Chapter 20 - Glistening Snow

Kepalaku terasa berat setelah bangun dari mimpi tersebut. Rasanya aku baru saja mengalami lucid dreams, tapi tidak ada istilah mimpi mampu menciptakan sebuah luka, seperti keadaan kulit tanganku yang terkelupas oleh suhu dingin. Itu gejala yang aneh. Ditambah aku menyadari seluruh telapak tanganku merah, dan aku yakin itu bukan karena kulit yang terkelupas.

"Yuuna," panggil seseorang dengan pelan. Aku menoleh ke samping, tidak sadar bahwa ada Mirai yang duduk di samping kasur UKS. "Sudah mendingan?"

Di samping Mirai, ada Eri yang menatapku tidak kalah khawatir. "Kau masih ingat dengan kami?"

"Kalian ingin aku melupakan kalian?"

Mirai langsung mengalungkan lengannya di leherku, menarik seluruh tubuhku ke dalam dekapannya. Aku terlambat mengeluarkan reaksi terkejut, jadi yang bisa kulakukan hanyalah pasrah di dalam pelukannya. Eri pindah posisi ke samping Mirai. Dia tidak melakukan tindakan pelukan seperti Mirai, hanya diam saja melihatku tersiksa di dalam pelukan hangat itu.

"Jangan pingsan seperti itu! Setidaknya pingsan di saat aku bisa melihatmu, jadi aku bisa segera membantumu," ujar Mirai sambil sedikit merenggangkan pelukannya.

"Ini gara-gara enggak sarapan pasti," celetuk Eri. Aku hanya mendengus kesal saat melihatnya menggeleng kecewa, seperti seorang Ibu yang sudah lelah dengan perilaku anaknya. "Aku tahu kau kesal dengan perihal dua hari yang lalu. Enggak usah dipikirin, kita aja enggak terlalu mikirin."

Saat menyadari tepukanku di punggungnya tambah cepat, Mirai melepaskan pelukan, namun tatapannya tidak lepas dariku. Seolah dia mencari jawaban di antara pupilku yang belum bisa fokus ke satu titik tertentu. Tatapannya datar dan menenangkan, tapi aku mulai gelisah di bawah pandangannya, walaupun itu bukan pertama kalinya mendapatkan tatapan mematikan dari Mirai.

Kedua tanganku saling bertemu dan terjalin secara natural, lalu jalinan tersebut tambah erat saat sebuah kegelisahan mulai bangkit dari dasar jiwa, seperti sebuah lava yang berada dalam perut bumi ingin keluar dari letusan gunung berapi. Bila aku mengangkat kepala, tatapan yang diberikan Mirai bisa menjadi dorongan terakhir. Aku akan menangis di tempat.

"M-Maaf." Umpatan pelan mulai terucap di hati saat suaraku keluar lebih parau dan gemetaran dari dugaanku. "Maaf mem, membuat kalian khawatir."

Mau sampai kapan kau terus mengecewakan mereka, Yuuna?

Aku tidak tahu apa yang terjadi selama aku koma saat itu, tapi melihat tatapan yang diberikan Mirai setelah aku siuman bukanlah pemandang yang ingin aku abadikan atau kulihat lagi. Ada sesuatu di dalam diriku diremas-remas sampai hancur. Saat itu, kesadaranku masih dipenuhi oleh obat-obat, pikiranku tidak bisa berpikir lurus, jadi aku tidak bisa mengucapkan apa-apa saat melihat tatapan Mirai yang berada di luar ruangan operasi.

Aku tidak ingin merepotkan mereka lagi. Namun, aku selalu melakukan sebaliknya.

Mengapa aku selalu menjadi beban untuk orang di sekitarku?

"Sudah, sudah. Sebaiknya kalian pergi makan malam!" Tegur seseorang yang memasuki lingkaran perbincangan kami. Mataku membelak, tidak percaya bahwa aku akan dijaga oleh perawat yang sama--perawat yang memberikan mutiara kepadaku. "Malam ini ada pelajaran tambahan, jadi kalian harus bergegas."

"Bagaimana dengan Yunia?" Tanya Eri yang sudah beranjak dari kursinya.

Perawat itu mengibaskan tangannya dengan santai. "Aku sudah menyampaikan izin kepada Calix-sama, kalian enggak usah khawatir." Dia membawa secangkir teh yang sudah ditambah sihir miliknya. "Waktu yang pas juga, kau sudah sadar."

Aku menerima cangkir itu dengan hati-hati. "Terimakasih."

"Belum sebulan, tapi kau sudah masuk ke ruangan ini dua kali. Kau harus tambah berhati-hati." Perawat itu kembali memberikan peringatan.

"Kau pernah ke UKS?" Seru Mirai, tapi aku mengalihkan pandangan sambil tertawa pelan di saat mulutku sibuk meneguk teh hangat itu. Mirai beralih ke perawat tersebut, karena dia tahu aku tidak akan memberikannya jawabanya. "Apa--Bagaimana bisa dia terluka karena terkena serangan peri? Yuna, kenapa kau tidak mengajakku?"

"Kalau kau ingin berkeliling, setidaknya ajak salah satu dari kami." Eri ikutan nimbrung, menambah situasi tambah rumit.

"Kalian berdua sibuk! Tidak mungkin aku merengek pada kalian hanya untuk menemaniku berkeliling, seperti anak kecil!"

"Enggak papa!" Pandanganku jatuh pada tangan Mirai yang terkepal erat sampai ujung kukunya memutih. "Jangan merasa nggak enakan! Katakan saja apa maumu, kesusahanmu! Kita enggak akan menilai, jadi enggak usah ragu-ragu. Bukankah kita teman?"

Hatiku kembali teriris mendengar nada ucapan tersebut. Mereka kembali berseru bagaikan hewan buas yang kelaparan saat Mirai menjatuhkan kepalanya, sementara tangannya yang ragu mencoba melingkupi tanganku. Sentuhannya terasa geli di kulit, membagikan kehangatan dan kegelisahan yang dia miliki, membuatku dapat merasakan setiap kepedihan di dalam hatinya.

Saat melihat ekspresi wajah Mirai yang terlihat putus asa, aku baru menyadarinya pada detik itu juga. Peristiwa dimana nyawaku di ujung tanduk menciptakan luka traumatis yang tidak akan pernah sembuh dalam hatinya.

Ini terlalu indah. Rasanya aku tambah serakah hari ke hari. Apakah aku pantas mendapatkan teman seperti Mirai?

Aku terdiam, lalu mengukir sebuah senyuman secara paksa. "Kalian pergi makan malam sono! Lauk favoritmu akan segera habis kalau kau tidak bergegas, Emma."

Lagi-lagi, aku memasang topeng. Mirai memberikan tatapan tidak terima, tapi dia tidak punya pilihan lagi, dan melepaskan tanganku sambil memberikan jejak keberadaan miliknya dengan menggunakan sentuhan ringan. 

Di saat kedua sahabatku melangkah keluar, perawat tersebut duduk di kursi yang diduduki Mirai sebelumnya. "Kau dikelilingi orang yang baik." Aku hanya menggeleng, tidak memedulikan rasa pahit yang menari-nari di lidah. "Bahkan ada dua pemuda tampan yang mengantarmu ke ruang kesehatan."

Kepalaku yang menunduk kembali terangkat, menatap perawat yang tengah memindahkan cangkir elegan miliknya dari nakas. Saat pandangan kami bertemu, dia hanya memiringkan kepala, seolah bertanya-tanya apa maksud dari tatapanku. Rasanya aku ingin mengerang kesal, karena baru saja sadar kalau perawat itu tidak akan mengerti tatapanku. Kau tidak bisa memaksa seseorang untuk mengerti perasaanmu hanya sekali pandang saja.

"Dua pemuda?" Yang aku ingat, tangan Sein menahan bobot tubuhku sebelum jatuh. Aku juga bisa merasakan gerakan tangannya yang terasa hati-hati. Seluruh tubuhku mulai merinding membayangkan bahwa salah satu pemudanya adalah si bajingan itu, karena dia juga ada di perpustakaan itu. "Satu blasteran dan satu lagi pake seragam tanpa mantel?"

Bila dia benar-benar ikut membantu, aku akan membilas tubuhku dua kali, lalu mencincang tangannya.

Perawat itu terdiam sambil menerawang ke atas, menggali ingatannya kembali, lalu kembali menggeleng pelan. "Hm, enggak. Yang blasteran benar. Satu lagi... siapa hayo?"

Aku menatapnya dengan datar karena memilih waktu bercanda yang sangat buruk. Perempuan itu terbahak melihat ekspresiku. Dia tertawa sangat puas sambil menepuk tangannya dengan keras.

"Bukannya kau kenal yang satu lagi?" Dia kembali menyinggungkan senyuman untuk menahan tawa saat melihat ekspresiku. "Oke, aku akan berhenti main tarik-ulur. Satu lagi adalah Solon-kun. Itu pertama kalinya aku melihat dia panik. Tidak kuduga dia bisa memasang ekspresi seperti itu juga, fufu."

Salah satu alisku terangkat tidak percaya. Solon?

"Seluruh badanmu dingin, kalah dingin dengan es dari kulkas, ditambah kulit tanganmu mulai pecah-pecah kayak kau berlama-lama di luar rumah saat musim dingin. Mengetahui hal itu, Solon-kun mengambil inisiatif untuk menaikkan suhu tubuhmu sementara kau tidak sadar, karena wajahmu sangat pucat." Perawat itu menceritakan dengan semangat. "Bila dia menunjukkan rasa peduli seperti itu, aku mulai berpikir kalau kau berbeda."

Aku menjulingkan mata. "Beda dari segi mananya? Kau berlebihan."

Perawat itu hanya mengangguk, tidak menghapus senyuman menjengkelkan itu. "Oh, ya! Aku belum berkenalan sebelumnya, kan? Namaku Avery!"

"Avery," gumamku agar dapat mengingatnya dengan mudah. "Itu nama yang indah."

"Memang?" Senyuman itu masih ada disana, tapi bukan versi menggoda atau menyebalkan, melainkan lembut dan malu-malu. Dia mengayunkan tangannya, seolah pujian yang aku berikan berlebihan. "Bisa saja. Namamu lebih bagus, apalagi artinya."

Aku hanya tersenyum, tidak ingin memperpanjang masalah perihal nama, karena sampai sekarang aku belum menemukan arti nama samaran aneh ini.

"Kamus" yang diberikan Sein berada di atas nakas, untungnya. Di atas buku tebal tersebut, ada sebuah buku catatan dengan sampul yang familiar. Aku meraih buku catatan tersebut, menerka siapa pemilik dari tulisan yang rapi dan pencipta dari barisan rumus yang terlihat memusingkan.

"Aku lupa memberitahumu!" Seru Avery, mengejutkanku. "Itu buku catatan yang dibawa Emma saat dia pergi kesini. Katanya salah satu teman sekelasmu menitipkan buku catatannya karena sensei di kelas kalian berencana membuat tes minggu depan dengan pembahasan hari ini. Huh, ternyata kelas sepuluh repot juga, padahal bulan pertama belum selesai."

Ah, bisa-bisanya aku baru sadar bahwa aku pingsan sampai pulang sekolah. Apa yang akan dipikirkan Okaa-san bila tahu tentang hal ini?

Mataku membelak saat melihat tulisan kanji pertama di sampul depan buku tersebut, karena sebelumnya buku tersebut diletakkan secara terbalik--sampul depan di bawah, sampul belakang di atas. Setelah ini, aku harus menyalin seluruh catatan tersebut, lalu mengembalikannya dan menunjukkan rasa terimakasihku.

Rasanya, aku sudah membuatnya banyak kerjaan hari ini.

-

Wilayah akademi tidak setenang sebelumnya setelah mengetahui ada sesuatu yang berada di luar kendali. Beberapa makhluk berkeliaran di dalam dan luar wilayah akademi, melakukan sesuatu atas rasa ingin tahu atau mampu membawa malapetaka, yang pasti membuat beberapa orang--pastinya hanya kaum penyihir atau semi-penyihir--merasa resah. Apalagi saat mengetahui apa yang bisa diperbuat peri kecil itu saat salah satu dari mereka menyusup masuk dan membuat kekacauan saat di aula.

Kelas ramuan berjalan lancar di bawah bimbingan salah satu senpai yang tidak Emma kenali namanya. Kakak kelas itu mengenakan kacamata bulat yang tebal, tapi lensa kacamata tersebut tidak mampu menutupi seluruh keletihan di wajahnya. Isi pikiran senior tersebut hanya menilai beberapa ramuan yang dibuat seluruh murid.

Ramuan bukanlah keahliannya. Dia tidak begitu pandai dalam meracik, terutama meracik sebuah bahan-bahan yang berbahaya. Satu langkah yang salah bisa menyebabkan sebuah ledakan atau hal yang berbahaya, dan dia tidak suka dengan hal yang berbau terlalu berisiko. Emma juga orangnya tidak begitu sabar, maka langkah-langkah ramuan itu akan hancur hanya karena frustasi dan kegelisahan.

Tetapi berbeda untuk hari ini, pikirannya tidak terlalu fokus dengan beberapa takar bubuk yang harus diberikan atau seberapa lama air itu harus mendidih, tidak ada satu pun ruangan untuk permasalahan ramuan. Seluruh pikiran Emma sudah dipenuhi oleh kekhawatiran Yunia.

Dia tidak tahu pasien yang mengalami amnesia bisa pingsan tiba-tiba, bahkan dia tidak tahu apakah itu bisa terjadi karena amnesia. Hanya saja, kesehatan dan keresahan yang dirasakan Yunia menjadi bagian dari dirinya, seolah mereka dua tubuh dengan jiwa yang saling terjalin. Ditambah Emma tidak bisa membaca pikiran Yunia membuat gadis itu tambah khawatir.

Bagaimana harus mengatasinya? Bagaimana membawa percakapan itu agar membahas masalah yang dialami Yunia agar terlihat natural? Apa dia sudah menjadi sahabat yang baik? Apa... Yunia sudah memaafkannya karena peristiwa itu?

Suara batin seseorang terdengar, disusul dengan langkah kaki yang menghampirinya.

"Permasalahkan saja dirimu sendiri, Veron. Hari ini dia pura-pura tidak peka lagi dengan seluruh kegombalanmu." Emma mengeluarkan tawa singkat, menciptakan sebuah seringai mengejek sebelum menatap pemuda tinggi di sampingnya. "Sepertinya itu cara halus untuk menolak cintamu."

Veron mendengus pelan, merasa kesal bahwa Emma harus membawa permasalahan itu. "Kau enggak perlu mengingatkannya. Dan asal kau tahu, niatku bukan untuk menembaknya."

Gadis itu mengangguk, mencoba memenangkan simpati Veron, meskipun bukan itu niat sepenuhnya. "Iya, aku tahu. Batinmu terdengar cukup jelas."

"Kemampuan itu berkah dan kutukan di waktu yang sama." Penuturan Veron sama dengan isi batinnya, dan Emma tidak punya pilihan lain, kecuali mengangguk setuju. "Tapi kerutan di keningmu sangat banyak, sampai Minerva-senpai tidak berani menghampirimu tentang ramuanmu."

Emma menjatuhkan pandangannya, melihat ramuan yang terlihat pantas, berbeda dari biasanya dia buat. Mungkin Minerva ingin memuji perbuatannya dan sikap tenangnya yang tidak biasa, dia tidak begitu yakin. Seluruh pikirannya penuh dengan perasaan Yunia, lalu ditimbun oleh beragam suara batin orang lain di dalam ruangan, membuat kepalanya mejadi pusing.

Dia bisa merasakan beberapa sel otaknya mati.

"Aku yakin niatnya menghampiriku bukan masalah yang besar," ujarnya. "Kedatanganmu hanya untuk menegurku tengah bengong atau ada hal lain juga?"

"Tanpa kau tanya pun, kau sudah tahu apa niatku." Veron menjulingkan matanya.

"Lagian, kenapa kau begitu ingin tahu? Apa kau begitu tertarik dengan reaksi yang akan dia tunjukkan atau kau menantikan drama di antara mereka?" Emma menaikkan salah satu alis.

Veron mengedikkan bahu, bingung juga bagaimana harus menjawabnya. "Apa ini semacam tes?"

"Aku tidak keberatan kalau ingin menganggapnya begitu."

Selain perasaan campur aduk milik Yunia, dia juga kepikiran tentang sihir yang ditunjukkan sahabatnya. Ruangan kamar yang dilapisi oleh bayangan, tidak memberikan sedikit pun cahaya menerangi kegelapan tersebut, lalu menyisahkan mereka berdua yang bisa melihat sama lain dengan jelas. Mungkin--dia tidak begitu yakin karena ingatannya tidak kuat--itu pertama kalinya dia melihat Yunia memasang ekspresi yang terlihat begitu datar dan serius.

"Aku baru tahu kau seekspresif ini," gumam Veron, berhasil membawa Emma kembali ke permukaan kesadarannya. "Selamat malam, Emma. Bagaimana perjalanan di dalam alam bawah sadarmu?"

Terdengar jelas bahwa pemuda itu tengah meledekinya karena bengong. Untung saja, Veron tidak tahu apa yang membuat wajah Emma lebih lentur dan tatapannya menjadi kosong. Bila itu Cera, gadis itu tidak akan habis menggodanya, lalu mengungkit kejadian itu di waktu yang tepat, membuat Emma merasa jengkel dengan sikapnya.

"Sangat menyenangkan. Jadi, kembali ke kursimu!" Usir Emma sambil mendorong Veron kembali ke mejanya yang terletak di barisan depan nomor tiga, dipisahkan oleh dua meja dari depan untuk ke bangku Emma.

Ekspresif. Kata sifat itu tidak begitu mendeskripsikan kepribadiannya.

Emma sadar bahwa dia tidak semudah Yunia yang memasang ekspresi dan jujur pada perasaannya. Meskipun dia tidak bisa mendengar pikirannya, dia bisa mempergunakan pengetahuan yang dia miliki setelah beberapa tahun mengenal Yunia. Kedua alis yang terangkat setinggi mungkin saat terkejut. Bibir yang merapat, mata yang perlahan layu seperti orang mengantuk, dan alis yang merendah adalah pertanda bahwa Yunia tengah sedih. Dan saat dia bahagia, sikap pendiam dan tenangnya menghilang begitu saja, membentuk sebuah kepribadian yang berisik.

Bila Emma dapat jujur, ekspresi wajah Yunia mudah ditebak hanya dari pergerakan alis dan sorot mata, tapi dia tidak mampu menebak apa yang terlintas di benaknya selain perasaan tersebut.

"Ini sebuah kemajuan!" Akhirnya, Minerva menghampiri mejanya. "Kau membuat takaran yang pas dan waktu kau mematikan apinya juga pas. Sudah kubilang kau bisa!" Puji senior tersebut.

Minerva selalu lembut pada adik kelasnya bila tentang membagi opini. Bila dia ingin beropini negatif, dia akan menuturkan sebuah kalimat yang lembut dan mudah diterima agar tidak menyakiti siapa pun. Seniornya memang salah satu orang terpolos yang pernah dia temui.

Emma tersenyum simpul saat mendengar benak Minerva yang mempertanyakan keahliannya dalam mengajar adik kelasnya. "Terima kasih, senpai. Ini semua berkat pengajaranmu."

Kemampuannya yang satu itu benar-benar sebuah hadiah dan juga kutukan.

-

Rasanya dia baru saja menikmati hari pertama, tapi sudah disuguhkan oleh banyak masalah. Damien menggeram pelan saat melihat tumpukan laporan yang sudah  harus dia periksa satu per satu. Menjadi satu-satunya orang yang bisa diandalkan di organisasi tersebut adalah penyiksaan. Bila saja beberapa orang sadar diri dan mengulurkan tangan untuk membantu, jadi dia tidak perlu tersiksa sendirian. Ramai-ramai lebih baik.

Jadwal pembelajaran malam hari adalah bagian tingkat pertama. Alasannya cukup simpel, karena para senior ingin adik kelas yang paling bontot merasakan sensasi kelas malam, sekaligus melatih mental untuk menjadi seorang mahasiswa--itu pun bila mereka berkeinginan untuk lanjut ke sekolah tinggi. Para senior juga tidak begitu membutuhkan kelas malam, karena mayoritas dari mereka sudah mentuntaskan beberapa ramuan dan mantra yang wajib dituntaskan. Damien termasuk dari puluhan murid yang sudah tuntas.

Pekerjaan prioritasnya sekarang adalah pembagian tim untuk patrol malam. Tetapi salah satu laporan yang diberikan seorang murid berhasil menghancurkan jadwal penyelesaiannya.

Dari laporan tersebut, ditulis bahwa ada kejadian yang aneh terjadi di sekolah beberapa jam yang lalu. Salah satu murid diserang sampai menciptakan luka yang cukup besar dan dalam, membuatnya harus dibawa ke UKS untuk pertolongan pertama. Belum ada keterangan darimana serangan itu berasal. Namun, dia mampu mendengar beberapa suara aneh saat menghampiri lingkaran kejadian, seperti sebuah bisikan menggunakan bahasa asing.

Tentu saja yang menulis itu adalah Leo. Orang itu sangat suka membawa orang lain ke dalam lubang kelinci, dan membuat mereka berpikir keras bersamanya.

Ide itu berhasil. Karena Damien mulai memikirkan apa yang didengar Leo, mungkin saja dia tahu arti dari beberapa kalimat atau kata yang dibiskkan.

Suara pintu terdorong membuyarkan lamunannya. Seorang pemuda yang mengenakan hoodie hitam di balik kemeja putihnya melangkah masuk. Dia masih mengenakan seragam sekolah, minus mantel sekolah yang dia tinggalkan di asrama karena terlalu malas untuk dikenakan. Ada aroma tanaman obat-obatan dari tubuhnya, menandakan bahwa dia baru saja bergulat dengan cairan kimia dan ramuan non kimia lainnya.

Panjang umur.

"Kau bolos kelas malam?" Tanya Damien. Kehadiran Leo memiliki timing yang pas, tapi dia tidak bisa mengabaikan tindakan pemuda itu.

Leo memberikan tatapan datar. "Apa kau sudah membaca laporanku?"

Hanya ada dua alasan mengapa dia mengalihkan pembicaraan: Pertama, Damien baru saja menanyakan pertanyaan paling bodoh. Yang kedua, Leo memang bolos dan tidak ingin membicarakan hal itu, karena itu bukan hal penting.

Damien membiarkan pemuda itu melakukan sesuka hatinya, untuk hari ini saja.

"Aku sudah membacanya." Damien menunjuk laporan milik Leo yang bergabunya bersama tumpukan kertas yang sudah dia tuntaskan. "Kebetulan sekali, aku ingin tahu bisikan apa yang kau dengar saat disana."

"Mereka tidak berbicara menggunakan bahasa Jepang atau bahasa yang ada di sisi dunia ini," gumam Leo dengan sedikit tekanan di akhir kalimat, "melainkan bahasa asing yang biasanya kita gunakan untuk melafalkan mantra tingkat pertama sampai ketiga."

"Bahasa Welta?"

"Hanya bahasa itu yang kita gunakan." Pemuda berbusana hoodie itu mengedikkan bahu.

Damien termenung, mencerna segala teori yang muncul di dalam pikirannya. Saat pemikiran itu berhenti di satu titik, dia menggeleng tidak percaya, lalu tubuhnya jatuh ke kursi karena terlalu syok dengan pemikirannya sendiri. Dia menatap ke arah Leo, memastikan apa yang ada di pikirannya saat ini bukanlah apa yang dipikirkan. Namun, respon yang diberikan Leo tidak membuat suasana hatinya lega, melainkan tambah gelisah saat Leo mengiyakan.

Sebuah tawa putus asa keluar dari ujung bibirnya, di saat yang sama Damien menyugar rambutnya ke belakang untuk mengekspos dahinya. "Mampus kita."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top