Chapter 28 - We're All Youngster

Mereka hanya murid SMA, remaja yang ingin melompat ke jenjang dewasa, belum diperbolehkan minum-minum karena di bawah umur. Fokus mereka hanya belajar lalu memusingkan masa depan yang buram, karena beberala dari mereka tidak memiliki kemampuan melihat masa depan. Bersenang-senang di musim panas, memakan apel karamel dan melihat kembang api dari atas bukit, menyayangi waktu liburan mereka bila harus mengikuti remedial karena remedial. Mereka adalah wujud dari masa muda yang dirindukan setiap orang. Sesuatu yang penuh nostalagia.

Namun saat mengetahui sihir di yang dimiliki Krulozelle yang menyerang Yunania kemarin malam, Damien mulai berpikir bahwa salah satu dari mereka tidak akan memiliki masa muda yang indah, meskipun umurnya lebih muda daripada dia.

Dia masih ingat tatapan kompleks yang tersirat di wajah Gladiz. "Kau mengatakan Yunia baru saja diserang oleh sihir ini?" Ada kekhawatiran dan keraguan disana, seolah Damien baru saja bercanda dengannya, seperti yang pemuda itu lakukan bersama teman-temannya.

Gladiz adalah wakil kepala akademi. Semua orang bisa melihat bahwa wanita berusia setengah dari 54 lebih berbakat daripada adiknya, Calix-sama. Hal itu mengundang pertanyaan dari beberapa murid, mengapa Gladiz sama memilih posisi yang satu tangga lebih rendah dengan bakat tersebut? Tetapi jawabannya cukup simpel sejak Damien mengunjungi wanita itu di ruang kerjanya.

Beberapa tahun mengenalnya, Damien yakin Gladiz tipe orang yang memberikan jarak dengan beberapa orang, dari segi penuturan kata yang formal dan senyuman yang dia berikan seperti senyum bisnis. Mangkanya, saat mendengar Gladiz memanggil Yunania dengan nama kecilnya membuat Damien berpikir sesaat. Ya, sesaat, karena ada hal penting yang dipikirkan.

"Dari pengamatanku, iya. Peri itu menerjang ke arah Yunia, lalu mengeluarkan sihirnya langsung ke mata dia." Damien bercerita, mengabaikan tubuhnya yang merinding saat teringat dengan jeritan penyiksaan dari sang puan. "Yang Anda katakan sebelumnya, peri yang satu lagi memiliki kemampuan yang membuat keberadaan temannya tak diketahui, makanya kami—bahkan Jun—tidak bisa menyadari keberadaan peri tersebut. Lalu setelah di sekitar Yunania, keberadaan Krulozelle terlihat."

Damien melirik ke arah Gladiz yang masih menatap skeptis kepada toples berisi Krulozelle. "Itu yang Anda jelaskan, benar?"

"Benar," gumam Gladiz dengan berat. "Sihir yang dimiliki peri lebih banyak dan kuat, dan sihir Jun belum berada di tingkat teritorial. Tidak disangka ternyata peri-peri ini bekerja sama hanya untuk menyerang Yunia," gumamnya lagi dengan suara yang pelan.

Dia mengira bahwa gumaman seperti bisikan angin itu tidak akan terdengar, namun Damien yang berdiri di seberang meja penelitian bisa menangkap seluruh kata berkat sihirnya.

"Apa maksud Anda dengan "bekerja sama"? Apa sebenarnya mereka bersikap individual?"

Gladiz mengangkat kepala, terkejut dan kesal pada dirinya sendiri karena melupakan kehadiran Damien yang masih setia di ruang kerjanya. "Bisa dikatakan begitu. Karena mereka punya sihir seperti kita, mereka berpikir bisa menjalani hidup tanpa bantuan siapa pun. Namun, mengetahui bahwa mereka bisa bekerja sama membuatku takjub dan ngeri di waktu yang sama, karena mereka bergandengan tangan hanya untuk mengalahkan Yunia."

Hal itu membuat Damien teringat pada cerita salah satu murid yang terluka, mengatakan bahwa penyerangnya merupakan siswa baru yang suka dibicarakan murid-murid, lalu kasus pencobaan meracuni murid baru yang belum terpecahkan. Semuanya berkaitan dengan Yunania, anehnya.

Damien tidak percaya dengan kebetulan, karena semua hal ini sudah diatur oleh dunia. Bila semua hal yang terjadi di akademi memang direncanakan, sekarang Damien berharap bahwa apa yang terjadi hanyalah kebetulan belaka.

"Jadi, sihir macam apa yang dipegang peri ini?" Merasa dirinya terpanggil, peri itu menghadap ke arah Damien, lalu mendesis seperti kucing liar.

"Kau mau tahu?" Gladiz menaikkan salah satu alis. Sang Ketua menatapnya heran, tapi memilih mengangguk. "Yakin?"

"Jangan main tarik ulur! Bila Anda tidak ingin mengatakannya, katakan saja langsung." Sekarang dia mengerti perasaan kesal Leo setiap dia bermain tarik-ulur. Bukan berarti dia akan menghentikan tindakan naik darah tersebut bila bisa melihat warna ekspresi di wajah sepupunya.

"Peri ini memiliki sihir yang berkaitan dengan kutukan. Sialnya, dia bisa menciptakan kutukan dan memberikannya pada orang lain." Gladiz menatap bengis pada peri kecil yang membusungkan dada karena tahu bahwa dia lah subjek perbincangan mereka.

Kutukan.

Kata kecil untuk hal yang besar.

Bila saja target incaran peri itu adalah Jun, maka semuanya akan baik-baik saja, karena pemuda itu bisa menangkal sihir atau memadamkannya bila dia mampu mengeruhkan seluruh sari-sari kehidupan. Tapi apa yang terjadi tidak berjalan seperti itu. Target mereka adalah Yunania, murid baru yang bahkan tidak tahu sihirnya itu apa. Ironis.

"Damien, aku punya satu permintaan yang ingin kau indahkan." Gladiz melepaskan pandangannya dari toples. Mungkin sudah muak melihat Krulozelle berkulit biru langit mendung yang tidak pernah bosan meledeki keberadaannya.

Gladiz menutup mata, lalu sebuah gambaran yang tak diinginkan muncul di kepala. Itu bukan gambar masa depan atau masa lalu, melainkan angan-angan yang semestinya tidak pernah ada. Sebuah ilusi tentang seorang gadis yang terjerat oleh kegelapan tanpa perlawanan, dan sebuah bunga perlahan tumbuh di permukaan setelah gadis itu ditelan tanpa sisa.

Itu hanya ilusi, bayang-bayang yang bisa dia kembangkan menjadi cerita, namun Gladiz berharap agar cerita itu tidak pernah ada di dunia asli.

"Tolong jaga beberapa orang ini sampai seluruh masalah ini selesai. Sampai seluruh badai ini mereda."

Gladiz menggeser kertas kecil dengan daftar nama penyihir murid di akademi tersebut. Tanpa memberikan lirikan kedua kali, Damien langsung melipat kertas itu dan memasukan ke saku celana.

Dari kejauhan, mereka berdua bisa mencium marabahaya yang bisa membinasakan setiap orang bila kunci utama tak segera ditemukan.

"Sebelum kau pergi," wanita itu menghentikannya saat Damien mulai melangkah ke pintu, "Apa... kalian meminum gelas itu saat di Blood Party?"

Damien mengalihkan pandang lalu meringis pelan. Dia bisa merasakan tatapan kekecewaan dari Gladiz meskipun dia tidak menatap lurus ke netra hijau lumut tersebut. "Hanya sedikit, seperti kucing menjilat air."

"Aku harap kalian hanya menjilat sekali saja," gumam Gladiz sebelum menghela nafas panjang. "Bagaimana Leo? Apa dia meminumnya juga?"

"Kenapa kalian berdua sama? Calix-sama juga bertanya kayak gitu, bahkan ada nada amarah saat dia memandang Leo padahal dia sedang berbicara dengan Veron. Anda tahu? Seperti seorang Ayah yang marah saat mengetahui anaknya menggunakan obat terlarang," ujar Damien. "Biar aku bertanya, mengapa kalian begitu takut bila Leo meminumnya?"

Yang dia dapatkan bukanlah jawaban lengkap, melainkan balasan malas yang terdengar seperti ancaman. "Kalau kau segitu ingin tahunya, coba kasih dia minum, dan lihat apa yang terjadi padanya."

Dan untuk pertama kalinya, Damien tidak ingin menerima ancaman itu sebagai tantangan.

-

Minggu ketiga di bulan ini diawali oleh guru yang tidak datang karena izin. Tentu saja kabar itu diterima oleh murid-murid dengan sukacita, tetapi tugas yang diberikan guru piket membuat mereka bersungut-sungut karena harus pergi ke perpustakaan untuk mencari materi tersebut. Aku termasuk murid tengah, malas mengerjakan tugas tapi bersemangat untuk pergi ke perpustakaan.

Tujuanku bukan untuk belajar, bila kalian ingin tahu tapi untuk melanjutkan Buku Kehidupan yang diberikan Sein.

Entah darimana dia tahu itu, bahwa Buku Kehidupan merupakan buku pegangan yang diturunkan oleh Fraudulent ke generasi selanjutnya, memastikan pengetahuan tetap hidup di setiap generasi. Buku dengan lembaran yang tak terhingga itu lebih ringan dari yang dia duga, seperti buku tulis yang sering dia gunakan untuk menulis plot cerita yang tercipta di pikiran.

Namun, tidak seperti julukannya—Buku Panduan Fraudulent—bisa juga disebut Buku Kehidupan, aku tidak menemukan panduan untuk mengetahui lanjut tentang sihir sialan ini. Apakah ini memang bukan panduan melainkan buku harian?

Aku mendengus sebal lalu melakukan belok ke rak-rak berisi buku pengetahuan dunia ini, tetapi perjalanan singkat itu tidak berjalan lancar karena aku hampir saja menabrak seseorang. "Maaf, maaf, aku akan berhati-hati!"

"Tidak apa-apa," suara berat itu menyahut. Aku ingin lari dari tempat saat melihat siapa yang hampir kutabrak. "Sudah mendingan?"

"Hm, iya," ujarku pelan dengan sedikit keraguan. Tidak ada luka serius yang ada di tubuh, tapi belum tentu aku sepenuhnya baik-baik saja. "Bagaimana nasib peri itu? Apa yang akan terjadi pada mereka?"

Shirogane-san menatapku heran, tapi dia tidak mengeluarkan pertanyaan yang baru saja lewat di pikirannya. "Mereka bersama peri yang ditangkap kelompok lain. Tapi Yuna, apa kau sungguh baik-baik saja?"

Itu pertanyaan yang menyebalkan.

Aku ingin marah dan berseru, seperti yang kulakukan pada Mirai sebelumnya, tetapi tindakan itu sama saja menyakiti dirinya dan diriku sendiri. Perbuatan itu juga tidak jauh dari cara membohongi diri sendiri, seperti pengecut. Di waktu yang sama, aku ingin diam, membiarkan kesunyian menjadi jawaban dan akhir dari pembicaraan itu.

Sungguh, aku aneh. Aku ingin Shirogane-san tetap disini meskipun aku tidak punya jawaban untuk diberikan, lalu kami hanya diam, menikmati hening yang tak terasa membunuh. Aku ingin Mirai tetap duduk di depan, membiarkan kesunyian membelenggu kami, dan dia mencoba menenangkan hati yang kacau dengan sentuhannya di surai rambutku. Namun, kita tidak bisa memiliki dua hal baik secara bersamaan. Aku juga tidak bisa memutar ulang waktu tanpa merusak cara kerja semesta ini.

Jadi, tubuhku merosot ke lantai dilapisi karpet berbulu kasar, menyembunyikan wajah dengan telapak tangan agar Shirogane-san tidak melihat diriku yang memalukan. "Maaf. Aku juga tidak tahu apa aku sudah mendingan atau tidak."

Meski tidak melihat, aku bisa merasakan Shirogane-san ikut duduk di samping.

Dia selalu saja seperti ini. Di saat hari festival sekolah, aku jongkok karena malu saat adik kelas dari ekskul yang sama menoleh ke arah jendela karena sadar aku baru saja meneriaki namanya atas alasan iseng, dan Shirogane-san akan ikut jongkok agar pandangan kami setara dan aku tidak perlu mendongak hanya untuk menatap matanya. Lalu dia juga melakukan itu saat aku menunduk, sedikit memiringkan kepala agar pandangan kami kembali bertemu. Apa itu semacam kebiasaan?

"Kau suka sekali minta maaf." Aku mengintip dari sela-sela jari, melihat alis Shirogane-san yang menekuk. "Padahal kau tidak punya salah apa pun. Bukan salahmu hampir menabrakku, karena aku juga hampir menabrakmu. Bukan salahmu kau tiba-tiba pingsan di perpustakan. Bukan salahmu kau diserang oleh peri itu."

Aku ingin protes tentang kalimat terakhir, tapi Shirogane-san menghentikan itu. "Dan itu benar, karena Helen memberikan titipan pesanmu, mengatakan bahwa kau merasa bersalah sudah membuat kami bekerja tanpamu. Padahal itu sudah tugas kami sebagai kelompok."

Keinginan untuk tertawa tiba, tetapi itu akan menghancurkan momen serius yang Shirogane-san ciptakan, jadi aku hanya tersenyum untuk diriku sendiri. "Bukannya kau introvert? Kau bicara banyak seperti Emma tadi."

"Apa aku tidak boleh bicara banyak karena aku seorang introvert?"

"Bukan gitu maksudnya," keluhku. "Aku malah suka kau berbicara banyak, karena kau lebih kebanyakan diam dan membiarkan orang lain mengutarakan keinginanmu. Bukankah enak punya suara tersendiri?"

Pemuda itu meletakkan pipinya ke tangan, sedikit memiringkan kepala membuat pandangan kami tidak lurus seperti biasanya. "Iya, sih," gumamnya berat. "Kadang ada orang yang tidak ingin mendengar pendapat kita, jadi aku memilih diam."

Aku tidak bisa berkomentar untuk itu, karena aku sering dalam posisi itu. Seberapa tinggi aku mengangkat tangan, seberapa keras suara yang aku keluarkan, seberapa banyak "permisi" dan degaman yang kusampaikan agar mereka menoleh ke arahku, semuanya sia-sia. Rasanya seperti menjadi angin lalu padahal aku tidak dalam keadaan transparan.

"Mana mungkin," tawaku. Shirogane-san memiliki keberadaan yang susah untuk tak diacuhkan. Hanya dengan berjalan saja, banyak orang yang menoleh ke belakang untuk melihat dia kedua kalinya. Tipe yang menjadi crush jalanan bagi setiap orang. "Kau semacam center. Semuanya berputar mengelilingimu. Bisa disimpulkan, kau adalah pusat tata surya, dan yang mengelilimu adalah planet."

Dia terkekeh. "Berlebihan."

"Lah? Kau saja yang tidak menyadarinya!" Aku mendengus, kembali teringat beberapa pandangan mata yang memandang Shirogane-san karena terpukau. Alasan di balik itu semua adalah paras tampannya. Bila aku membagikan fotonya lalu bertanya ke orang lain, mereka pasti memiliki opini yang sama. "Apa kau buta perhatian?"

"Maksudmu?"

Ya, dia memang buta perhatian.

"Enggak jadi, enggak penting." Pikiranku mulai bekerja cepat untuk mencari pengganti topik. "Hei, kau sudah menemukan buku yang dimaksud sensei? Aku tidak menemukannya."

"Kau tidak akan menemukannya bila membuang waktu di lantai ini." Dia menjulingkan mata, menunjukkan raut wajah sebal tapi ada nada canda di pengucapannya. "Aku juga belum ketemu, sih. Mau cari bersama-sama?"

Ada beragam alasan aku bisa menolaknya, tapi aku tidak menemukan alasan tepat mengapa aku harus menolaknya. Maka aku mengangguk, menerima ajakan yang terdengar begitu manis karena pelajaran sastra bukanlah kelebihanku, meskipun aku suka membaca puisi atau menulis di waktu luang. Shirogane-san juga pintar, bisa bersanding dengan Eri yang pandai dalam perhitungan cepat di luar nalar. Bertambah lagi alasan mengapa aku harus menolaknya.

Tertangkap di sudut mata sebuah ekor hitam. Aku menoleh cepat ke belakang, tidak menemukan apa pun kecuali Shirogane-san yang tengah memandang ke arah lain.

Aku mendengus pelan. Mungkin efek begadang gampang mempengaruhi tubuh karena selama ini aku tidur tepat waktu dalam pengawasan Okaa-san, jadi mataku masih berat akan kantuk dan pikiran belum sadar sepenuhnya.

Namun, kaki yang melewati satu anak tangga bukan disebabkan oleh kantuk.

Aku memejamkan mata ketika tubuh terhuyung ke depan, sementara tangan-tangan lain mencoba menggapai sesuatu untuk dipegang. Sialnya, aku tadi berjalan di tengah-tengah, jadi rel tangga lumayan jauh dari gapaianku.

Yah... satu atau dua luka bukanlah masalah.

Tapi aku benci rasa sakit!

Tiba-tiba, sebuah tangan melingkar di pinggang, menahan tubuh sebelum jatuh di setiap anak tangga. Degup jantung lebih cepat dari biasanya, dan aku yakin bukan karena rasa syok saja.

"Hati-hati." Suara itu berucap cuku dekat dengan telinga, membuat tubuhku merinding karena suaranya yang pelan.

"I-Iya, makasih!" Tambah sial, suaraku keluar gemetaran. "Kau bisa melepaskannya sekarang!"

Shirogane-san mengindahkannya. Aku langsung menuruni beberapa anak tangga untuk memberikan jarak di antara kami.

"Tidak ada yang terluka, kan?"

"Hm? Tidak, kurasa." Aku merapikan seragam belakang sebelum sebuah warna sihir yang tidak kukenal memenuhi pandangan. Aku kembali memandang Shirogane-san yang juga menyadari kejanggalan di lantai atas perpustakaan.

Ada seseorang selain kita disini.

-

"Bukan penyusup."

Damien memandang wakil ketua dewan siswa dengan alis menekuk. Dia datang dengan satu ketukan, lalu melenggang masuk tanpa mendengar persetujuan dari orang di dalam ruang, setelah itu mengucapkan hal itu tanpa konteks. Sebenarnya siapa yang suka membuat orang lain bingung di antara mereka?

"Bisakah kau mengatakan sepenuhnya? Atau setidaknya, kasih aba-aba?" Pemuda itu memijit kening. Laporan patrol malam dari setiap kelas sudah membuatnya cukup pusing, jangan sampai hal yang ingin disampaikan tangan kanannya memberikan beban lagi di kepala.

"Aku yakin kau tahu maksudku apa."

Damien mendengus pelan sambil menjulingkan mata. "Aku sudah menduganya sebelum kau melapor," ujarnya. "Tapi aku tertarik darimana kau tahu."

"Aku melihatnya mendorong murid lain."

Sang Ketua mengangkat kedua murid. Penyusup itu sampai melakukan tindakan mencelakai murid lain. Apa tujuannya? "Bagaimana kondisi murid itu."

"Baik, nggak ada luka. Dia berhasil diselamatkan sebelum jatuh," ujar Leo. Matanya menerawang ke bawah, teringat bahwa dia lupa mengikat tali sepatu karena terburu.

"Jadi apa yang akan kau lakukan?"

Langit di luar jendela terlihat cerah dengan warna biru terang menyelimuti cakrawala, menjadi tempat bagi awan berarak-arak dan burung-burung mengepakkan sayap. Bila dia membuka jendela, pasti aroma bunga dari sakura akan menyapanya dengan ramah, lalu disusul serbuk sari yang membuatnya bersin. Tetapi dari itu semua, segalanya baik.

Tidak ada setipis pun awan gelap di langit musim semi.

Yah, untuk sekarang.

"Kita pantau saja terlebih dahulu, memastikan apakah mereka akan melakukan tindakan lebih ekstrim daripada melukai murid disini. Kita juga harus memastikan siapa saja yang terlibat," pulpen pada tangannya tergeletak di samping gelas, "Setelah sudah yakin dengan semua bukti ini, kita tinggal menekan mereka."

Mungkin saja... bukan Yunania yang akan kehilangan sebagian dari masa mudanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top