Chapter 24 - Unsolved Problem

Bila aku mengatakan bahwa aku trauma itu terlalu hiperbola. Racun itu tidak masuk ke dalam tubuhku, jadi aku tidak apa-apa. Aku juga tidak bisa mengatakan bahwa aku hampir mati karena aku tidak menghadapi persoalan tentang hidup-mati. Tetapi, reaksi di lingkungan membuat seolah-olah aku bangkit dari kematian.

Bahkan Mirai—yang biasanya paling overprotektif seperti pacar yang tak pernah kumiliki—bereaksi biasa saja. Yah, dari segi bicara, karena aksinya yang membicarakan seluruh kekhawatirannya. Untung saja dia tidak mencicipi makananku terlebih dahulu untuk memastikan itu diracuni atau tidak.

"Tapi kalau aku dapat jujur," semua perhatian tertuju pada Lily yang tengah memotong ayam katsu, "Semua kejadian aneh yang biasanya tak terjadi menjadi nyata sejak kau datang."

Aku berhenti mengunyah, memandang kakak kelas itu dengan heran. "Apa aku semacam pembawa sial?" Karena pertanyaan asal ceplos itu, Mirai menendang kakiku sebagai peringatan.

"Enggak seperti itu juga," ujar Mirai sambil memberikan tatapan tajam pada Lily. "Tahun ajaran ini saja sedikit kacau, bukan karena Yunia."

"Bisa jadi." Eri mengangguk. Aku yakin dia hanya mendengar separuh, dan kembali fokus pada hidangan makan siangnya. "Tapi Yuu, aku ingin nanya."

"Kenapa?" Tanyaku diselingi suara kunyahan. Cepat-cepat aku menjadikan makanan itu lebih halus sebelum ditelan agar bisa menjawab pertanyaan Eri.

Pandangannya jatuh ke bawah, ke arah pangkuanku. "Kau ngapain bawa totebag, padahal sudah ada loker di kelas?"

"Aku juga ingin menanyakannya tadi," ujar Lily.

"Tentu saja untuk membawa barang-barang. Apa lagi kegunaan tas?" Aku menatap mereka aneh. Ada-ada saja pertanyaan mereka.

Rasa seperti ditusuk ribuan tajam muncul di samping kepala. Aku menoleh ke kiri, dimana Mirai menatapku seperti ingin menatap langsung pada jiwaku. Menyeramkan, tatapan intens itu seperti seekor mangsa yang tengah memantau hewan buruannya.

Dia membaca pikiranmu.

Ah, pantas saja tatapannya seperti memberi peringatan. Aku tersenyum agar apa pun yang terbesit di dalam pikiranku sekarang menghilang, lalu kembali fokus pada sayuran bercampur mayonaise.

Setelah Peony menyampaikan itu, Minerva-senpai dan semua siswa di ruangan diinterogasi oleh Ketua OSIS, jadi semua murid khusus di ruangan itu harus pulang telat. Karena itu, aku bisa menangkap beberapa kebingungan dan gelisah, tapi ada juga yang mengumpatiku karena sudah mencari masalah. AYOLAH! Bila aku ingin cara masalah, aku bisa menggunakan cara lazim, tidak membuat diriku menjadi korban dari kekacauanku sendiri. Pakai otak, dong!

Eri menyadari komentar tidak berguna itu langsung melototi murid di bekalakangku dengan tajam. Tiba-tiba, lengan kami saling bertautan sangat erat, Eri menggandengku begitu posesif. Aku sangat berterimakasih pada hal itu karena aku membutuhkan kepastian di tengah kacaunya malam.

Sayangnya, berita itu tak berhenti disana. Ada lagi rumor yang mengatakan bahwa aku lah yang melukai murid beberapa hari yang lalu. Itu terdengar tidak masuk akal, karena aku ada di kelas sedaritadi bersama Shirogane-san, dan—bila dia mau—Shirogane-san bisa menjadi saksiku.

Aku menghembuskan nafas kasar, lalu berjalan lunglai ke kursi taman. Padahal aku tidak melakukan hal berat, namun rasanya aku ingin tidur saja 24 jam. Bila bisa, aku ingin tidur sampai semua hal ini berlalu.

"Kau benar-benar populer, Yun-Yun."

"Apa itu ejekan?"

Pelajaran terakhir menjelang jam pulang sekolah, sensei izin tidak masuk karena istrinya berada di rumah sakit. Itu kebebasan bila kita menyampingkan tugas yang diberikan sebelum beliau pergi. Sebagian murid mengerjakan tugasnya, ada yang sekaligus bercanda dengan satu sama lain, bahkan ada murid yang tidur. Aku tidak termasuk dalam kategori ketiga murid itu, karena aku bolos ke taman yang pernah kukunjungi bersama Vanessa.

Bagaikan kebetulan, Vanessa juga ada di sana. Apa itu hal yang baik?

Gadis itu tertawa puas ketika melihat ekspresi pahitku. Saking puas, kepalanya terlempar ke belakang karena gejolak tawa di dada, mulutnya tetap terbuka ketika suara tawa telah menghilang. Berisik dan menjengkelkan, tapi lebih baik daripada sendirian seperti orang ansos.

"Anggap saja ujian hidup. Dunia memang suka bercanda," ucapnya santai sambil mengelus pundakku dengan lembut. Aku ingin membalas balik tapi aku menahan diri. Vanessa lebih tahu bagaimana rasanya dicaci maki oleh orang tak dikenal, bahkan dia bisa saja mendapat ejekan pedas dari perusahaannya sendiri.

"Kau ngapain disini?" Aku bertanya setelah selesai dari fase mengeluh.

"Ngusir ceritanya?" Aku mendengus pelan ketika melihat senyuman miring itu. Lagi-lagi, dia terbahak. Selera humornya perlu dipertanyakan.

"Aku hanya bertanya. Aura yang kau keluarkan selalu bersinar di kamera, dan aku pernah mendengar kau mengemis pada perusahaan agar menunda beberapa pekerjaan karena hari itu kau harus ujian. Tipe murid teladan yang sering masuk sekolah. Meski sakit, tetap mengikuti sampai disuruh ke UKS karena guru-guru mulai khawatir." Celetukan itu keluar dengan lancar, seolah aku sedang bicara sendiri.

Entah mengapa, ekspresi wajah Vanessa berubah sekejap, seolah dia tersinggung mendengar ucapanku. Dia hanya diam saja lalu memainkan ponsel, dan aku jadi kepikiran apakah yang kuucapkan sebelumnya salah. Astaga, aku paling benci tipe orang seperti ini. Mereka harus sering berterus-terang bila tidak ingin ada yang tersesat di jalan.

Rasanya jadi benar-benar sedang berbicara sendiri.

Aku membalikkan lembaran selanjutnya, menulis penjelasan dari jawaban yang baru saja kutulis. Tugas itu harus segera dikumpulkan sebelum bel pulang berbunyi.

"Daripada aku, kau lebih mirip seperti murid teladan, Yun-Yun." Aku bergumam, bertanya-tanya apa maksudnya dengan ucapan itu. Vanessa tersenyum, tidak ada ekspresi gelap yang membuatku bertanya-tanya tentang opsi hidupku. "Kita berdua sedang bolos disini, tapi kau tetap mengerjakan tugasmu sampai tuntas. Ada murid seperti itu," tawanya.

"Namanya juga kewajiban. Aku harus mengerjakannya bila ingin menerima hak, yaiti istirahat tanpa beban. Sensei yang mengajar pelajaran ini juga berlebihan, karena suka membawa nama orang tua, jadi aku harus mengerjakannya sebelum lewat batas waktu." Aku meringis ketika menyadari salah satu typo di penjelasan, lalu menghapus ulang satu kalimat itu.

Meski aku tidak melihatnya, aku bisa merasakan senyuman Vanessa yang dia utarakan ketika aku menolongnya. Tipe senyuman yang tak berani kudeskripsikan.

"Karena orang tua?"

"Iya. Aku tidak ingin masalah sepele seperti ini sampai terdengar ke telinga mereka," ujarku sambil menaikkan kedua alis.

Lagi-lagi, kami saling diam. Sebelum kaca tipis keheningan itu dipecahkan oleh satu ucapan yang membuatku bertanya-tanya.

"Aku jadi ingin tahu apakah kasus hampir diracuni itu juga masalah sepele."

Benar-benar... aku tidak bisa kabur dari masalah tidak jelas itu.

Mengapa hidup SMA-ku akan sesusah ini?

Aku mengadah ke atas ketika merasa sinar mentari tidak lagi menusuk kulit, mengacuhkan ucapan Vanessa yang menyakiti hati mungil ini. Keningku mengernyit melihat keadaan langit. Bukan karena cahaya surya yang menyakiti mata, melainkan langit berawan tebal yang mulai menggelap, berkebalikan dengan emosi Vanessa yang tersenyum dan tertawa saat bersama denganku.

Sejak kapan langit punya perasaan?

-

Sebagai satu-satunya murid yang tidak tahu apa-apa tentang sihir, aku berencana untuk mulai menggali ilmu di perpustakaan yang selama ini selalu kulupakan, padahal aku selalu mengatakan ingin pergi ke fasilitas akademi itu. Bila kalian pikir aku akan seharian disana, mengeksplor setiap rak buku dan membaca setiap judulnya lalu stress karena tidak mengerti apa yang tertera di buku tersebut, kalian salah. Aku tidak akan membaca buku apa pun dari sana.

"Selamat siang, oh--" Pustakawan di belakang meja tersentak dengan kedatangan tamu di jam tak terduga. "Bukankah kau anak baru itu, tidak? Namaku Leimenth, pekerja paruh waktu di akademi ini."

Aku mengangguk sambil memberikan senyuman kikuk. "Salam kenal, Leimenth. Aku mengira yang menjadi pustakawan adalah murid disini."

Wanita itu tertawa, seolah apa yang baru saja kuucapkan merupakan lelucon. "Apa karena wajahku yang muda?" Jari dengan kuku panjang itu memainkan poni ikal yang menutupi keningnya. "Maaf, aku memang mudah tertawa. Banyak murid mengatakan aku senpai karena parasku, jadi mendengar kamu mengucapkan itu membuatku terkejut."

"Kadang paras juga bisa menipumu," tuturku tanpa sadar. "Barisan buku tentang sihir dan tanaman herbal berada dimana?"

"Untuk menyusul yang lain, ya? Di barisan paling belakang, di samping buku sains dan hal lain tak kumengerti." Aku mengikuti arah tunjuk Leimenth, dimana rak-rak buku yang terlihat berdebu berada. "Terkadang Menteri Pendidikan datang, jadi pihak akademi menyimpannya di paling belakang agar tidak dicurigai."

"Seperti menyimpan alkohol dan narkoba."

Tawa nyaring itu kembali terdengar, meskipun dia sudah menutup mulutnya, bahkan kedua mata itu sampai membentuk bulan sabit. Tawanya mengingatkanku pada seseorang.

Aku mengikuti arahannya sambil berlari kecil saking semangatnya. Sebelum cahaya remang-remang menelan keberadaanku, aku menoleh ke belakang untuk memastikan Leimenth tidak memantau dari mejanya. Ketika keadaan sudah aman, aku menjatuhkan ke sofa paling pinggir untuk menyandarkan punggung pada dinding dingin, lalu mengeluarkan Kamus Bahasa Perancis itu dari totebag.

Sebelum tidur, aku memeriksa buku itu lagi di toilet, dan isinya lebih lengkap banyak dari yang kuduga. Setiap aku membalikkan halaman baru, rasanya halaman itu tidak pernah habis bila aku tidak mengambil ke halaman paling belakang langsung. Ada beberapa bagian halaman yang kosong, seolah diberikan khusus untuk menulis catatan tambahan atau opiniku tentang penjelasan tersebut.

Rasanya seperti membuat annoted book.

Apakah buku ini dilapisi semacam sihir untuk mengenal kepribadianku? Bila ada, siapa pun yang membuat ini pasti seorang stalker handal, dan itu adalah tindakan kriminal. Seharusnya mereka dihukum lalu dicebloskan ke penjara.

Aku melewati lembaran pembukaan, menuju bagian dimana keterangan tentang tanaman herbal berbahaya di pertengahan halaman. Deretan nama asing tertera di halaman pertama bab tersebut, dan anehnya aku bisa membaca dan mengerti bahasa asing itu. Aku menekan tulisan "Medical Herbs from South", seketika lembaran buku bergerak sendiri, membawaku ke halaman yang ditunjuk.

Derap langkah samar membuatku siaga. Buku itu kembali tertutup, lalu kusembunyikan di dalam mantel, setelah itu melihat siapa yang berjalan ke belakang sini. Seorang perempuan familiar berseragam rapi berjalan cukup lambat. Wajahnya tenang sebelum sebuah kerutan di kening muncul ketika pandangan kami bertemu.

"Kau masih disini?" Pertanyaan pedas itu mengusik ketenanganku. Nada jengkel sangat kental di suaranya, ditambah dengan ekspresi kesal yang menyempurnakan segalanya. Seolah dia tidak menduga aku akan disini, padahal ini fasilitas umum akademi.

"Kau tidak suka?" Balasku dengan nada sama. Kami tidak saling kenal tapi dia sudah berbicara seperti itu. Cari ribut sekali.

Siswi itu memberikan tatapan yang terlihat begitu menggoda untuk dicolok. "Bukan itu," ujarnya halus. "Aku hanya tidak menyangka bahwa kau masih punya untuk menunjukkam wajahmu setelah kekacauan yang telah kau perbuat."

Aku tidak tahu ekspresi apa yang dipasangkan di wajahku, tapi aku sadar bahwa sekitarku mulai menggelap. Sesuatu seperti menahan tubuh agar tidak menerjang siswi itu ke lantai. Entah itu akal sehat atau sihirku yang menahan lengan ini mengayun ke wajah menyebalkan itu.

Dengan dongkol, aku tersenyum lembut, mencoba membuatnya tambah kesal dan berhenti bertingkah. "Terimakasih sudah khawatir. Kau baik sekali."

HAH, BERHASIL! Alisnya mengerut kesal, tidak menduga bahwa aku akan membalasnya setenang itu. Kau terkejut, ya?

Tapi dia tidak menyerah semudah itu, terlihat dari sudut bibir yang perlahan naik, menciptakan sebuah senyuman yang membuatku merinding. "Bukan apa-apa, namun sungguh aku khawatir apa yang terjadi bila kau berlama-lama disini. Mau berapa banyak korban yang akan kau ciptakan dengan sihir itu?"

"Kau berbicara seolah sudah melihat keajaibannya," suaraku memelan entah kenapa, "Atau kau hanya mendengar itu dari mulut orang lain?"

"Tidak ada yang salah memercayai rumor." Siswi itu mengedikkan bahu. Tangannya asal mengambil salah satu buku tentang ramuan-ramuan. "Ini hanya dugaan sekitar, tapi ada yang mengatakan bahwa rumor racun itu hanya untuk mengalihkan isumu agar semua orang percaya bahwa kau juga korban disini."

Genggaman pada buku bersampul tebal itu mengerat, menciptakan bekas kuku di sampul cokelat kusamnya. Aku bisa melihat percikan puas di matanya ketika menyadari bahwa ketenanganku mulai menguap. Dia pasti sangat senang bila bermain-main dengan mangsanya.

Tenang, ayo, tenanglah!

"Jadi... kau takut denganku?"

"Bukankah itu sebaliknya?"

Ini tidak ada habisnya.

Aku memasukkan buku itu kembali ke tas, lalu beranjak berdiri meninggalkan sofa ternyaman dan lumayan berisik ketika bergesekan dengan per. Informasi tidak akan masuk dengan sendirinya bila aku hanya duduk meladani pertengkaran tidak berguna ini. Dia juga terlihat tidak akan berhenti sebelum aku menyerah, dan dia akan memasang senyuman yang tidak kalah menyebalkan dari kehadiran Damien.

Siswi itu membalikkan badan, kebetulan juga aku sedang menoleh ke belakang untuk memastikan apa keinginannya dengan ajak ribut. Perasaan saja atau aku sedang berhalusinasi, tapi sorot matanya mengingatkanku dengan seseorang, ditambah dengan wajah berbentuk hati yang mengingatkanku pada karakter utama paling gemas--dalam arti menyebalkan--di film fantasi itu.

"Kau ingin kabur, ya? Apa yang aku katakan benar?" Aku harus menahan ekspresi wajah saat melihat sudut bibirnya mulai terangkat. Jangan sampai tangan ini melayang ke wajahmu!

Dengan sepenuh hati, aku mencoba menunjukkan senyuman yang sama dengan sebelumnya. Sedikit saja aku terlihat ingin meremasnya, aku sudah dikatakan kalah. Masa masalah kecil segini doang dipermasalahkan?

Bila hal sepele seperti ini saja gagal, bagaimana dengan menahan gejolaknya bencana?

"Enggak, kok, senpai. Sebaiknya urusi saja urusanmu."

-

Semua kursi telah terisi oleh anggota OSIS atas perintah Sang Ketua. Seperti hari biasa, pintu akan dikunci dan rapat akan dijalani dengan tekanan yang hebat. Bahkan sekedar bersandar lebih nyaman di kursi pun tidak ada yang berani. Seluruh perhatian mereka harus terbagi, apalagi bagi sekretaris yang harus mencatat bagian penting dalam rapat. Namun, semua tanggung jawab sementara diberikan kepada Sekretaris II karena Sekretaris I angkat mulut perihal masalah mereka.

"Jadi, apa yang ingin kau utarakan, Lily?" Damien menurunkan pandangannya pada siswi tersebut, karena lehernya sudah pegal harus mengangkat dagu setiap saat.

"Aku hanya ingin menyampaikan bahwa perbuatanmu untuk meletakkan hukum pada siswi ini adalah tindakan ceroboh. Kita belum punya bukti yang valid bahwa dia lah dalang dari perbuatan itu semua."

Tekanan itu tambah berat setelah seseorang menyampaikan protes mereka. Itu pertama kalinya ada yang protes atas tindakan Damien, dan orang pertama itu harus Lily, Sekretaris I yang dikenal dengan kesetiaannya pada Sang Ketua. Bila ini adalah sebuah drama, maka anggota lainnya merupakan penonton yang menantikan lanjutan dari kedua tokoh penting.

Damien menghembuskan nafas. Dia bisa mendengar banyak bisikan setuju atas tindakan dari Lily mengutarakan pendapatnya, dan dia mengerti atas tindakan Sang Sekretaris bahwa perbuatan ini juga tidak adil. Namun, kebingungan masih memenuhi pikirannya terhadap sihir yang menyerang siswa tersebut.

"Pendapatmu diterima," ujar Damien, membuat Lily bingung mengapa begitu mudah disetujui. "Tapi kita harus bertindak cepat, karena aku merasa bahwa ada kejadian yang lebih besar daripada ini. Jangan lupakan kasus keracunan itu."

"Hampir diracuni." Lily membenarkan.

"Hm, iya itu. Sang pelaku memiliki sihir yang banyak atau lebih rumit daripada itu, bisa jadi dia bertindak tanpa menggunakan sihir." Kerutan keningnya semakin dalam. Spekulasi sudah bertambah di benak, namun dia belum menemukan titik terang juga.

Di antara pelaku memang pintar atau mereka saja yang tak pandai menyusun kepingan puzzle itu?

Houseki Akademi berdiri tidak begitu lama, tapi sudah mendapat julukan sekolah unggulan terbaik dengan Akreditas A sejak angkatan pertama lulus. Hampir semua murid lulusan ini berhasil masuk ke universitas terbaik. Masyarakat langsung mengakui kualitas dari sekolah tanpa mengetahui rahasia di balik gerbang.

Meskipun masih muda dibandingkan dua sekolah lainnya, tidak ada masalah yang besar terjadi dan semuanya berjalan dengan aman tentram. Tidak ada protes tentang ketidaknyamanan, mau itu dari pihak murid atau tamu yang datang untuk pelatihan. Tidak ada makhluk dari dunia lain mengusik mereka. Namun, kedamaian itu langsung berubah sejak satu murid baru datang.

Tentu saja banyak berspekulasi bahwa Yunania merupakan pertanda buruk.

Salah satu anggota mulai membuka suara. "Korban mengatakan bahwa sekitarnya menjadi gelap, dan dia diserang secara tiba-tiba. Satu-satunya yang bisa dia lihat adalah netra biru terang. Bisa dikatakan bahwa netra itu hasil dari aktifnya sihir, sama seperti Ketua Damien." Yang disebut menyetujui dalam hati. "Tapi... seingat saya, tidak ada murid berelemen kegelapan di akademi ini."

"Jangan-jangan... ada orang luar?! Apa sih sebutan lainnya?!"

Siswa di samping memasang wajah heran atas kebingungan itu. "Penyusup, maksudmu?"

"NAH IYA, ITU!"

Kepanikan mulai mengisi ruangan. Seseorang yang bisa menerobos keamanan gerbang sekitar wilayah pasti lah orang yang kuat. Tamu tak diundang selalu menciptakan kekacauan.

"Tapi sensor gerbang tidak menyala, jadi orang ini benar-benar diundang oleh Calix-sama!"

"Tidak mungkin sensei-sensei! Mereka saja tidak punya apa pun untuk melawan kita, kecuali dengan uang dan pemerintahan."

Pendapat yang tak diinginkan membuat suasana tambah kacau. Masih saja ada orang yang mengatakan bahwa Yunania adalah pembawa sial, dan harus segera disingkirkan dari akademi kalau kehadirannya hanya buat orang lain repot. Suasana tambah koar-koar oleh kesetujuan atas pendapat tersebut, membuat Sekretaris II mengeratkan kepalan tangan di bawah meja.

"Kalau kalian disini bukan untuk rapat, sebaiknya keluar saja!" Tegur Damien dengan dingin. Kesunyian kembali datang atas keinginannya. "Seperti yang dikatakan Lily, kita belum punya bukti kuat. Dan juga, semua hal ini terjadi karena kebetulan, seperti... kedatangan makhluk itu."

"Bagaimana kalau memang Yunania masalahnya?"

Lily menatap tajam ke arah siswa tersebut.

Itu juga pertama kalinya bagi mereka melihat Lily menunjukkan emosinya. Selama ini, dia selalu pihak diam dan mengikuti apa pun hasilnya. Bila dia bersikap posesif seperti itu, orang-orang akan berpikir bahwa dia berada di pihak Yunania apa pun yang terjadi.

"Kita lihat saja nanti."

Akhirnya, Wakil Ketua OSIS membuka mulut. Dia mengerutkan kening ketika menyadari dua pasang mata penuh harapan tertuju padanya.

"Mari kita lanjutkan rapatnya. Hari ini tugas kelompok Komet untuk patrol," ujarnya. Damien mendengus pelan mengingat jadwal tambahannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top