FIFTEEN
Selamat Idul Fitri 1440 H. Mohon maaf lahir dan batin. Kesalahan-kesalahan saya mohon dimaafkan ya :-)
Love, ikavihara (IG/FB/Twitter/ Line/Shopee ikavihara)
***
Hari itu—ketika Alwin mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan rumah orangtuanya—adalah hari di mana dia kehilangan kembarannya. Tetapi makna kehilangan yang dia maksud berbeda dengan kematian. Dengan menghapus seseorang dari hidupnya, Alwin tidak perlu mendengar suaranya, melihat wajahnya dan berurusan dengannya. Kenyataannya Rafka masih hidup dan bahagia bersama Elma. Sedangkan mati? Keberadaan seseorang benar-benar sudah terhapus dari dunia ini. Mereka tinggal cerita. Hanya kenangan bagi orang-orang yang mengenal mereka.
"Mama tidak pernah keliru menganggapmu sebagai Rafka, Alwin," bisik ibunya. "Wajah kalian memang sama, tetapi kalian adalah dua orang yang berbeda. Mama selalu tahu sejak kalian lahir, hingga hari ini. Mama yang paling tahu."
Ah, salah satu alasan yang membuat Alwin tidak nyaman pulang ke Indonesia setelah Rafka meninggal. Banyak orang mengatakan mereka seperti tetap bisa melihat Rafka meski Rafka telah lama tiada.
"Selama ini aku tidak pulang karena aku takut keberadaanku akan mengingatkan Mama pada Rafka. Dan aku tidak mau keluarga besar berharap aku akan menjadi ... seperti Rafka. Aku akan menikah dengan Edna, seperti yang Mama inginkan. Tapi aku tidak akan menggantikan Papa di perusahaan, seperti Rafka. Apa Mama bisa membantuku bicara pada Papa?"
"Mama memang akan selalu mengingat Rafka, sengaja mengenangnya, mau kamu ada di sini bersama kami atau tidak. Karena tidak mungkin seorang ibu melupakan anaknya. Rafka, kamu, Alesha, juga Mara ada dalam setiap doa Mama."
"Mama belum menjawab pertanyaanku." Dengan halus Alwin mengingatkan ibunya.
***
Hari cepat sekali berlalu dan persiapan pernikahannya sudah hampir tuntas. Undangan sudah dikirim. Gedung sudah dipesan. Gaun sudah dibeli. Semuanya sudah tidak mungkin dibatalkan. Atau Tante Em akan membencinya seumur hidup. Di tangan ibunda Alwin dan saudara-saudaranya, menyiapkan pesta pernikahan besar seperti menyiapkan pesta ulang tahun untuk teman sekelas. Tampak mudah.
"Aku nggak tahu kenapa Mama ngancam kamu. Akan memisahkan kamu dengan Mara. Padahal Mama tahu Alwin masih mencintai Elma dan belum siap menikah." Hingga saat ini, Alesha masih menyesalkan keputusan ibunya. Mereka berdua duduk di Café E&E, bangunan di lantai dua bakery Elma yang baru saja selesai ditambahkan.
"Selamanya Alwin nggak akan siap menikah karena dia selalu mencintai Elma. Mau nunggu Alwin sembuh patah hati sama dengan nunggu gajah bisa terbang."
"Itu masalahnya, Nya. Menurutku, Alwin akan semakin nggak bisa melupakan Elma karena harus tinggal serumah denganmu dan Mara. Sedikit banyak, Elma ada dalam diri kalian berdua. Pada Mara, ada wajah Elma di sana. Dalam dirimu, ada nilai-nilai kehidupan yang diajarkan Elma kepadamu. Yang aku heran, Nya, kamu itu cerdas. Kenapa kamu memilih menikah dengan laki-laki yang membawa banyak beban dari masa lalu? Satu Boeing 747 nggak cukup buat ngangkut semuanya."
"Aku punya pertimbangan sendiri, Lesh." Edna menarik napas. Mau tidak mau Edna mengakui apa yang baru saja disampaikan Alesha benar adanya. "Saat Mbak Elma meninggal ... waktu itu aku merasa sangat takut, karena aku telah betul-betul sendiri, nggak punya siapa-siapa lagi. Hanya orangtuamu yang datang memelukku malam itu." Pada saat berada dalam pelukan Tante Em dan Om Mai, sebagian kecil ketakutan di hati Edna lenyap.
"Aku, Mara, dan orangtuamu semakin dekat setelah kepergian Elma dan Rafka. Waktu aku opname di rumah sakit, mamamu menungguiku di sana. Setiap lebaran dan aku nggak tahu harus ke mana, keluargamu mengundangku dan menerimaku sebagai bagian dari mereka. Orangtuamu, Lesh, sudah kuanggap seperti orangtuaku sendiri. Sampai hari ini, aku nggak bisa percaya bahwa mereka mengizinkanku mengasuh Mara. Bagiku, kehadiran Mara setara dengan keberadaan kedua orangtuaku dan Elma." Edna sudah bosan sekali berteman dengan sepi. Lebih-lebih ketika Elma sudah resmi tinggal bersama Rafka. Praktis Edna hidup sendiri di rumah lama orangtua mereka. "Selamanya aku akan selalu berutang pada orangtuamu. Membunuh harapan ibumu ... aku nggak bisa melakukannya."
"Kamu ingin membalas budi pada mereka dengan mengorbankan kebahagiaanmu?"
Jika dia menikah dengan Alwin, meski tidak mendapatkan cinta Alwin, Edna akan tetap mendapat banyak cinta dari keluarga Alwin. Jika dia menikah dengan laki-laki lain, belum tentu orangtua suaminya akan mencintai Edna seperti orangtua Alwin. "Aku sudah melupakan konsep pangeran berkuda putih yang akan datang menjemputku menuju kebahagiaan abadi selamanya. Kelak kalau cinta menemukanku, itu luar biasa. Tapi jika nggak, juga nggak apa-apa. Aku memilih untuk fokus pada Mara dan E&E. Dua hal terbaik yang ditinggalkan Elma untukku dan itulah kebahagiaan bagiku. Kalau aku harus mendapatkan keduanya dengan cara menikahi Alwin, aku akan melakukannya."
Edna mengamati undangan di tangannya. Alwin Eljas Hakkinen menikah dengan Edna Athalia. "Menikah dengan Alwin secepat ini memang bukan kondisi ideal, tapi itu jalan terbaik agar aku dan Alwin bisa saling mengenal di rumah. Kami bisa melakukan apa yang sering digembar-gemborkan orang. Pacaran setelah menikah."
Jatuh cinta. Sering kali orang yang membuat kita jatuh cinta, malah membuat kita sakit kepala. Edna malah bersyukur, kali ini, dia tidak jatuh cinta pada Alwin. Memang Alwin membuatnya sakit kepala juga. Tetapi tidak tahu kenapa, Edna merasa sikap Alwin membuat hubungan mereka, apa pun ini namanya, tidak pernah membosankan. Pertengkaran dan perdebatan mereka adalah warna baru dalam hidup Edna yang selama ini begitu-begitu saja. Ada teman bicara di rumah pasti menyenangkan, mengingat selama ini dia hanya bercakap dengan balita yang tidak mengerti dunia orang dewasa.
Selama hampir satu bulan tidak berkomunikasi dengan Alwin, Edna merasa ada yang kurang. Hidup terasa hambar ketika Edna menjalani satu hari tanpa meneriaki Alwin.
"Namanya pacaran, ya sebelum menikah, Nya," kata Alesha. "Tapi kalau kamu sudah memutuskan untuk menikah dengan kakakku yang nggak berguna itu, ada satu hal yang harus kamu lakukan." Alesha sudah menyerah membujuk Edna. "Kamu harus membuat Alwin jatuh cinta sama kamu."
Melihat wajah serius Alesha, Edna tertawa. "Alwin? Jatuh cinta? Padaku?"
"Orang harus berusaha jika ingin pernikahannya berhasil. Dan kadang, satu pihak berusaha lebih keras daripada pihak lainnya. Apa kamu mau melakukan lebih banyak, untuk membuat Alwin jatuh cinta?"
"Daripada cinta, aku lebih berharap Alwin akan setia pada pernikahan kami. Komitmennya yang lebih penting." Cinta datang dan pergi. Ketika cinta sudah tidak ada lagi, kita mulai bertanya-tanya apakah kita menikahi orang yang salah. Edna tidak ingin itu terjadi padanya, hanya karena pernikahannya didasari satu elemen itu saja.
"Tapi akan lebih menyenangkan kalau dia bisa mencintaimu, kan, Nya?"
Edna mengangguk. Tentu saja, semua orang berharap mereka menikah dengan orang yang mereka cintai dan mencintai mereka. But people cannot win everything. Orang yang mencintainya tidak datang satu paket dengan Mara. Tetapi yang ini, yang tidak mencintainya, hadir bersama Mara.
"Lagi pula, akan menyenangkan melihat kakakku jatuh cinta habis-habisan. Karena selama ini, dia selalu menunjukkan seolah-olah dia cuma mampu mencintai satu wanita saja dalam hidupnya. Oh, speaking of the devil...." Alesha menunjukkan layar ponselnya pada Edna. Foto Alwin terpampang di sana. "Kamu tahu setiap dia nelepon, dia cuma nanyain kamu. Kurasa, setelah terbiasa ngobrol—"
"Bertengkar." Edna meralat.
"Iya, setelah dia terbiasa bertengkar sama kamu, dia jadi kangen dan pingin mendengar suaramu. Kamu masih nggak mau jawab teleponnya sampai hari ini?" Alesha membiarkan panggilan Alwin tidak terjawab.
"Masih males." Edna mengangkat bahu. "Walaupun aku penasaran, apa lagi yang bakal kami perdebatkan sekarang."
"Aku nggak ngerti dengan kalian berdua. Meski hubungan kalian nggak masuk akal, tapi kalau kupikir-pikir lagi, sepertinya kalian cocok." Alesha menghabiskan latte di gelasnya, sementara itu Edna mengemasi undangan di meja dan memasukkan ke dalam tas. "Buat orang yang dipaksa menikah dengan laki-laki yang nggak kamu inginkan, kamu ini termasuk semangat menyiapkan pernikahan. Kalau aku, sudah masa bodoh. Atau kalau perlu, kabur."
Alesha mengikuti Edna turun ke lantai satu.
"Kita harus mengepas baju pengantinku sekali lagi. Langkah pertama buat bikin kakakmu jatuh cinta. Dia harus kehilangan kata saat melihatku di hari pernikahan kami." Laki-laki makhluk visual, bukan? Mata mereka bekerja lebih cepat. Kalau Edna tampil luar biasa pada hari pernikahan mereka, bukan tidak mungkin mulut Alwin akan ternganga dan tidak bisa berkata-kata. Akan lebih bagus kalau Edna yang cantik jelita bisa menghapus bayangan Elma yang sempurna dari mata Alwin.
"That's my girl." Alesha bersiul.
***
Pertanyaan untuk dijawab:
Menurut kalian, ira-kira kapan ciuman pertama Edna dan Alwin akan terjadi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top