma, atau siapapun. Semua sudah berlalu. Aku siap menikah dan akan menikah sebentarlagi. Aku akan membesarkan Mara bersama Edna." Dia tidak ingin semua orang berpikir dia menyimpan dendam kepada kembarannya. Memang dia belum memaafkan pengkhianatan Rafka dan Elma. Tetapi hanya sebatas itu saja.

"Setelah Rafka meninggal, Mama, Papa,dan Alesha sering duduk bersama. Kami saling menceritakan apa yang kami rasakan. Membagi pengalaman dan kenangan yang kami miliki bersama Rafka. Setiap kali kami melakukannya, Mama bertanya-tanya apa yang kamu rasakan ketika Rafka pergi. Dengan siapa kamu berbagi duka itu. Sejak dulu kamu dan Rafka dekat, sangat dekat. Semua pasti berat sekali untukmu. Mama ingin memelukmu. Mama ingin membesarkan hatimu. Mama ingin bersamamu. Hati Mama sakit setiap kali mengingat kamu harus kehilangan orang terdekatmu."

Semua benar. Mau tidak dekat bagaimana, begitu lahir, Alwin dan Rafka selalu melakukan segala sesuatu bersama-sama. Pada masa kanak-kanak, mereka memakai baju yang sama dan mereka disuapi makan dari piring yang sama. Seminggu sebelum Rafka meninggal, Alwin terbangun di pagi hari dan merasa harus merencanakan pulang ke Indonesia. Pada saat Rafka meninggal, Alwin sudah berada di Singapura. Tidak sabar menunggu pesawat yang membawanya ke Indonesia untuk segera berangkat. Biasanya Alwin lebih suka menginap satu atau dua malam di Singapura untuk bertemu dengan beberapa teman kuliahnya dulu. Namun hari itu, Alwin tidak ingin berlama-lama berada di negeri Singa tersebut. Tepat ketika pramugari memintanya mematikan ponsel, datanglah kabar yang sangat tidak ingin didengar Alwin.

Alwin merasakan kehilangan yang lebih besar daripada semua orang yang mencintai Rafka. Apa sebutan bagi orang sepertinya?Twinless twin.Lone twin. Seorang anak kembar yang tidak lagi memiliki kembaran. Ada satu bagian dari dirinya yang menghilang pada hari itu. Ikut dikubur bersama jasad Rafka. Hingga kapan pun kekosongan itu tidak akan pernah bisa diisi lagi.

Seringkali orang berpikir bahwa saudara kembar memiliki ikatan emosi yang lebih kuat daripada saudara tidak kembar. What one would expect, when they start their lives at conception together? Dia lahir bersama Rafka, menangis bersama, belajar berjalan bersama, bermain, bertengkar, pergi ke sekolah, bertukar peran, bersatu mengelabui kedua orangtua dan guru, bahkan dalam kasus mereka, mencintai wanita yang sama.

"Aku menemui psikiater dan bergabung dengan support group di sini, Ma." Kehilangan Rafka adalah pukulan terbesar dalam hidup Alwin. Sampai hari ini, Alwin tidak pernah bisa memandang cermin tanpa teringat bahwa orang yang berwajah persis dengannya telah pergi selamanya.

Ada prinsip kehidupan lain yang menamparnya, lahir bersama tidak menjamin mati bersama. Pada tahun pertama kepergian Rafka, hidup Alwin dipenuhi penyesalan. Kalimat terakhir yang dia ucapkan kepada Rafka adalah mulai detik itu Alwin tidak lagi menganggap Rafka saudara. Semenjak hari itu, Rafka tidak pernah menghubunginya. Tidak pernah lagi berusaha mengajaknya bicara. Komunikasi di antara mereka terputus seluruhnya.

***

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top