Chapter 26 - His Kind Gesture Was Everything
"Jadi kita hanya perlu mengambil mereka semua sebanyak mungkin, lalu memerangkap mereka di dalam toples yang sudah disediakan oleh Calix-sama." Toples yang dibawa terbuat dari kaca, namun Damien meyakinkan bahwa kaca itu tidak serapuh yang dipikirkan orang lain karena lapisan sihir dari Jun—salah satu anggota Komet. "Aku yakin beberapa kalian sudah mencari tahu tentang Krulozelle. Mencari tempat persembunyian mereka adalah tantangan tersendiri, namun kita bisa menarik perhatian mereka dengan mudah."
Tidak seperti jentik-jentik yang bisa kita temukan di air bersih, tempat persembunyian Krulozelle beragam. Mereka bisa saja bersembunyi di batang pohon seperti peri biasanya, di ruang gelap dan lembap, atau di ruang terbuka. Kita akan di luar sampai matahari terbit bila mencari markas kecil mereka.
"Apa kita perlu mencabut sihir mereka setelah menangkapnya?" Aku melirik ke samping, dimana seorang siswa berbadan tegap—seperti sering pergi ke gym—angkat bicara.
Damien menatapnya aneh, seolah siswa bernama Ivan baru saja mengatakan bahwa gravitasi tidak ada. "Itu merepotkan. Kumpulkan saja dulu, baru kita mencabut sihir mereka."
"Di antara aku tidak hadir saat rapat atau apa, tapi kalian sudah menemukan cara menghentikan sihir mereka secara total?" Minerva meletakkan jarinya di dagu.
"Kita sudah menemukannya." Mungkin yang dimaksud Damien adalah dia bersama dengan kedua orang penting akademi ini. "Tapi kunci penting ini belum ada, jadi begitulah," ujarnya santai.
Keheningan melanda.
Seperti orang tolol, aku melihat keenam siswa-siswi yang tenggelam dalam pikiran mereka, menerka-nerka siapa atau kunci penting yang dibicarakan Damien. Bahkan dia sendiri pun ikutan berpikir, entah memikirkan apa.
"Ya, sudah itu nanti saja kita pikirkan!" Jun menghentikan kereta api pikiran mereka. "Daripada diam disini saja, kita mulai pencariannya. Aku tidak ingin kembali ke asrama jam tiga subuh."
Untuk seseorang yang rajin bekerja di dapur dan selalu berangkat pagi (aku tahu karena pernah berangkat awal, dan melihatnya baru saja keluar dari kelasnya), aku tidak menyangka dia tipe orang yang tidak suka mengurangi waktu tidur. Atau bisa dikatakan dalam bahasa dewasa, lembur kerja.
"Kita semua tidak menginginkan itu," ujar Ivan sambil menjulingkan mata.
"Mangkanya, kita mulai darimana?"
Helen mengangkatnya tangan setinggi mungkin. "Aku punya ide. Bagaimana kita mulai dari ruang terbuka dulu, seperti di taman yang ada air mancurnya itu? Mungkin ada peri disana."
Aku harus menahan ekspresi wajahku agar kedongkolan itu tidak keluar. Rasanya aku ingin menatap Helen langsung di matanya, menyampaikan darimana sikap itu datang padahal daritadi dia diam enteng saat aku bertengkar dengan Vega.
Ternyata dia bisa kasih pendapat juga.
Kelompok kami mendapat di wilayah akademi pada sayap barat, daerah dimana aku pernah tersesat dan Glow menemukanku. Minerva mengatakan bahwa tidak ada hal menarik disana, kecuali tempat itu dekat dengan mulut hutan dan ada satu taman yang dibuat entah untuk siapa. Selain dari itu, wilayah barat tidak lain hanya lapangan kosong yang ditumbuhi rumput.
Veron mendapat bagian membawa lentera yang terbuat dari ramuan. Cahayanya bersinar terang, mengalahkan senter besar yang ada di rumah. Ramuan cahaya itu dibuat oleh Minerva, kakak kelas yang menjadi pengejar di kelas ramuan setiap kelas malam. Di sampingku, Helen membisik kalau dia tidak bisa membuat ramuan cahaya seterang itu.
Apalagi aku yang belum pernah dengar nama ramuan ribet itu.
Angin malam hari ini tenang. Saking tenangnya, aku tidak bisa berhenti melihat sekitar dengan waspada, tidak bisa menghentikan pikiran yang membayangkan apabila ada monster menerjang keluar. Langkahku juga sangat pelan, hampir saja membuatku berpisah dari rombongan bila aku tidak berlari kecil kepada mereka.
Ini menyeramkan. Mengapa kita harus mendapat bagian di dekat mulut hutan? Mengapa aku—si anak baru—berada di grup yang berbeda? Di kelompok penuh dengan anggota berkemampuan di atas rata-rata pula!
Aku terkejut saat merasakan sentuhan lembut di tanganku yang dingin. Aku mengadah lambat, mendapati Helen—yang sebelumnya di samping Ivan—tengah menggenggam telapak tanganku. Pandangan kami bertemu saat dia menyadari tatapan bingung dariku. Helen hanya tersenyum, tidak menanyakan apa pun dan membagikan kenyamanannya.
Rasanya ingin menghela napas lega atas kebaikan hati tersebut. Karena selama ini, aku lah yang selalu menggenggam tangan mereka, itu pun bila tidak disadari oleh rasa gugup atau rasa bersalah.
"Bukannya peri-peri itu akan terbang pergi bila menyadari kedatangan kita dengan cahaya seterang ini?" Itu suara Jun, tengah bertanya kepada Damien.
"Kita akan memadamkannya kalau sudah dekat di sekitar arena taman." Damien membalas dengan santai. "Katanya mereka usil dan suka mendekati sesuatu yang menarik. Kadang itu hal yang bercahaya, seperti perhiasan atau barang kecil lainnya. Mereka tidak jauh berbeda dari burung gagak."
"Kita pakai kau saja."
Ivan terbahak saat mendengar ucapan Shirogane-san yang datang tiba-tiba. Aku juga menyadari bahu Minerva bergetar untuk menahan tawa.
Damien menatap jengah pada Shirogane-san, sementara laki-laki itu menatapnya dengan datar. "Aku enggak salah, kan? Coba kau marah disana. Pakai rambutmu saja, mereka sudah mengelilingimu."
"Lampu jalan dan laron."
Helen ikutan tertawa. "Sebuah OTP yang tidak bisa dipungkiri."
Keheningan telah diisi oleh tawa karena menggoda Damien. Aku pun tertawa, merasa puas melihat wajah Damien yang terlihat pasrah menjadi samsak mereka, seolah sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini.
Ternyata kelompok ini tidak seburuk yang kuduga bila bisa melihat Damien jadi bahan godaan.
"Yunia, boleh aku tahu apa sihirmu?" Aku menoleh ke arah Helen yang melirik sekilas.
"Sihirku?" Pertanyaan itu datang tiba-tiba. Aku belum menyiapkan jawaban yang gampang diterima.
Helen mengangguk. "Iya, karena aku ingin menyesuaikan dengan kinerja tim kita. Kami sudah saling kenal dengan satu sama lain, dan tahu bagaimana sihir kami bekerja karena kami melatih bersama." Lidahku menjadi pahit mendengar penjelasannya. "Eum, kecuali Solon, sih... Aku tidak tahu apa nama sihirnya."
Secara reflek, aku mengangkat kedua alis. Siapa nama orang ini? Harus berapa banyak orang yang harus kukenal agar tidak merasa tertinggal?
"Kenapa?" Alisku menekuk. Apa Shirogane-san menunujukkan sikap acuh tak acuh yang sama, seperti saat kami SMP? "Bukannya kalian sering berlatih bersama?"
Helen meringis pelan. "Elemen yang dikeluarkan selalu berbeda, ditambah dia jarang menggunakan sihirnya. Setiap kami atau murid lain bertanya apa nama sihirnya, Solon terang-terangan mengatakan bahwa dia tidak ingin kasih tahu. Jadi... kami akan menghargai privasinya."
Elemen yang berbeda? Aku tahu bahwa satu individu bisa memiliki dua sihir, seperti Emma. Tapi elemen berbeda untuk satu individu? Aku belum yakin.
Apa sihir dia tidak jauh berbeda dengan milikku?
"Ada sih, satu murid yang sama dengan Solon. Sihirnya bagaikan privasi tapi bukan berarti itu semacam rahasia. Dia suka menggunakan sihirnya di sekitar orang lain, hanya saja tidak ingin menjelaskan apa pun." Helen mengedikkan bahu. "Mungkin itu sikap naturalnya."
Helen berbicara lebih banyak, mungkin karena kita satu tim dan dia ingin menjadi dekat kepadaku dengan cara membicarakan orang lain. Metodenya berhasil, sekarang aku ingin tahu sosok seperti yang mirip dengan Solon. Bahkan Helen terlihat ingin membicarakan banyak hal, tapi memilih menahan dirinya sendiri entah kenapa.
"Ngomong-ngomong, Leo ini... berada di tim apa?"
"Hm, setahuku dia ikut dua tim. Salah satunya--"
Cahaya dari toples telah padam. Kami sudah berada di dekat taman. Helen pun berhenti membicarakan orang dengan arti nama 'Singa'.
Entah kenapa, aku merasa bahwa bukan hanya peri atau kita saja yang berada di taman itu. Bunga-bunganya mekar dengan indah, meskipun aku tidak bisa melihat warna cerah mereka. Di saat aku mengelus keempat jariku ke kursi taman, debu yang tebal mengotori ujung jari, menunjukkan bahwa pengunjung jarang datang kemari. Namun, rumput-rumputnya dipangkas rapi, tidak seperti ilalang yang tumbuh tinggi dan liar.
"Helen!" Panggil Damien. Gadis itu merenggangkan leher, menatap kepada Damien untuk menunjukkan dia mendengar sahutan tersebut. "Hari ini kemampuan apa?"
Tunggu... hari ini?! Dia berbicara seolah sihir yang dimiliki Helen suka ganti-ganti seperti musim!
"Hari ini...?" Helen mengerjap, lalu bergumam pelan dengan kepala menunduk rendah. Aku hampir mengira dia sedang menatap sepatunya bila tidak menyadari kerutan di keningnya. Dia kembali mengangkat kepala, sedikit membuatku terkejut dengan pergerakan tersebut. "Cahaya!"
"Tolong terangin keempat sudut taman!"
Helen melepaskan genggamannya dari telapak tanganku, dan juga membawa segala kehangatan yang kubutuhkan. Dia menghampiri Damien untuk mengeluarkan bola cahaya kecil dari telapak tangan, lalu memerintahkan mereka seperti yang diinginkan Damien. Cahaya itu tidak seterang ramuan cahaya sebelumnya, mengingatkanku pada lampu tidur yang selalu Onee-san gunakan saat mulai mengantuk.
"Apa seterang ini cukup?" Helen menoleh ke belakang, memastikan durasi keterangannya pada Damien. Sang Ketua mengangguk sambil menunjukkan jempol seperti bapak-bapak.
Leherku merinding saat merasakan sentuhan samar. Aku menoleh ke belakang, mendapati tidak ada satu pun jiwa di belakang. Apa mereka berhasil mengejarku?
"Ini akan memakan banyak waktu," gumam Jun. Terlihat sekali dia lelah berdiri dan ingin menyandarkan diri ke kursi taman, tapi dia menahan diri karena kursi itu sangat berdebu.
Ivan yang jongkok di sampingku menguap besar. Ada kantong hitam di bawah matanya, terlihat begitu tebal seolah kamu bisa menyimpan kartu siswa di dalamnya. Meskipun sebagian dari kesadarannya direnggut, Ivan terlihat nyaman di posisinya dan tidak mengeluh.
"Kalo tidak ada disini, kita cari saja di tempat lain. Daripada tidak mendapat hasilkan," celetuknya. "Misalnya di tanah gersang sebelah sana."
Aku mengikuti arah pandangnya sebelum kembali menatap mereka saat mendengar suara angkat bicara.
"Tidak perlu. Hanya ada satu," ujar Solon yang tidak luput dengan sekitarnya.
Veron mengusap wajahnya dengan kasar. "Memang seharusnya kita gunakan Damien. Solon, coba pukul kepala belakangnya."
"Aku akan menggantung kopimu," balas Damien dongkol.
Mereka ternyata lebih dekat dari dugaanku.
Di sudut mata, aku menangkap pendar cahaya ungu yang menyala dalam sekejap. Aku menoleh ke samping, memastikan lagi-lagi apa yang menciptakan cahaya tersebut. Tapi aku tidak menemukan apa pun.
Mengapa aku merasa bahwa cahaya itu sedang mempermainkanku?
"Dia kesini!"
Sesuatu melesat begitu cepat di antara kami, membuat beberapa helai daun dari semak-semak bertebrangan seperti kelopak bunga sakura. Semuanya terjadi begitu cepat. Seluruh pandanganku langsung dipenuhi cahaya putih, begitu silau sampai aku tidak bisa melihat apa yang ada di sepanku. Aku bahkan tidak bisa melihat apa yang terbang ke arahku sebelum cahaya putih menyerang.
Di saat aku berkedip, rasa perih—entah berasal darimana—membuat mataku gatal, seolah ada sesuatu yang baru saja menusuk mataku tepat di pupil.
Aku jatuh dengan lutut menjadi tumpuan, menahan seluruh bobot tubuh agar tidak jatuh. Jeritan melengking keluar dari tenggorokan. Rasanya ingin mencongkel kedua mata ini sampai rasa perih itu hilang.
"Minerva, tolong sediakan HP level tiga!" Itu suara Helen, terdengar serak seolah dia tidak terbiasa berteriak seperti tadi. Aku bisa merasakan tangannya menyentuh siku, mencoba mengangkat tubuhku agar bisa diangkut dengan mudah bila terjadi apa-apa.
Aku menyingkirkan bantuan itu. Dengan pandangan memburam, aku mendapatkan tampang syok dari Helen. Tidak hanya dari dia saja, tapi beberapa orang yang memandangku panik pun begitu. Tatapan itu familiar. Ketakutan... kah?
Sensasi geli terasa di pipi. Tanganku yang gemetaran menyentuh di pipi, mendapatkan cairan merah menodai ujung jari, ditambah aroma amis yang sebelasduabelas dengan aroma sihir milik Damien. Darah itu dari mataku. Tetapi bagaimana bisa? Serangan macam apa yang diberikan peri sialan itu?
Gila, kepalaku jadi pusing.
Entah bagaimana, seluruh indraku jadi tajam, kecuali indra penglihat. Itu bukan sesuatu yang bagus, karena sekitarku terasa sangat kacau.
Aku bisa mencium aroma sihir mereka lebih pekat, dan aroma sihir Damien yang memuakkan itu membuat isi perutku bergejolak. Suara mereka yang berbaur di udara membuat kepalaku pusing. Aku ingin lari, mencari tempat yang sepi untuk menenangkan gendang telinga, namun kakiku tidak bisa diajak bekerja sama. Angin malam yang menggigit membuatku merinding, merindukan kehangatan dari jaket selama ini tidak pernah kulepaskan.
Siksaan macam apa ini?
"Yunia!" Meski aku tidak bisa melihatnya, aku yakin itu seruan dari Helen disusul dengan langkah kaki seorang yang menghampiriku. Sekitar tiga orang...?
"Kejar sebelum itu kabur! Letaknya tidak jauh dari sini!"
Sakit. Sakit banget! Apa aku akan mati dengan cara ini?
Apa aku akan benar-benar mati seperti ini?
Seseorang menahan tubuhku di belakang. Sepertinya aku hampir saja terjungkal bila dia tidak segera menahan punggungku. Dengan begitu putus asa, aku menggenggam kedua pundaknya, berharap agar rasa sakit itu berkurang bila aku memberikannya pada orang lain.
Tetapi apa yang keluar dari mulutku jauh berbeda dengan permohonan di batin.
"Menjauh—!" Tangan yang menggenggam pundak itu bertingkah dengan lambat, mencoba mendorong siapa pun yang merangkulku saat ini dengan tangan lemas. "Kau juga akan—"
Hawa dingin menusuk tulang rusuk. Ini bukan angin malam yang baru saja membuat seluruh tubuh merinding, melainkan angin dengan jutaan jarum es yang menusuk jiwa. Padahal masih musim semi, namun aku melihat salju mulai jatuh dari langit.
Peganganku pada sosok itu melemah, dan mata terjuling ke belakang. Aku bisa mendengar lolongan serigala di kejauhan, seolah sudah menantikan kedatanganku sejak lama.
"Kita bertemu lagi, ■■■."
-
Kubah transparan buatan Jun melingkupi tubuh Yunia selama gadis itu hilang kesadaran. Suhu tubuhnya jatuh seketika, membuat Helen langsung menjauhi tangannya karena terkejut saking dinginnya. Maka, salah satu dari merek memijamkan salah satu ramuan penghangat berbentuk pulpen untuk diolesi di kening siswi baru tersebut. Damien meminta perempuan di kelompok untuk menangani Yunia, karena—kebetulan—ada Minerva, yang ahli ramuan, dan Helen, salah satu anggota PMR, dalam grup mereka. Sisanya akan mencari keberadaan peri yang sudah menyerang mereka.
Damien kira mereka harus masuk ke hutan hanya mencari peri tersebut, namun dugaannya salah.
Dalam kedipan mata, seluruh taman berubah menjadi taman es. Rerumputan di bawah kaki mereka menjadi lapisan es yang licin, sampai pantulan wajah mereka tertangkap disana. Veron terpingkal saat melihat Jun tergelincir, lalu pemuda itu membawa Veron jatuh agar mereka sengsara bersama. Sempat-sempatnya mereka bercanda di situasi sekarang.
"Beningnya hampir sama seperti air mineral," gumam Ivan takjub. Jarinya mengetuk salah satu es runcing yang bisa menembus tubuhnya. "Apa ini yang bisa diperbuat emosi?"
"Ini bahkan belum semuanya," ujar Damien santai. Karena dia pernah melihat sesuatu yang lebih mengerikan daripada ini. Karya disuguhkan hanyalah salah satu cara Solon menunjukkan bahwa dia menahan dirinya.
Ivan merinding pelan mendengar pernyataan tersebut.
Pandangan mereka tertuju pada sosok yang membuat taman es tersebut. Meski tatapan itu menganggu, dia hanya fokus pada dua peri yang sudah terperangkap dalam penjara esnya. Seperti suhu di sekitar mereka, tatapannya tidak kalah dingin. Damien yakin dia bisa membeku bila mencoba mengganggu konsentrasinya.
Tapi namanya bukan Damien bila tidak mengetes kesabaran orang lain sehari saja.
"Sudah selesai menyusun strategi jahatnya, pak? Jangan berlebihan tapi! Kita tidak ingin mengundang perang disini," ujar Damien. Perhatian lelaki tersebut berhasil dia pecahkan, terlihat dari cara Solon mendelik ke arahnya.
Jun pun ikut angkat bicara. "Dia benar untuk ini. Perbuatanmu berlebihan."
"Dih, katakan itu pada dirimu sendiri." Ivan menjulingkan matanya, dan Veron mengangguk setuju.
Solon memilih tidak mengubris mereka, dan kembali berpikir bagaimana cara memasukkan kedua Krulozelle ke dalam toples tanp salah satu dari mereka kabur.
Peri kecil itu mendorong tubuh mereka ke lapisannya, namun terpental kembali karena es itu lebih keras daripada dugaannya. Krulozelle yang berhasil terperangkap menatap geram padanya, lalu mengeluarkan beragam serangan untuk menghancurkan penjara es. Namun, seberapa banyak tenaga yang dia kerahkan, retakan pada es itu akan kembali ke awal, seolah dia tidak mengeluarkan usaha apa pun.
Puncak penjara es mulai meleleh hanya dari tatapan Solon. Dia bisa melihat peri itu berseru riang menggunakan bahasa yang tak dia kenali dan mengepakkan sayap panjang seperti capung. Ketika peri itu mengira kebebasan sudah di depan mata, mereka bertemu dengan penjara yang baru, toples bening yang dilapisi dispel milik Jun.
"Dapat," ujar Solon. Toples di tangannya telah dipenuhi oleh dua peri nakal.
"Sudah? Oke, ayo kita informasikan pada mereka." Damien menerima toples itu dari Solon, lalu menyimpannya di dalam tempat penyimpanan dari mantra.
Veron mengerutkan kening, menatap kekacauan yang diperbuat oleh Solon beberapa saat yang lalu, dan beralih ke Damien dan Solon secara bergantian. Dia melakukan pergerakan mata itu sampai mereka sadar akan kebingungannya.
Untung, Ivan menyadari tampang bengongnya agar Veron tidak pegal memutar sendi di leher. "Kau kenapa?"
"Kita akan meninggalkannya begitu saja?!"
"Nanti juga meleleh." Yang menjawab adalah Jun sambil mengibas beberapa kepingan es dari dalam tudung hoodie-nya. "Yah... tergantung kapan emosinya mereda."
Veron mendengus pelan. Setahu dia, sekalinya emosian, Solon tidak bisa terkendalikan dan susah menenangkan api dalam dirinya bila mereka tidak menyuguhkan sesuatu yang bisa menengangkannya. Tetapi sesuatu yang berperan menjadi aromaterapi itu dalam keadaan tanda tanya.
"Itu sungguh gila," komentar Ivan sambil menggeleng pelan, tidak bisa melepaskan detik-detik momen Solon mengubah taman itu menjadi es total. "Aku tahu sihirnya dalam level abnormal, tetapi melihat hal yang bisa perbuat—meski baru setengah level—membuatku merinding, secara harfiah."
"Kalo kita dapat bagian mencari di gedung olahraga, sudah dipastkan gedung itu menjadi istana es," celetuknya secara hiperbola. "Dia akan melakukan apa pun bila orang yang dia pedulikan terluka, di depan matanya lagi." Veron mengedikkan bahu sebelum menyusul ketiga temannya yang sudah berjalan cukup jauh.
Apalagi saat melihat tatapan Solon yang membuatnya tidak bisa berkutik. Bila Damien tidak segera bicara, sudah dipastikan kedua peri itu sudah mati di tangannya, dan akan terdengar suara sangkakala dari ujung dunia.
Sementara yang berjalan di depan tenggelam dalam kesunyian.
Damien melirik sedikit pada lelaki yang berjalan selangkah di belakangnya. Walaupun mereka sudah kenal cukup lama, dia belum bisa mengatakan bahwa mereka dekat, meskipun dia suka mengatakan bahwa dia dan Solon adalah teman. Jujur saja, Damien saja tidak tahu Solon tidak begitu suka manisan bila dia tidak melihat reaksi lelaki itu saat memakan kue kering buatan Jun. Apalagi mengetahui apa isi pikiran lelaki itu.
Kekacauan yang dia ciptakan menggunakan es membuat Damien terkejut. Hampir saja rambutnya berubah menjadi putih bila dia tidak segera menahan emosinya, karena tidak ingin peri-peri nakal itu benar-benar menyerbunya. Cukup diserbu sama penggemar saja. Bukan dengan makhluk eksotis juga.
"Tadi kau lihat, kan?" Pertanyaan Solon membuat langkahnya berhenti. Dia memandang adik kelasnya bingung, bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan konteks 'lihat'. Solon menghela nafas, menahan agar wajah kesal itu tak terlihat jelas di permukaan. "Matanya berubah."
Ah. Yang dimaksud adalah perbuhan pada mata Yunia sebelum gadis itu hilang kesadaran. Mereka semua bisa melihat netra biru langit itu berubah menjadi violet yang berpendar dalam kegelapaan. Mungkin orang lain tidak menyadarinya, termasuk Solon, tapi Damien melihat ada beberapa kelopak bunga mencuat keluar dari mata gadis itu.
Damien kembali melirik ke bawah, dan baru menyadari buku-buku jari Solon menegang. "Kau khawatir banget, ya? Kalau kau segitu khawatirnya, jenguk saja dia nanti."
"Enggak bisa." Solon mengalihkan pandangannya. "Aku tidak ingin mengganggu waktu istirahatnya."
Dia menggeleng pelan saat melihat Solon melangkah duluan, kakinya juga melangkah lebih cepat, seolah ingin menghindar dari tatapan curiga Damien sekaligus menyembunyikan emosi di wajahnya.
Pembohong. Padahal kelihatan banget kau ingin nyusul Minerva dan Helen setelah membekukan peri-peri itu, batin Damien sambil mendengus.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top