P2. At-Tulab

Sebelum Neo age dimulai, seorang ulama bernama Abdul Aziz bin Al-Khairi memutuskan untuk membangun sebuah lembaga pendidikan swadaya sekaligus panti asuhan bagi anak-anak yatim piatu di Izul. Di lereng gunung Hadawiyah yang terpencil dan sunyi, beliau membangun lembaga pendidikan yang menjadi cikal bakal At-Tulab di hari ini.

Tidak seperti sejarahnya yang mengagumkan, At-Tulab di tahun 89 N.A tidak terlalu sulit digambarkan. Sama seperti penghuninya yang sederhana, At-Tulab bisa dijabarkan dalam satu kata mudah: sengsara.

Bangunan sekolahnya telah lama runtuh, menyisakan hanya panti asuhannya yang masih berdiri keras kepala melawan semua terjangan peluru dan debu peperangan. Mungkin cat dinding panti awalnya putih, tapi sekarang telah berubah kelabu karena terjangan debu ledakan. Kaca-kacanya telah berulang kali pecah karena guncangan rudal.

Sepuluh tahun lalu, panti At-Tulab masih terasa lega karena ada beberapa ruangan tambahan. Namun setelah satu bom jatuh dan meledakkan beberapa bagian dan ketiadaan biaya karena untuk menghidupi anak-anak saja sudah sulit, ruangan di panti asuhan At-Tulab hanya tersisa tiga ruang.

Pembagian kamar yang tersisa akhirnya didasarkan pada jenis kelamin. Anak lelaki tidur di kamar yang ada di tengah, perempuan tidur di kamar paling belakang, lalu kamar paling depan dibiarkan untuk dihuni kakek Ilyas, beberapa anak paling tua, dan beberapa balita sebatang kara yang tidak lagi punya siapa-siapa.

Di depan tiga kamar, adalah ruang serbaguna tempat anak-anak berkumpul, belajar bersama kakek Ilyas. Tumpukan buku di sudut ruangan menjadi perpustakaan tunggal anak-anak panti. Beberapa buku berisi cerita anak-anak dan ensiklopedi pengetahuan. Sebagian besar yang lebih tebal berisi buku agama dari orang-orang yang tidak dikenal, tafsir Al-Hadits dan Al-Qur'an. Buku-buku itu ditumpuk di satu meja—satu-satunya meja—di ruang depan, diurutkan berdasarkan urutan dari besar ke kecil, tebal ke tipis. Anak-anak sudah menghapal semua urutan buku dan sudah mengetahui isi seluruh buku karena koleksi bacaan tidak pernah bertambah.

Di bagian belakang dapur panti terletak. Tidak seperti dapur umumnya yang memiliki ruangan, dapur di panti asuhan terpisah di luar panti dan tidak beratap. Kompor satu-satunya di sana adalah perapian yang dibuat dari kayu dan bebatuan seadanya. Peralatan masak panti hanya terdiri dari puluhan mangkuk, sendok, dan satu kuali besar untuk menampung makanan yang jarang sekali ada.

Semua orang yang pernah datang ke mari mengatakan rumah lima puluh anak yatim piatu ini tidak lebih baik dari rumah potong hewan. Mereka prihatin dan bersimpati, tapi posko-posko pengungsian yang telah kelebihan kapasitas, suara-suara jeritan yang jatuh pada telinga-telinga tuli, empati yang tidak dibarengi tindakan apa-apa, dan konflik yang tidak berhenti di tanah ini membuat semua belas kasihan itu tidak lebih dari angin yang berembus di musim kering: sama sekali tidak ada artinya.

Pada akhirnya, orang-orang ini hanya bisa berharap pada diri sendiri, pada perjuangan kecil dari tangan serta kaki yang terlalu mungil, demi meraih sedikit saja kebahagiaan di tengah penderitaan yang seolah tanpa akhir, seperti menonton dari portap gratisan ini.

"Ara, apa belum selesai?"

"Kita belum bisa menonton?"

Jika saja aku punya keberanian untuk mengatakan bahwa port-com seri milikku sudah sangat ketinggalan zaman, mungkin suasana tidak akan seberisik ini. Jika aku Elma yang bisa bicara banyak atau Idris yang punya kemampuan persuasif ajaib, mungkin aku sudah akan dapat menangani ini. Maksudku, pasti ada cara lebih baik selain mengakui bahwa perangkatku, satu-satunya portap gratis yang bisa dinikmati anak-anak, sudah tidak kompatibel lagi pada perkembangan zaman kan?

Mika bilang, absurd sekali jika anak-anak panti meminta perangkat tua kecil ini untuk mengunduh lima drama internet dalam seminggu. Aku membantahnya dan kini sedikit menyesal. Mungkin Mika benar. Memori internal dan penyimpanan perangkat ini tidak akan cukup mengunduh semua drama itu. Peningkatan performa juga sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Tidak tanpa kemungkinan eror dalam sistem yang lebih besar.

Mika akan membunuhku jika sampai terjadi sesuatu pada benda ini.

"Percuma." Mataku menyipit, memutuskan inilah saatnya untuk semuanya berakhir. Kutunjukkan layar kepada semua mata anak-anak secara bergantian. Telunjukku menunjuk sudut kanan layar tempat pemberitahuan sinyal terdapat. Tanda silang merah menyala di sudut layar.

"Memori penuh." Walau sebenarnya, lebih tepat jika tidak ada sinyal yang bisa digunakan dengan aman tanpa kemungkinan disadap. Jawaban sepanjang itu tidak akan dimengerti anak kecil dengan mudah. "Tidak ada drama inet."

Anak-anak mendesah kecewa. Berulang kali kami mendapat sinyal internet gratis membuat mereka lupa bahwa di langit di atas mereka sampai tujuh puluh ribu kilometer jauhnya dari Hadriah, tidak ada lagi satelit yang bisa digunakan secara bebas.

Aku tidak repot mengatakannya karena tidak ada yang memusingkan dari mana asal sinyal untuk mendapatkan semua drama internet ataupun memikirkan asal saluran flora fauna yang mereka nikmati selama ini. Jika mereka sedikit berpikir seperti Idris dan Elma, mungkin mereka akan menentangku mendapatkan semua hiburan itu karena tiada yang tidak tahu, semua penghubung satelit di Izul dan seluruh bagian utara Hadriah telah kacau sejak semua konflik ini dimulai. Kalaupun ada, pemancar itu terletak di selatan dan bukannya aman untuk digunakan.

Seperti kataku, Idris dan Elma tahu kenyataan ini. Hanya karena perangkat ini telah diutak-atik oleh Mika-lah yang membuat kekhawatiran mereka sedikit berkurang.

Sekarang, tidak adanya sinyal yang bisa ditangkap perangkat ini hanya bisa berarti, berbagai spekulasi tak menyenangkan telah menjadi nyata.

Tepukan Elma mengakhiri keluhan kecewa anak-anak dan membantuku di saat bersamaan.

"Sudah cukup kalian memaksa Ara," ujarnya lantang yang langsung dibahas sorak tidak senang dari anak-anak. "Tidak ada protes. Sekarang jadilah anak-anak baik dan jaga kakek Ilyas."

Semua protes itu berhenti. Sebagai gantinya, raut kebingungan dan gelisah menggelayuti wajah anak-anak itu. Kakek llyas yang sedari tadi hanya diam sambil mengasuh para balita pun kini menatap Elma.

"Kau mau ke mana, Nak?"

"Mencari selimut baru." Elma menyahut santai.

Tepat sebelum kakek Ilyas protes, Idris berdiri. "Kita membutuhkannya, Kakek. Selimut kita tidak lagi cukup menampung semua anak."

"Tapi baru hari ini serangannya berhenti." Kakek Ilyas tampak sangat tak rela.

"Justru karena serangan berhenti hari inilah, kami berangkat." Elma menyahut dengan nada lembut penuh penghormatan. "Menurut kalender di portap Ara, musim dingin tinggal seminggu lagi. Kita harus bersiap dengan selimut dan semua perbekalan yang bisa kita ambil dari sisa-sisa pertempuran kemarin." Elma memberi penjelasan. "Setidaknya kami tidak mau kalah dari kakek yang selalu saja menggotong kami semua ke bunker tanpa kurang satu orang pun setiap kali ada serangan fosfor udara."

"Itu kewajiban kakek sebagai pelindung panti. Penanggung jawabnya. Kalian adalah anak-anak di sini. Kalian tidak seharusnya membahayakan diri seperti itu."

Tentu saja, Kakek Ilyas tidak akan mau mengalah. Tidak sekalipun encok hampir membunuhnya dua malam lalu karena terlalu cepat bergerak mengevakuasi anak-anak.

Aku dan Idris bertukar pandang lagi. Idris memberiku tatapan penuh tanya. Seperti meminta persetujuan.

Oh, aku hapal tatapan itu. Aku selalu hapal.

Jadi aku pun mengangguk

"Tidak, kali ini aku dan Ara saja yang pergi."

Mendengar kata-kata itu, Elma langsung tampak hendak protes, tapi Idris buru-buru menambahkan:

"Aku bersenjata dan jauh lebih bisa bertarung daripada dirimu. Kau dan Elias di sini saja."

Elma mengunci mulutnya sejenak, tampak menelan apa pun yang tadi sudah ada di depan lidahnya sebelum menarik napas panjang dan menoleh kepadaku.

"Ara, kau bisa membedakan mana kain yang baik dan yang bukan kan? Mana kain yang hangat dan yang mana yang hanya bagus untuk kain pel?"

"Lumayan." Kemudian aku melirik Idris yang mengangguk. "Ada Idris."

"Oh, astaga, Ara, Idris tidak akan selamanya ada di sisimu," Elma memutar bola matanya dengan jengah. "Aku sudah mengajarimu soal ini. Kakek pun sudah memberitahumu berkali-kali. Apa hal sesederhana ini—

"Aku bercanda," potongku cepat-cepat, tanpa selera humor sama sekali. "Aku bisa."

Elma menyipitkan mata. "Aku masih tidak bisa membiarkan kalian pergi."

"Dan aku juga tidak." Melihat kakek Ilyas menggeleng, tidak hanya aku yang tampak kecewa. "Ara, Idris, kalian bisa memakai pakaianku yang ada di lemari untuk dijadikan selimut."

"Tidak." Elma, Elias, Idris, aku, dan banyak anak panti menolak bersamaan. Kakek Ilyas membelalak dan menatap kami semua dalam kebingungan.

"Itu ide yang buruk, Kakek." Kini Idris berdiri. "Sangat buruk. Kami menolak."

"Tapi kalian juga tidak bisa pergi ke luar. Terlalu berbahaya. Serangan masih berlanjut. Pastinya ada banyak jebakan darat yang telah terpasang...."

Kakek Ilyas membeberkan semua kekhawatirannya yang sial sekali, cukup beralasan. Jebakan itu bukan lelucon dan bisa jadi cukup berbahaya terutama karena ranjau yang dipakai di Hadriah kebanyakan adalah ranjau yang penggunannya telah dilarang dalam perjanjian perang internasional yang terkenal banyak diabaikan itu.

Selagi kakek Ilyas dan Idris bertukar pandang dan argumen dengan sengit, anak-anak lain termasuk aku dan bahkan Mischa berubah menjadi penonton setia.

Pandangan kami bergantian berpindah antara kakek Ilyas dan Idris, saling menggumam sendiri akan siapa gerangan yang dapat memenangkan debat ini. Tanpa sadar, sebulir keringat jatuh menuruni pelipisku. Perdebatan ini menyamai panas matahari di luar.

"Aku akan berhati-hati, Kakek."

"Berhati-hati saja tidak cukup, Nak. Yang kalian lawan di luar sana adalah sepasukan tentara yang telah dilatih membunuh bertahun-tahun!" Kakek Ilyas memijat pelipisnya sendiri. "Ya Allah, kalian tahu mereka bisa mencabut nyawa kalian tanpa berpikir dua kali?"

Kami tahu. Tentu saja tidak ada dari kami yang tidak tahu hal itu.

Sebagaimana kami tahu, mungkin daripada makanan, kami akan lebih banyak menemukan ceceran anggota badan anak-anak, penggalan kepala dan tubuh termutilasi penuh darah, di bawah reruntuhan.

Tapi kami tidak akan menyerah. Tidak mau.

"Kami akan membawa selimutnya."

Pernyataan dari mulutku itu, kendati diucapkan dalam nada biasa-biasa saja, sanggup membelah perdebatan sengit antara kakek Ilyas dan Idris, menghentikan mereka seketika. Kakek Ilyas menatapku dengan heran seakan baru saja tumbuh dua tanduk di kepalaku.

Untuk menunjukkan kesungguhan, aku mengangkat satu tangan ke udara.

"Aku berjanji."

Dengan seksama, kutatap kakek Ilyas. Tanpa sekali pun berkedip.

Kakek Ilyas terdiam. Bukan tipe diam yang merupakan penolakan. Sebaliknya, beliau sedang mempertimbangkan. Dan dari sorot matanya yang meredup, aku tahu kekalahan telah sampai kepadanya.

"Baiklah." Persetujuan yang terdengar pahit itu akhirnya meluncur dari mulutnya. "Tapi kalian berjanjilah pulang dengan selamat. Utuh."

Kata itu ditekankan kakek dengan penekanan ekstra. Mengetahui banyaknya jumlah anak panti yang pernah pulang dalam keadaan ... tidak sama seperti saat mereka berangkat.

Aku mengangguk kepada kakek Ilyas dan kepada semua anak di panti, baik yang memerhatikanku ataupun yang tidak. "Aku berjanji."

Di seberang ruangan, Idris tersenyum dan mengangguk. Elma masih menatapku khawatir sementara Elias hanya geleng-geleng kepala sambil menggumamkan 'anak nekat' berkali-kali. Kuserahkan portap dalam genggamanku kepada anak-anak terdekat yang bergerombol di dekat kakiku.

Aku berlutut di hadapan mereka. "Jaga ini untukku."

Lima anak itu langsung mengangguk dengan semangat. Kuserahkan portap itu kepada Isya, anak yang paling bisa aku percaya. Anak itu menerima portap dengan mata berbinar seakan benda itu adalah harta karun dari Old age yang secara ajaib telah dihantarkan ke tengannya melalui mukjizat Tuhan.

Telunjukku menyentuh layar portap, membuka folder unduhan dan menyusun playlist dari lima belas drama internet Turtle and Bunny yang menjadi favorit anak-anak dan mengaturnya untuk dimainkan secara berurutan. Layar baru membuka dan drama internet pun mulai dimainkan. Anak-anak mulai berkerumun di depan portap dan tidak lama kemudian, gumaman antusias telah menguasai sebagian besar dari mereka.

"Ara, kau bilang kau belum mengunduh apa-apa!" Salah seorang anak berteriak dari kebisingan anak-anak lain.

Aku mengedikkan bahu dengan tak acuh. "Aku bercanda," jawabku sambil lalu, mengundang sorak sorai tak senang dari seluruh anak-anak yang menonton.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top