Chapter 25 - Loyalty of a Dog
Setelah makan malam, akan dijalani patrol malam yang wajib dilaksanakan bagi kelompok yang mendapat jadwal. Sialnya, aku merupakan anggota dari kelompok spesial dengan jadwal paling banyak daripada yang lain. Ketika aku menyampaikan protesku secara tersirat pada Gladiz, dia hanya tersenyum misterius, membuatku ingin menciptakan ring tinju di tempat itu bila Calix-sensei tidak segera memisahkan kita.
Aku membuka lembaran buku "kamus" tanpa minat.
Halaman dimana bahan racun itu diterakan terlalu rumit karena mereka menggunakan bahasa Latin juga. Penjelasannya panjang. Aku kehilangan minat untuk melanjutkannya, lalu ganti bab untuk dibaca.
Banyak informasi tidak jelas yang kudapatkan, tapi aku hanya ingat dua hal saja.
Vessel, diterjemahkan sebagai "wadah". Benda itu disebut sebagai wadah karena mengandung banyak sihir dan fungsi di dalam benda bentuk kunci tersebut. Yang bisa mendapatkan vessel hanya mereka yang terpilih sebagai Ascended—penjelasan itu juga kubaca, tapi aku lupa. Dikatakan di sini, mereka yang mendapat vessel memiliki kemungkinan lebih besar untuk naik ke Celestia.
Aku juga membaca tentang Krulozelle, peri kecil yang menghancurkan upacara pembukaan tahun ajaran baru. Mereka dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan level dan elemen yang mereka kerahkan. Sebenarnya, level kecil tidak begitu memberikan banyak kerusakan, dan hanya memberikan luka kecil. Tapi beda lagi bila berhadapan dengan level atas.
Peri-peri ini tidak lebih dari peganggu kecil. Untung kita hanya perlu menangkap mereka saja, bukan membinasakannya.
Di lihat dari ponsel, aku sudah melewati empat puluh lima menit hanya membaca di kamar asrama. Aku juga melewatkan makan malam tanpa sepengatahuan Mirai. Sebaiknya aku langsung kabur setelah mencungkil permata yang ada di sampul buku.
Bukan tanpa alasan aku melakukan ini. Tertulis pada halaman pertama, setiap Fraudulent harus mengambil batu opal yang ada di sampul depan untuk rencana ke depan. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi aku tetap melakukannya sesuai dengan perintah benda mati ini. Lagipula, ini juga untuk jaga-jaga bila si sialan muncul di hadapanku. Akan kubuat dia pingsan dengan batu murni ini.
Jeritan lolos dari tenggorokan saat cahaya putih muncul di atas nakas. Rasanya ingin memukul diri sendiri ketika menyadari bahwa cahaya itu hanya menelportasikan kotak makan dengan kertas menempel. Masa gini doang terkejut, sih?! Lemah banget.
Hatiku langsung terenyuh membaca kalimat terakhir di pesan itu. Tidak kusangka bahwa Mirai akan mengirimkan makan malam padaku dengan cara seperti ini, padahal dia bisa memberi aba-aba dari pesan.
Jangan lupa makan malam.
Nanti kau kelaparan saat tidur, baru tahu rasa.
- Mirai
Aku tertawa geli melihat isi pesan itu, padahal dia bukan seorang tsundere yang menyebalkan. Tanpa menunda, aku langsung mengirimkan rasa terimakasih dan beberapa kaomoji imut untuk menunjukkan betapa beruntungnya aku memiliki sahabat sepertinya, padahal aku paling anti menggunakan emoji dalam percakapan chat. Lebih suka pakai stiker meme karena perasaanya lebih dapat.
Tawa kembali keluar saat dia membalas dengan singkat. Ternyata lagi cemberut.
Kebahagiaan dan kenyamanan yang kurasakan langsung tersurut ketika genggaman halus terasa di betisku. Badan bergerak lebih cepat dari biasanya, menyimpan buku menggunakan mantra yang baru saja kupelajari bersama Eri, dan melesat pergi dari kamar.
Ada yang tidak beres. Tapi apa itu?
Pikiranku tidak bisa berpikir rasional ketika degup jantung memenuhi indra pendengaran, jadi posisinya digantikan sementara oleh emosi. Bodohnya, si emosi dalam keadaan gila, dan membawa diriku ke akhir jurang. Aku ingin menjerit kesal saat menyadari bahwa langkah kaki membawaku ke ruang terbuka, atap asmara.
Asap hitam memenuhi lorong, melahap cahaya dan warna terang di setiap ruangan. Aku bisa mendengar lolongan asing sampai mendengungkan telinga. Entah itu melambangkan kesedihan atau kemenangan, yang pasti seluruh tubuhku bergidik mendengar sahut-sahutan itu.
Menakutkan. Rasanya aku akan dilahap bulat-bulat bila berhenti di tempat seperti orang bodoh.
Mungkin itu hanya ilusi yang mengejarku, tapi rasa takut memenuhi dada bukan bohongan belaka.
"Sayap! Ayo ciptakan sayap!" Jeritku dengan putus asa.
Kau belum siap untuk itu.
"Persetanan! Bawa aku pergi darisini!" Umpatan itu keluar dengan lancar, bersamaan dengan bulir bening memburamkan pandangan. "Aku tidak mau mati konyol seperti ini!"
Seketika, seluruh pandanganku menggelap, dan aku kehilangan pijakan. Gejolak di dalam perut naik ke atas, menolak untuk dicerna menjadi feses. Sensasi ini sama seperti aku mencoba teleportasi Mirai untuk pertama kali.
Tubuhku terhempas ke tanah yang ditumbuhi rumput pendek. Di saat aku membuka mata, pemandangan di sekitar telah berubah, menjadi pepohonan tinggi yang terlihat menyeramkan karena matahari mulai terbenam. Aku memandang kedua tangan yang gemetar telah diwarnai jingga.
"Akh... sial," gumamku. Sekolah ini memang jadi kuburanku.
"Lho, kamu!" Siswi itu tersentak saat kepalaku bergerak cepat. Apa boleh buat? Aku masih dalam keadaan syok. "Namamu kalau tidak salah... Yu-Yua siapa?"
Bukankah dia siswi yang namanya juga dipanggil untuk Komet? Aku menggeleng pelan. "Yunania."
Senyuman di wajahnya merekah. "Nah, iya! Apa yang kamu lakukan di sini? Perasaan patrolnya masih lama," ujarnya yang terdengar seperti berbicara sendiri.
"Aku lagi jalan sore," jawabku seadanya. Tidak mungkin aku mengatakan bahwa aku baru saja dikejar oleh maut yang tengkurap. Yang ada dia tambah kebingungan. "Nama senpai... Helen-senpai, ya? Apa ada semacam penyesuaian titik temu?"
"Hm? Kurasa tidak. Buat grup chat saja belum," ujarnya sebelum tertawa pelan. Apa dia juga tipe orang yang mudah tertawa seperti Leimenth? "Oh, iya! Bila kau ada waktu, bagaimana kita jalan-jalan sebentar? Sekaligus mencari titik kemungkinan perinya berada."
Helen-senpai mengulurkan tangannya, lalu aku menerima uluran tangan itu. Aku bingung ketika dia mampu membuatku berdiri dalam satu tarikan. Ternyata dia kuat juga!
"Bagaimana menurutmu, Vega?" Aku mengintip ke belakang punggungnya, menemukan seorang siswi yang bersedekap tangan. Ah, aku kenal tatapan itu. Sepertinya dia menelan rumorku bulat-bulat.
Vega menelengkan kepala sebentar, merenggangkan leher. "Tentu," jawabnya singkat.
Matanya yang melotot itu! Untung aku tidak bawa bolpoin.
Jalan sore yang baru saja ku rencanakan telah ditemani oleh kedua senpai.
Tujuan awal adalah mencari dimana peri-peri menyebalkan itu muncul atau bersembunyi, tapi kami sendiri pun bingung darimana kita mulai. Aku mengajak ke kolam renang, sementara Vega mengatakan bahwa arena itu sudah diatasi kelompok dia sebelumnya. Aku memilih tempat lain, di dekat gedung olahraga yang belum pernah kuinjak, namun dia beropini bahwa tempat terbuka seperti itu ada perinya. Ya sudah, aku membiarkan dia memilih, tapi Vega juga tidak punya ide. Balik lagi ke titik awal.
Sudah ada banyak tempat yang kupilih, dan selalu aja ada alasan di balik tempat itu.
Bangsatnya, sorry not sorry, Helen-senpai bersikap netral dan tidak bisa diandalkan untuk menutup moncong temannya ini.
Jadi apa maumu?!
Hampir saja aku meneriaki itu bila akal sehat tidak bergerak cepat, membisikkan bahwa teman jalan soreku adalah kakak kelas yang banyak maunya. Sudah cukup rumor itu menghantui setiap langkah, jangan ada lagi mulut besar yang minta dijahit.
"Kita menunggu yang lainnya saja, ya?" Sempatnya dia tersenyum tidak bersalah seperti itu. "Atau kita berpencar?"
Akhirnya, Helen-senpai angkat bicara. "Itu ide bagus!"
Vega tersenyum bangga. Ternyata ada senyuman yang lebih menyebalkan daripada punya Damien. "Aku gitu, lho," ucapnya sambil membusungkan dada. "Aku dan Helen akan mencari ke selatan, dan kau cari ke utara. Bagaimana? Setuju?"
Helen-senpai mengangguk, tidak menyadari apa yang baru saja dia setujui. Raut wajah cerah itu langsung padam saat bertatapan denganku. Dia memang tidak repot-repot menyembunyikannya. Baguslah. Setidaknya dia bukan penipu.
"Kelihatan banget, tolol."
Alisnya menekuk. "Apa kau bilang?"
"Oh, telingamu bermasalah?" Aku mengangkat salah satu alis. "Kelihatan banget, tolol!"
Lagi-lagi, aku menjatuhkan sopan santun lalu menendangnya jauh dari kaki. Mungkin aku akan menyesal telah menjatuhkannya, tapi aku tidak menyesal sudah mengumbarkan kemarahanku pada orang yang tepat. Daripada aku menumpahkannya ke orang lain yang tidak memiliki sangkutan dengan kekesalanku, kasihan di dia.
"Tunggu tunggu tunggu—!" Helen-senpai menatapku dengan panik. Tangannya sudah berada di depan Vega, mencoba menghentikannya menerjang ke arahku. "Mari kita—"
"Diam dulu sebentar, Helen! Kouhai yang satu ini sepertinya tidak dididik di rumah," geramnya. Aku juga menyadari Helen-senpai menciut saat namanya diteriaki.
Secara reflek, aku menarik Helen-senpai ke sampingku. Bisa mampus bila Vega tipe orang yang melukai sekitar saat marah.
"Dengar baik-baik, ya, dik! Kau harus menjaga lidahmu saat berbicara dengan kakak kelas," rahangnya mengeras, "Dan tundukkan kepalamu!" Aku tidak menyangka bahwa dia akan menundukkan kepalaku. Tangan liar itu juga main jambak.
"Vega! Jangan seperti itu dengan adik kelas!" Helen-senpai menyingkirkan tangan itu secepat mungkin, membawa pandanganku kembali menatap lurus ke mata yang melebar. Dia juga merapikan rambut belakang dengan hati-hati. "Dan, um, Yunania, tolong jangan ngumpat seperti itu. Bagaimana kita bicarakan ini dengan baik?"
"Dengan baik? Aku tidak mengerti apa maksud senpai perihal bicarakan baik-baik."
"Kau dengar dia sendiri, Helen? Anak ini memang kurang ajar." Mata nyalang itu terlihat ingin keluar dari rongganya, seperti karakter di manga horor. "Kenapa orang seperti dia bisa masuk ke sekolah ini? Jelas sekali kau sedang mengincar sesuatu, kan?"
Aku mengerutkan kening. Apa dia tidak salah target saat mengatakan itu?
"Jangan berspekulasi sembarangan. OSIS saja belum menemukan pelakunya!" Sanggah Helen-senpai.
"Itu karena mereka bodoh! Padahal sudah jelas kalau pelakunya ada disini bersama kita!" Seru Vega sambil menunjukku tepat di hidung.
"Ada apa ribut-ribut?"
Orang menyebalkan lainnya tiba.
Warna di wajah Vega langsung menghilang saat melihat siapa yang menghampiri kita. Helen-senpai terlihat bingung lalu menelengkan kepala sedikit. Kenapa dia terlihat lucu di mataku sekarang?
Aroma darah yang menjengkelkan itu menggelitik hidung. Lebih baik aku mencium aroma parfum yang kebanyakan disemprot daripada cairan kental dan busuk itu.
"Bukan apa-apa, Kaichou!" Helen cepat mencegah. Ketika aku melirik sekilas padanya, aku masih menangkap tatapan tajam punya Vega yang ingin membunuhku di tempat. Keren sekali, padahal wajahnya saat mendengar suara Damien terlihat seperti orang kebelet.
"Kami hanya berselisih saja sebentar."
Di antara dia tipe orang yang tidak ingin memperbesarkan masalah atau mencoba menutupi kesalahan temannya. Tapi aku memilih ikut main aman.
"Biasalah. Konflik kecil seperti ini selalu terjadi karena interaksi manusia, jadi tenangkan alismu, Kaichou," ujarku sambil mengibaskan tangan.
Damien mengangkat salah satu alis, masih curiga dengan atmosfir antara kami bertiga. Terlihat dari wajahnya, dia pasti tidak akan melepaskan kami begitu mudah. Tipe orang yang merepotkan. Maka, aku berinisatif maju selangkah, tidak memedulikan tatapan nyalang Vega seperti ingin menarik kerah belakang kemejaku.
"Kita bertengkar karena perbedaan pendapat, dan emosiku lepas dari kendali." Aku mendengus dari hidung, "Enggak akan ada pertengkaran fisik."
"Iya, aku tahu. Jadi tenangkan dulu wajahmu." Aku menggerutu kesal ketika Damien mengusap wajahku dengan tangan kasarnya. "Sebaiknya kalian jangan keluyurun di saat hari mulai gelap, apalagi kau, Yunia."
Rasanya aku ingin membelokkan kepalanya ke arah lain saat dia kembali melirik ke arahku, seolah aku adalah hewan liar yang harus diawasi setiap saat. Yah, memang benar, sih. Dengan rumor berterbangan di udara, sihir berbahaya yang belum terdaftar di formulir, dan sikapku saat berbicara dengan kakak kelas tadi. Aku tidak jauh berbeda dari anjing yang susah dijinakkan.
Anjing... hewan yang dikenal dengan kesetiaan mereka pada seseorang yang sudah menjaga mereka. Bahkan anjing Hachiko terkenal dengan menunggu majikannya pulang sampai mati, dan warga Jepang membuat patungnya.
Kesetiaan yang tak bisa dibeli.
Aku benci banget sama hewan itu.
"Kau bukan Ayahku."
-
Lorong gelap kembali bercahaya karena langkahnya. Kemuraman di sekitar kembali menemukan warna mereka, menjadikan tempat itu kembali seperti semula, atau lebih terang dari sebelumnya. Lampu berkedip-kedip kembali normal, menerangi jalan untuknya, meskipun dia tidak begitu membutuhkannya karena kehadiran dia sendiri adalah cahaya itu sendiri.
Seperti namanya.
Sang puan menundukkan kepala saat menyadari ada sesuatu bergerak mengelilinginya. Bayangan yang berbentuk seperti koma bergerak dengan aktif, seperti anak anjing yang antusias dan mencoba menarik perhatian majikannya.
"Osmond, kau seperti kecebong—AW!" Glow meringis pelan, mengusap betisnya yang baru saja dilibas bayangan tersebut.
Kepalanya kembali bergerak cepat, mengadah ke ujung lorong saat melihat sesuatu melintas cepat. Sebuah pedang seperti lightsaber muncul di tangan, terarah ke titik dimana dia melihat pergerakan kecil tersebut.
"Tunjukkan dirimu!"
Glow mengerutkan kening ketika melihat surai pirang mencuat keluar dari tempat persembunyian, namun dia masih menegarkan pedangnya, bersiap melakukan perlawanan bila pemilik surai ingin menerjang.
Dengan takut, seorang lelaki keluar dengan tubuh meringkuk. Dia mengenakan kemeja putih dengan celana sekolah, persis seperti seragam akademi. Persis? Karena Glow bisa menangkap beberapa perbedaan dari gaya seragam dikenakan lelaki tersebut. Dia juga mengenakan kardigan sweater, melupakan mantel sekolah—yang semestinya—wajib dikenakan. Saat dia menjatuhkan pandangan dan menemukan jam saku, semuanya menjadi jelas.
Glow menjatuhkan arah pedangnya, lalu pedang itu menghilang, meninggalkan kilauan cahaya seperti pixie dust. "Oh... ternyata kau," gumamnya. Sedikit kecewa karena tidak si pelaku.
Lelaki itu tertawa canggung sambil menggaruk kepala bagian belakang. "Er, iya, ini aku. Apa kau keberatan menjelaskan apa yang baru saja terjadi? Mengapa... mereka mengincar Master?"
Entah mengapa, cara lelaki itu menyebut seorang perempuan yang seumuran dengannya 'Master' terdengar begitu lucu di telinganya. Namun Glow segera menghentikan dirinya karena dia juga memanggil 'Master' kepada Yunania, perempuan yang belum genap berumur enam belas tahun.
"Banyak sekali alasannya," gumam Glow sambil memasukkan kedua tangan di saku rok. "Tapi aku tak yakin bahwa ini ada hubungannya dengan masa lalu," pupilnya berputar ke belakang, mengalihkan pandangan dari lelaki itu, "Yah... sebagian."
"Apa maksudnya?" Lelaki itu mengerutkan kening. Di antara kepalanya tidak sampai untuk menelaah informasi atau wanita itu menjelaskannya dengan putar-putar, dia tidak tahu harus memilih apa.
Bukannya menjelaskan, Glow mengedikkan bahu dengan santai. "Untuk saat ini, jaga dia dari dekat. Dia butuh waktu untuk mempelajari semua ini dari awal."
-
Matanya tidak bisa berhenti berkedut. Rumor itu terus saja berterbangan seolah mereka tidak bosan dengan topik tersebut, bahkan ada yang memperbesarkan sebuah peristiwa kecil agar si topik utama terlihat seperti orang bermasalah. Meskipun dia sudah menegur mereka lewat mata, tetap saja moncong itu tetap bergerak seperti mesin motor. Bagaimana Solon mengatasi semua masalah ini saat orang yang dia sukai jadi target kebencian? Bila dia jadi sahabatnya, Jun pasti sudah mendatangi mereka.
Apa karena dia terlalu berkepala panas? Padahal Solon tak kalah panas darinya.
"Bukannya Komet ada patroli hari ini?"
Surut emosinya mereda seketika saat mendengar teguran tersebut. Dia menahan kedua sudut bibirnya terangkat tinggi agar tidak terlalu terlihat konyol di depan siswi tersebut, meskipun si siswi sudah tahu tentang rahasianya.
"Aku harus cari--dia dulu. Dia akan berbuat semena-mena kalau dia berhasil kabur," ujar Jun diakhiri hembusan berat.
Siswi tersebut mengangguk, merasa canggung dengan topik yang padam dalam satu kobar.
Jun pun merasa begitu.
Setelah kejadian sebulan yang lalu, hubungan di antara mereka sedikit senggang. Tidak ada lagi tawa menggelegar karena candaan humor, tidak ada lagi dorongan kecil bersikap ramah, dan tidak ada tekanan atmosfir seperti ini.
Emma berdeham pelan, mulai merasa gatal di tenggorokan. "Oke, begini... Apa aku bisa minta tolong padamu?"
Formal. Ada tembok yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Entah itu karena waspada atau peringatan.
"Kau ingin minta tolong apa?"
"Ini tentang Yunia. Kau kenal, kan?" Tentu saja Jun tahu siapa yang mereka bicarakan. Anak baru yang membawa seluruh perhatian orang ke arahnya secara tak sengaja. "Firasatku tidak enak sejak tadi pagi. Jadi aku ingin minta tolong padamu, untuk hari ini saja, tolong jaga Yunia untukku."
"Tanpa kau minta pun, kita tetap melakukannya karena ini kerja sama." Jun mengedikkan bahu, "Kukira kau akan minta tolong pada dia."
Gadis itu mendengus pelan, seolah Jun baru saja menanyakan pertanyaan paling konyol, dan dia sendiri pun menyadarinya.
Tanpa perlu diingatkan pun, hal tersebut sudah ada di agendanya.
"Aku duluan," ujar Emma sebelum cahaya putih menelan keberadaannya. Tanpa memberikan kesempatan bagi Jun, dia sudah menghilang, meninggalkan rasa canggung yang menganggu seperti duri di dalam daging.
Hanya dari satu pengakuan saja, semuanya berubah seperti ini.
Apakah dia menyesal? Semuanya sudah terjadi. Apa lagi yang harus dia sesalkan? Meskipun dia punya sihir mengundur waktu, Jun yakin dia akan melakukan keputusan yang sama.
Tetapi dia harus bermain aman agar tidak membuat Emma semakin tidak nyaman dengannya. Tetap menjadi teman satu sekolah, dengan pengakuan perasaan sebelumnya menjadi pengingat. Mencoba mengembalikan suasana seperti semula adalah sebuah tantangan, karena Emma sudah memberi jarak secara jelas, entah atas dasar penolakan atau hal lainnya.
Lebih baik membuat Emma kesal padanya daripada tidak bisa memiliki gadis itu sama sekali.
***
A/N
AKHIRNYA! Sub-couple telah terlihat!!!
Adegan khusus ini sudah dianggurkan sejak beberapa bulan di catatanku telah tertulis.
Nantikan chapter selanjutnya, yaaa!
- Astralia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top