ELEVEN

Selama Ramadan, aku akan sedikit terlambat untuk mengunggah cerita-cerita di sini. Selepas ibadah, baru aku bisa meluangkan waktu di sini :-)

Ikuti GIVEAWAY berhadiah tiga novel MY BITTERSWEET MARRIAGE edisi baru. Siapa tahu jawaban kalian terpilih untuk jadi pemenang beruntung :-) Novelnya bagus lho. Cerita perjodohan dan pernikahan juga. Manis, renyah, hangat. Nggak kalah dengan Ayah Untuk Mara. Cek infonya di akun Instagram ikavihara. Kalau merasa keberuntungan anda selalu kecil, bisa beli bukunya di toko buku. Atau baca di wattpad ini, cek pekerjaanku judul My Bittersweet Marriage.

Tinggalkan juga komentar untukku ya. Aku senang membalasi komentar kalian semua. Terima kasih sudah membaca.

***

Alwin membuka pintu yang menghubungkan ruang keluarga dan halaman belakang. Ada kolam renang yang cukup lebar di sana.

Sempurna. Rumah ini sangat sempurna. Edna bisa membayangkan anak-anaknya akan berenang di hari Minggu, sementara itu Edna memanggang brownies untuk mereka semua.

"Tapi ini jauh dari E&E, Al." Rumah ini jauh dari mana-mana. Dalam kondisi macet di pagi hari, Edna harus menempuh perjalanan setidaknya dua jam untuk pergi ke E&E. Memikirkan harus menyetir sejauh itu dia tidak sanggup.

"Mobil apa yang kamu sukai?" Alwin berbalik dan menatap Edna yang berdiri sambil menggandeng Mara di ambang pintu belakang. Kalau tidak ditahan, Mara akan berlarian di halaman dan bisa saja tanpa sengaja terperosok ke kolam kosong.

"Maksudnya?" Edna balas menatap Alwin.

"Sport? SUV? Minivan? Do tell."

"Sedan." Edna menjawab asal.

Alwin mengangguk. "Setelah libur lebaran nanti, akan ada orang yang mengurus kepemilikan mobil barumu. Kamu cukup menyiapkan apa yang mereka perlukan."

Edna mengerjap tidak percaya. "Aku sudah punya mobil."

"Mobilmu tidak memenuhi standar keamanan, Edna. Aku tidak akan membiarkan kamu dan Mara ke mana-mana naik mobil itu. Kamu tidak perlu khawatir mengenai perjalanan dari sini ke toko, akan ada sopir untuk mengantarmu ke mana-mana setiap hari. Jadi kamu tidak akan capek di jalan."

"Aku nggak akan menjual mobil peninggalan ayahku dan aku bisa nyetir sendiri." Edna mengatupkan bibir rapat-rapat, mencegah dirinya supaya tidak meneriaki Alwin di depan Mara.

"Siapa yang menyuruhmu menjual mobil? Aku hanya memintamu memakai mobil yang lebih aman. Kamu bebas menyimpan mobilmu dan mengendarainya untuk nostalgia. Dan masalah sopir ... believe me, you'll need being chauffeured. Seperti yang kamu bilang, rumah kita jauh dari tempatmu bekerja. Lebih baik kamu memakai waktumu untuk istirahat di mobil daripada menyetir." Alwin memasukkan tangan ke saku celananya. "Aku memikirkan semua kepentinganmu dan Mara. I deserve a thank you. Bukan didebat."

Edna memalingkan wajah. "Berterima kasih karena akan mendapatkan suami control freak? Yang benar saja," dengus Edna.

"Nah, kembali ke urusan kita...." Alwin tidak memedulikan keberatan Edna. "Aku yakin kita bisa bekerja sama untuk membangun keluarga, meskipun kita tidak saling mencintai. Aku akan setia pada pernikahan ini dan setia padamu. Aku akan menjadi suami yang baik untukmu dan ayah yang baik untuk Mara. Aku akan memperlakukanmu sebagaimana seorang suami memperlakukan istrinya dan akan selalu menghormatimu...."

"Suami yang baik akan mendiskusikan segala sesuatu dengan istrinya," potong Edna. "Bukan sembarangan memutuskan membeli rumah dan mobil."

"Sekarang kamu belum menjadi istriku, jadi aku memutuskan sendiri. Demi kebaikan kita semua, kamu harus setuju untuk tinggal di sini dan mendapatkan mobil baru. Lain-lain akan dituliskan dalam perjanjian. Jadi, Edna, apa kamu bersedia memberi kehormatan kepadaku untuk menjadi suamimu? Mengizinkanku menjadi ayah Mara?"

Di tangan kanan Alwin sudah ada kotak beledu berwarna putih dan cicin sederhana di dalamnya. Edna menatapnya tanpa berkedip. Bukan Edna mengharapkan lamaran indah seperti dalam film-film. Tidak. Yang ingin dia lihat adalah, kesungguhan Alwin saat melamarnya. Edna tidak punya orangtua, jelas Alwin tidak akan datang ke rumah dan meminta restu. Tetapi paling tidak, Alwin harus memikirkan cara untuk melambungkan hati Edna sedikit saja. Bukan seperti ini. Membawa Edna ke rumah kosong dan menyodorkan cincin. Ini semua tampak seperti Alwin ingin cepat menyelesaikan pekerjaan yang tidak dia sukai.

"Kamu menyebalkan sekali," desis Edna. Bagaimana dia akan hidup bersama dengan laki-laki yang tidak mau menerima pendapat orang lain seperti ini?

"Ini cincin yang digunakan Papa untuk melamar Mama. It belongs to my future wife." Karena Edna tidak juga bicara, Alwin meraih jemari Edna dan menyelipkan cincin tersebut di sana. Untungnya, ukuran cincin ini pas. Alwin tidak ada waktu untuk memperbaiki lebih dulu dan dia tidak tahu berapa ukuran lingkar jari manis Edna.

Edna masih membisu. Menatap Alwin dengan pandangan yang sulit diartikan. Setelah mengelusnya sebentar, Alwin membawa jemari Edna ke bibir dan menciumnya. Oh sudahlah, Alwin tidak peduli. Apa Edna menyukai lamarannya atau tidak, mereka tetap akan menikah.

"Mana yang kamu bilang akan memenuhi salah satu permintaanku? Aku nggak ingat pernah minta rumah dan mobil."

"Kamu minta dilamar."

"Aku memintamu untuk menyiapkan lamaran yang romantis."

"Ini kurang romantis? Aku menghadiahkan rumah baru untuk pertunangan kita. Sertifikat tanah akan diubah menjadi atas namamu, pada ulang tahun pertama pernikahan kita. Begitu juga bakery Elma. Notaris rekanan keluarga kita akan mengurusnya untuk mengubah kepemilikan dari nama Rafka menjadi namamu. Juga, aku akan memberimu mobil baru, yang terbaik dan tercanggih untukmu."

Edna menatap Alwin tidak percaya. Romantis tidak ada urusannya dengan harta benda. Romantis adalah urusan hati. Tetapi seharusnya Edna selalu sadar, bahwa Alwin tidak akan mengawali dan menjalani pernikahan mereka dengan hati.

"Bakery tersebut akan diwarisi oleh Mara. Aku nggak memerlukannya."

"Aku membeli tanah dan bangunan itu, Edna. Dengan harga yang berlaku sekarang. Uangnya akan masuk ke rekening Mara. Seperti sebelumnya, Aleks akan mengelola uang keluarga kita. Nanti kalau Mara dewasa dan dia ingin, dengan uang tersebut dia bisa membangun bakery yang lebih bagus. Atau apa saja yang dia inginkan."

Dengan tangan kirinya, Edna memijit pelipisnya. Mendadak kepalanya pusing sekali.

"Mara." Alwin berjongkok di depan Mara. Berbeda dengan tatapan penuh amarah di mata Edna, sorot mata Mara penuh rasa ingin tahu.

"Om Al punya hadiah untukmu." Alwin membuka kotak lain, sama-sama berwarna putih. "Apa kamu ingin punya papa? Seperti princess yang kamu sukai?"

Mara mengangguk-angguk, tidak peduli dengan pertanyaan Alwin, dia lebih tertarik pada benda berkilauan di tangan Alwin untuknya.

"Kamu suka hadiah ini?" tanya Alwin.

"Maya suka hadiah," jawab Mara dengan antusias.

"Setelah ini, Om Alwin akan menjadi papamu dan kamu akan mendapat lebih banyak hadiah lagi," lanjut Alwin sambil menyematkan tiara tersebut di puncak kepala Mara.

Mengabaikan permintaan Edna untuk membeli dua cincin masing-masing untuk Edna dan Mara, Alwin memilih untuk memberikan sebuah tiara mungil kepada Mara.

"Pinces!" pekik Mara dengan girang begitu tiara tersebut tersemat di kepalanya. Dari jendela kaca, samar terlihat bayangan Mara dengan baju princess berwarna salju dan tiara yang semakin berkilau tertimpa sinar matahari.

"Mama, aku Pinces Maya." Mara menarik unjung taffeta skirt Edna.

"Iya, Sayang." Melihat kegembiraan Mara, Edna tidak lagi ingin menyalahkan Alwin, keputusannya memilih melamar Mara menggunakan tiara. Seandainya Alwin memberikan cincin kepada Mara, besar kemungkinan Mara tidak akan menerima. Karena cincin sama sekali tidak menarik.

"Cute." Alwin tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Mara.

"Kamu tahu kenapa Elma memilih Rafka?" tanya Edna dengan pahit sambil mengamati cincinnya, sikap Alwin seperti ini yang membuatnya lelah. "Karena kamu nggak pernah mendengarkan pendapatnya. Apa yang sesungguhnya dia inginkan. Kamu hanya melakukan apa saja yang menurutmu tepat."

Alwin bangkit dari posisi jongkok, kembali berdiri menjulang tinggi di depan Edna. Membuat Edna sedikit gentar dan ingin mundur satu langkah. Namun tidak. Kalau mundur, berarti dia kalah dari Alwin. Dengan berani Edna mengangkat wajahnya.

"Bagian mana...." Alwin mendesis tajam, karena tidak ingin berteriak di depan Mara, "Dari semua yang sudah kulakukan, yang tidak memperhatikan keinginanmu?"

Tanpa memberi kesempatan kepada Edna untuk menjawab, Alwin melanjutkan, "Kamu ingin bersama Mara selamanya dan aku membuat harapanmu menjadi kenyataan. Aku memastikan kamu akan menjadi ibu Mara sepanjang hidupmu. Aku bisa menolak permintaan Mama untuk menikah denganmu dan menikah dengan wanita lain. Saat aku punya istri, aku bisa meminta Mama untuk mengambil Mara darimu, dan Mara tinggal bersamaku. Apa kamu menginginkan itu terjadi?"

Edna menggigit bibir bawahnya. Menahan segala macam umpatan yang akan meluncur keluar dari mulutnya. Bagaimana mungkin Alwin memanfaatkan posisinya, satu-satunya kunci untuk mendapatkan hak asuh Mara, untuk mengoloknya seperti ini?

"Kamu tidak bisa ikut denganku tinggal di luar negeri. Ingin selamanya tinggal di sini, demi toko peninggalan kakakmu," lanjut Alwin. "Mempertimbangkan keinginanmu, aku memindahkan pekerjaanku ke sini. Memindahkan hidupku di sini. Apa kamu pikir itu mudah? Kamu memintaku untuk melamarmu dan melamar Mara. Aku melakukannya. Kamu memintaku untuk menjadi figur laki-laki teladan dalam hidup Mara, aku sudah mulai menjalankannya. Kamu masih mengatakan aku tidak mendengarkan apa yang kamu inginkan?"

"Semua yang kulakukan, untuk kepentinganmu dan Mara. Aku membelikanmu mobil baru demi keselamatanmu dan Mara. Apa kamu pikir aku bodoh seperti Rafka? Yang memilih bepergian dengan mobil tua?" Mobil klasik mengikuti istilah kembarannya itu. "Tanpa standar keamanan yang cukup. Lihat bagaimana hasilnya? Dia menghilangkan nyawa istrinya. Dia membuat anaknya yatim piatu. Jadi Edna, sebelum kamu membuka suara ketika aku memutuskan sesuatu, pikirkan dulu dari sudut pandang lain. Cari tahu apakah itu demi kebaikanmu dan Mara atau demi diriku sendiri. Dan jangan pernah menyebutku bersikap seenaknya."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top