11 -- Ikut
Selama beberapa waktu ini, Hera berpikir keras untuk membuat persatuan Flo dan orang-orang yang mendukungnya kacau balau. Banyak cara yang dilakukan, entah yang langsung berefek atau tidak. Wanita itu memang begitu fokus dengan orang lain yang ada di luar sana, tetapi sepertinya ia sudah lupa dengan peringatan Aphrodite agar berhati-hati juga dengan Zeus. Hera menyepelekan peringatan kecil itu dan akhirnya hari ini ia pun segera sadar setelah mendengar cemoohan dari Ganymede.
Zeus tidak bisa dihentikan jika hanya melalui ancaman semata. Pria itu harus ditodongi dengan bukti dan pemberontakan agar tidak lagi mendekati Flo.
Hera sudah merasa sangat kesal dengan perbuatan Zeus selama ini. Bisakah pria itu sedikit saja memperhatikan dirinya?
Diam-diam Hera setuju dengan perkataan Ganymede. Terdengar sedikit menjengkelkan, tetapi memang benar jika selama ini Zeus jarang menatapnya dengan kasih sayang. Seingat Hera, sebelum menikah Zeus sangat mengaguminya, tetapi mengapa sekarang malah acuh padanya?
Bosan ... satu kata itu sepertinya cocok untuk disematkan ke dalam diri Zeus. Ya, pria itu sudah bosan padanya.
"Wah, wah ... apa ini? Kau tersinggung dengan ucapan bocah itu?"
Hera membalikkan badan dan mendapati Aphrodite sedang berjalan ke arahnya. Ia datang bersama Ares yang memeluk pinggangnya dengan mesra.
"Lupakan dulu masalah perasaanmu itu, Ma. Sebentar lagi putraku akan datang bersama Melinoe. Ah, ya, dua manusia itu sepertinya akan ikut juga."
Hera mengerutkan dahi. "Manusia?"
Ekspresi bingung Hera membuat Aphrodite terkekeh sambil menutup mulut dengan tangan kanan. Di mata Ares ia terlihat begitu anggun, tetapi bagi Hera, wanita itu tampak sangat menyebalkan.
"Arthea dan Arthur, mereka adalah manusia pemuja Hades."
¤¤¤¤¤¤¤
Macaria memberikan bunga kepada arwah ayah Arthea dan Arthur setelah memberikan bunga lain kepada arwah penasaran nenek yang pernah Melinoe lihat sedang ada di samping Arthur. Sementara itu, Thanatos menatap arwah nenek yang tengah ketakutan sambil menggenggam erat bunga yang diterimanya dengan wajah datar. Sebenarnya Thanatos sedikit jengkel karena Macaria masih saja memberikan bunga meskipun tahu kalau arwah penasaran si nenek adalah sesosok arwah pendendam. Dewi itu memang sangat mudah kasihan dengan para arwah manusia. Sekilas Thanatos bisa melihat Persephone di dalam diri Macaria.
"Kami datang untuk menjemput kalian berdua. Di Dunia Bawah kalian akan mendapatkan penghakiman yang adil. Semua hal yang kalian lakukan akan segera dipertanggungjawabkan."
Thanatos kemudian menatap Macaria dengan senyum tipis. "Ayo Macaria, sudah waktunya kita pulang."
Macaria menoleh ke arah Thanatos, lantas mengangguk sambil tersenyum lembut. "Ayo!"
Kedua dewa-dewi itu pun kemudian pergi setelah membungkuk hormat kepada Melinoe. Ah, ya, sebelum pergi, Melinoe juga sempat memberikan dua keping obolos kepada kedua arwah itu. Kedua arwah itu harus sampai ke pengadilan Dunia Bawah agar bisa dimintai pertanggungjawabannya. Jika tidak, kedua arwah itu hanya akan melayang-layang saja sambil sesekali mengganggu Kharon yang sedang bertugas. Kalau kurang beruntung, mereka bahkan bisa dipermainkan oleh para erinyes. Perbuatan mereka cukup mengerikan untuk pikiran para arwah manusia!
"Oke, aku mengaku! Aku memang membunuh ayahku dengan bunga itu! Tapi aku melakukannya karena pria itu mencoba untuk menghancurkan kuil pemujaan Dewa Ares! Dia sudah tidak waras!"
Melinoe dan Rion langsung menoleh ke arah Arthea dengan bingung, sementara Arthur memilih diam karena memang tidak tahu alasan Arthea tiba-tiba ingin membunuh ayah mereka sendiri.
"Aku berkata jujur! Tadi malam ayahku terkena energi hitam. Ia menjadi tidak terkendali dan berkeinginan untuk menghancurkan kuil Dewa Ares. Ia seperti sedang kerasukan."
Melinoe lantas mendengkus pelan. "Ah, aku baru ingat. Saat aku melihat masa lalu arwah nenekmu, aku melihatnya diusir dari kuil Dewi Athena. Nenekmu dulunya adalah seorang pemuja Dewi Athena yang digoda Dewa Ares di kuil. Karena marah, Dewi Athena mengusir nenekmu. Sayang sekali walau waktu sudah berlalu, tetapi nenekmu masih dendam. Hal itu pula yang membuatnya tidak bisa pergi dari dunia manusia walau ia sudah mati. Arwah yang mati dengan masih menyimpan dendam akan mengumpulkan energi hitam demi bisa melampiaskan dendamnya. Yah, ayahmu kerasukan nenekmu sendiri. Tentu saja nenekmu marah karena ayahmu malah memuja dewa yang pernah membuatnya diusir dewi yang ia puja."
Fakta yang Melinoe ucapkan membuat Rion tersenyum sendu. Memangnya apa yang bisa aku harapkan dari seorang Ares? Dewa yang senang perang itu memang pandai berbuat ulah di mana-mana. Tidak heran. Entah bagaimana bisa aku menuruti Mama untuk tetap menjadi pemujanya.
Arthea shock. Arthur menganga lebar. Kedua kakak beradik itu tidak pernah menyangka jika dewa yang selama ini dipuja ayah mereka adalah penyebab nenek mereka mati dalam keadaan dendam. Sungguh mencengangkan!
"Pada dasarnya, Dunia Bawah selalu tertarik dengan energi hitam yang para manusia miliki. Kebetulan sekali kalian berdua adalah pemuja Dewa Hades. Itu memudahkan Dunia Bawah untuk mendapatkan energi manusia yang ia inginkan. Selama ini kalian adalah pemuja yang baik, tetapi sayang sekali keinginan buruk kalian yang terpendam berhasil muncul karena terlalu sering berurusan dengan Dewa Hades."
Arthea jatuh terduduk dan Arthur refleks memeluk tubuh kakaknya.
"K-kenapa? Apa kami salah karena sudah menjadi pemuja Dewa Hades?"
Melinoe tersenyum kecil, kemudian berjongkok, dan mengusap punggung Arthea dengan hati-hati. "Kau tidak salah, tetapi kalian juga harus tahu kalau setiap pemuja dewa-dewi pasti akan mendapatkan cipratan energi yang sama dengan energi yang dewa-dewi mereka puja. Seharusnya kalian tahu itu."
Arthea dan Arthur menatap Melinoe dengan putus asa. "Lalu kami harus apa, Noe? Apa tidak apa jika tiba-tiba kami berhenti memuja Dewa Hades?"
"Uhm ... untuk masalah itu, aku tidak tahu. Aku bukan pemuja Dewa Hades."
Jika Hades sampai tahu Melinoe telah membuat dua pemuja setianya berhenti memuja dewa itu, maka Hades pasti akan mendatanginya untuk mengomel karena tidak terima. Itu menyebalkan. Dengan Persephone saja ayahnya bersikap lembut dan penuh cinta. Dengan Melinoe? Ah, itu jarang sekali terjadi.
Tentu saja bukan pemuja Dewa Hades. Ia saja adalah anak dari Dewa Hades. Untuk apa pula Dewi Melinoe memuja ayahnya sendiri?
Ucapan Rion di dalam hati membuat Melinoe refleks menoleh ke arah Rion. "Kau mau membicarakan sesuatu?"
Rion tersentak kaget, lantas buru-buru menggelengkan kepala. Melihat reaksi reinkarnasi Orion, Melinoe hanya bisa mencibir dalam hati. Bocah aneh!
"Arthea, Arthur, semua hal yang kalian lakukan pasti punya konsekuensinya sendiri. Dari awal kau sudah memilih menjadi pemuja Dewa Hades dan aku yakin kalian tidak sekadar iseng saat memilih dewa-dewi mana yang akan kalian puja."
Arthur mengelus rambut sang kakak, kemudian mengangguk setuju. "Kami berdua tidak diperbolehkan ayah kami untuk mendekati Rion karena ia bukanlah manusia biasa. Sebagai tanda pemberontakan atas ketidaksetujuan, kami pun jadi pemuja Dewa Hades yang kami tahu adalah dewa yang adil walau punya aura yang mengerikan. Setiap kami memuja Dewa Hades, kami teringat kepada Rion."
Rion mendelik tidak percaya. Hey, apa Arthur sedang melantur? Aku sama sekali tidak percaya dengan ucapannya.
"Apa yang Arthur ucapkan itu benar, Noe. Sejujurnya kami berdua kagum melihat Rion yang tumbuh lebih cepat daripada kami berdua. Usianya baru sepuluh tahun, tetapi tubuhnya tampak seperti pria dewasa umur dua puluhan. Kami senang melihat keanehan yang ada di dalam diri Rion. Bocah seumuran Arthur ini bahkan lebih muda tiga tahun darinya. Ia memang tumbuh lebih cepat, tetapi masih dengan pikiran sama seperti seorang bocah. Aku pribadi sudah menganggapnya sebagai adik."
Melinoe menatap Rion dengan ekspresi menilai yang begitu kentara. Bocah ini berkebalikan dengan Flo. Jika gadis itu tumbuh begitu lambat, maka Rion justru sebaliknya. Apa itu artinya Rion punya waktu yang terbatas, ya?
"Jadi, selama ini kalian pura-pura menjauhiku? Jika itu Arthea, aku percaya, tapi kau?" Rion menunjuk wajah Arthur dengan tatapan penuh selidik. "Kau terlihat tidak suka saat Arthea mendekatiku."
Arthur merengut tidak suka. Bocah berumur tiga belas tahun itu lantas menendang kaki Rion karena kesal. "Tubuhmu memang sudah seperti seorang pria, tetapi aku dan kakakku lebih tua darimu, Rion. Sudah aku bilang berapa kali, panggil kami dengan sebutan 'Kakak'!"
Rion sontak meringis karena tendangan Arthur tepat mengenai tempurung lututnya. "Aku tidak mau. Kalian itu pendek. Tubuhku sudah tinggi kekar begini dan aku masih harus memanggil kalian dengan sebutan 'Kakak'? Tidak mau! Tidak bisa!"
Arthea yang sedang bingung dengan masa depannya karena sadar jika ada banyak risiko yang akan mereka terima jika masih saja menjadi pemuja Hades, langsung mendelik setelah mendengar pembelaan dari Rion. Bocah ini benar-benar tidak berubah!
Melihat tatapan Arthea dan Arthur, Melinoe pun tersenyum masam. "Sudahlah, daripada kalian terus berdebat karena masalah sepele, lebih baik besok kalian ikut aku dan Rion pergi ke Pulau Delos saja. Untuk urusan mengenai Dewa Hades, kalian bisa memikirkannya sambil jalan. Jangan karena ucapanku, keyakinan kalian berdua terhadap Dewa Hades malah jadi berubah."
Arthea menoleh ke arah Melinoe dengan heran. "Dulu aku datang ke sana karena aku pergi bersama dengan warga asli Pulau Delos. Waktu itu aku juga beruntung karena diberi bunga asphodel. Tapi, bagaimana caranya kita datang ke sana tanpa bantuan dari warga asli Pulau Delos?"
Melinoe pun menghela napas panjang. "Aku adalah oracle baru pengganti oracle Flo. Aku juga bisa pergi ke sana tanpa perlu bantuan dari warga asli Pulau Delos. Jadi, bagaimana? Kalian mau ikut atau tidak?"
Arthur dan Arthea saling berpandangan, kemudian menoleh ke arah Melinoe secara bersamaan. "Kami ikut!"
¤¤¤¤¤¤¤
Wonosobo, 03 Desember 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top