Chapter 5 - Prettiest Smile Goes To...
"ACHOO!"
Natsumi-nee-san langsung menggeser menjauh sambil menatapku dengan jijik, seolah aku adalah virus paling mematikan di dunia ini. Aku membalas tatapannya dengan jengah, lalu mengusap hidungku yang masih terasa gatal. Salahku juga tidak menutup hidung bila ingin bersin.
Kami berdua tengah bersantai di ruang tengah selama Okaa-san sibuk di dapur, dan Otou-san* dengan urusan yang tidak bisa kuketahui karena berhubungan dengan alat bengkel. Kami baru saja menatap meja makan, jadi kami tidak sepenuhnya anak tidak berbakti.
Tidak kusangka aroma dari aura sihir milik Vanessa sangat pekat, meskipun satu hari sudah terlewati sejak pertemuan kami. Okaa-san sampai berpikir kalau aku sedang flu karena aku pulang dengan hidung yang merah dan mata susah fokus. Aku tidak tahu apa ini salah aura Vanessa atau kekebalan tubuhku kepada faktor di luar sana masih lemah. Aroma yang masih berayun-ayun di lubang hidungku begitu menghipnotis, sampai aroma masakan dari dapur tidak dapat tercium.
"Kalau kau sakit, minum vitamin setelah makan malam," pesan Natsumi-nee-san yang kubalas dengan anggukan pelan. Aku tidak yakin apakah aku memang sakit atau karena aroma aura yang berlebihan.
Aroma dari aura Vanessa benar-benar kuat, mengalahkan aroma aura milik Mirai yang sudah terasa familiar di indra penciumanku. Rasanya sesak napas setiap aku mencoba menghembuskan nafas. Seluruh anggota keluarga menoleh ke arahku saat aku batuk-batuk, seolah tenggorokanku terasa gatal.
Otou-san menghentikan pergerakan tangannya saat aku batuk untuk ketiga kalinya. "Yuuna, kepalamu pusing, nggak?" Aku menggeleng lesu. "Jujur saja. Matamu terlihat nggak fokus sekarang."
"Mungkin flu," jawabku cuek.
"Ya udah, sebelum tidur, minum dulu vitaminnya." Okaa-san memberikan pesan yang persis dengan Natsumi-nee-san. Biasanya pesan yang kudapatkan jangan terlalu banyak bermain ponsel dan jangan dehidrasi, tapi sekarang berbeda.
Apa wajahku begitu kacau di mata mereka?
"Kau sudah menentukan ingin sekolah kemana selanjutnya?"
Aku langsung keselek satu suap nasi bercampur potongan ikan bakar, dan Natsumi-nee-san berhenti mengunyah beberapa saat. Pandangan kami berdua tertuju pada Otou-san, sebelum saling beradu pandang untuk menanyakan kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Natsumi-nee-san akan lanjut ke tingkat universitas, sementara aku akan ke SMA. Namun, hari kelulusan Natsumi-nee-san sudah terjadi seminggu yang lalu.
Menyadari kebingungan di antara kami, Otou-san melanjutkan ucapannya. "Bapak nanya ke Yuuna."
Aku mengangguk bingung. Masalahnya, aku belum memikirkan tujuan yang ingin kucapai sampai sekarang, padahal hari kelulusanku akan digelarkan besok pagi. Bila aku jawab jujur, Okaa-san akan mengatakan kalau aku terlalu santai menjalani hidupku, dan memulai ceramah panjang sampai makananku tidak tersentuh karena aku akan terus menundukkan kepala selama ditegur.
"Di SMA Komatsu lagi, mungkin," jawabku dengan ragu.
Komatsu-Gako memiliki sekolah khusus SD sampai SMA, jadi aku tidak perlu pusing memilih sekolah lainnya. Tapi kebanyakan orang yang kukenal akan pergi ke sekolah lainnya, mungkin karena sudah bosan dengan Komatsu. Aku juga yakin Mirai dan Eri akan bersekolah ke sekolah yang sama, meninggalkanku sendirian di tempat yang sama karena terlalu takut melangkah maju.
"Kalau gitu dipersiapkan. Ujian masuknya dimulai setelah hari kelulusanmu."
Lagi-lagi, aku mengangguk lesu.
Makan malam berakhir lebih cepat dari yang kuduga. Setelah berkumpul bersama di ruang tengah, aku langsung berlari ke kamar. Tidak seperti Natsumu-nee-san yang sudah kembali ke kamarnya sejak jam makan malam berakhir.
Pintu kamar sudah tertutup di belakang punggung. Tanpa repot melangkah lebih maju, aku menjatuhkan tubuh di atas karpet bau apek karena kakiku sendiri. Percakapan tentang masa depan adalah sesuatu yang melelahkan. Aku terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri di masa kini sampai melupakan harapan dari keluargaku untuk masa depan. Aku jadi bingung harus bagaimana.
Sulur hitam yang terlihat bayangan kembali melintas di atas kulitku. Suluran itu menghentakkan ujungnya di atas karpet, seolah menyuruhku untuk fokus kepada hal-hal yant ingin dia sampaikan.
"Imun... tubuhku belum berevolusi dengan sempurna?" Gumamku. Suluran yang terlihat sepertin akar kadal itu membuat pergerakan yang terlihat seperti anggukan. "Hanya itu doang yang ingin kalian sampaikan?"
Ekor kadal itu mulai menghampiri tengkukku, membuat aku berjengit menjauh. Entah kenapa, aku bisa merasakan kalau mereka marah karena aku bergerak menjauh, padahal tidak ada wajah disana.
Aku mengusap tengkuk leher dengan waspada. "Apa yang ingin kalian lakukan?" Tanyaku dengan mata bergetar.
Ujung ekor kadal itu kembali menulis dengan tulisan transparan. Aku sampai membelakkan mata untuk fokus ke setiap pergerakan yang mereka lakukan.
"Menghilangkan? Apakah auranya begitu berbahaya sampai kalian panik seperti itu?"
Ekor kadal itu menampar tanganku. Aku menatap kesal ke arah suluran panjang yang terbuat dari inti bayangan, lalu menghilangkan bayangan tersebut. Sudah cukup aku terbebani dengan urusan masa depan, jangan sesuatu yang seharusnya aku kuasai ikutan memberikan beban tidak berguna.
Dengan ragu, aku meletakkan jari telunjuk dan tengah di tengkuk, memberikan sensasi sejuk khas pagi hari. Aroma milik Vanessa menghilang tanpa jejak, mataku yang perih dapat melihat sekitar lebih jelas seperti biasanya, dan hidungku tidak terasa sesak lagi. Aku menghela napas lega atas kenormalan tersebut.
"Ternyata... aku bisa memperbaiki juga."
-
Ledakan konfeti sebagai bentuk sambutan di lorong kelas membuatku tersentak di tempat. Mirai langsung menahan tubuhku saat tubuh ini hampir saja jatuh dengan gaya memalukan. Dia juga tidak kalah terkejutnya dengan aku atas kejutan yang diberikan teman sekelas kami yang suka hal-hal heboh seperti ini. Wakil ketua kelas—si pelaku dari ledakan konfeti—terbahak melihat ekspresi kami.
"Kau harus lihat wajahmu tadi!" Ledeknya, yang tidak begitu kami berdua pedulikan.
Aku menepuk bahu wakil ketua kelas dengan khusyuk. "Sankyuu**," ucapku.
"Ngapain kau berterimakasih?" Wakil ketua kelas memandangku aneh.
Berkat ledakan konfeti itu, kantukku menghilang seketika. Tapi aku memilih untuk tidak mengatakan itu, lalu menghampiri Mirai yang menungguku di samping bangkunya.
Pidato perpisahan dari valedictorian—murid dengan nilai tertinggi secara akademis—membuatku mengantuk karena bosan. Tipikal pidato yang kau dengar di acara para jabatan atau politikus. Teman sekelas yang duduk di samping selalu menegurku saat dia sadar aku menguap untuk sekian kalinya. Ayolah, aku bukan satu-satunya yang menganggap pidato itu membosankan, karena aku menangkap Shirogane-san menguap juga di pertengahan pidato. Sepertinya dia tidak menyadari lirikanku yang entah kenapa tertuju padanya beberapa kali.
Beberapa murid saling mengucapkan selamat atas kelulusan, ada juga yang mengasihani waktu yang berjalan begitu cepat dan akan merindukan waktu yang sudah mereka jalani bersama. Aku tidak tahu berada di posisi apa.
"Oozora-chan***, kudengar kau akan ke Houseki Academy! Apa itu benar?" Tanya salah satu teman sekelas yang berbicara bak reporter.
Mirai tertawa pelan di sampingku. "Pasti Eri mengatakannya pada kalian, ya?" Beberapa murid yang ingin tahu hanya tersenyum, tapi aku yakin Mirai sudah mendapatkan jawabannya. "Ya, kami berdua sudah mendapatkan surat penerimaannya."
Ah, jadi mereka benar-benar akan satu sekolah lagi. Pasti enak...
Aku memainkan kedua jariku dengan gelisah. Mendengar kalau kedua teman terdekatku sudah memiliki tujuan atas masa depan mereka membuatku tambah bingung, sekaligus iri. Mereka dapat menentukan tujuan yang ingin mereka capai dengan yakin, sementara aku masih berdiri di anak tangga yang sama, tidak bergerak sama sekali. Padahal aku masih berusia lima belas untuk tahun ini.
Apa yang dikatakan Okaa-san benar? Apa aku terlalu santai menjalani hidupku?
Tiba-tiba, Mirai menggenggam tanganku. Dia tersenyum simpul sebelum mengatakan sesuatu, "Semoga saja kita satu sekolah lagi."
Apa dia sedang meledekiku saat ini?
"Itu mustahil, Michan! Kau sendiri mengatakan itu sekolah khusus. Aku tidak bisa satu sekolah dengan kalian." Mirai pasti sadar nada kekecewaan yang kental di suaraku.
"Tidak ada yang mustahil di dunia ini " ujar Mirai bijak.
Aku mendengus. "Kau terlalu optimis."
"Dan, kau terlalu pesimis."
Itu namanya realistis, tapi kalimat itu tertahan di ujung lidahku.
Apa yang dikatakan Mirai memiliki kemungkinan besar akan terjadi di masa depan, karena sebagian besar rahasia dimiliki seseorang pasti akan tersebar juga. Waktu itu akan datang padaku juga suatu saat, entah itu kapan. Tapi aku yakin, cepat atau lambat itu akan terjadi, dan aku harus siap menerima setiap konsekuensi dari lingkungan di sekitarku.
Akademi Houseki yang mereka bicarakan sebenarnya memiliki rahasia, yaitu mengajari murid berkemampuan seperti Mirai atau Eri. Ternyata sekolah itu sudah berdiri lima tahun yang lalu, tapi mulai dianggap sebagai sekolah unggulan dua tahun yang lalu, dimana Natsumi-nee-san masih kelas tiga SMP.
Awalnya, sekolah itu merupakan tempat kursus dengan konsep yang sama seperti sekarang, lalu ditingkatkan menjadi sekolah dengan fasilitas asrama. Yang membuat banyak murid yang iri dengan murid yang diterima ke sekolah tersebut, karena pihak akademi tidak menerima sepeser pun uang sekolah. Seperti sekolah negeri, tapi itu sekolah swasta.
Eri menceritakan kalau pendiri akademi tersebut adalah seorang pengusaha yang terkenal sampai ke pancanegara, jadi mereka tidak begitu memedulikan pengeluaran yang akan mereka lakukan. Lagipula, pendirian sekolah ini bisa dianggap sebagai sukarelawan.
Saat aku bertanya mengapa mereka menceritakan semua ini kepadaku, Eri dengan santai menjawab: "Karena aku yakin kau tidak akan menceritakan ini ke siapa pun. Lagipula, kau tidak punya teman untuk bertukar cerita selain kami berdua."
Mirai langsung menepuk kepalanya sebagai bentuk balas dendam dariku.
"Yuuna, aku harap kita dapat satu sekolah!" Aku terpanjat mendengar ucapan Yurika dengan senyuman lembutnya. "Kau ingin lanjut ke Komatsu juga, kan?"
"Rencananya begitu," jawabku sambil menggaruk tengkuk dengan canggung. "Jadi kau akan lanjut disini? Kukira kau ingin mengejar Shirogane-san."
Yurika mendengus sebal, lalu menarik kursi yang berada di samping mejaku. "Tidak mungkin aku satu sekolah dengannya lagi. Pasti pilihannya sekolah elit atau bergengsi," ujarnya.
"Mungkin saja dia akan sekolah ke luar negeri! Bapaknya, kan, berduit!" Sahut murid lain.
Iya, itu memungkinkan, sih.
Shirogane-san memancarkan aura orang kaya saat dia mengenakan seragamnya dengan rapi. Dia bahkan berangkat ke sekolah mobil mewah yang mengundang bisikan dari beberapa murid. Wajahnya terlihat risih mendapat perhatian yang tidak dia duga saat sampai di kelas. Terlihat sangat jelas kalau dia ingin keluar dari situasi itu secepat mungkin.
"Oh, iya! Membicarakan pangeran kita, dimana dia sekarang?" Pertanyaan Yurika membuat keadaan kelas sunyi, dan melihat sekitar dengan panik.
"Dia hilang lagi?! Ah, sial!" Seru salah satu murid dengan frustasi.
"Dia pergi kemana lagi? Sebentar lagi sesi foto bersama dengan wali kelas! Bisa-bisa dia nggak ada di foto kelulusan yang akan digantung di ruang kepala sekolah!"
Satu kelas mulai heboh dengan kehilangan satu murid saja. Situasi ini mengingatkanku saat ada tawon masuk ke kelas kami, lalu para siswi mulai mencari tempat perlindungan, sementara siswa lainnya sibuk mencoba menangkap tawon tersebut.
Aku mendelik saat Mirai mendorong bahuku dengan pelan. Alisku terangkat untuk menanyakan apa maksudnya mendorongku, seolah tengah mengusirku.
"Yuuna, kau saja yang cari Shirogane."
"Hah?!" Wajahku melongo tidak percaya. "Kau saja yang cari dia! Bukannya kau cenayang?"
"Mau aja sih, tapi... sepertinya Shirogane tidak begitu menginginkan kehadiranku di zona nyamannya." Mirai menunjukkan senyuman penuh makna sambil menopang dagunya.
Aku berjengit, karena ekspresi wajahnya mengingatkanku pada buaya yang ada di sinetron fiksi remaja. "Apalagi aku! Aku yang paling heboh di antara kita berdua!"
"Apa yang membuatmu berpikir begitu? Bisa saja Shirogane menantikan kehadiranmu untuk membawanya kembali ke kelas."
Kenapa dia begitu percaya diri mengatakan seperti itu?
Atas dorongan murid lainnya, aku diusir dari kelas hanya untuk mencari satu anak domba yang sengaja melarikan diri dari kandang. Aku mendengus sebal saat melihat mereka kembali tertawa puas, sementara Mirai memasang ekspresi santai.
Putuskan saja persahabatan kita! PUTUSKAN!
Dengan kaki dihentak ke lantai, aku mengecek setiap ruangan dimana lelaki itu berada. Aku mencoret atap sekolah dari daftar pencarian, karena pintu atap sekolah dikunci saat ini. Bila aku tidak segera berlari, aku bisa mencari keberadaanya sampai sore, mengingat wilayah sekolah ini cukup luas. Lebih mampus lagi kalau ternyata Shirogane-san sudah ada di kelas, sementara aku daritadi mencari keberadaannya setengah jiwa.
Dentingan piano berhasil menarik perhatianku saat aku melewati ruang musik. Aku mundur beberapa langkah untuk melihat siapa si pianis itu. Saking senangnya melihat siapa pemain tersebut, aku membuka pintu ruang musik cukup keras.
"Ah, disini kau rupanya! Aku mencarimu kemana-mana!" Keluhku.
Shirogane-san tersentak, sampai jemari di atas tuts putih tersebut berhenti bermain. "Aku tidak bermaksud membuatmu kerepotan."
"Tidak apa-apa! Sebaiknya, kita harus bergegas ke kelas untuk sesi foto bersama."
Lelaki itu mengangguk mengerti, lalu beranjak berdiri. Dia menurunkan tutup piano tersebut dengan pelan. Kursi yang dia tarik keluar kembali ke tempat semula. Shirogane-san terlihat seperti seorang perfeksionis dengan seragam yang ditata dengan rapi, tidak seperti hari sekolah biasa.
"Langit hari ini terlihat lebih biru," gumam Shirogane-san sambil memandang keluar. Bila dilihat lebih baik, apa yang dikatakan benar juga. Langit terlihat lebih cerah hari ini.
"Indah sekali, ya?" Timpalku, membuatnya menoleh ke arahku sebelum mengangguk setuju. "Seperti cahaya yang menuntutmu ke masa depan yang kau inginkan." Rasa pahit itu kembali mengisi hatiku. "Shirogane-san, apa kau sudah tahu ingin mendaftar ke sekolah apa?"
Lidahku tambah keluh saat Shirogane-san mengangguk singkat.
"Moritake... -san, boleh keluarkan tanganmu?" Meski bingung, aku tetap memperindah permintaannya. Shirogane-san meletakkan sesuatu yang familiar di telapak tanganku. "Untukmu."
Aku mendekatkan benda kecil itu ke mataku. Itu adalah sebuah kancing emas dengan logo Komatsu-Gako terlukis disana. Biasanya kancing ini di gakuran siswa laki-laki. Bukankah ada tradisi tentang memberikan kancing itu? Aku lupa apa maksud dari tradisi itu, tapi aku ingat kalau ada hubungannya dengan kenangan atau semacamnya.
"Terima kasih, akan kujaga dengan baik!" Aku mengagumi kancing itu dengan cara mendekatinya ke cahaya dinding. "Jadi... ini "selamat tinggal"?"
Rasa pahit itu kembali memenuhi lidahku, tapi bukan karena kekesalan saat menyadari aku tidak bergerak dari tempatku. Kepahitan yang lain. Sebuah penyesalan bila aku mengucapkan perpisahan itu. Seolah aku tidak siap melepaskan kepergiannya, padahal kami hanya teman biasa.
Jadi kenapa aku harus merasa kecewa? Aku siapanya? Dia pasti menganggapku bukan siapa-siapa.
"Aku ingin mengucapkan "sampai jumpa", tadinya." Shirogane-san mengedik bahu. "Kau tidak ingin kita bertemu lagi?"
Tunggu, apa?
"Canda—"
"Mau!"
Aku bisa merasakan kehangatan menjalar cepat ke pipi, memberikan rona merah membara di kulit untuk dilihat oleh siapa pun. Takeru tercengang atas seruanku yang menggema ke seluruh ruangan karena kita berada di ruang kedap suara. Aku memainkan kancing pemberiannya di sela-sela jari, mencoba menghilangkan kegelisahan karena perbuatan bodoh.
"Aku ingin bertemu denganmu lagi," gumamku, mengalihkan pandangan dari wajah rupawan di depan mata.
Rasanya, seluruh pandanganku dipenuhi dengan kelopak sakura, padahal beberapa pohon sakura belum mekar sepenuhnya. Kehangatan muncul di dadaku, dan sesuatu dalam diriku menggelitik di setiap kepakkannya. Pemandangan itu bisa dimuseumkan karena itu merupakan fenomena terlangka.
Siapa yang akan menyangka, Shirogane-san, yang dikenal dengan sikap datar dan raut wajah tanpa emosi, akan menunjukkan senyuman paling indah yang pernah kutemukan?
***
EXTRA
Bahkan sampai tiba di rumah, bibirnya tidak berhenti tersenyum. Beberapa kali, tawa geli keluar tanpa sadar, membuat beberapa pekerja di rumah menoleh ke arahnya karena bingung atas tingkahnya yang tak biasa.
Gadis itu suka bertingkah impulsif, terkadang suka berseru tiba-tiba atau mengeluarkan suara aneh yang membuat murid di sampingnya tertawa sekaligus menegur tingkah konyol di tengah pelajaran. Namun, ekspresi yang ditunjukkan gadis itu saat di ruang musik adalah salah satu ekspresi yang belum pernah dia lihat. Dia bahkan tak menyangka gadis itu bisa memasang wajah seperti itu layaknya remaja seumuran mereka.
Langkah kakinya berhenti di anak tangga ketika pandangan jatuh pada gakuran yang kekurangan satu kancing. Ada sebuah tradisi kuno jika memberikan kancing kedua dari atas kepada seseorang sama saja memberikan hatimu kepada mereka. Jadi...
"Kenapa aku kasih kancing itu ke dia?"
***
GLOSARIUM
*Otou-san
Sebutan "Ayah" dalam bahasa Jepang
**Sankyuu
Bahasa gaul untuk "terima kasih"
**-chan
Panggilan untuk orang terdekat, mau itu laki-laki atau perempuan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top