Chapter 23 - Poison Attempt

Kelompok pertama yang melakukan patroli adalah kelompok Triton dan Carme, kelas sebelas dan dua belas. Jadwal itu baru saja diberikan setelah pemberitahuan dari duo pihak akademi, maka mereka dibebaskan dari kelas malam sampai usai. Awalnya, banyak murid yang mengeluh dan memilih mengikuti kelas dengan ratusan lambang aneh, daripada jalan malam menggunakan senter lalu digigit nyamuk. Namun, semua langsung semangat saat mendengar sistem poin yang dapat diubah sebagai penambahan.

"Eh, aku lihat ke arah sini, ya!" Seru salah satu dari mereka, mulai memisahkan diri dari gerombolan. Pemimpin dari kelompok itu mengacungkan jempol, memberi izin padanya untuk pergi sendiri.

Ravyn tersenyum lebar sambil tertawa puas di dalam hati, mulai mempercepat diri ke arah pepohonan tinggi. Dia mematikan senternya agar tidak menarik perhatian orang lain. Setelah sampai di mulut hutan, langkah kakinya memelan, menghilangkan desrik rumput yang nyaring.

Dia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada satu pun jiwa, lalu kembali menatap ke depan.

Rencananya tidak berjalan semulus yang dia kira, karena sebuah cahaya perlahan mendekat bersama dengan semilir angin yang membuat tengkuk leher merinding. Rasanya dia berada dalam adegan film horor. Dia menahan matanya agar tidak melirik ke belakang, meskipun nyawanya berada di ambang pisau.

"Bukannya ada larangan jangan masuk ke dalam hutan?"

Bisikan itu membuat bulunya merinding. Saat Ravyn ingin menoleh ke belakang, matanya langsung ditutup oleh tangan bercahaya. Daripada kegelapan total, yang dia temukan adalah latar merah bernyala saat membuka mata, tidak diperbolehkan untuk melihat siapa yang menutup pandangannya.

Ravyn mengeluarkan tawa dari hidung. "Aku mengenalmu."

"Makasih udah ingat," balas pemilik tangan dengan ceria. "Sebaiknya kau kembali ke rombongan. Bukannya juga dikatakan agar tidak berpisah dari kelompok, ya?"

"Apa kau tidak ingin tahu kenapa mereka melarang kita memasuki hutan?"

"Hmm, tidak juga!"

Menyebalkan. Dia kira bila malam ini akan berjalan lancar, karena situasi masih lengah dan banyak bocah bodoh yang naif kepada dunia luar. Tapi selalu saja ada satu orang yang coba menghentikannya. Dan kebetulan, pemilik tangan dan suara itu merupakan sosok yang menghentikan melakukan sesuatu pada si anak baru.

Perasaan tahun kemarin dia masih bisa bergerak bebas.

"Balik ke rombongan, ya! Ternyata banyak teman-temanmu bertanya kau pergi kemana!" Entah bagaimana, Ravyn tahu bahwa perempuan itu tengah tersenyum di balik tangan penutup. "Jangan berbuat hal aneh lagi, ya!"

Tubuhnya terasa didorong pelan. Meski kekuatannya hanya segitu, Ravyn yakin dia tetap berdiri tegap, lalu menertawai perbuatan bodoh yang dilakukan perempuan itu. Tetapi dorongan kecil itu memberikan sensasi jatuh yang menakutkan, seolah dia melompat ke samudra terdalam dan tergelap.

Sensasi melayang itu telah hilang. Sentuhan dari rumput kering terasa di bawah tangan, sebuah kelembutan dan kasar yang disatukan. Ravyn membuka mata, menemukan dirinya kembali di belakang akademi dengan jarak lebih jauh ke mulut hutan.

"Ternyata kau disini, Rav!" Salah satu teman sekelasnya berlari menghampiri. "Kau ngapain duduk di tanah?"

Balasan pertama adalah tawa canggung, seolah dia juga bertanya apa tengah dia lakukan. "Aku cape. Patrol ini menguras banyak tenaga."

"Heleh, enggak usah lebay!"

Ravyn hanya tertawa, meski hatinya tengah mengumpati gadis misterius yang akan menjadi dalang di balik gagalnya rencana.

-

Semalam, rasa kantuk tiba begitu saja, maka aku langsung menarik selimut sampai leher setelah menggosok gigi. Semuanya baik-baik saja. Pikiranku kosong, jadi tidak ada yang membebani kepala untuk menantikan hari esok. Namun, efek kepikiran itu tiba saat aku memakan sarapan. Terngiang-ngiang suara Lily membicarakan "pawang" Shirogane-san, entah apa maksudnya.

Pensil mekanik hanya berputar tanpa tujuan di sela-sela jari, seolah putarannya dapat mengusir segala suara dan pertanyaan yang memenuhi benak.

"Kau tau, Yuuna," ucap Mirai yang mulai bosan memandangku seperti orang lunglai. "Kalo bingung, kau bisa bertanya biar tidak tersesat di jalan."

Isi pikiranku pasti sangat berisik, makanya Mirai sampai mengerutkan kening, memutuskan koneksi dengan benak. Apresiasi yang besar bsia berhasil bertahan mendengar seluruh keluhanku selama lima menit. Kuharap sel-sel otaknya tidak ada yang mati karena mendengar isi kepalaku.

"Mau aja, sih," gumamku. Mirai selalu menjawab pertanyaanku dengan sabar. Bila aku masih bingung, dia kembali menjelaskan lebih rinci, lambat, dan sabar agar aku bisa mengerti. "Tapi firasatku mengatakan bahwa kau tidak akan menanyakan pertanyaan ini."

Eri mengangkat kepala dari ponsel, mulai memasuki percakapan setelah banyak keheningan. "Pertanyaan apa?" Sebelum aku membalas, dia kembali berbicara, "Oh, ya! Kenapa kau terpilih ke Tim Komet, Yuu? Jangan-jangan... kau punya semacam hubungan salah satu dari mereka dan Nona Gladiz mengetahuinya?!"

"Jangan ngawur." Mirai menjitak kepala Eri, membuat gadis berparas lembut itu meringis. "Ini bukan semacam novel aksi yang lagi kau baca."

"Mungkin saja begitu," gumam Eri dengan bibir mengerucut.

Itu juga masuk ke dalam daftar pertanyaanku! Meski aku baru mempertanyakannya sekarang, karena tadi terlalu sibuk dengan ucapan Lily.

Ketujuh anggota tim terpisah itu sudah cukup untuk menangani apa pun tujuan mereka. Keberadaanku di antara anggota itu adalah hal buruk. Aku tidak koperatif dan canggung, segan untuk bertanya, dan sihirku terhitung sebagai sihir destruktif. Apakah ini semacam tes dari mereka berdua, untuk menilai seberapa pantas aku di akademi? Memang iya begitu, bukankah itu terlalu berlebihan?

Pekikan yang mengilukan telinga terdengar, mengisi ruangan saat dua figur memasuki kelas, seolah mereka adalah idola terkenal. Mirai ikut menoleh ke pintu kelas, lalu izin pergi ke kelas karena beberapa detik lagi bel masuk akan berbunyi. Eri pun melakukan hal sama, memisahkan diri dari kursiku sambil melambai kecil sampai ke kursinya yang berada di barisan paling depan nomor dua. Aku baru sadar jarak kursi kami sangat jauh, karena bangkuku berada di paling belakang.

Aku melihat detik-detik kejadian di samping karena aku kurang kerjaan dan mencoba mengusir segala pertanyaan yang dapat menghambat proses pembelajaran. Dia berjalan mendekat, menggeser kursi ke belakang-kursinya di angkat agar tidak menciptakan decitan di lanti, lalu duduk rapi, dan kembali memajukan kursi dengan cara yang sama. Menyadari tatapanku, Shirogane-san menoleh, bertanya-tanya apa ada sesuatu yang ingin kubicarakan.

Aku terpanjat, tidak menyangka bahwa dia akan menyadari perbuatan bodohku. "M-Mohon kerjasamanya," ucapku. Tolol banget!

Shirogane-san mengangguk. "Sama disini," balasnya singkat seperti biasa.

"Tentang kerja sama ini, aku tidak mengerti apa pun. Jadi... maaf bila aku akan merepotkan kalian nanti." Kekhawatiran itu keluar begitu saja. Terkadang, aku menyimpan semuanya sampai perasaan itu meledak, membuatku menangis di tempat.

"Kau enggak akan merepotkan. Kita semua juga masih awam tentang kerja sama ini," ujar Shirogane-san sambil menyiapkan alat tulis di atas meja. "Nanti kita akan membantumu."

Entah bagaimana tatapanku sekarang, tapi aku bisa membayangkan ada banyak binar penuh harapan di sana. "Bahkan dengan sihirku?"

"Kau belum bisa mengendalikan sihirmu?" Pertanyaan itu murni tidak tahu, bukan ejekan merendahkan yang membuatku ingin mencubit seseorang.

Tawa canggung keluar di bibir, seperti baru saja menertawakan malang nasib. "Sedikit," ucapku dengan senyuman ringis.

Itu jawaban aman yang paling bisa kuberikan. Setengah bohong-setengah jujur. Keseimbangan. Paradoks. Aku bisa mengendalikan sihirku, tapi tidak semuanya. Terkadang kemampuan itu muncul saat aku memerlukan dan harus ada perantaranya, seperti penyembuhan yang menghilangkan sensasi geli karena aura sihir Vanessa. Ada kemampuan lainnya, tapi aku baru bisa menggunakan 15% dari fondasinya.

Shirogane-san mengangguk. Jeda sebentar saat dia ingin mengungkapkan sesuatu di ujung lidah, "Jun akan mengajarimu saat kelas malam." Ada kepahitan dan tidak rela di nadanya, membuatku bertanya mengapa keluar seperti itu.

Lalu, mulutku yang tak terkendali mengambil setir, kembali mendorong keberuntunganku di saat terburuk. "Oh, bukan kau yang mengajariku?"

Kami memasang ekspresi yang sama, terkejut. Shirogane-san membelakkan mata dengan kedua alis terangkat, terlihat jelas bahwa dia tidak menyangka bahwa aku sefrontal itu. Dan, aku meringis pelan dengan penuh penyesalan, kembali memaki diriku sendiri di dalam benak.

Aish, mau mati!

Balasan yang diucapkan Shirogane-san selanjutnya tidak ada di daftar dugaan.

"Aku bukan pengajar yang baik." Tatapannya mulai berkeliaran, "Tapi kalo kau mau," dia mengedikkan bahu sambil menggaruk bagian belakang kepala, "Aku akan coba membantumu."

Aku langsung mengusir segala pikiran yang membicarakan ekspresinya sekarang. Bila aku membiarkan mereka berkeliaran, kita akan disini seharian dan Shirogane-san tidak mendapat balasan, lalu kesunyian canggung yang membuatku ingin menghilang akan terciptakan. Aku harus menstabilkan emosi ini agar situasinya tidak hancur.

"T-Tidak perlu!" Suaraku keluar gemetaran, menghancurkan ketenangan yang ingin kuciptakan. Rasanya tali suaraku tidak stabil. "Kau... pasti sibuk, dengan jadwal tambahan nanti dan tugas lainnya—" Aku tidak ingin memberatkanmu. "Aku bisa sendiri."

Shirogane-san terdiam, lalu mengulum senyuman singkat yang disusul anggukan mengerti. "Kalau ada pertanyaan, tanyakan saja."

Kelegaan itu kembali, meski hanya sekejap saja, karena aku merasakan tatapan menusuk yang bisa membuat kepalaku berlubang. Aku menoleh sekilas, mendapati tatapan permusuhan dan bisikan pedas, layaknya tatapan buas yang ingin melahap mangsanya.

Apa yang dikatakan Eri mungkin benar.

Mungkin aku tidak peka, karena baru saja mengetahui bahwa Shiroganei-san tidak kalah populer dari sekolah lama, dan aku akan dijadikan target bersenang-senang mereka. Lagi.

-

Damien melangkah masuk ke ruang unit kesehatan, dimana murid yang mengalami luka parah itu tengah beristirahat. Luka yang dia miliki cukup dalam, bahkan salah satu tim kesehatan menangis melihat daging yang menunjukkan diri, tidak tahan melihat keadaan mengenaskan bersimbah darah. Karena itu, proses pemulihannya cukup lama, padahal Avery—Healer terkenal satu akademi—harus melakukan prosesnya dua kali sehari secara berturut-turut.

Murid itu terpaku saat melihat keberadaan Damien di samping ranjangnya. "Ka-Kaichou!" Damien langsung menghentikkannya saat melihat murid itu ingin beranjak berdiri untuk menyapanya.

"Kau sudah baikan?" Tanyanya, sekedar basa-basi biasa. Dia ingin memastikan keadaan murid itu cukup stabil untuk menjawab pertanyaannya.

"Sudah! Berkat sihir Avery, lengan saya sudah bisa bergerak, meskipun meninggalkan bekas luka." Murid itu menunjukkan lengannya yang diperban sampai bahu. "Tangan saya juga masih berfungsi dengan baik." Dia memutar lengannya dengan antusias, membuat Avery yang berdiri di sampingnya dengan khawatir.

Damien tersenyum formal. "Sebaiknya kau tidak usah banyak bergerak," tegurnya.

Murid itu langsung diam patuh. Tangan terletak di depan dada, dan pandangan sepenuhnya tertuju pada Damien yang terlihat betah berdiri tegap.

"Aku akan langsung ke intinya." Damian berdeham, "Apa kau lihat siapa penyerangmu?"

Gumaman keluar dari bibir yang tertutup rapat. Murid itu menyentuh dagu, menunjukkan dia tengah berpikir keras untuk membuka setiap ingatan sebelum dunianya menggelap. Damian sedikit tersentak saat murid itu berseru sambil menjetikkan jari, lalu menunjuk si ketua yang setengah mati menahan tatapan menilai.

"Raganya ditutupi bayangan, tapi aku bisa menebak bahwa dia perempuan. Satu-satunya yang kutangkap bahwa dia memiliki warna mata yang berbeda dari kebanyakan warga Jepang," ujar murid itu. "Maaf, aku tidak bisa memberikan informasi—"

"Tidak apa," potong Damien. Bukan karena dia sudah mendapatkan apa yang dia cari, melainkan dia perlu konsentrasi penuh untuk menelaah informasi tersebut.

Sejauh dia ingat, tidak ada satu pun murid yang memiliki sihir bayangan atau elemen gelap. Mustahil untuk memiliki dua sihir, padahal kelas ramuan di tingkat apa pun belum memasuki tahap transformasi. Bisa saja pemikiran dia salah. Maka, Damien mencatat di nota mental bahwa dia harus mengecek formulir alumni sampai murid baru agar memastikan pemikirannya.

Bila masalah netra mata, hanya ada Veron dan Jun yang memiliki warna mata berbeda dari yang lain, yaitu gradasi warna biru gelap. Tetapi pengakuan yang disampaikan korban adalah pelakunya perempuan. Informasi kedua itu menyempitkan kemungkinan yang Damien pikirkan. Hanya ada sepuluh kemungkinan tertera, bila dia menghitung siswi yang mengenakan softlens.

"Tunggu... kalau dipikir-pikir lagi, murid baru di kelas sebelah punya mata biru, ya?" Gumam murid itu, memutuskan benang konsentrasi Damien.

"Murid baru kelas sebelah?" Si Ketua menatap murid itu dengan rasa ingin tahu.

"Err, iya...? Yang sering dibicarakan itu. Matanya sama persis dengan pelaku yang menyerangku, berwarna biru terang."

Lily yang sedaritadi diam anteng di belakang Damien langsung membelakkan mata, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Itu pertama kalinya dia melihat ekspresi seperti itu dari kakak kelas berkarisma yang cuek.

Damien menoleh ke belakang, memastikan ekspresi sosok itu. Dia tidak bisa menahan diri tersenyum penuh kemenangan karena tebakannya benar. Wakil Ketua OSIS juga memasang wajah yang tak kalah seram dari Lily.

-

Mulut manusia adalah sesuatu yang menakutkan. Mereka bergerak sangat cepat, membawa dampak besar tanpa mereka ketahui, dan mampu menghasut sekitarnya begitu mudah. Rumor itu beredar dengan cepat berkat mulut-mulut siswi di kelas, mengatakan bahwa aku merupakan haus perhatian, rela menjatuhkan diri demi dilirik sekilas oleh pujaan hati mereka.

Aku hanya menundukkan kepala, berjalan sedikit lebih cepat ke kelas ramuan untuk kelas malam. Saat aku menoleh ke belakang, Eri melototi perkumpulan siswi yang merupakan kakak kelas dengan tatapan membunuh. Aku langsung menariknya, membawa kami berdua pergi dari situasi itu secepat mungkin.

Untung saja Eri hanya menatap mereka. Bila itu Mirai, aku yakin dia akan menghampiri mereka dan mengajak mereka bicara. Aku sangat yakin tidak ada sedikit pun unsur kedamaian bila dia sudah turun tangan.

"Kenapa kau diam saja, Yuu? Seharusnya kau mengatakan bahwa semua itu tidak benar," ujar Eri sambil menatapku kesal bercampur bingung.

Helaan nafas panjang keluar dari dada. "Meskipun aku mengelaknya, mereka akan tambah parah." Sama saja dengan membuang tenaga untuk hal tak berguna. "Semoga saja dia tidak salah paham," gumamku.

Namun, Eri bisa mendengar gumamanku sejelas langit gelap di atas kami. "Bila terus dibiarkan, salah pahamnya akan tambah buruk. Pemikiran tiap orang beda-beda."

Itu benar juga.

Tetapi aku tidak ingin konfrontasi kepada mereka. Terakhir aku menggunakan metode itu, aku menjadi bulan-bulanan mereka, dan lututku selalu membiru karena kaki panjang mereka. Aku masih ingat ketika melihat mereka tertawa di atasku setelah berhasil membuatku jatuh, dan pikiran yang terbesit adalah "Aku ingin memotong kaki mereka."

"Hei!" Kami berdua mendongak ke atas, mendapati seorang pemuda yang mengenakan seragam tanpa mantel tengah berdiri di anak tangga. "Mau sampai kapan kalian disitu? Kelas akan segera dimulai!"

Eri berdecak pelan. "Bukan urusanmu, Veron!"

Ah, dia laki-laki yang pernah kutemui bersama Shirogane-san dan namanya juga disebut saat dipanggil ke depan. Kenapa aku sangat buruk dalam mengingat seseorang?

"Aku yang kena masalah bila kalian terlambat!" Veron membalas. "Cera, apa yang terjadi bila dia tahu tentang ketelodoranmu?"

Aku menyadari perubahan cepat di wajah Eri. Dia mendengus sebal sebelum menggenggam tanganku, membawa kami berdua menyusul Veron yang terlihat puas karena Eri sudah mengambil pilihan yang tepat. Gumaman pelan tertangkap di telinga, beberapa darinya tertuju pada Veron, dan lainnya menyiratkan kekhawatiran.

Aneh... Ini pertama kalinya aku merasa melewatkan sesuatu yang besar.

Namun, pikiranku harus kembali ke permukaan ketika menyadari kelas ramuan akan segera dimulai. Eri melambai untuk perpisahan singkat kami sambil berlari kecil ke arah bangkunya yang berada di barisan depan. Aku berjalan ke belakang, dimana ada satu kursi kosong di samping seorang siswa.

"Apa ada orang disini?" Aku bertanya sambil menunjuk kursi yang dimasukkan ke dalam meja.

Siswa itu menggeleng, lalu menarik keluar kursi tersebut. "Silahkan."

Secara naluri, mataku mengerjap terkejut, tidak menyangka akan mendapatkan gestur seperti itu kecil. Aku menempati diri di kursi, meski pikiranku masih meleleh karena tersentuh. Bukan apa-apa, tapi aku suka dengan gestur sederhana seperti ini. Seolah mengatakan mereka menghargai keberadaanku di sekitar mereka. Terdengar cringe, ya?

"Yunia," panggilnya. Aku menoleh, memasang senyuman yang mengeluarkan gumaman pelan sebagai pertanda aku mendengarkan. "Bila kau bingung, jangan sungkam bertanya," ujarnya sambil tersenyum simpul. "Oh ya, apa boleh aku memanggilmu begitu?"

"Terimakasih, Zenith," balasku dengan senyuman sama. "Tentu! Kau boleh memanggilku dengan nama pendek." Setidaknya ada tiga orang yang tidak akan memusuhiku.

Untuk saat ini...

Aku menampar pelan pipi kanan, memberi peringatan pada parasit di dalam kepala agar tidak cewrewet. Aku sedikit lelah untuk perang batin sekarang.

Beberapa saat kemudian, kakak kelas yang kulihat dipanggil ke depan kemarin melangkah masuk, membawa berkas-berkas tebal yang terlihat akan jatuh bila dia tidak segera memiringkan lengannya. Dia tersenyum ramah sebagai bentuk pembukaan.

"Selamat malam, semuanya! Aku harap kalian belum mengantuk menjalani pelajaran hari ini!" Sambutnya cerah, seolah enam jam pelajaran sebelumnya bukanlah apa-apa. "Lho. kok pada diam? Bosan, ya?"

"Enggak, senpai!" Balas salah satu murid, disusul dengan murid lainnya yang bersahut-sahutan.

Senpai itu tertawa, tapi tawanya terdengar getar, seperti menahan sebuah gejolak yang jauh di dalam dirinya. "Kuharap kalian benar-benar semangat! Pelajaran hari ini kita coba mempraktikan salah satu ramuan di jilid ketiga." Tanpa melirik sekilas ke meja guru, dia mengambil salah satu buku bersampul kumuh, lalu membuka setiap lembarannya. "Tolong dibuka ke halaman lima puluh delapan."

Aku mengedarkan pandangan ke setiap ruangan. Sepertinya hanya aku saja yang kebingungan harus mengambil buku apa, karena buku yang bertumpuk di sudut meja memiliki warna yang mirip dan butuh sekitar lima menit untuk membedakan warnanya.

"Buku yang tengah," bisik Zenith. Dia menunjuk sebuah corak emas berjumlah tiga garis di bawah sampul buku hijau kumuh itu. "Itu buku jilid ketiga."

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil buku tersebut, mengumpati diri sendiri karena tidak sadar dengan kode segampang itu. "Sankyuu," bisikku balik yang dibalas dengan anggukan singkat.

Aku mendengar penjelasan di depan, cara membuat ramuan yang namanya terlalu ribet untuk diucapkan dan terlalu panjang untuk diingat. Wajahku yang termangu terlihat mirip dengan orang bodoh atau anak tersesat, linglung. Soalnya, setelah melihat cara kerja praktik Minerva-senpai, semua tangan dari setiap siswa bekerja cepat.

Bagaimana nasibku yang tidak bisa melihat tumbuhannya secara rinci?

Di papan tulis, bahan pertama yang harus dimasukkan adalah daun Barberry, entah apalah itu. Bila tak salah ingat, daunnya mengingatkanku pada daun stoberi dengan warna hijau, mendekati warna hijau yang terkena noda abu. Sontak, aku terlena ketika aroma mint dari daun tersebut memasuki lubang hidung.

"Tunggu!" Seru murid di belakangku. Suaranya tidak terlalu keras, jadi hanya ada beberapa perhatian tertuju pada kami dan kembali fokus ke urusan masing-masing, salah satunya adalah Zenith. Mimik wajahnya terlihat khawatir dan gelisah, ditambah dengan tangannya menggenggam erat pundakku. Sakit banget!

"Ada apa, ya?" Aku menelengkan kepala sambil tersenyum kecil, berharap agar dia melepaskan cengkraman mautnya.

Tangannya masih setia di bahuku. "Apa kau mau buat satu ruangan panik?" Aku tanya baik-baik langsung dibalas pedas. "Daun itu adalah Laikonleaf. Ini salah satu tanaman yang berbahaya karena kandungan beracun mematikan. Cara kerjanya seperti Belladona—bila kau tahu—dengan efek lebih minim. Kau tidak mati, tapi kau melewati siksaan yang sebelasduabelas seperti kematian."

Astaga... Kalo apa yang dia katakan benar...

"Bukan ini bahannya?"

"Tentu saja bukan, idiot!" Kita belum kenal, lho, sudah asal ngumpat aja! "Mana ada sekolah yang ingin meracuni muridnya. Yang ada, akademi ini jadi rugi dan reputasinya meluncur ke titik terendah."

"Yang dibelakang, kalian ngapain?" Aku tersentak mendengar teguran itu, sementara siswi yang menegur sebelumnya hanya diam anteng. Terlihat dari wajahnya yang tak kenal takut, aku menyimpulkan bahwa dia salah satu kakak kelas yang mengikuti kelas ini.

Setiap kelas yang akan mengikuti kelas ramuan, praktik sihir, dan teori sihir dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan jadwalnya. Adik kelas dan kakak kelas digabung kelasnya. Tidak ada senioritas di sini.

Minerva-senpai menghampiri kami berdua, membuat semua perhatian langsung tertuju ke arah kami. Aku ingin menunduk malu tapi cengkraman di pundak yang belum lepas seperti memaksa agar aku tetap mengangkat kepala. Betapa lega hati ketika melihat raut wajah Minerva-senpai tidak terlihat marah.

"Bisa dijelaskan percakapan kalian sebelumnya, Peony?" Minerva-senpai melirik ke arah kakak kelas yang dipanggil 'Peony'.

"Ada yang coba meracuni murid ini," ujarnya sambil menepuk pundakku.

Mendengar itu, aku bisa merasakan semua murid langsung tahan nafas.

Aku sudah siap dijadikan buah mulut terpanas besok pagi!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top