13 -- Masuk

Setelah Zephyrus (dewa angin barat) dan Hesperos (dewa bintang petang) menggantikan tugas Euros, dewa itu langsung pulang ke rumah. Namun, bukannya disambut dengan keramaian karena celotehan Eosphoros dan Apeliotes, ia justru hanya mendapati beberapa nymph yang sedang keluar-masuk kamar Eos-Astraios sambil membawa banyak gaun indah milik Eos. Mereka terlihat begitu sibuk hingga tidak menyadari keberadaan Euros.

"Kenapa kalian membawa banyak gaun milik Mama ke kamarnya? Ke mana semua sekarang?"

Seorang nymph yang baru saja keluar dari kamar pun segera menjawab pertanyaan dari Euros.

"Ibu Anda sedang bersiap-siap dibantu Tuan Astraios untuk pergi ke Pulau Delos, Tuan. Sementara Tuan Eosphoros dan Apeliotes sedang pergi untuk menyaksikan gerhana matahari cincin."

Euros mendelik saat mendengar nama Pulau Delos disebut. "Apa?!"

¤¤¤¤¤¤¤

Florios adalah gadis pendiam yang pandai menyembunyikan perasaan. Namun, semenjak calon bayi dari Zeus tumbuh di kandungannya, ia berubah. Perangai gadis pemalu itu kian hari mirip seperti Zeus.

Tidak ada lagi Flo yang manis dan lembut, sekarang ia berubah menjadi lebih emosional dan blak-blakan. Tidak hanya itu, ia juga punya satu kebiasaan baru lain yang sangat menye—

"Jangan cuek begitu padaku. Aku mau melihat wajahmu lagi sebelum tidur. Ayo, hadap sini. Apollo ...."

—balkan. Sangat.

Apollo menatap lekat Flo yang selama beberapa hari ini bersikap aneh padanya. Gadis itu tidak lagi berkata formal padanya. Tidak lagi marah padanya. Flo menyukai Apollo lagi, tetapi bukan karena murni dari keinginan gadis itu. Ah, bukan gadis, tetapi seorang wanita. Wanita hamil.

"Jika bukan karena anak Zeus, apa kau mau memelukku seperti sekarang?"

Flo mendongak, lalu tersenyum tipis. Dari dekat wajah Apollo memang terlihat begitu rupawan. Rahangnya tegas, tatapan tajam seperti tatapan elang, bibirnya pun tampak memerah alami. Belum lagi dengan bagian tubuhnya yang lain. Indah. Semuanya indah. Florios suka sekali melihat itu semua.

"Aku tidak tahu. Tidak peduli." Florios lantas kembali membenamkan wajah di dada bidang Apollo. Ia mengeratkan pelukan sambil mencium dalam-dalam aroma tubuh dewa itu.

Apollo berdecak kecil, tetapi tangannya balas mendekap tubuh mungil Flo. Sang dewa matahari kemudian tersenyum kecil. "Terserah."

Kedua makhluk beda spesies itu kemudian memejamkan mata, mencoba untuk tidur.

Akhir-akhir ini setiap Apollo berada di dekat Flo, ia seringkali merasa mudah mengantuk. Lama-kelamaan pria itu pun merasa kalau dirinya semakin mirip dengan Hypnos (dewa mimpi) yang bisa tidur di mana saja.

Artemis yang baru saja ingin memberikan segelas susu campur nektar dan ambrosia, kini terdiam di depan pintu kamar. Gadis itu menghela napas panjang, kemudian tetap melangkah mendekat. Ia meletakkan susu di meja kecil dekat ranjang dan menaikkan kembali selimut yang melorot di atas tubuh Apollo juga Florios.

"Saat mereka datang kemari satu per satu, semua yang kalian dapatkan sekarang akan segera menghilang. Kedekatan kalian, kehangatan ini, ketenangan ini, semuanya akan menghilang."

Artemis tersenyum kecut, lantas berbalik pergi dari kamar. Gadis itu kemudian duduk di kursi kayu depan kamar. Ia menyentuh dadanya, merasa sesak tiap kali melihat keadaan Florios. Artemis mulai mengkhawatirkan nasib Apollo.

Ah, sebenarnya bukan hanya mereka berdua. Artemis juga merasa khawatir dengan nasib Pulau Delos dan para penghuninya. Belum ditambah Leto dan dirinya sendiri.

"Apa nanti kami bisa melewati ini semua?"

¤¤¤¤¤¤¤

Melinoe, Rion, Arthur, dan Arthea sudah berdiri di atas pulau yang berada paling dekat dengan Pulau Delos. Mereka terpaku sejenak karena 'kelainan' pulau itu. Iya, Melinoe yang dulunya seorang dewi pun ikut terpukau.

"Saat aku melihat pulau ini sebagai Melinoe, aku tidak merasakan apapun. Namun, saat aku melihat pulau ini sebagai Noe, aku merasa begitu senang, seperti ada yang sedang berdetak kencang di dadaku."

Rion sontak menoleh ke arah Melinoe. Pria muda itu mendapati wajah Melinoe yang memerah samar. "Kau sedang bahagia sekarang. Kau tidak tahu?"

Wajah memerah Melinoe langsung menghilang begitu mendengar pertanyaan Rion. Pria itu seperti sedang mengejeknya. Melinoe pun melotot kepada Rion dan dibalas cubitan di kedua pipinya.

"Ululu ... Noe ... kau manis sekali. Lihat ini! Pipimu memerah semua. Manisnya ...."

Melinoe mengerutkan dahi tidak terima. Ia menghempaskan tangan Rion dari kedua pipinya, kemudian balas mencubit pinggang pria itu.

"Tch ... apa kau tidak bisa bercanda sedikit saja? Ayolah, Noe ... sekarang ini kau itu bukanlah seorang dewi."

Melinoe lantas mendelik, berniat untuk menampol kepala Rion agar tidak bicara ngawur lagi. Namun, sebelum itu ....

"Dari tadi kalian bisik-bisik terus. Apa yang sedang kalian bicarakan, sih?"

Melinoe dan Rion sontak menoleh ke arah Arthur, refleks menggeleng secara bersamaan.

"Sudahlah, daripada mempermasalahkan hal yang tidak penting, lebih baik kau cari jalan masuk ke pulau ini, Noe. Kau kan kemarin bilang kalau kau adalah oracle baru pengganti Oracle Flo. Kau seharusnya tahu, kan?"

Melinoe mengembuskan napas panjang, menatap raut wajah bosan Arthea, lalu berbalik menatap kembali Pulau Delos di atas kepalanya. Warna iris mata biru Melinoe kemudian berubah menjadi gold. Gadis itu lantas merapalkan sebuah mantra dengan cepat dan berulang-ulang sambil mengarahkan tangan ke arah Pulau Delos.

"Απόλλωνα, έχουμε έρθει. Ας μπείτε στο Delos."

Beberapa saat kemudian, sinar kuning cerah muncul dan menyoroti tubuh Melinoe. Sinar itu kemudian menyebar, menerpa seluruh bagian tubuh Orion, Arthur, dan Arthea. Sinar itu semakin kuat, refleks membuat keempat 'pendatang' itu menutupi mata dengan punggung tangan. Dalam sekejap sinar itu pun melahap mereka semua.

Keempat 'pendatang' itu berhasil masuk ke Pulau Delos. Itu berarti masa depan Pulau Delos mulai dipertaruhkan. Pulau itu terancam.

¤¤¤¤¤¤¤

"Orion sudah masuk ke pulau itu bersama Melinoe dan kedua manusia itu. Kau tidak mau langsung masuk?"

Eos menggeleng pelan dengan mata yang masih fokus kepada kepergian Orion. "Aku sudah berjanji padamu agar aku tidak lagi terjebak dengan masa lalu. Aku milikmu, Astra. Aku akan masuk ke pulau itu ketika putriku membutuhkan bantuan."

Astraios tersenyum tipis kemudian mengelus rambut Eos dengan sayang. "Sejak Orion dan Melinoe melangkah masuk, putrimu sudah berhadapan dengan masalah baru. Jangan tunggu sampai keadaan memburuk, Eos. Pergilah sekarang. Oke?"

Eos sontak menunduk. Raut wajah khawatirnya tidak bisa disembunyikan begitu saja dari Astraios. Pria itu terlalu peka jika sudah berkaitan dengan dirinya.

Bukankah selama ini Eos sudah terlalu jahat kepada Astraios? Kenapa pria itu masih saja mau mengurusinya?

"Baiklah, aku akan pergi, Astra. Terima kasih untuk semuanya. Maafkan aku juga."

Eos kemudian mendongak untuk melihat reaksi Astraios. Pria itu tersenyum manis, lantas mencium kening wanitanya dengan lembut.

"Pergilah, Eos. Jika kau masih mau hidup bersamaku, datanglah padaku saat tugasmu telah usai."

Kedua mata Eos berkaca-kaca. Wanita itu lantas mengangguk pelan. Setelahnya, dalam sekejap Eos pun menghilang di depan mata Astraios.

"Mungkin aku mencintaimu seperti Hades mencintai Persephone, Meli. Namun, saat aku mencintai wanita seperti Poseidon, aku bisa apa? Aku tidak bisa mengekangmu semudah ini. Jika Poseidon adalah air yang mengalir bebas, maka kau adalah angin yang pergi kemanapun sesukamu. Bebas dan tidak terkekang."

¤¤¤¤¤¤¤

Purwokerto, 23 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top